Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 8

Aku sibuk memilih-milih baju yang akan kupakai besok untuk jalan-jalan bersama Amanda. Mataku terus menatapi bergantian antara dress atau busana kasual. Melihat reaksi tiga sepupu, Amanda dan cowok-cowok di akademi, sepertinya gaun pendek adalah pilihan cocok, tetapi alu merasa lebih nyaman jika memakai pakaian santai untuk berjalan-jalan.

Dress kukembalikan ke lemari. Aku kembali menjajarkan beberapa busana kasual. Mataku segera tertuju pada jumpsuit putih dengan bentuk kepala kucing di depan dan bagian bawah berupa rok pendek.

Senyumku mengembang. Itu baju favorit yang dibelikan mama saat aku ulang tahun ke tujuh belas. Hanya tinggal menambahkan kaos hitam lengan panjang yang kubeli saat bersama Mike untuk bagian dalam. Untuk sepatu, mungkin bot selutut bisa dipertimbangkan.

Kepalaku mengangguk, menyukai ide itu. Segera kukembalikan yang tidak terpilih ke gantungan di lemari.

Aku memutuskan turun ke bawah sejenak. Belum waktunya makan malam, tetapi perutku sudah keroncongan. Kuturuni tangga, lalu berjalan ke lorong.

Maya pasti sedang sibuk di dapur. Mataku menoleh ke arah ruang keluarga. Tak terlihat siapa pun. Paman Roberto sudah jelas di kantor. Nenek pasti sedang di kamarnya.

Ke mana tiga sepupuku? Mungkin di kamar mereka masing-masing?

Aku berjalan lagi mengecek dapur. Ruangan itu bernuansa putih dipadu dengan cheery cabinets yang menawan. Maya tampak sibuk di belakang meja bar.

"Hai, Maya!" sapaku riang.

Maya menoleh, spontan tersenyum. "Hai, Nona Lizzy."

"Please, panggil aku Lizzy saja," ujarku sambil melangkah ke arah meja bar dapur, duduk di salah kursinya yang berbentuk bundar. "Kita makan apa malam ini?"

"Pembuka ada salad buah, lanjut menu utama bubur jagung favorit keluarga Carlton, ayam goreng renyah untuk kalian, tuna sandwich buat Nyonya Carlton dan Tuan Roberto, lalu cheesecake untuk penutup."

"Wow." Aku tersenyum lebar sambil bertepuk tangan kecil. "Aku bahagia mendengarnya. Kau koki yang hebat, Maya."

Maya tertawa. "Nyonya Carlton sebenarnya yang lebih hebat dariku, Lizzy."

"Oh, itu jelas. Dia Ratu Keluarga Carlton."

Kami tertawa bersama. Maya kembali sibuk menggoreng ayam.

"Di mana yang lain?" tanyaku sambil mencomot sebutir anggur dari mangkuk buah yang ada di atas meja, lalu melahapnya.

"Oh, Nyonya ada di kamar. Leo dan Mike biasa menghabiskan waktu di ruang keluarga. Jika tidak di sana, mungkin ke taman belakang, di gazebo, atau di kolam renang. Bila tak ketemu, berarti di ruang spa. Mereka suka mandi sauna atau berolahraga di ruang fitness di balkon atas. Yang jelas, mereka tidak memberitahu kalau akan keluar rumah sore ini. Niel ...."

"Di kamar atau di perpustakaan. Benar?"

Maya tertawa. "Benar. Dia yang paling mudah dicari di antara mereka bertiga."

Aku mengangguk. "Baiklah. Aku mau mencari mereka dulu."

"Semoga berhasil dalam berburu Tiga Tuan Muda Carlton, Lizzy," goda Maya membuatku tertawa berderai.

Aku pergi ke taman belakang lebih dulu. Di gazebo nihil. Mereka juga tak ada di sekitar kolam renang. Kuedarkan pandangan sejenak ke arah pemandangan Teluk San Fransisco, menikmati angin sejuk dan segar sebelum memutuskan kembali masuk.

Mataku melirik sekilas ke pintu misterius, memutuskan mengabaikannya kali ini, lalu menaiki tangga yang ada di ujung ruangan, langsung menuju atas. Setibanya di balkon yang luas, di sisi kiri kulihat ada beberapa tempat tidur ayun, juga sepaket meja bundar dengan kursi untuk enam orang. Di bagian kanan tampak sebuah ruangan cukup besar dua tingkat. Itu ruang spa dan fitness.

Aku melangkah menuju tempat itu. Kesibukan mengejar pelajaran di akademi baru sepertinya sangat menyita waktu. Kusadari ini pertama kali menyempatkan diri datang ke sini.

Di bagian depan aku segera disambut pemandangan Mike yang tengah sibuk berlatih menggiring bola basket di tiang dribble. Dadanya yang telanjang berotot terlihat berkilat dan basah. Ia hanya mengenakan celana pendek biru dan sepatu kets berwarna senada.

Ia menoleh dan berhenti saat melihatku. "Hei, akhirnya kau ke sini juga. Butuh seminggu lebih untuk menemukan tempat ini, huh?" ledeknya sambil sedikit terengah.

Aku hanya melihat dia sendirian di sana. "Di mana Leo?"

Mike segera memosisikan bola basket di tangannya ke sisi pinggang bagian kanan, menatapku intens. "Ada apa? Kau masih belum puas bertengkar dengannya?"

Kuhela napas panjang. "Aku perlu penjelasan darinya kenapa dia bersikap begitu padaku."

"Percuma. Leo tak pernah sudi menjelaskan apa pun, kecuali kau menyuruh Nenek yang bertanya padanya."

"Aku tak mau melibatkan Nenek untuk urusan semacam ini. Memangnya Nenek tak cukup pusing memikirkan ulahmu yang sering bermain cewek?"

"Whoa whoa whoa. Sepupu, kau sepertinya sangat peduli dengan masalahku sampai harus bergosip dengan Nenek?"

Aku mencibir sebelum melirik ke langit-langit ruangan. "Dia di atas?"

"Ya, kau cari saja dia di sana. Ingat, jangan membuat Leo marah. Aku sudah susah payah membujuknya untuk menenangkan diri di sana."

Tanpa menyahut, aku segera melangkah menuju tangga, lalu menaikinya. Setiba di ruangan itu, aku berjalan pelan ruang melewati loker, ruang sauna, hingga menemukan Leo tengah berendam di kolam air hangat, bersandar sambil memejamkan mata.

Aku seakan menikmati pemandangan di hadapan, mengamatinya beberapa saat dalam keheningan. Rambut cowok itu tampak rapi saat basah, memperlihatkan keseluruhan wajahnya yang tegas menawan.

Seleraku seharusnya cowok seperti Niel meski aku sebal akan sikap ketus dan rasa tidak sukanya pada makhluk cewek. Namun, kenapa jantungku justru selalu berdebar setiap melihat Leo? Apa mungkin karena akibat kejadian di kamar waktu itu?

Seakan menyadari kehadiranku, Leo membuka mata perlahan. Matanya mengerjap saat kami beradu tatapan.

Setelah hening cukup lama, dia meraih handuk kecil di dekatnya. Ia bangkit kemudian tanpa peduli kehadiranku sambil melilitkan benda itu ke area pinggang dan paha, lalu keluar dari kolam sambil mengibas-ngibaskan rambut tanpa sepatah kata.

Sebelum ia membelakangi dan memakai handuk, sempat kulihat tato kalajengking dengan mawar merah berduri di pangkal paha kiri. Itu terlihat seksi.

Namun, keningku berkerut begitu menyadari sebuah bekas luka jahitan di perutnya ketika Leo berbalik. Ia berjalan pelan menghampiriku.

Mataku terus memerhatikan bagian perutnya itu sampai tak sadar Leo sudah ada di hadapan. Suara tawa kecil terdengar dari mulutnya, membuat aku tersadar kemudian.

"Aku tidak tahu jika sepupu boleh memandangi tubuh telanjang sepupunya yang lain."

Aku memutar bola mata. "Kau pakai handuk."

"Kau mau aku membukanya juga?"

Sabar, Lizzy. Tenanglah.

"Itu kenapa?" tanyaku sambil menunjuk bekas luka di perutnya dengan dagu.

"Apa? Yang mana?"

Ia bersikap seperti orang bodoh. Aku mendengkus. Telunjukku menunjuk tepat ke arah bagian bekas luka.

"Itu. Kenapa terluka di situ?"

"Jika tidak terluka di sini, apa kau berharap aku terluka di bagian lain?"

"Maksudku bagaimana kau bisa terluka seperti itu?!" Aku ingin sekali menghapus senyum mengejek dari bibirnya saat ini dengan lemparan botol minyak aroma terapi yang ada pada rak di dekatku.

Oke, itu jauh dari kata sabar dan tenang, Lizzy.

Kulipat kedua tangan di depan dada saat melihat matanya merayapi tubuhku. Itu membuatku spontan mengikuti arah tatapan cowok itu.

Tidak ada yang aneh. Kaos putih lengan pendek bermotif pikachu dan celana jin sepangkal paha. Memang kaosnya sedikit tipis, tetapi cukup nyaman dan aman, menurutku. Setidaknya tak ada bagian yang terbuka.

"Bramu kelihatan," gumamnya. "Kuning. Pasti motif pikachu yang waktu itu, bukan?"

"Leo!" bentakku kesal sambil berusaha menutupi dadaku dengan dua telapak tangan. "Pindahkan matamu!"

"Mataku selalu di sini, Sepupu. Sama sepertimu. Aku tak mungkin memindahkan mataku ke tempat lain."

"Maksudku pandanganmu! Jangan menatap ke sini!"

"Lalu aku bicara denganmu harus dengan menatap langit-langit? Atau membiarkanmu bicara pada punggungku?"

Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak berkata kasar saat ini padanya. Kubungkam mulut sambil memberi Leo tatapan kesal dengan bibir mengerucut.

Leo mendesah sambil fokus menatap mataku kini. "Kau mau apa ke sini sebenarnya, Lizzy? Aku tak merasa perlu menjelaskan apa pun jika itu yang kau inginkan."

"Soal taruhan, itu bohong, bukan?" serbuku sambil menentang matanya.

Dia diam sejenak tanpa memutus kontak mata denganku. "Ya."

"I knew it! Lalu kenapa waktu itu kau ... kita ... argh! Apa artinya tindakanmu saat di akademi? Kenapa kau bersikap begitu pada Jason? Kenapa mengontrolku? Kau suka padaku? Kita sepupu! Kau kehilangan otakmu ya? Kau ...."

"Saying more, I'll kiss you again here."

Mulutku seketika mengatup rapat. Aku menatapnya kesal, tetapi berusaha mengendalikan diri. "Kau membuatku bingung, Leo. Apa maumu sebenarnya? Kau tidak bisa memperlakukan aku seenaknya.

"Bagaimana jika Paman Roberto atau Nenek tahu? Lalu bagaimana tanggapan teman-teman di akademi? Amanda bahkan terus menanyaiku ada apa antara kita. Soal ciuman itu juga sebaiknya ti-"

Leo tak mengingkari ancamannya. Ia mendorong aku hingga membentur dinding, lalu benar-benar melumat bibirku.

"Leo, kita tidak boleh ...." Napasku tersengal saat berhasil melepaskan tautan bibir kami.

Dia seakan tak mendengar. Ia malah menarik dan menahan belakang leherku, hingga aku tak bisa berkutik, lalu kembali melumat dan memperdalamnya. Lagi dan lagi.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro