Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 7

Aku asyik mendengarkan penjelasan Pak Miller sambil membuat sketsa pola. Kudengar Amanda menggeser kursinya. Tanpa menoleh, ekor mataku melirik seketika.

"Ada apa?" bisikku.

"Soal tadi. Kau yakin, tak ada yang terjadi antara kau dan Leo sebelumnya?" tanyanya tak kalah lirih.

Sepertinya harus diakui kalau Amanda memiliki insting yang bagus atau mungkin ia punya indra keenam. Aku berdeham. "Kenapa memangnya?"

"Entah kenapa, firasatku mengatakan, Leo tidak sedang menganggapmu sebagai sepupu tadi. Lebih tepatnya, dia memperlakukanmu seperti kau itu miliknya, pacarnya."

Jantungku serasa mau berhenti saat mendengar itu. Apa begitu terlihat sekali? Dasar Leo bodoh.

"Aku tak tahu, Amanda. Kami sepupu. Itu jelas. Soal anggapan Leo terhadapku, itu masalahnya, bukan masalahku."

"Kau yakin? Masalahnya, dia bahkan sudah mengintimidasi Jason. Kau akan dalam masalah nanti jika itu terjadi lagi."

"Lalu aku harus bagaimana? Haruskah aku melarang Jason mendekatiku? Atau lebih baik jika aku pindah lagi saja?"

"Yang benar saja. Kau pikir semudah itu pindah-pindah sekolah?"

"Lalu aku harus apa?"

"Kau harus punya pacar. Kau dan Leo jelas tidak mungkin. Jika kau bisa bersama Jason, itu akan memberimu keamanan. Leo tak mungkin mengganggumu lagi bila kau dan Jason resmi jadian."

"Masalahnya, aku bahkan tak menyukai Jason sama sekali."

"Hah? Kau tak suka cowok setampan dia? Ya ampun, Lizzy. Dia Ketua Klub Renang, juga pemain basket yang cukup populer meski masih kalah tenar bila dibandingkan dengan Mike, tapi ... whatever. Siapa yang tak kenal Jason Taylor? Kau tahu, dia anak seorang artis senior, Lucy Taylor."

"Aku tak cukup kenal Jason meski tahu sedikit soal Lucy Taylor. Memangnya kenapa? Keluarga Carlton kurang kaya? Kami tinggal di Billionaire's Row, Pasific Heights, Amanda."

Mata Amanda hampir keluar. "Mana kutahu? Mike tak bilang! Aku hanya tahu ia tinggal di Pasific Heights. Tidak aneh sebenarnya, harga baju-baju di butik-butik Carlton sangat terkenal sulit dijangkau oleh orang biasa."

Dia diam sejenak. "Oh, Mike pernah memberiku kado, sebuah gaun, tapi ia bilang itu beli di mal. Apa mungkin itu dia ambil dari butik keluarganya? Ah, sudahlah akan kucek nanti. Kembali ke pokok pembahasan. Coba saja kau pikir. Apa kekurangan Jason?"

Aku berpikir sejenak. "Tak penting jika seseorang ada kekurangan atau memiliki lebih banyak kelebihan jika kita tak punya perasaan untuknya. Apa peduliku soal Jason?"

Amanda bengong sejenak. "Mmm, kau benar atau mungkin seleramu terhadap cowok memang kurang tinggi." Ia memperlihatkan giginya yang putih dan rapi saat melihatku mendelik. "Lalu bagaimana soal Leo? Aku mencemaskanmu, Lizzy."

"Tenanglah, tidak akan ada apa-apa antara kami. Kami hanya sepupu. Titik."

Aku lebih mencemaskan Keluarga Garcia saat ini daripada Leo. Keputusanku pindah ke kota ini ternyata mengundang banyak masalah. Kulanjutkan membuat sketsa pola sambil mendengarkan ocehan Pak Miller lagi.

"Eh."

Mataku memejam sambil menghentikan gerakan tangan. "Apalagi, Amanda Albright?"

Ia terkekeh lirih. "Besok akhir pekan, kau mau ikut denganku?"

"Ke mana?"

"Stow Lake. Danaunya indah. Kita bisa berpiknik saja atau naik perahu. Kau pasti belum ke sana."

"Memang belum. Aku belum jalan-jalan selama di sini, kecuali di sekitar Pasific Heights. Itu pun hanya untuk belanja baju dan keperluan lain bersama Mike sewaktu baru datang ke sini."

"So ...?"

"Baiklah."

"Bagus. Beri alamat rumah kalian ke nomorku. Aku akan menjemputmu."

"Tunggu, bagaimana jika tiga sepupuku itu juga ikut? Niel kecil kemungkinannya, tetapi Mike dan Leo?"

"Oh, aku tak keberatan jika Niel ikut, Leo pun masih tak masalah, tetapi untuk Mike, NO."

"Jadi, bagaimana?"

"Baiklah. Kita bertemu saja di The Crepe House jam sembilan, lalu sarapan dulu di sana. Mike pernah mengajakku ke tempat itu."

"Deal."

***

Suasana di mobil begitu hening saat arah perjalanan pulang. Niel seperti biasa kini di sebelahku. Mike duduk di depan bersama Leo yang menyetir. Belum ada yang membuka percakapan.

Aku berdeham. "Mmm, Mike. Kau kenal akrab dengan Felix dan Eric Garcia?"

Ekor mataku menangkap tatapan tajam Leo di kaca spion depan. Ia terlihat gusar.

"Oh, kenal, tetapi tidak akrab. Bisa dikatakan, kami tak berteman. Kenapa?"

"Oh. Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu saja. Jika memungkinkan, bisakah kalian menjaga jangan sampai mereka tahu soal hubungan kita sebagai sepupu?"

"Apa maksudmu? Kau malu atau takut jika kau dikenali mereka sebagai anggota keluarga Carlton?" tuding Mike.

"Mmm, lebih tepatnya, aku tak mau ada masalah hanya gara-gara aku sepupu kalian."

Leo menghentikan mobil secara mendadak. Terdengar teriakan dan klakson di belakang mereka.

"Kalau mau mati, mati sendiri saja. Jangan mengajakku," gerutu Niel sambil mengambil bukunya yang terlempar ke bawah jok.

"Damn, Leo. Kau kerasukan lagi? Kau kenapa sih? Sepertinya sensitif sekali hari ini?" cerocos Mike.

"Emosimu seperti cewek yang tengah menstruasi, bahkan lebih parah!" semburku sebal.

Leo mulai terlihat kekanak-kanakan. Itu menyebalkan. Punya hak apa dia untuk cemburu? Aku bahkan bukan pacarnya. Kami hanya sepupu. Meski aku mengakui ciumannya sebagai ciuman pertamaku, bukan berarti kami berpacaran, bukan?

Leo berbalik ke arahku. "Kau! Jika aku melihat kau menggoda cowok-cowok di akademi lagi, terutama Jason atau Felix atau Eric, awas saja!"

"Apa? Ingat kau siapa, Sepupu? Kau punya hak apa? Aku bukan milikmu dan bukan pacarmu!" semprotku berapi-api. Aku memasang senyum ejekan kemudian."Apa itu berarti aku bisa menggoda cowok-cowok di luar akademi?"

Leo meninju joknya. "Kau coba saja dan lihat apa yang bisa kulakukan!"

"Whoa whoa whoa. Katakan, ada apa dengan kalian berdua sebenarnya?" Mike memandangiku dan Leo bergantian penuh selidik. "Jangan bilang kalian ...."

"Tidak mungkin!" teriakku dan Leo bersamaan.

"Sudah kubilang. Cewek hanya menyusahkan dan pembuat masalah," sungut Niel.

"Diam kau!" teriakku dan Leo lagi, membuat Niel sontak mengerutkan kening sebelum memilih melengos.

Aku dan Leo saling pandang beberapa saat sebelum sama-sama mengakhiri kontak mata itu dengan dramatis. Kulipat kedua tangan di depan dada, menatap ke arah luar jendela.

Suara teriakan dan klakson dari para pengemudi di belakang terdengar lagi. Leo pun segera menjalankan mobil kembali.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro