CHAPTER 6
"Lizzy, lekas turun atau kami akan berangkat tanpamu!"
Aku menyambar tas setelah memastikan penampilan. Gaun putih biru gelap sepangkal paha lengan panjang, dengan bagian terbuka pada bahu, dipadu dengan bot hitam sebatas lutut. Rambut cokelat terang ikal diikat model ekor kuda, sengaja kubuat terkesan asal-asalan. Tujuan utama berfokus pada memperlihatkan leherku yang jenjang. Ada beberapa helai yang lebih pendek dibiarkan menjuntai bebas di bagian depan pada dua sisi.
Lipstik warna bibir berpadu pas dengan bedak tipis. Parfum aroma bunga dan buah yang wanginya lembut dan segar membuat siapa pun pasti betah berdekatan. Aku mengangguk di depan cermin.
Leo akan kubuat menyesal sudah mempermainkanku semalam. Tanganku mengepal. Gara-gara dia, aku tak bisa tidur nyenyak semalam.
"Ya, aku segera turun!"
"Lizzy, kau belum sarapan!" teriak Nenek saat melihat aku bergegas menuruni tangga. "Bawa ini!" Ia menyodorkan sebuah kotak bekal yang segera kuterima sekaligus mengecupnya di kedua pipi. "Kenapa kau bisa bangun kesiangan?"
"Aku hanya terlalu sibuk menggambar semalam, Nek. Aku berangkat!"
"Hati-hati! Semoga harimu menyenangkan!"
Aku hampir melesat menuju luar. Mike terlihat mondar-mandir di depan mobil sambil terus berteriak sementara Leo menekan klakson.
"Lizzy!"
"Iya! Aku sudah di sini!"
Aku tak memedulikan tatapan menyorot seketika dari mereka bertiga. Tanpa kata, kubuka pintu kabin, duduk di belakang Niel. Tak lama Mike pun bergegas masuk, mendudukkan diri di sebelahku.
"Wow, Sepupu, kau berdandan untuk siapa? Cantik sekali. Wah, wangimu juga enak," celetuk Mike. "Kau naksir seseorang di kelas, ya?"
"Jika iya, kenapa? Ada masalah? Kialian hanya sepupu, tak berhak melarangku pacaran, bukan?"
Aku melirik ke kaca spion depan, menangkap basah Leo dan Niel yang tengah memandangiku di sana. Mereka kompak mengalihkan tatapan saat ketahuan.
Kucoba menahan senyum kemenangan. Rasakan itu.
"Jadi, benar? Siapa? Katakan. Mungkin aku kenal ... arrgh! Damn, Leo!" Mike hampir terjerembap ke bawah bangku mobil saat Leo tancap gas tanpa aba-aba.
Namun, Leo hanya diam, mencengkeram erat kemudi, tak memberi respons pada celotehan protes Mike sama sekali. Ia terlihat jelas menyetir dalam keadaan kalut dan menahan emosi. Niel di sisi lain bersikap seolah tak peduli. Dia memilih membaca buku di tangannya lagi.
***
"Leo, kau kenapa? Sejak tadi menyetir seperti orang kesetanan. Jika kau merasa lelah, kau bisa memintaku menggantikanmu menyetir!" tegur Mike usai Leo memarkir mobil.
Leo mematikan mesin, lalu turun dari mobil. Ia membanting pintu, bersamaan denganku yang juga baru keluar, diikuti Mike. Tanpa kata, dia berlalu, mengabaikan dan melewati kami begitu saja.
Mike mengerutkan kening memandangi punggungnya yang menjauh. "Kenapa dia? Kerasukan setan taman semalam?"
"Semalam kau bertemu dia?" selidikku.
"Tidak. Dia hanya mengirim pesan mengajakku merokok di taman belakang. Aku bilang sudah mengantuk. Aku tidur. Lagi pula aku tak mau tertangkap basah oleh Nenek."
Aku menyipitkan mata. "Dia tak memberitahumu apa pun?"
"Soal apa?" Mike balas menatapku heran.
Apa Mike belum mendengar rekaman itu? Bisa jadi ada dua kemungkinan. Leo belum memberikan hasil rekamannya, atau dia berbohong soal taruhan.
"Tidak ada. Aku hanya asal bertanya."
Kami pun berjalan menuju arah kelas masing-masing. Benakku sibuk berkecamuk.
Jika dugaan kedua benar, itu berarti Leo tak sedang bercanda semalam. Astaga, apa mungkin dia diam-diam menyukaiku?
***
Kelas Sejarah Seni baru saja usai. Kantin segera saja diserbu oleh para pelajar yang kelaparan. Amanda setengah menyeretku ke salah satu meja di bagian pojok usai mengambil makan siangnya.
Amanda mengamatiku yang tengah menikmati isi kotak bekal dari Nenek tadi pagi. "Itu untuk sarapan atau makan siang?"
"Keduanya," sahutku tak jelas karena isi mulut yang penuh. "Aku kesiangan, tak sempat sarapan. Untunglah aku masih sempat berdandan."
Cewek itu tertawa sambil menggigit roti lapisnya. "Ya, itu yang dari tadi ingin kutanyakan. Kau terlihat sangat menawan hari ini. Sebelumnya kau hanya memakai kaos, jaket, celana jin, dan sepatu kets. Jadi, ada apa hari ini? Katakan, kau sedang ingin dilihat oleh siapa?"
"Kau sama dengan Mike. Kalian sehati ya?"
Amanda melotot. "Itu menggelikan." Ia melengos sambil terus menggigit dan mengunyah rotinya. "Oh, bagaimana dengan tugasmu?"
"Yang mana?" Aku menyuap nugget ayam kembali beserta salad sayur dan buah. "Sketsa atau soal ...."
"Niel. Kau sudah dapat bukti atau informasi? Apa pun?" Amanda mendekat, menatap serius. "Please, don't tell me that he's really a gay."
Aku berusaha mengingat caranya menatapku tadi di mobil. "Sepertinya aku yakin, dia normal. Hanya aneh, tetapi ia pasti bukan gay."
"Bagaimana kau bisa seyakin itu?" Mata abu-abu Amanda menyipit.
"Karena, aku tahu dari tatapannya saat memandangiku tadi pagi sewaktu di mobil."
Amanda melebarkan mata. "Oh, Sh**. Dia menyukaimu? Kalian sepupu!"
"Aku tak bisa menjawab itu. Yang jelas, aku yakin dia masih tertarik dengan cewek." Aku menghabiskan isi kotak bekal hingga tandas. Kuteguk minuman yang dibelikan oleh Amanda.
"Jadi, kau berdandan hari ini ... untuk Niel?" tanya Amanda curiga.
Kugelengkan kepala. "Untuk siapa saja yang mungkin ingin mendekatiku. Aku akan memberi kesempatan." Senyumku mengembang.
Mulut Amanda menganga. "Astaga!" Ia tertawa. "Aku malah curiga kau sedang berniat membalas dendam pada seseorang."
Senyumku lenyap. Amanda pun sontak menghentikan tawa.
Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan sambil melebarkan mata. "Oh, Tuhan. Tebakanku benar? Lizzy, kau sedang marah pada siapa?"
Rasanya Amanda belum perlu tahu soal masalahku dan Leo. Aku berdeham.
"Aku hanya ingin tahu, jika berdandan, aku akan menarik atau tidak."
"Kau menawan, Lizzy. Astaga, kau tak tahu, tadi semua mata cowok di kelas hampir melompat keluar karena memandangimu. Lalu, saat kita di antrian, sejumlah cowok tertangkap basah olehku tengah curi-curi pandang ke arahmu."
"Benarkah?" Aku tersenyum diam-diam sambil meneguk minuman.
"Oh, tenangkan dirimu. Saat ini, si Ketua Klub Renang, Jason, sedang mendekati kita," ucap Amanda dalam nada berbisik.
"Hai."
Aki hampir tersedak saat melihat cowok yang dipanggil Jason oleh Amanda muncul tiba-tiba di sampingku. "Oh, hai." Suaraku terdengar gugup.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya sopan.
"Tentu!" sahut Amanda lebih cepat dariku.
Jason duduk di sebelahku. Ia mengulurkan tangan. "Aku, Jason, Ketua Klub Renang. Kau sudah memilih klub?"
"Aku Lizzy, murid pindahan, baru mulai masuk semester ini. Klub?" Aku menggeleng. "Belum."
"Oh, mau bergabung dengan klubku?"
"Mmm, Mike dan Leo ada di sana, bukan?" sela Amanda.
"Iya. Kenapa?" Jason menatapnya heran.
"Lizzy sepupu mereka."
Jason terlihat kaget. "Oh, benarkah?" Ia beralih menoleh ke arahku.
"Ya," jawabku singkat seolah tanpa minat.
"Mmm, bagaimana dengan klub basket? Ada grup pemandu sorak. Kau mau mencoba bergabung? Aku bisa membantumu mendaftar ke sana."
"Leo dan Mike juga ada di klub basket," celetuk Amanda. "Kau lupa, Mike ketuanya."
Jason menyipit. "Mereka hanya sepupu, bukan?"
"Ya, kami hanya sepupu," sahutku mendahului Amanda kali ini.
"Berarti tak ada masalah, bukan?"
Aku mendesah. "Masalahnya aku tidak pandai bermain basket dan tak berbakat jadi pemandu sorak. Aku juga tak bisa berenang."
"Akan kuajari."
"Tidak perlu!"
Aku menoleh cepat dengan jantung berdentum. Leo. Ia berjalan cepat dari arah belakangku.
"Hai, Leo!" Jason segera berdiri menyambutnya. "Kau tak bilang punya sepupu yang baru pindah ke sini. Aku ingin mengajaknya ..."
"Aku bilang, tidak perlu." Leo mendekat, berdiri mengintimidasi Jason yang malang. "Aku yang akan mengajarinya. Ada kolam renang di rumah kami."
Aku belum pernah melihat tiga sepupuku berenang di kolam renang di rumah. Leo juga tak terlihat cukup sabar untuk mengajari siapa pun.
Jason mengangkat kedua tangannya ke atas. "Dude, aku datang dengan damai, hanya ingin mengenal sepupumu."
"Menjauhlah darinya." Nada suaranya terdengar ketus.
"Fine." Jason terlihat berusaha mengalah. Ia menoleh ke arahku, memberiku senyuman tipis. "Senang mengenalmu, Lizzy. Sampai nanti." Dia pun pergi.
Aku bangkit, memelototi Leo. "Apa maksud tindakanmu? Kau punya hak apa ikut campur urusanku?"
"Mmm, Lizzy ...." Suara Amanda terdengar cemas.
Leo menarik lenganku, setengah menyeret ke satu arah. Ia mengabaikan tatapan setiap orang di kantin, panggilan Amanda, juga suara protesku. Mike terlihat lari tergopoh-gopoh ke arah kami.
"Hei, hei, Leo. Ada apa ini? Kau menyakiti sepupu kita," ujarnya berusaha menengahi.
Amanda ternyata juga turut menyusul. "Ada apa dengan Leo? Kenapa dia sekasar itu dengan Lizzy?"
Mike menggeleng tanpa mengalihkan tatapan dari Leo. "Sejak tadi pagi kau sudah terlihat aneh, Leo. Kau ada masalah apa?"
"Dia bahkan tadi bersitegang dengan Jason. Kau tahu, Jason dekat dengan gengnya Felix dan Eric Garcia!"
Aku spontan melebarkan mata. "Apa? Garcia? Keluarga Garcia, yang punya usaha toko jam dan perhiasan?"
Amanda mengangguk. " Iya. Mereka dikenal juga punya hubungan dengan gangster. Kau baru tahu? Mereka ada di sekolah ini meski jarang masuk."
Mataku makin membelalak. "Mereka sekolah di sini?!"
"Apa urusannya denganmu? Kau juga mau mendekati mereka seperti kau memancing Jason?!" sergah Leo gusar. "Coba saja jika berani!"
"Lepaskan! Kau gila ya?!" teriakku. Namun, cengkeraman Leo justru semakin kuat.
"Hei, hei, Leo. Kita tak ingin kau terlibat masalah, oke? Lepaskan Lizzy. Ayolah, ikut aku. Lepaskan Lizzy. Sepupu kita ketakutan. Lihatlah." Mike mencoba membujuk Leo agar mau melepaskanku.
Leo menatapku yang memang mulai panik. Bukan hanya karena dia, tetapi soal keluarga Garcia yang ada di akademi. Ini gawat. Bagaimana jika mereka tahu soal aku?
Apa Roberto tak tahu mengenai keberadaan keponakan mamaku yang bersekolah di sini? Atau mungkin ia menganggap hal itu bukan suatu masalah?
Leo melepaskanku. Mike pun membawanya pergi dengan terburu-buru. Amanda merangkul sambil mengelus-elus aku di bahu.
"Kau tidak apa-apa?"
Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja."
Setidaknya begitu, selama keluarga Garcia tak tahu soal diriku ada di sini. Aku akan baik-baik saja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro