Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 5

Aku perlahan menuruni tangga, lalu melangkahkan kaki penuh hati-hati di sepanjang lorong. Kuingat ada beberapa pintu yang terlewati saat menuju ruang makan.

Kuhitung satu demi satu pintu yang terlihat. Sebelah kanan, ruangan Roberto tepat bersebelahan dengan tempat kerjanya, lalu kamar Nenek, ruang penyimpanan, dan dapur.

Di sebelah kiri, ada ruangan santai untuk kumpul keluarga lengkap dengan TV super besar dan alat-alat hiburan lain seperti mesin karaoke dan bermacam perlengkapan untuk main game. Di sebelahnya, ruang makan, serta dua kamar khusus tamu.

Terakhir, paling ujung adalah ruangan yang belum kutahu. Mike memintaku untuk tidak mencoba membuka, atau masuk ke situ. Di depan pintunya bahkan terlihat jelas tergantung papan kecil bertulis peringatan Private Room. Kamar ketiga sepupu ada di lantai atas, sama denganku, beserta satu ruang perpustakaan. Jadi, tak mungkin itu kamar salah satu dari mereka.

Lalu, sebenarnya ini ruangan apa? Ruang pelayan? Maya tak pernah menginap. Ia hanya datang pagi pukul enam untuk memasak, mencuci, dan bersih-bersih, lalu pulang di jam sama pada waktu sore, setiap hari, kecuali akhir pekan. Jika ada tamu atau acara, biasanya Nenek yang turun tangan atau Maya akan diminta membantu.

Jadi, sekali lagi, ruang apa? Sudah hampir seminggu aku tinggal di kediaman Keluarga Carlton. Namun, belum sekali pun kulihat apa yang ada di balik pintu ruangan misterius itu.

Kulihat dulu kanan dan kiri. Tidak ada siapa pun. Jam di tangan kiriku menunjukkan pukul sebelas tiga puluh menit malam. Semua pasti berada di kamar atau sudah tertidur.

Di kediaman ini ada peraturan untuk tidak berkeliaran di luar kamar setelah jam sebelas malam, kecuali benar-benar darurat. Nenek pun melarang kami makan apa pun lagi setelah jam itu.

Semua kamar memiliki toilet masing-masing. Jadi, biasanya aku yang suka makan camilan saat belajar di malam hari, akan menyimpan beberapa snack di kamar. Kukira yang lain juga mungkin begitu.

Jangan-jangan Roberto jarang pulang karena alasan itu. Dia pasti sering sibuk, bahkan bisa sampai larut malam. Jadi, akan merepotkan jika tak bebas keluar masuk kamar. Namun, entah kenapa aku menduga ia mungkin saja memang membuat trik untuk menjalani hidup bebas di luar sana tanpa pengawasan nenek.

Apa mungkin ini ruang pribadi milik Roberto? Jika benar, kenapa begitu rahasia? Dia menyembunyikan sesuatu di sana?

Kucoba membukanya, tetapi terkunci. Tentu saja dikunci, makanya tidak ada yang bisa masuk. Aku mencibir pada diri sendiri.

"Kau sedang apa di sini?"

Aku terlonjak. Jantungku berdentum, terasa mau copot. Kupalingkan wajah ke arah suara. Rambut gelap acak-acakan dengan bagian depan panjang, menutupi dahi dan mata kanan. Matanya yang hitam menatap muram. Leo.

"Kau juga sedang apa berkeliaran di luar kamar?" balasku panik dengan suara berbisik.

Kedua alis tebal Leo bertaut. Ia merogoh saku, mengeluarkan sesuatu, menunjukkannya padaku.

Aku tercengang. "Ro ...." Mulutku terbungkam dengan cepat. "Mmm ...."

"Pelankan suaramu, Sepupu."

Kuanggukkan kepala, menunggu sampai ia perlahan melepaskan tangannya dari mulutku. "Kau merokok di mana?" Kali ini bernada bisikan.

Aku baru menyadari, jarak kami begitu dekat, hingga embusan napasnya terasa di pipi. Wajahku memanas seketika.

"Di taman belakang. Aku tak bisa tidur."

"Kau ada masalah?"

Leo menyeringai, menatap intens. "Kenapa? Kau mau membantuku menanganinya?"

Mataku mengerjap-ngerjap. "Menangani apa? Siapa?"

Dia mengarahkan matanya ke bawah. Tanpa sadar aku mengikuti pandangannya.

Namun, aku justru semakin tak mengerti. "Kau ada masalah apa dengan lantai?"

Leo tertawa kecil. "Bukan lantai, Sepupu Bodoh. Lebih atas."

Kukerutkan kening. "Hah? Sepatumu? Kakimu?"

Dia mengacungkan telunjuk ke hadapanku, perlahan menurunkannya mengarah ke bagian di antara paha. Saat kulihat itu menunjuk ke sesuatu yang terlihat besar menonjol, aku segera tersadar.

Wajahku memanas seketika. "I-itu memangnya kenapa?"

Dia menatapku seakan ada dua kepala di diriku. "Kau benar-benar polos atau bodoh? Ini gara-gara temanku mengirimkan link video ... ya kau tahu itu tentang apa. Aku kesulitan menidurkannya. Kau bisa membantu menangani itu?"

Otakku segera bekerja. Kurasakan hawa panas seakan menjalar di pipi. "Kau gila ya? Urus saja sendiri!" Aku segera buru-buru beranjak dan melangkah cepat meninggalkannya.

"Hei, antara sepupu tak perlu malu-malu. Kita seharusnya saling membantu!" Dia berteriak dalam nada berbisik. "Aku tidak melaporkanmu, kau seharusnya balas budi."

Aku mengacungkan jari tengah ke arah belakang tanpa menoleh. Tak kudengar apa pun lagi..

Langkahku bergerak cepat menaiki tangga. Aku menoleh saat menyadari ada langkah lain mengikuti dan melihat Leo ternyata menyusul.

Melihat tatapannya yang mencurigakan, aku pun setengah berlari berusaha mencapai kamar secepatnya. Begitu berhasil masuk, kubalikkan badan hendak menutup dan mengunci pintu. Namun, Leo bergerak lebih cepat, menghadang pintu dengan ujung sepatunya, lalu dengan leluasa memasuki kamarku.

Aku pun melangkah mundur saat ia bergerak maju laksana predator. "Mau apa kau? Keluar!"

"Entah kenapa aku tak yakin ada hubungan darah antara mendiang papamu dengan papaku. Mereka terlalu berbeda." Ia dengan cepat merenggut dan menarik pinggangku, hingga tubuh kami saling membentur. "Kau yakin, kita benar-benar sepupu?"

Napasnya terasa hangat menerpa wajah saat kami berhadapan. Wangi parfum maskulin menyerbu indera penciuman.

Aku berusaha menahan dadanya dengan kedua tangan. "Leo, sadarlah. Jangan begini."

"Memohonlah."

"Please. Kau menakutiku, Leo!" Tubuhku mulai gemetar. Belum pernah kualami hal seperti ini. Aku hanya bisa memberinya tatapan memohon.

Leo memandangi intens. "Kau belum pernah pacaran?"

Kepalaku menggeleng cepat. Aku mulai tersengal seiring detak jantung yang semakin laju dalam detak.

"Mau kuajari?"

"Tidak, terima kasih."

"Kau tahu," bibir Leo kini hanya sekitar seinci dari bibirku, "aku suka cewek feisty, tapi benci cewek yang sok berlagak menantang seperti tadi."

Aku hanya mengaduh lirih saat dia kemudian menarik rambutku ke belakang, hingga terdongak. Kucoba memegangi tangannya untuk membebaskan cekalan.

Leo memajukan wajah lagi, mendominasi. Embusan hangat dari bibirnya mulai merayapi leher, sampai ke sudut bibirku sebelum beralih ke daun telinga. "Jangan. Pernah. Mengacungkan. Jari. Tengah. Padaku. Lagi. Mengerti?"

Kupejamkan mata yang mulai terisi cairan bening hangat sambil mengangguk cepat. "Maaf."

"Kau bilang apa?"

"Maaf." Suaraku terdengar bergetar nyaris tak terdengar. "Tapi aku tetap menolak membantumu menangani itu jika itu yang kau mau."

"Kenapa? Hanya saling membantu tak ada perasaan. Aku pun akan membantumu. Kau pasti belum pernah, bukan?"

"Ti-tidak. Aku tak perlu."

"Oh, kau biasa mengatasinya sendiri?"

"Aku bukan cewek seperti itu!" Tangisku hampir pecah.

Mendadak cekalan terlepas. Mataku menatap samar dan bingung saat melihat Leo terbungkuk, seakan tengah tertawa tanpa suara.

"Wow, Sepupu. Kau benar-benar sesuai dugaanku. Aku senang. Kau membuatku menang taruhan." Ia menunjukkan ponsel di tangan yang diambil dari saku jaket, lalu menekan sesuatu.

Dia mendekatkannya ke arahku. Terdengar suara percakapan kami mulai dari dia masuk ke kamar. Aku terperangah.

"A-apa itu? Apa maksudmu? Kau merekamku?"

"Tenang, Sepupu. Hanya untuk kuperdengarkan pada Mike, biar dia percaya, aku tak berbohong." Leo tersenyum puas. "Terima kasih. Aku menang." Ia mengedipkan mata sebelum berbalik melangkah menuju pintu.

Aku yang merasa dipermainkan, menerjangnya dengan kalap. Mengayunkan tinju serta pukulan bertubi-tubi ke punggungnya.

"Kau jahat! Jahat! Kalian semua jahat! Apa salahku pada kalian?!"

"Sshhh, Sepupu. Kau akan membangunkan seisi rumah!" bisik Leo keras sambil berbalik dan berupaya memegangi lenganku.

Aku terus berontak. Ia menarik sambil membekap, melemparkanku ke ranjang, lalu menindih tanpa melepaskan tangannya dari mulut.

"Kau bisa tenang sekarang? Itu hanya candaan. Kau tidak bisa bercanda ya?"

Aku terus berusaha memukuli Leo dengan satu tangan yang terbebas. Mulutku sibuk memaki meski tenggelam dalam cekalan tangannya.

"Lizzy! Sshhh!"

Teriakanku masih tenggelam dalam telapak tangannya. Ia terlihat panik dan putus asa.

Detik kemudian, yang kutahu adalah Leo melepaskan tangan, tetapi ganti membungkamku dengan bibirnya. Aku membelalakkan mata seketika, meronta semakin kuat.

Leo malah mencekal kedua pergelangan tanganku di atas kepala. Bibirnya kemudian mengunci, menenggelamkan makian yang kulontarkan.

Lelah, marah, kuhentikan gerakan meronta dam tak lagi berteriak. Entah kenapa, melihat ia mengunci bibirku sembari memejamkan mata, spontan aku sengaja membalas lumatannya sebisa mungkin.

Leo tersentak, membuka mata seketika, dan buru-buru melepaskan tautan bibir kami. Ia menatapku dengan napas memburu.

"F**k!" Wajahnya terlihat kacau antara menyesal, tetapi juga berhasrat. Ia tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Lizzy ... itu ... Maaf." Usai berkata itu dia pun berbalik dan buru-buru meninggalkan kamar.

Saat pintu tertutup, aku pun menghempaskan tubuh yang terasa lemas ke ranjang. Kuembuskan napas perlahan seiring jantung berdetak sangat kencang..

Kuraba bibir yang terasa tebal akibat lumatan Leon. Ini terasa salah, tetapi aku juga merasakan sesuatu yang aneh sepertinya tengah terjadi.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro