CHAPTER 3
"Lizzy sangat lucu! Dia menolak pakaian dalam seksi yang kupilihkan, malah memilih model yang bergambar kartun!"
Wajahku memanas. Mike benar-benar mengesalkan ternyata. Begitu sampai di rumah, ia terus saja mencerocos, melaporkan semua tentang kejadian saat belanja tadi.
"Kupilihkan sepatu yang mahal, dia malah memilih merek pasaran. Nama-nama alat make up saja dia tidak tahu. Ia hanya menyebut lipstik dan bedak saja." Ia tertawa lagi.
"Tidak ada yang bertanya, Mikey!" sergahku gusar.
Leo yang duduk di sofa ruang keluarga kulihat kini malah mulai ikut tertawa. "Dia memanggilmu Mikey!" Ia tergelak sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia sepertinya menyukai kartun, animasi, atau film kekanak-kanakan semacam itu. Ia bahkan memakai pakaian dalam bergambar pikachu!"
"Pika! Pika! Pikachu!" sambar Leo, mencoba meniru suara pikachu.
Mereka kembali terbahak-bahak. Sungguh sangat kompak. Sama-sama menyebalkan!
"Diam kalian berdua, Kura-kura Ninja!"
Mike lagi-lagi menyemburkan tawa. Leonardo seperti tak mengerti ucapanku, tetapi malah lanjut kembali ikut tergelak bersamanya.
Aku merengut sambil berusaha meraih semua tas karton ketika Nathaniel berjalan masuk sambil menenteng buku cukup tebal. Kucoba menyembunyikan wajah, tak mau melihatnya.
Namun, tak urung mataku diam-diam melirik saat Niel melewati, lalu berhenti. Ia terlihat mengerutkan kening dengan wajah yang sangat serius, menatap tas-tas di tanganku. Aku melihat sekilas kalung dengan bandul berbentuk seekor burung hantu kini terlihat jelas menjuntai hingga dada, pada kaos putih lengan panjang berlapis kemeja sewarna yang dia pakai tanpa dikancing.
"Berisik sekali. Bawa ke atas tas-tas belanjamu!" perintahnya tanpa menyebut namaku. "Jangan suka memamerkan pakaian dalam di depan cowok." Suaranya pelan, tetapi terdengar ketus.
Aku menatapnya marah. "Sebelum kau datang, aku memang akan membawanya ke kamarku dan aku bukan cewek yang suka memamerkan pakaian dalam pada cowok, Owl Winnie of the Pooh!"
Nathaniel menoleh sambil mengernyit. "Kau bilang apa?"
"Owl! Lizzy memanggilmu Owl Winnie of The Pooh!" Mike kini histeris dalam tawanya kini sambil melemparkan diri ke sofa, memegangi perut. Leo ikut-ikutan tertawa lagi seraya mengusap air mata.
"Aku tidak gendut dan tak punya gangguan mental. Apa kesamaan kami? Atas dasar apa kau menjulukiku dengan nama itu?" Mata Niel meyipit ke arahku.
"Jika Owl Winnie of the Pooh terobsesi dengan madu, kau terobsesi dengan buku. Sama-sama terobsesi pada sesuatu." Aku menunjuk ke arah kalungnya. "Alasan lain, kau suka burung hantu." Ucapanku disambut dengan tepuk tangan oleh Mike dan Leo yang menatap takjub.
Aku mendengkus. Kakiku mengentak sambil memelototi mereka berdua, lalu ke Niel. Ia justru malah tengah memandangi tanpa kedip dengan rahang yang bergerak-gerak. Kuputuskan melengos sebelum segera melangkah pergi.
"Pika! Pika! Pikachu!"
Suara tawa Mike dan Leo masih terdengar lagi saat aku bergegas menaiki tangga menuju kamar Begitu masuk ke ruangan, kuhempaskan semua tas belanja ke lantai. Tubuhku segera rebah ke pembaringan.
Baru hari pertama. Ini mulai makin menyebalkan!
***
"Jadi, aku akan satu sekolah dengan Mike dan Leo?"
"Ya, karena kau bilang suka menggambar dan kau ingin jadi seorang desainer. Di sekolahmu sebelumnya juga jurusan fashion, bukan? Jadi, aku rasa, pas sekali, kau akan cocok di Akademi Seni. Di kampus Niel tidak ada jurusan itu.
"Tenang saja. Semua sudah beres. Perlengkapan akademi, registrasi, dan urusan administrasi. Kau bisa mulai masuk nanti bersama mereka saat kelas musim semi dimulai."
Itu percakapan kami beberapa waktu yang lalu. Memang tidak salah. Masalahnya, aku tak bisa memilih mana yang lebih menyenangkan, satu sekolah bersama Mike dan Leo, atau dengan Niel. Ketiganya sama-sama menyebalkan!
Buktinya saat ini bukannya lekas berangkat, Leo dan Mike justru sibuk berebut kunci, sama-sama ingin menyetir. Niel malah masuk lebih dulu, tanpa peduli, duduk di depan di kursi penumpang.
"Aku sudah dewasa! Aku saja yang menyetir!"
"Aku paling tua!"
"Kau cuma setahun lebih tua dariku, Leo!" tukas Niel. "Dan kau hanya sebulan lebih tua dariku, Mike! Kita semua masih sekolah, belum bekerja. Sembilan belas tahun masih belum cukup untuk dibilang tua! Usia delapan belas tahun pun belum menjamin seseorang sudah bisa berpikir dewasa!"
"Lantas siapa yang akan menyetir hari ini? Aku yang berumur tujuh belas tahun?" Aku menyela tak sabar.
Ketiganya kompak memandangiku. "Tidak mungkin!"
"Baiklah, kau saja, Leo! Seperti biasa!"
Mike kemudian buru-buru masuk ke kabin belakang usai berkata itu sambil menyerahkan kunci. Leo bersiul seraya memainkan benda itu di tangan, lalu melangkah menuju pintu mobil bagian pengemudi.
Aku memutar bola mata, menghela napas sambil menaikkan tali ransel yang melorot. Tanpa menunggu lagi, segera kulangkahkan kaki menuju pintu kabin di bagian kanan. Aku duduk tepat di belakang Niel.
"Aku tak mengerti, kenapa kita harus berangkat bersama?"
Mike menoleh, memberiku wajah masam. "Peraturan Nenek.
Alisku naik sebelah. "Lalu ini mobil siapa?"
Pandangan Mike kini tertuju pada Leo. Dia menunjuk ke arah cowok itu dengan dagu tanpa kata.
Leo mendengkus. Mesin dihidupkan. Pintu gerbang membuka. Mobil pun melaju.
***
Niel sudah terlebih dulu diantarkan ke kampusnya sebab berjarak lebih dekat sebelum kami lanjut ke Akademi Seni. Begitu tiba, Leo memarkirkan mobil di tempat parkir.
Aku baru saja melangkah keluar dari mobil ketika seorang cewek berambut ikal kemerahan datang dan seketika menampar Mike yang lebih dulu turun. Mulutku spontan melongo saat menutup pintu.
Mike tercengang, tanpa peduli untuk sekedar mengusap pipi seakan tamparan itu tak berarti. "Kau kenapa lagi, Amanda?"
"Jangan pura-pura tak bersalah, Mike! Kau dan aku benar-benar selesai kali ini!"
"Serious? Kau ingat sudah memutuskanku berkali-kali? Kita selalu kembali. Kau tak bisa tanpaku. Aku pun tak bisa tanpamu. Ayolah, pacarmu ini populer. Kau seharusnya terbiasa. Memangnya ada gosip apa lagi kali ini?" Mike masih mencoba bersikap seakan benar-benar tak tahu apa-apa.
Leo menutup pintu mobil sambil memerhatikan sekilas ke arah Mike dan cewek itu. Ia mendengkus, memilih berlalu tanpa kata.
"Omong kosong! Kau yang selalu membohongiku! Berapa cewek yang kau pacari di kelasku, hah?!"
"Hanya kamu, Amanda Sayang. Ayolah, kita bicara baik-baik," bujuk Mike.
"Pembohong!" Amanda menoleh ke arahku kemudian, menatap curiga. "Ini siapa lagi?" Ia melotot kini ke arah Mike. "Kau berani bawa pacar baru dari luar ke sini?!"
"Wow. Tunggu dulu. Aku bukan pacarnya, terima kasih. Hai, kau Amanda?"
Dia menatapku bingung. "Ya?"
Aku mendekat sambil mengulurkan tangan ke arahnya. "Hai, aku baru pindah ke sini. Namaku Lizzy, sialnya bersepupu dengan Mike. Bisakah kau membantuku menemukan kelasku?"
"Oh, hai. Tentu." Ia antusias menyambut uluran tanganku. "Kau ambil jurusan apa? Sophomore, junior, atau senior?"
"Fashion. Aku junior. Ini kartuku," ujarku sambil mengeluarkan tanda pengenal pelajar yang tergantung di leher dari balik jaket.
"Aww, kita akan jadi teman sekelas! Ayo, kutunjukkan di mana bangkumu. Kebetulan, kukira pagi ini aku masih akan duduk sendirian." Amanda segera menggandengku, lalu mengajak melangkah bersama meninggalkan Mike begitu saja, tanpa menghiraukan rengekannya.
***
Sebangku dengan Amanda sangat menyenangkan. Dia cukup seru untuk diajak berdiskusi. Ia pun ceria. Kelas pagi berlangsung amat lancar dan tak terasa berakhir begitu cepat.
"Aku kira Mike akan sekelas dengan kita. Syukurlah, ternyata tidak," ujarku saat kami makan siang di kantin.
"Mike di kelas senior. Leo juga. Hanya saja, Mike jurusan fotografi, sedangkan Leo di ilustrasi."
"Oh, begitu rupanya."
"Omong-omong, kenapa kau hanya duduk sendirian? Kulihat meja-meja lain berisi tiga sampai lima orang."
"Itu gara-gara Mike! Tiga rekan semejaku sebelumnya pindah ke meja lain setelah tahu aku belum putus dari Mike."
"Hah? Kenapa begitu?"
"Mereka mungkin sedang mengejar Mike atau bisa jadi sedang didekati oleh Mike diam-diam di belakangku.Mereka mungkin juga mengira kami sudah putus. Entah. Itulah yang ingin kucari tahu tadi. Itu baru di kelas ini, belum lagi di kelas lain."
"Astaga. Aku tak tahu jika Mike ternyata sepopuler itu."
"Kalian benar-benar sepupu? Mike tidak pernah menceritakan tentangmu sebelumnya padaku."
Aku menggigit potongan pizza di tangan, mengunyah pelan, lalu menelannya. "Kami baru ketemu. Aku pun baru tahu kalau aku punya tiga sepupu cowok."
"Eh," wajah Amanda mendadak berubah serius, "ceritakan padaku soal adik Mike, Nathaniel. Aku pernah melihat fotonya saat Mike menunjukkan foto adiknya itu yang ia ambil diam-diam. Sangat tampan. Dia sudah punya pacar?"
Aku mengangkat bahu. "Setahuku, Mike bilang Niel anti cewek."
"Jadi, benar? Mike juga bilang begitu padaku. Hmm sayang sekali cowok setampan dia memilih jadi gay."
Aku tercengang. "Hah? Kata siapa dia gay?"
"Dia anti cewek. Apalagi kalau bukan gay?"
"Aku rasa tidak. Ia hanya tak mau direpotkan cewek. Maksudku, mungkin dia menganggap cewek itu merepotkan."
"Nah, berarti benar, bukan? Dia gay."
"Tapi aku tak yakin dia seperti itu." Aku membuka kaleng minuman soda, lalu meneguknya pelan.
"Berarti, Lizzy, itu tugasmu untuk membuktikannya."
***
Kelas terakhir hari ini telah berakhir. Otakku memutar kembali pembahasan Pak Anderson tentang Advanced Fashion Theory selama di mobil dalam perjalanan menjemput Niel. Saat kami tiba di gerbang kampus, dia terlihat tengah berusaha menghindari dua cewek yang setengah memaksa mendekatinya.
Niel buru-buru meninggalkan mereka, seakan takut tertular sesuatu, melangkah cepat menuju mobil. Ia batal membuka pintu depan saat melihat Mike sudah duduk di sana, menyeringai ke arahnya.
Dia ganti menatap enggan ke kabin belakang sebelum akhirnya membuka pintu, masuk, dan duduk di sebelahku. Cowok itu terlihat sekali begitu tegang dan kaku.
"Hei, kau baik-baik saja?" tanyaku heran.
"Just ... don't talk to me." Dia memejamkan mata, mengabaikanku kemudian.
Apa benar kata Amanda, jika Niel itu gay? Mungkin dia pernah patah hati sampai trauma dan memutuskan menolak cewek? Aku harus menyelidikinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro