Chapter 2
"Ini kamarmu. Kau suka?"
Aku mengedarkan tatapan ke seisi ruangan bernuansa pastel. Ranjang ukuran cukup besar berlapis seprai dan selimut tebal yang terlihat nyaman. Ada meja hias beserta kursi.
"Isinya memang belum banyak. Kau bisa membeli apa saja yang kau perlu nanti untuk mengisi kamar besok pagi. Sekalian kau pergi ke butik untuk memilih pakaian yang kau inginkan. Leo atau Mike bisa mengantarmu besok.
"Kelas mereka akan dimulai tiga hari lagi. Karena, selama penerimaan pelajar pindahan baru berlangsung, mereka diliburkan. Mungkin kau akan satu sekolah nanti dengan mereka. Leo dan Mike satu sekolah di Akademi Seni, tapi beda jurusan, sedangkan Nathaniel belajar di Universitas San Fransisco."
"Kenapa begitu?" tanyaku heran. "Maksudku, kenapa mereka tidak satu sekolah?"
"Jurusan yang diambil Nathaniel tidak ada di Akademi Seni. Anak itu hanya beda sebulan lebih muda dari Mike, tetapi paling serius belajar bila dibandingkan dengan kedua kakak tirinya. Ia lebih memilih belajar bisnis daripada seni."
Aku mengerutkan kening. "Jadi, mereka bukan saudara kandung?"
Pantas saja mereka terlihat sedikit berbeda. Aku bahkan bisa melihat ketiga sepupuku itu tidak saling akur. Hanya Leo dan Mike yang tampak lumayan akrab usai makan malam tadi. Nathaniel justru terlihat sekali seakan menjaga jarak dari kedua kakaknya itu.
"Pamanmu belum memberitahumu?" Nenek malah bertanya balik. Ia mendesah, memberi isyarat untuk duduk di tepi ranjang.
"Mereka dari tiga ibu yang berbeda. Leo adalah putra dari pamanmu bersama pacar pertamanya dulu. Tepat setelah menikahi Maria, Sonya yang menghilang berbulan-bulan tiba-tiba muncul mendatangi pamanmu dan menyerahkan Leo padanya. Tak lama terdengar kabar ia tengah sakit kanker dan meninggal tak lama kemudian.
"Untunglah menantuku, Maria, adalah wanita yang berhati mulia dan berjiwa besar. Ia bersedia mengurus dan merawat Leo seperti anaknya sendiri. Maria sendiri belum kunjung hamil saat itu.
"Pamanmu berulah lagi sekitar setahun kemudian. Ia menghamili wanita lain bernama Olivia setelah melakukan hubungan cinta satu malam di kamar sebuah klub malam. Tepat di saat hampir bersamaan, Maria pun berhasil hamil.
"Mike lahir sebulan lebih cepat sebelum Niel dilahirkan kemudian. Pamanmu mengambil alih Mike sebab Olivia berkata tak mau suami yang baru ia nikahi tahu bahwa ia sudah punya anak. Olivia kemudian pindah ikut suaminya ke Spanyol."
Aku tertegun mendapat informasi begitu banyak tentang pamanku. "Olivia tak pernah datang kemari menjenguk Mike?"
Nenek menggeleng. "Tidak. Karena, pamanmu sudah membuat perjanjian bahwa Olivia tak boleh melihat atau mengambil Mike kembali darinya."
"Lalu, bagaimana dengan Maria?"
Mata wanita itu kini mulai berkaca-kaca. "Ketika Niel dam Mike berumur sepuluh tahun, Maria meninggal karena sakit. Pamanmu sangat terpukul dan merasa bersalah. Ia berkeyakinan bahwa Maria sakit karena tekanan batin akibat ulahnya."
"Apakah Paman Roberto tak berniat menikah lagi?" tanyaku hati-hati.
"Ya, sejak itu, dia memutuskan hanya akan fokus kerja dan mengurus ketiga putranya. Aku membantunya. Kakekmu pun meninggal tak lama setelah Maria. Kakekmu sebenarnya memang sudah lama sakit-sakitan sejak papamu memutuskan pergi dan menetap di Magnolia Springs."
Ia mendesah, menoleh ke arahku. "Sudahlah, kenapa kita membahas cerita menyedihkan. Ayo, lihat kamar mandimu. Katakan padaku jika ada yang masih kurang atau kau catat saja biar besok sekalian kau belanja semua keperluanmu bersama Leo atau Mike.
"Oh ya, pamanmu tak pulang malam ini. Ia pasti tidur di kantor. Di sana ada kamar khusus yang disediakan khusus untuknya beristirahat. Jangan mencemaskannya. Kau tidurlah jika sudah mengantuk. Nenek juga akan pergi tidur. Selamat malam, Sweetheart."
"Selamat malam, Nek." Aku mengecup pipi keriputnya lembut. Meski ini pertama kali aku bertemu, ia tak lagi terasa asing bagiku. Hanya yang kusesali kenapa Papa dulu tak membawaku ke sini untuk bertemu keluarga Carlton.
Namun, kami sudah bertemu dan berkumpul sekarang. Kukira ini akan cukup menyenangkan.
Aku mulai melangkah mengecek ruang yang ada di kamar. Toiletnya cukup luas, bersih, dan rapi. Selain sabun dan sampo kesukaanku yang tak ada di sana, semua terlihat sudah lengkap, bahkan ada perlengkapan spa.
Kukeluarkan ponsel dari saku. Jariku mulai mengetik nama sabun dan sampo kesukaanku sambil mengecek lagi kebutuhan lain yang perlu ditambahkan di catatan. Merasa cukup, aku menaruhnya di atas nakas.
Mungkin besok saja membongkar isi tas, sekalian merapikannya nanti bersama baju-baju yang akan kuambil dari butik keluarga. Mulutku tak bisa berhenti menguap.
Aku mengambil pigura berisi fotoku bersama Mama dan Papa. Kuletakkan di atas nakas setelah mengecup lembut penuh haru.
"Mama, Papa, aku kini berada di sini, tinggal bersama keluarga Carlton. Jangan kuatir, aku pasti akan baik-baik saja."
***
Aku menggeliat sembari menguap. Mataku mulai membuka perlahan. Cahaya menyilaukan datang dari jendela. Siapa yang membuka tirainya?
"Pagi, Sepupu."
Aku sontak bangun, mendudukkan diri. Kepalaku mengarah cepat ke asal suara. Kulebarkan mata saat bertemu tatap dengan cowok berambut ikal cokelat terang memakai sweter abu-abu muda dilapisi jaket jin biru tua. Mike.
"Bagaimana bisa kau kemari? Apa kau tidak tahu, masuk ke kamar cewek tanpa izin itu tidak patut!"
Ia mengedipkan mata gelapnya padaku sambil memutar-mutar kunci di jemari. "Aku mengetuk pintu dan memanggil namamu beberapa kali, kau tak bangun-bangun. Aku mendapat kehormatan untuk mengantarmu belanja hari ini. Kita jalan sekarang?"
Aku berdeham sambil bergegas turun dari ranjang. "Hanya kita berdua saja? Tunggu, aku gosok gigi dulu." Tanpa menunggu jawabannya kulangkahkan kaki ke arah kamar mandi secepatnya.
"Ya, Sepupu. Hanya kita berdua saja. Leo sedang ingin fokus mengistirahatkan diri dengan menikmati ranjangnya lebih lama pagi ini."
Aku meletakkan kembali sikat gigi baru ke sebuah wadah setelah selesai menggosok gigiku. Usai mencuci wajah dan sebagainya, kulangkahkan lagi kaki keluar kamar mandi. "Maksudmu ... dia masih tidur? Lalu bagaimana dengan Nathaniel?"
Wajah ceria Mike sedikit berubah. "Oh, Niel selalu sibuk dengan buku hampir setiap saat setiap waktu. Lagi pula, dia paling anti direpotkan oleh urusan cewek."
Aku melongo sejenak, teringat tatapannya semalam padaku. "Dia normal, kan?"
Ganti Mike yang melongo sebelum tergelak kemudian. "Entah, yang jelas aku belum pernah melihatnya membawa pacar ke rumah."
"Serius?"
"Sepertinya kita akan cocok bergosip kelak." Mike tersenyum usil. "Hei, pakailah jaket. Kau punya?"
Aku mengerutkan kening. "Aku hanya punya satu yang kupakai kemarin. Aku tak mungkin memakainya lagi. Itu pasti bau dan sudah kotor. Memangnya kenapa? Aku akan memakai kaos lengan panjang."
"Kau tahu apa julukan Kota San Fransisco? Kota Kabut." Mike menyeringai. "Aku tak keberatan memberi kehangatan, jika saja ... kita bukan sepupu."
Hidungku berkerut. "Memangnya bisa sedingin apa saat berkabut? Lagi pula, ini bukan malam hari dan bukan musim dingin."
Mike mendengkus. "Jangan pernah meremehkan kabut di San Fransisko. Kau mungkin akan lebih butuh jaket atau baju tebal saat musim semi atau panas, tetapi tidak terlalu justru di musim gugur atau dingin di kawasan sini."
Aku membulatkan mulut. "Berarti jaket, mantel, atau sweter perlu ditambahkan ke catatan daftar belanjaku. Ayo, kita berangkat."
Berinteraksi dengan Mike ternyata cukup mudah. Mungkin dengan Leo juga mudah. Lain ceritanya jika menghadapi Nathaniel. Aku yakin, itu akan cukup sulit.
***
Kutarik kembali pernyataanku soal berinteraksi dengan Mike itu mudah. Tidak. Kenyataannya, ia membuatku berkali-kali kesal dan ingin berkata kasar padanya.
"Kau gila ya? Kenapa kau berpikir bisa memilihkan semua lingerie itu untukku?"
Tanganku sibuk mengembalikan pakaian-pakaian dalam itu kembali ke tempatnya. Namun, berkali-kali juga Mike mengambil kembali. "Mikey!"
"Hei! Tidak ada yang memanggilku dengan nama itu!" protesnya.
Aku memutar mata. "Jika kau terus mengganggu, maka aku akan memanggilmu begitu karena kau sangat mirip Mikey si Kura-kura Ninja!"
"Aku mengganggu? Aku justru membantu! Kau tahu, cewek-cewek biasanya akan berterima kasih jika aku membantu mereka."
"Whatever. Jauhkan tanganmu dari pakaian-pakaian dalam itu!"
Mike memutar bola mata. "Fine, Spitfire!"
Aku berhasil mengumpulkan cukup banyak kaos, blus, celana jin panjang, beberapa potong gaun pendek, baju tidur, lima jaket beserta mantel dan sweter, juga pakaian dalam pilihanku. "Aku sudah selesai."
Mike membuka tas-tas karton, lalu berhenti lama di tas yang berisi pakaian dalam. Ia menatap beberapa saat sebelum tersenyum geli kemudian. "Astaga, umurmu sudah berapa, Sepupu?" Ia menoleh ke arahku.
"Kau menolak mengambil apa pun di Butik Carlton dengan alasan baju-baju di sana terlalu mahal dan tak sesuai dengan seleramu, tapi kau malah memintaku membawamu belanja di toko biasa ini hanya agar bisa memilih bra serta celana bergambar kartun? Kaosmu bahkan bermotif serupa!" Dia tergelak tanpa henti.
Mike kembali terpingkal-pingkal saat meraih satu dari dalam tas kartun dengan telunjuk. "Apa ini? Pikachu?" Ia terus tertawa sampai berair mata. "Kau pasti belum pernah pacaran."
"Berisik! Ini buat kupakai, bukan untuk dilihat orang lain!"
Mike menggeleng-gelengkan kepala sambil memasukkan lagi celana dalam di ujung telunjuknya ke tas, lalu mengusap mata dengan punggung tangan. "Kasihan sekali nasib cowok yang akan jadi pacarmu kelak."
"Ayo lekas! Aku masih harus membeli sepatu, sampo, dan sabun!" teriakku sambil menahan malu saat melihat cowok dan cewek pegawai toko yang diam-diam menahan senyum.
Mike menyerahkan kartu yang ia ambil dari dompetnya kepada kasir. Aku segera mengambil dua tas karton.
"Kau bantu bawa sisanya ke mobil." Aku segera melangkah pergi tanpa basa-basi lagi.
"Tunggu!" teriak Mike.
Kulambatkan langkah. Tak lama kemudian kudengar suara derap sneakers miliknya, menyusul di belakang.
"Ayo, selanjutnya kita ke toko perlengkapan sehari-hari dan sekalian membeli alat-alat make up untuk cewek!" teriaknya.
"Aku tak butuh make up!" sahutku sewot.
"Semua cewek normal butuh make up. Titik."
***
Hai, hai, jumpa lagi di karya terbaru saya. Kali ini sama dengan cerita baru saya yang berjudul Wild & Crazy, sama-sama tidak berbumbu fantasi. Hanya saja, di The Big Love ini saya tulis sedikit gaje karena stres setelah proses pemulihan abis perang melawan asam lambung. Btw, ini saya tulis hanya dalam waktu tiga hari lho. Jadi, kebayang dong gimana kira-kira hasilnya. Muahahaha. (Ditimpuk sendal rame-rame)
Tinggalkan jejak jika kalian singgah dan suka cerita ini ya. Maacih. Dah gitu aja. Update insya Allah setiap akhir Sabtu dan Minggu. Demikian juga untuk yang Wild & Crazy.
Sekian. Selamat membaca. Sampai jumpa.<3
08/01/2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro