Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 15

Kamar yang kutempati di kediaman Keluarga Garcia ditata laksana ruangan bangsawan, bernuansa merah muda dan abu-abu yang lembut. Ada tempat tidur mewah dihiasi renda-renda, nyaman, dan empuk, tetapi aku merasa seperti di penjara di sini.

Rebecca melarangku pergi tanpa izinnya. Dua penjaga kulihat tadi berjaga di depan kamar. Pintu pun dikunci dari luar, seakan menegaskan bahwa aku tak boleh keluar.

Felix bahkan beralasan menyimpankan tas yang kubawa. Untung dia tak mengambil ponsel juga, tetapi pengisi dayanya ada di sana.

Jika perkiraanku tak salah, kamar ini ada di bagian bangunan yang mirip seperti menara ala kastel, hanya saja tidak terlalu tinggi. Terletak paling ujung dan seakan terpisah dari bangunan utama. Bentuknya silinder, seperti tabung. Aku melihatnya sekilas saat mengamati tampilan luar sewaktu baru datang ke sini.

Aku mengingat kembali ucapan Rebecca, ibu dari Felix dan Eric, di pertemuan ruang tamu. Suaminya, Carlos, sedang pergi menjemput kakek serta nenekku. Mereka akan datang saat makan malam nanti.

Semua ini membuat aku bingung. Papa bukan keturunan Carlton. Bagaimana bisa? Rebecca bilang itu sudah diselidiki kebenarannya. keluarga Garcia sudah membahas soal ini dengan keluarga Carlton dulu saat kejadian papa dan mamaku yang ingin kawin lari, tetapi tak digubris.

Jika memang benar demikian, berarti aku bukan sepupu kandung Neil, Mike, dan Leo, juga tak berkerabat dengan Roberto serta Nenek Roberta. Keluargaku yang sesungguhnya adalah keluarga Garcia.

Aku harus senang atau sedih? Kepala terasa pening. Kenapa Roberto dan Nenek Roberta tak memberitahu kebenaran tentang papaku? Kukira Niel, Mike, dan Leo pun pasti tidak tahu.

Lagi pula, jika memang aku benar keturunan keluarga Garcia, kenapa diperlakukan seperti ini? Apa mereka menganggapku tawanan?

Kuraih ponsel yang kumatikan sejak pagi. Begitu kunyalakan kembali, pemberitahuan seketika menyerbu masuk. Isi daya kurang dari dua puluh persen. Aku lupa mengisinya semalam.

Ada banyak panggilan. Roberto sepuluh kali, Amanda lima belas plus sepuluh pesan teks, dan Niel dua puluh vcall tak terjawab, belasan voice note, ditambah sejumlah stiker menggambarkan berbagai emosinya.

Siapa yang kuhubungi lebih dulu? Jika Niel, aku takut dia akan langsung menyerbu ke sini. Roberto? Dia pasti akan mencecar dengan banyak pertanyaan soal alasan kepergianku dari rumah. Amanda? Ya, dia saja.

Kutekan nomor kontak Amanda. Baru dua nada sambung, ternyata langsung diangkat.

"Halo? Lizzy?! Ya Tuhan! Kau di mana?!"

Aku bisa merasakan kepanikan di nada suaranya. "Maafkan aku, Amanda. Soal uangmu ...."

"Aku tak peduli soal uang! Aku hanya mencemaskanmu! Kau di mana?! Katakan. Aku akan menjemputmu!

"Semua mencarimu. Nenek Roberta menangis sejak tahu kau pergi dari rumah. Roberto sibuk menghubungi tetanggamu di Magnolia Springs. Kau tidak ada di sana. Leo dan Mike mencarimu di bandara dan sepanjang jalan raya. Niel seperti orang gila menanyai setiap orang, berlarian di sekitar Pasific Heights. Tanpa sempat memakai alas kaki dan hanya memakai jubah tidur!"

Air mataku menetes tak tertahankan. "Maafkan aku. Aku rindu kalian." Tangis pun pecah.

"Katakan, kau di mana sekarang? Aku akan memberitahu Niel ...."

Aku terisak-isak. "Aku berada di kediaman keluarga Garcia di Pasific Avenue. Jason, Felix, dan Eric yang membawaku ke sini saat aku hendak naik bis menuju Magnolia Springs.

"Aku bingung, Amanda. Ibu Felix, maksudku bibiku, ia bilang, aku bukan keturunan dari keluarga Carlton. Papaku bernama John Williams, bukan John Carlton." Sedu sedanku semakin keras.

"Aku dikunci dalam kamar, tak boleh keluar, tanpa izin Rebecca, Bibiku. Aku seperti dikurung di sini. Tasku diambil. Aku tak bisa mengisi daya. Baterai ponsel tinggal lima belas persen sekarang." Aku menggerung kini.

"Astaga, Lizzy. Aku harus memberitahu Niel dan pamanmu! Tunggu di situ. Aku harus segera menelepon mereka."

Kontak terputus. Sepertinya Amanda bergerak cepat menghubungi Niel dan Paman Roberto. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Kubiarkan tangisku lepas tak tertahan.

Usai puas menangis, kucoba membuka pesan dari Niel. Kudengarkan satu persatu isi rekaman pesan suaranya.

Ratu Semut Api, kau di mana?

Ratu Semut Api, kau pergi ke mana? Apa yang terjadi?

Lizzy! Kau di mana?! Jangan bercanda!

Kau marah padaku? Kau menyesal soal itu? Maafkan jika aku menyakitimu. Katakan kau di mana. Aku akan menjemputmu.

Lizzy! Kembali! Jangan tinggalkan aku! Please!

LIZZY!!!

Lizzy, please, please, please, Sayang, kembali padaku. Jangan menakutiku. Jangan pergi ....

Aku tak kuasa mendengar ratapan dan isak tangisnya. Kuputuskan tak mendengarkan pesan suara Niel selanjutnya. Baterai ponsel mulai sekarat.

Haruskah aku menelepon atau mengirim pesan suara saja? Baterai ponsel tinggal lima persen. Mungkin masih bisa untuk menelepon sebentar.

Kutekan nomor kontak Niel. Baru terdengar satu nada sambung, panggilanku langsung dijawab.

"Lizzy! Sayang! Ya Tuhan, aku hampir gila! Amanda baru menelepon tadi! Aku segera menjemputmu!"

"Niel, maaf. Aku rindu padamu." Aku terisak lagi. "Bateraiku tinggal tiga persen."

"Aku juga merindukanmu, Ratu Semut Api. Tunggu aku. Kami akan membebaskanmu. Aku mencintaimu! Aku sudah memberitahu Papa dan Nenek tentang kita. Mereka merestui! Kita akan bertunangan! Aku bisa menikahimu! Kau dengar? Kita bisa menikah! Tunggu aku!"

Mati. Ponselku kehabisan daya. Aku menggerung lagi.

***

Suasana makan malam begitu hening. Hanya terdengar bunyi alat makan yang berdenting. Nenek dan kakekku yang dibilang asli malah seakan tak sudi melihat. Mereka seperti tidak menganggap aku sebagai cucu.

Beda sekali dengan ketika Nenek Roberta menyambut kedatanganku. Ia jelas terlihat lebih menganggap aku sebagai cucu.

Jika mereka tak benar-benar menginginkanku, kenapa harus membawa aku ke sini? Untuk apa? Hanya demi mengalahkan keluarga Carlton?

Aku tak berselera makan sama sekali. Kuletakkan pisau dan garpu di meja kembali. Tanganku meraih gelas minum dan meneguknya sedikit, lalu berdiri.

"Aku kenyang."

"Duduk, Lizzy," ujar Rebecca.

"Aku ingin kembali ke Keluarga Carlton."

"Keluargamu di sini," sahut Rebecca lagi sambil terus mengunyah makanan dalam suapan kecil.

"Keluarga tak akan menahan atau mengurung anggota keluarganya!"

"Jaga nada suaramu." Kali ini nenek yang dibilang asli ikut bicara. "Apa ini hasil didikan dari Keluarga Carlton? Memalukan."

"Aku tak minta kalian membawaku ke Keluarga Garcia! Aku bahagia dengan keluarga yang kupilih!"

"Kau anak Alicia Garcia, putri bungsuku. Kau cucu sah keluarga ini. John bahkan bukan seorang Carlton. Ia hanya anak seorang pelayan kelahiran Amerika Inggris yang diperkosa sampai hamil oleh majikannya, lalu bayinya dibuang ke panti asuhan dan dipungut oleh James dan Roberta Carlton yang mengira tak akan pernah punya anak. Siapa yang tahu, setahun kemudian, Roberta hamil dan Roberto pun lahir."

Mataku menatap nyalang ke arah si nenek yang dibilang asli. "Apa urusanmu jika papaku putra pelayan dan hanya anak pungut? Ia tidak merepotkan hidupmu!"

"John merampas putri bungsu kesayanganku!"

"Mama, tenanglah. Tak berguna kau meladeninya seperti itu," ujar Rebecca datar. "Biarkan dia merasakan lapar, dingin, dan kesepian di kamarnya. Kamar yang dulu ditempati mendiang Alicia. Ia pasti akan lebih menurut nantinya."

"Rencana pertunangan jangan sampai gagal, Rebecca. Jason Taylor bilang ia siap dan bersedia. Lakukan sesegera mungkin agar hubungan antara Keluarga Garcia dan Keluarga Taylor bisa menjadi makin kokoh."

"Baik, Ibu."

Aku menatap mereka lebar. "Apa? Siapa yang akan bertunangan dengan Jason? Hanya tiga cucu di sini! Jangan bilang kalau itu ...."

"Kau. Bersyukurlah kau masih menunjukkan manfaatmu sebagai cucu perempuan satu-satunya di Keluarga Garcia. Tidak seperti ibumu, kau bisa menjadi penyelamat." Rebecca tersenyum dingin.

Kutatap semua yang ada di sana satu persatu. Kakek asli hanya diam dan makan dengan tenang. Felix mencibir. Eric menanduk sambil mengaduk makanan seolah tak berminat. Suami Rebecca makan dengan lahap seolah tak ada yang terjadi.

Keluarga macam apa ini? Ini sarang iblis sesungguhnya!

"Aku tidak sudi menjadi bagian dari Keluarga Garcia!" Aku segera berbalik, berlari ke arah ruang tamu.

Aku menyesal percaya pada untuk datang ke sini. Seharusnya tak kubiarkan mereka membawaku ke rumah ini.

"Tangkap dia!"

Beberapa penjaga sontak menghadangku. Mereka berusaha memegangi aku.

Aku menjerit dan memberontak hebat. Kulemparkan apa pun yang tersambar olehku. Vas bunga, kursi, bantal, meja, entah apa lagi. Kakiku terus berlari ke sekeliling ruang tamu yang sangat luas.

Namun, para penjaga itu berhasil menangkapku. Aku meronta-ronta sambil menjerit, melontarkan sumpah serapah.

"Felix! Eric! Tangani dia!"

Aku meludahi Felix saat ia mendekat dan berhasil menendang ke arah selangkangannya. Ia pun mengaduh. Eric kulihat menahan senyum sambil diam-diam mengacungkan jempol padaku. Dia bahkan terlihat seperti sedang merekam dengan ponsel di tangan.

Aku mengernyit. Namun, tak sempat berpikir lama. Para penjaga menarikku untuk dibawa paksa.

Kakiku terus menendang. Kedua tangan pun bergerak memukul ke mana saja. Aku tak mau menyerah. Tidak akan!

"Penjaga macam apa kalian?! Menangani satu orang saja tidak becus! Seret dia!"

Aku menjerit hingga serak sambil terus memberontak. Beberapa penjaga ada yang terkena gigitanku sampai melepaskan tangan mereka.

Dua orang terkena tendangan pula di selangkangan. Kepalaku bahkan menyeruduk menghantam perut yang lainnya.

Ruangan utama kacau balau. Sebagian sofa terbalik. Kursi kayu menggeletak di mana-mana. Meja kaca pecah. Meja hias pun terguling. Bantal pun tak luput jadi senjataku.

"Felix! Beri dia pelajaran! Lakukan apa pun biar dia mau menyerah!" Rebecca mulai terdengar kalap.

"Tidak! Jangan sakiti dia! Dia keluarga kita, bukan musuh!" teriak Eric. "Felix, ini tidak benar!"

Felix tak peduli. Ia yang berhasil menguasai diri kini bersama anak buahnya kembali mengeroyok. Tanganku tak bisa lagi bergerak bebas karena dipegangi. Aku mencoba menendang lagi dengan kaki. Namun, sepertinya tenagaku melemah.

Felix menampar kuat, hingga aku terlempar ke meja. Terdengar suara kaca yang pecah. Kurasakan nyeri seketika di bagian paha yang tertusuk pecahannya. Mulutku mendesis menahan sakit.

"Felix! Hentikan!" teriak Eric sambil berusaha menerobos untuk menolongku. Namun, Felix malah meninju cowok malang itu di perut, hingga ia tersedak dan duduk kesakitan. Ponsel terlempar. Dia bergegas meraihnya lagi, memegangi seakan itu sangat berharga.

Aku menjerit penuh kemarahan menantang Felix dan anak buahnya. "Kalian semua banci pecundang yang hanya bisa mengeroyok seorang gadis! Sayangnya, aku bukan seorang yang lemah!"

Kutatap Rebecca sambil tertawa sinis. "Hanya ini kemampuan putramu? Ia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan salah satu di antara Leo, Mike, atau Niel. Mereka tak akan membutuhkan sekian banyak orang untuk menghajar putra dan anak buahmu!"

"Tendang! Hajar saja dia! Ia sama pembangkangnya dengan ibunya!" teriak Rebecca murka.

"Jangan sampai ia cacat atau terbunuh! Kita masih butuh dia untuk bertunangan dengan Jason!" sahut sang nenek.

"Betul! Lakukan apa saja asal jangan cacat atau mati, Felix!"

Felix menendang aku beberapa kali, ditambah tamparan kuat tanpa ampun. Kepalaku terasa berputar. Seluruh tubuh terasa nyeri. Kukertakkan gigi, tak sudi merengek kesakitan di depan mereka.

Kuusap cairan yang keluar dari mulut, hidung, dan kepala. Jemari dan punggung tangan pun basah semua. Hanya warna merah yang terlihat. Aku terbaring miring di lantai ruang tanpa mampu bergerak lagi. Namun, mataku terus menatap mereka penuh kebencian meski pandangan mulai samar.

"Lizzy!"

Aku sekilas merasa seakan berhalusinasi, melihat Niel muncul dan langsung menerjang Felix. Di belakangnya ada Leo dan Mike. Mereka terlibat perkelahian dengan para anak buah Rebecca.

Rebecca menjerit-jerit, begitu histeris. Nenek dan kakek yang katanya asli berusaha kabur dari situ, tetapi berhasil dihadang oleh Roberto beserta beberapa petugas berseragam. Mereka seperti saling berteriak, tetapi telingaku berdenging, tak mendengar jelas.

Mereka memborgol Rebecca. Suami beserta nenek dan kakek yang katanya asli pun dibawa petugas.

Eric mendekati, menekan luka di kepalaku dengan telapaknya. "Lizzy, bertahanlah. Kau harus kuat."

Aku mengerjap lemah. Cairan hangat mengalir dari mataku. Napas terasa mulai sesak seiring pandangan semakin samar.

"Lizzy!"

Aku tak tahu lagi siapa yang memanggil. Semua gelap.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro