Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 14

"Kau yakin? Jangan mengujiku, Lizzy."

Aku merenggangkan pelukan, menatapnya. "Ya. Sekarang."

Niel mengerutkan kening. Ia mengamatiku dengan serius. "Kau habis menangis? Apa yang terjadi? Katakan padaku. Apa kau mendapat mimpi buruk?"

Jika aku memberitahunya soal yang dilakukan Leo padaku, apa yang akan terjadi? Pertumpahan darah? Tidak. Niel tak boleh melakukan itu lagi. Masa depannya bisa hancur bila ia sampai membunuh Leo. Roberto pun akan kehilangan dua putranya sekaligus.

Kenapa? Mengapa ini harus terjadi? Bagaimana bisa aku terjebak di antara Leo dan Niel?

Jangan pernah ada yang tersakiti hanya karena aku. Itu tidak layak dan tak perlu. Cukup aku saja. Biar diriku yang menanggung semua.

"Please ...." Aku mulai mengecup bibirnya. Hanya perlu bercinta dengan Niel meski sekali, untuk menggantikan ingatan burukku tentang apa yang dilakukan Leo.

Setelah ini aku mungkin harus pergi, kembali ke Magnolia Springs yang penuh kedamaian. Menghabiskan waktu di sana, menjaga makam orang tuaku.

"Please, Niel. Aku menginginkanmu. Sekarang." Aku terengah sambil terus menyapukan bibir, mengecup, dan mengulum bibirnya yang menawan.

"Sh**, Ratu Semut Api. Kau harus bertanggung jawab atas diriku setelah ini."

Usai berkata itu, Niel balas mengecup, melumat, dan mengulum bibirku. Ia mengarahkan kami menuju ranjang.

Aku melepaskan baju tidurku yang digantikan oleh Amanda sebelumnya. Kulihat mata Niel terpana penuh hasrat.

Ia pun membuka bajunya, lalu mulai mencumbuku. Bibir kami tak henti saling berpagut. Niel melepaskan semua yang tersisa di dirinya dan diriku.

Aku mendesah saat jemarinya merayapi sekujur tubuh. Bibir dan lidahnya bergerak penuh keahlian di leher, bibir, dan dadaku.

Jemariku mencengkeram punggung Niel, membalas semua cumbuan darinya. Aku menatapnya tak henti-henti seakan mengatakan pada diri sendiri bahwa dia adalah seorang yang kusuka dan inginkan.

"Lizzy, kau yakin?" Napas Niel memburu. "Kau belum berumur delapan belas."

"I am ... now." Aku menyatukan bibir kami lagi agar ia percaya jawabanku. Kugerakkan jemariku membelai tubuh tanpa busananya.

Niel mungkin akan marah saat tahu aku telah membohongimya. Namun, ini kulakukan agar setidaknya bukan Leo yang akan merenggut kesucianku kelak.

"Tunggu, aku tak punya ...."

"I'll take care of that. Don't worry."

Niel seakan tak ragu lagi kini. Ia segera mulai memosisikan diri di antara kedua paha. Aku pun menyesuaikan dengannya.

Aku dan Niel sama-sama mengerang saat ia menyatukan dirinya denganku perlahan. Bibir kami kembali berpagut seiring dia mulai mengentak pelan.

Ia membawa tubuhku bergerak seirama penuh penghayatan sebelum kemudian menjadi cepat dan kuat. Napas kami saling memburu.

Aku mengerang dan merintih lirih. Memberikan segenap jiwa dan ragaku untuknya. Kami bergerak seirama, memacu hasrat, dan perasaan yang begitu besar.

Kami tak henti saling menatap sambil sama-sama bergerak cepat, memacu dalam deru napas menderu. Niel mengerang pelan, begitu juga aku. Bibir terus saling berpagut dengan tubuh seakan menyatu.

Aku tak akan menyesali. Melakukannya bersama Niel, kunikmati sepenuh hati. Erangan dan rintihan lirih kami kini semakin intens seiring gerakan mengentak dan menghunjam yang semakin cepat dan bertubi-tubi.

Sensasi asing itu pun akhirnya mencapai pada puncak. Kami saling mengejang dan memeluk erat sebelum mendesah penuh kepuasan.

Niel menatapku lekat. Rahangnya bergerak-gerak. Aku sepertinya mulai paham reaksi itu.

"Ratu Semut Api, siapa dan apa yang membuatmu tiba-tiba memutuskan menjadikanku sebagai yang pertama kali untukmu? Kau yakin, kau sudah berumur ...."

Aku terisak pelan. Mataku kembali basah dan hangat. "Maaf, aku berbohong, Owl ...."

Niel membelaiku lembut. "Aku tidak marah padamu. Aku hanya ingin tahu alasanmu. Jika kau tak mau bilang, aku tak akan memaksa."

"Kau akan berubah pikiran?" isakku lirih.

"Tidak. Tentu saja tidak."

Aku memeluknya. "Jika begitu, jangan bertanya apa pun. Aku hanya ingin melakukannya denganmu untuk yang pertama kali."

Ia merengkuh aku ke dalam pelukan. "Baiklah. Jika begitu, jangan menyesal. Aku seorang yang menyukai komitmen dan tak pernah main-main untuk hal apa pun. Kau milikku dan tanggung jawabku mulai sekarang."

***

Aku menenteng tas berisi beberapa pakaian yang bisa kubawa. Ada perasaan bersalah karena mengambil semua uang tunai milik Niel dan Amanda.

Tak lupa kuselipkan surat di tas Amanda sebagai pesan terakhir sekaligus permintaan maaf. Tanpa memedulikan apa pun lagi, tekadku bulat, segera meninggalkan San Fransisco.

Banyak yang akan terjadi jika aku tak pergi. Perkelahian Niel dan Leo cepat atau lambat. Kemarahan Roberto, serta kekecewaan Nenek. Belum lagi masalah dengan keluarga Garcia bila mereka mengetahui tentang diriku.

Setidaknya yang kumiliki kini adalah kenangan manis terakhir yang kuhabiskan bersama Niel. Itu sangat indah. Aku tak akan melupakannya.

"Selamat tinggal, Pangeran Niel. Selamat berpisah, Owl Cintaku."

Itu pula yang kubisikkan saat aku meninggalkan Niel yang tertidur pulas. Kepergianku akan membawa kedamaian lagi di rumah keluarga Carlton.

Keputusan ini adalah yang terbaik untuk semua. Aku cukup mendapatkan apa yang kumau, kenangan indah bersama Niel.

Aku bersiap menaiki bis usai memberitahu Jessie tentang kepulanganku yang mendadak, ketika datang beberapa orang berpakaian serba hitam mendekat dan mengitariku. Kuedarkan pandangan menatap mereka.

Tiga cowok keluar dari salah satu mobil hitam. Aku mengernyit. Mataku melebar mengenali satu di antaranya.

"Jason?"

"Hai, Lizzy. Ada yang mau bertemu denganmu."

"Bagaimana kau tahu aku di sini?" tanyaku curiga sambil mengawasi mereka semua.

Jason hanya tersenyum. Ia seakan mempersilakan seorang di belakangnya untuk maju.

"Kami sudah cukup lama mengikutimu, Lizzy. Baru kali ini dapat kesempatan menemuimu sendirian," ujar seorang cowok beranting dua di belakang Jason tadi.

"Apa maksudmu? Siapa kalian?" Jantungku mulai berdegup kencang dalam kepanikan..

Seorang berjaket kulit hitam di sebelahnya maju selangkah ke arahku. "Lizzy Carlton, putri John Williams dan Alicia Garcia, aku kakak sepupu aslimu, Felix Garcia dan di sampingku ini adikku, juga sepupu aslimu, Eric Garcia. Kami ditugaskan membawamu kembali ke rumah keluarga Garcia, keluargamu yang sesungguhnya."

***

Tampilan luar kediaman Keluarga Garcia bernuansa abu-abu berpadu cokelat gelap. Terkesan seperti bangunan klasik yang sangat besar dan mewah.

Jason pamit. Mungkin dia tak enak hati karena ini akan menjadi sebuah pertemuan keluarga. Ia hanya sempat berkata akan menemuiku lagi nanti malam.

Jadi, kini di ruang tamu yang sangat luas hanya tinggal aku dan Eric. Felix masuk ke dalam untuk memanggil orang tuanya. Para pengawal mereka semua tadi ada di luar, berjaga-jaga.

"Ini di mana?" tanyaku mencoba membuka obrolan. Kuletakkan tas bawaanku di lantai begitu saja.

Eric yang mungkin tengah duduk asyik bermain game di ponsel, melepaskan headphone-nya. "Oh, Pasific Avenue."

Aku berjalan pelan, mengamati sekitar. Suasana di bagian dalam justru berbeda dari tampilan luar. Lebih berwarna, didominasi oleh nuansa hijau bercampur cokelat gelap.

Mataku melirik ke arah Eric. Aku pun menghampiri sofa dan duduk di hadapannya. "Kita satu sekolah?"

"Ya, Akademi Seni. Aku sekelas dengan Mike." Ia menjawab sambil tetap fokus bermain game, tak mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

"Felix?"

"Dia sekelas dengan Leo dan Jason."

"Ooh."

"Kenapa kau berusaha kabur?" Ia bertanya tetap tanpa menatap ke arahku.

"Karena sesuatu yang tak bisa kujelaskan."

"Karena Leo? Atau Niel?" Kali ini dia menatapku.

Aku menyadari ia dan Felix sama-sama memakai jin panjang yang sobek di bagian lutut. Namun, penampilan Eric lebih sederhana, hanya memakai kaos dan celana itu saja.

Mungkin yang terlihat lebih menonjol adalah Eric mengenakan dua tindik di telinga kanan dan kiri. Selain celana jin, gaya rambut mereka pun sama. Tebal menumpuk di bagian depan atas, lalu cepak di kanan, kiri, dan belakang.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Karena, semua di akademi sibuk bergosip tentang kau dan Leo. Namun, aku melihat kau dan Niel makan berdua di The Crepe House."

Jantungku berdebar. Kucoba berpikir keras mencari jawaban yang tepat.

Dia mengintai aku? Berarti benar yang tadi dikatakan Felix? Mereka telah mengikuti selama ini. Ternyata keberadaanku telah diketahui. Jadi, sebaiknya jujur atau bohong?

"Aku tak mengerti maksud Felix tadi soal nama belakang papaku. John Williams? Bukankah seharusnya John Carlton? Kenapa dia bilang kalian adalah keluarga asliku? Sementara nama keluarga yang kupakai adalah Carlton. Namaku Elizabeth Carlton."

"Papamu bukan keturunan Carlton, Darling," sahut seorang wanita anggun yang muncul bersama Felix.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro