CHAPTER 13
"Hai, aku Amanda Albright," sapa Amanda begitu Niel masuk ke mobil.
Niel spontan menatap ke arahku yang duduk di pinggir. Ia memberi aku tatapan protes karena tidak duduk di tengah.
"Oh, hai. Nathaniel." Nada dan ekspresinya sangat kaku.
"Wow, tampan, imut, berwibawa, dan terlihat cerdas, elegan. Kau pasti cowok baik-baik yang tak suka mempermainkan cewek. Kau sudah punya pacar?"
Niel terlihat makin kikuk, menatapku seolah minta tolong. Aku menahan senyuman sambil pura-pura melihat ke luar jendela. Dalam hati tawaku begitu keras melihat penderitaannya. Amanda memang cewek yang luar biasa untuk urusan akting. Dia seharusnya masuk jurusan itu, bukannya ke fashion.
"Amanda Albright! Kuperingatkan! Kau itu pacarku!" protes Mike sengit.
"MANTAN PACAR." Amanda sengaja menjulurkan lidah padanya, membuat Mike makin berang.
Niel berdeham. "Mmm, Mike, kau mau duduk di belakang?"
"TIDAK!" teriak Mike dan Amanda bersamaan.
Niel menatap protes lagi ke arahku. Aku pura-pura tak menyadarinya.
"Kau belum menjawab."
"Apa?" Niel terlihat pura-pura tak paham.
"Kau sudah punya pacar?" Amanda menepuk-nepuk pahaku seakan memberitahu agar aku menyimak jawaban Niel.
Niel terlihat berpikir sejenak. "Sedang ingin menjalin hubungan serius dengan seseorang."
"Apa?!" Mike berteriak seiring mobil yang mendadak oleng. "What the hell?! Leo! Kau ingin membunuh kami ya?!"
Leo diam, berusaha menstabilkan kemudi. Terlihat sekali dia sepertinya syok mendengar pengakuan Niel.
"Wah, siapa si cewek beruntung itu? Aku iri sekali," sahut Amanda dengan nada suara dibuat seolah merajuk. Jarinya justru mencubit pahaku pelan.
Aku berdeham. Kikuk. Mataku menoleh ke kaca spion. Leo tertangkap basah lagi.
"Masih rahasia," jawab Niel sambil terbatuk-batuk kecil.
"Wah, misterius sekali. Kau menggemaskan." Amanda sambil dengan sengaja mencondongkan diri ke arah Niel.
Niel spontan mundur, hingga tersudut. "Maaf, tapi ... bisakah kau bergeser?"
Aku hampir menyemburkan tawa. Amanda terlihat ingin tertawa geli sekaligus juga tampak gemas. Mike malah mulai kelimpungan sendiri di depan. Ia membanting atau memukul apa pun yang dia pegang sebelum berhenti karena pelototan Leo.
Belasan menit siksaan di mobil berakhir ketika kami tiba di kediaman. Niel langsung buru-buru turun dan masuk lebih dulu. Mike memaki samar dan ikut menyusulnya.
Aku dan Amanda turun. Leo mematikan mesin mobil, lalu ikut menyusul keluar.
"Jadi, kau bisa mengajari kami tentang menggunakan software untuk desain?" tanya Amanda lagi penuh harap.
Leo melirik ke arahku. "Bagaimana jika aku mengajarimu, lalu kau bisa mengajari sepupuku ini?"
"Hah? Kenapa begitu?" Amanda menoleh ke arahku yang hanya memilih diam.
Aku sedang tak punya tenaga untuk berdebat dengan Leo. Seminimal mungkin berinteraksi dengannya, itu semakin baik bagiku.
"Dia terlalu bodoh." Leo mendengkus, mengacak-acak rambutku kasar sebelum berlalu begitu saja.
Aku terpaku. Apa maksudnya begitu?
Amanda menggamitku. "Berani taruhan. Leo sepertinya menyukaimu."
***
Entah apa yang dilakukan Amanda di kamar Leo setelah makan malam, yang jelas aku merasa seakan dipisahkan dengannya. Itu membuatku kesal.
Kucoba melanjutkan sketsa baju rancanganku. Aku sudah membuat beberapa di buku koleksi rancangan. Mungkin perlu kupertimbangkan untuk menunjukkannya pada Roberto dan Nenek.
Siapa tahu mereka berminat untuk membuat busana yang aku rancang menjadi merek Carlton. Itu mungkin akan mempercepat jalanku untuk menjadi desainer.
Jika tidak, aku akan meminjam modal dari mereka untuk membuat pakaian merek sendiri, lalu menjualnya secara online. Bibirku menyunggingkan senyum.
Suara ketukan terdengar. Aku bergegas membuka kunci pintu, berpikir itu pasti Amanda. Sejak kejadian dengan Leo, kuputuskan untuk terus mengunci selama berada di kamar.
Pintu kubuka. "Hai, Amanda, ba-"
Leo mendorong masuk, lalu dengan cepat mengunci pintu kembali. Dia menatapku nyalang.
Aku spontan mundur. "Mau apa kau?"
"Kau mau menjodohkanku dengan Amanda, bukan?" tudingnya.
"Hah?"
"Kau ada hubungan dengan Niel?"
"Bukan urusanmu!"
"Nenek bilang, kalian jalan-jalan berdua waktu aku dan Mike latihan."
"Memangnya kenapa? Dia sepupuku juga, bukan?"
Dia menarikku kemudian, mencekal di lengan. Rahangnya mengeras. "Jawab aku. Kau pacaran dengan Niel?"
"Lepaskan! Kau kenapa sih? Kita sepupu! Kau tak berhak mengaturku!"
"Tidak punya hak? Let's see."
Dia mendorong, hingga aku membentur dinding kamar. Ia menyapu leher dan bibirku kemudian dengan bibir dan lidahnya.
"Mmmh, tidak! Jangan, Leo!" ucapku tersengal.
Namun, dia mengabaikanku. Jemari cowok itu mulai meremas dada dan mulai merayap ke bawah. Ia pun tak henti melumat dan mengunci bibirku.
Aku meronta. Ia mencekal kedua tanganku di atas kepala. Kakinya mulai merenggangkan kedua paha.
Mataku mengerjap panik. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, memberinya tatapan memohon.
Napas Leo memburu. Tangannya kini ganti membekapku. Kurasakan jarinya menyelusup dan mulai menyentuh di sana.
Aku membelalakkan mata seketika. Mulutku menjerit, histeris, tetapi tenggelam dalam tangan Leo. Air mata pun mengalir.
Ia mendekatkan wajah ke arahku yang masih terengah dan berurai air mata. "Jika aku mengetahui kau benar-benar bersama Niel, lain kali, bukan hanya tanganku yang akan masuk ke situ. Paham?"
Leo menatapku lama sebelum kembali mengecup bibirku dan menyesapnya beberapa saat, lalu melepaskan. "Anggap itu hukuman untukmu."
Aku tak bereaksi. Hanya memandang cowok itu dengan tatapan penuh kemarahan.
"Maaf, Sepupu. Setidaknya, kau masih kubiarkan tetap perawan."
***
Aku menangis sampai tertidur setelah Leo meninggalkan kamar. Entah untuk berapa lama. Yang jelas saat kuterbangun kemudian, Amanda sudah berada di kamar. Lampu pun telah menyala.
"Hei, Lizzy. Kau sudah bangun? Astaga. Matamu sembab. Kau kenapa?" Amanda mengelus-elus rambutku, menatap penuh simpati.
Bahuku berguncang. Aku memeluknya erat dan membiarkan air mata tumpah kembali.
"Sssh, sshhh, kau kenapa? Apa yang terjadi? Leo sudah mengajariku. Aku akan mengajarimu nanti."
Bahuku semakin berguncang. Suara tangis teredam di bahu Amanda.
"Lizzy, ada apa? Katakan padaku. Siapa yang menyakitimu? Niel?"
Kepalaku menggeleng. Aku memeluk Amanda semakin erat.
"Leo?"
Aku mengangguk tanpa suara. Hanya pelukanku yang semakin erat.
Amanda mengusap-usap rambut di punggungku. "Apa yang ia lakukan?"
Aku tak sanggup menceritakannya. Rasa malu, marah, sedih, terluka bercampur aduk.
"Tenangkan dirimu dulu. Aku di sini. Ceritakan saat kau siap."
Mataku memejam. Aku menyerah lagi pada kegelapan.
***
Aku terbangun, menatap Amanda yang tengah tidur di sampingku. Kulihat jam di layar ponsel. Pukul tiga dini hari.
Kakiku turun dari ranjang. Aku seperti orang linglung, melangkah keluar kamar dan terus berjalan ke kamar Niel di bagian paling ujung.
Aku mengetuknya pelan. Butuh tiga kali ketukan, pintu pun dibuka. Ia terlihat sedikit kaget saat melihat kakiku melangkah masuk seperti robot, mengabaikan panggilannya.
Niel menutup pintu, lalu menatapku heran. "Ratu Semut Air. Kau kenapa? Kau tahu apa bahayanya bila seorang cewek masuk ke kamar cowok?"
Aku terpaku menatap senyumnya yang menawan, juga mata bercahaya penuh binar. Kurangkul tubuhnya perlahan seiring mataku yang terasa hangat dan samar.
"Owl ...."
"Hmm? Ya, Ratu Semut Api. Apa titahmu untukku?" Ia mengusap-usap lembut rambut dan punggungku.
Betapa aku sangat menyukai suara lembut dan dalam ini. Ingin sekali kusandarkan semua dukaku di dadanya yang kokoh tanpa mencemaskan apa pun lagi.
"Kumohon ... biarkan aku tidur denganmu. Kali ini saja ...."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro