Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 10

"Psssst, Lizzy! LIZZY!"

Aku tersentak. Amanda memberiku tatapan prihatin.

"Kau terlihat sangat stres sejak pagi tadi. Dandananmu ... hanya kaos, hoodie, celana jin, sepatu kets, tanpa lipstik juga sepertinya tanpa bedak. Rambutmu bahkan sepertinya tak disisir. Kau bengong saat di kelas dan sekarang hanya memandangi makan siangmu. Ada apa denganmu? Apa yang terjadi?"

Bagaimana tidak stres. Bayangkan saja, belum selesai masalahku dengan Leo, kini malah ditambah oleh permasalahan baru, yaitu Niel. Aku bahkan tak berani menatap mereka saat makan malam, juga ketika di mobil ketika kami berangkat bersama.

Mike pun terus bertanya kenapa aku berubah pendiam. Nenek juga heran melihatku sarapan hanya beberapa suap. Leo dan Niel hanya mencuri-curi pandang saat di meja makan dan melalui kaca spion depan ketika di mobil.

Niel tak berkata apa pun kemarin sejak kami tiba di rumah. Dia hanya diam dan terkesan menghindar. Leo juga begitu. Mereka seperti dua bajingan yang berusaha mengabaikanku usai memanfaatkan aku.

Mereka pikir aku apa? Karena kami sepupu, lantas bisa melepas tanggung jawab begitu saja? Tidakkah keduanya peduli tentang bagaimana perasaanku?

"Bisakah aku menginap di rumahmu malam ini? Aku sedang tak ingin melihat Niel dan Leo," ujarku mengiba pada Amanda. "Please."

"Astaga, kau bermasalah dengan mereka berdua? Tentu, tentu. Pulang sekolah kau langsung ikut saja denganku. Tak usah pikirkan soal baju ganti. Pakai saja punyaku. Sepertinya kita satu ukuran. Kau bisa ceritakan semua padaku. Aku bersamamu."

Aku mengangguk dan merangkulnya. "Kau penyelamatku, Amanda."

***

Kuabaikan tatapan marah Leo saat tahu aku akan pergi menginap ke rumah Amanda. Bujukan Mike agar aku pulang bersama mereka pun seakan tak terdengar. Tekadku bulat, tak bisa diganggu gugat.

Amanda mengelus-elus bahuku yang berguncang oleh tangis di dalam mobilnya. Ia menyetir dengan satu tangan. "Oh, Lizzy, sebenarnya apa yang mereka lakukan padamu sampai kau sesedih ini? Aku akan menghajar Mike besok!"

Aku menggeleng. "Mike tak tahu apa-apa soal masalahku dengan Niel dan Leo, Amanda. Ia tak tahu."

"Tidak mungkin. Jika tidak tahu soal masalahmu dengan Niel, aku percaya. Namun, jika soal masalahmu dengan Leo, aku yakin Mike tahu. Mereka sangat dekat, Lizzy. Tidak mungkin ada rahasia antara mereka berdua."

"Entah, Amanda. Aku sangat lelah. Aku tak bisa tidur semalam. Kepalaku pusing. Pikiranku kacau. Aku butuh ketenangan."

"Kau mau cerita sekarang?" Amanda melirik jam. "Masih sekitar dua puluh menit lagi baru kita sampai di rumahku."

Aku mengusap air mataku. "Aku sungguh malu untuk menceritakannya, tetapi aku juga tak sanggup terus menyimpannya sendirian."

"Kau bebas, Lizzy. Kapan pun kau siap, aku siap mendengarkan. Tanpa menghakimi, tanpa memprotesmu, dan tanpa memotong satu kata pun darimu. Aku di sini untukmu."

"Bisakah kita cari tempat sepi dan nyaman untuk aku bercerita? Maksudku, di rumahmu ada ibumu, bukan?"

Amanda mengangguk. "Kau benar. Aku tahu sebuah tempat. Kita ke sana."

Setelah menyetir sekitar belasan menit kemudian, kami tiba di sebuah pantai yang lumayan sepi. Amanda mematikan mesin.

"Kau mau turun? Ayo, kita bisa bermain air atau berfoto-foto saja. Anggap saja ini sebagai ganti rencana jalan-jalan kita yang gagal kemarin."

Aku tersenyum. Tanpa kata kubuka pintu dan menghirup udara pantai yang segar dan sejuk. Kulihat Amanda pun sudah turun dari mobil.

Kami berjalan perlahan sampai menginjak pasir. Langkahku terhenti. Amanda pun sama.

Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Leo ... he's kissed me twice."

Ekor mataku bisa menangkap ekspresi keterkejutan di wajah Amanda. Namun, ia tak berkata apa-apa. Dia menepati ucapannya untuk tidak menyela.

"Niel juga. Kemarin, sekali."

Aku mendengar seruan tertahan dari mulutnya. Bisa kurasakan, Amanda berjuang keras menahan diri untk tidak menyela.

Kuceritakan semuanya, sedetail mungkin dari semua kejadian bersama Leo dan yang terjadi antara aku dengan Niel. Setelah itu, hatiku terasa lebih plong, rasanya sangat lega.

Aku menoleh dan menatap Amanda yang memandangiku dengan mata lebar dan mulut terbuka. Dia seolah kehilangan kata-kata.

"Kau boleh bicara sekarang."

"Astaga, Lizzy!" Amanda seakan baru bisa bernapas sekarang. Ia menarik dan mengembuskan napas panjang. "Aku sungguh tak tahu harus berkata apa. Ini ... aku sungguh tak mengira .... Bagaimana perasaanmu pada mereka?"

"Entah. Aku bingung. Jantungku berdebar untuk mereka berdua, tetapi mungkin saja itu karena rasa ketakutan atau karena sebatas sensasi yang kurasakan saat itu."

"Jika mereka atau salah satu, berniat serius ingin melanjutkannya, apa kau ... mau? Atau jika ada kemungkinan keduanya menyukaimu dan ingin serius denganmu, siapa yang kau pilih?" Amanda memandangiku penuh selidik sambil menaikkan tudung jaketnya.

Aku menengadah. Angin pantai yang mulai terasa dingin mempermainkan rambut hingga menampar-nampar pipi. Beruntunglah kupilih memakai hoodie pagi ini.

"Aku belum tahu hatiku berpihak pada siapa sebenarnya. Di awal pertemuan memang Niel yang menarik perhatianku. Namun, setelah kejadian di kamar serta kolam air hangat, perasaanku mulai condong ke Leo.

"Aku terus berkata bahwa itu tidak mungkin dan aku mungkin sudah gila, sampai kejadian Niel dan aku di mobil." Kuhela napas perlahan. "Hatiku seketika makin kacau. Terutama saat melihat mereka berdua mulai menghindariku. Rasanya menyakitkan."

"Ketika mereka mendiamkan dan menjauh, siapa yang paling memengaruhi hatimu?" tanya Amanda terdengar hati-hati.

Sebuah wajah sontak muncul dalam pikiranku. Aku memejamkan mata. Benarkah perasaan ini?

"Di pikiranku ada satu yang muncul, tetapi aku masih belum yakin. Aku takut itu hanya ilusi atau ... entah, Amanda."

"Siapa? Katakan saja. Tidak masalah jika nanti kau berubah pikiran. Katakan saja siapa yang kau pikirkan saat ini."

"Aku tak tahu. Aku bingung. Aku bahkan tak tahu cinta itu apa. Yang kurasakan saat ini tentangnya apakah benar cinta, nafsu, atau obsesi?"

"Katakan bila kau ingin mengatakannya, Lizzy. Tidak akan ada penghakiman dariku."

Aku menoleh, menatapnya setengah bimbang. Nama itu terasa sudah ada di ujung bibir.

"Aku mengerti jika kau benar-benar tak bisa mengatakannya. Kau hanya harus memikirkannya baik-baik agar saat yang kukatakan benar terjadi, kau sudah tahu jawabannya." Amanda menepuk bahuku.

"Aku hanya senang, dugaanku salah soal Niel. Dia normal seperti yang kau katakan. Ternyata butuh seorang Lizzy untuk mengembalikan kesadaran Niel tentang pesona cewek." Tawa Amanda terdengar berderai.

Tawanya terhenti kemudian. "Aku tak bisa membayangkan jika Leo tahu soal Niel dan kau. Kau tahu, kudengar sebenarnya Leo dan Niel dulu pernah terlibat pertarungan cukup parah. Mike tidak memberitahuku apa alasan mereka sampai seperti itu. Leo tak diragukan memang suka dan jago berkelahi, beda dengan Niel. Dia seorang kutu buku. Itu pikiran setiap orang dulu.

"Namun, kata Mike, Niel diam-diam ternyata belajar bela diri juga. Ia pun baru tahu ketika melihat perkelahian kedua saudara tirinya itu. Mungkin Leo pun baru tahu juga. Mike berusaha mati-matian melerai pertarungan mereka. Hasilnya apa? Kau tahu?"

Aku menggeleng. "Apa?"

"Mike mengalami patah tulang usai terkena tendangan Niel yang mengamuk. Leo membalas dengan memukul kepala Niel menggunakan botol hingga berdarah. Niel tidak jatuh, malah masih berdiri mengabaikan darah yang menetes dari kepalanya.

"Mike pun bilang ia masih ingat tatapan Niel saat itu pada Leo. Menurutnya itu sangat menakutkan. Mungkin karena kaget dan juga gugup, Leo pun menjatuhkan pecahan botol di tangannya sambil minta maaf.

"Niel mengambil pecahan botol yang dijatuhkan Leo, lalu dengan tatapan dingin menusukkan pecahan botol ke perut Leo dan berkata bahwa mereka impas dan Leo sudah dimaafkan. Telapak tangan Niel bahkan terluka akibat menggenggam kuat pecahan botol. Leo juga hampir mati jika saja ambulan dan pamanmu yang ditelepon Mike terlambat datang."

Aku menatap lebar. Bibirku bergerak, kesulitan mengeluarkan kata. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan Paman Roberto saat melihat kondisi ketiga putranya waktu itu. "Itu ... mengerikan ...."

Amanda mengangguk. "Karena itu, kau harus jelas dengan perasaanmu. Meski kita tak tahu apa alasan pertarungan mereka saat itu, mereka tak boleh tahu soal kejadian semua ciuman itu. Jangan sampai kau memberi mereka alasan untuk bermusuhan dan bertarung lagi."

Niel. Itu yang ingin kuucapkan tadi pada Amanda. Namun, aku memutuskan untuk menelannya kembali.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro