Chapter 1
Paman Roberto menitipkan rumahku pada seorang tetangga yang kukenal baik, dengan perjanjian akan mengirim gaji setiap bulan untuk mengurusnya. Jadi, jika tak betah, aku bisa kembali kapan pun saat berumur delapan belas tahun.
Satu kata yang bisa kusimpulkan saat melihat rumah-rumah besar di kawasan Pasific Heights San Fransisco adalah kemewahan. Selain ada banyak bangunan modern yang mewah dan megah disirami cahaya dari lampu-lampu hias, juga masih terlihat beberapa bangunan bersejarah bergaya ala Victorian yang penuh warna, kuno, tetapi elegan.
"Ini dikenal sebagai Broadway Street. Belok kiri, kita akan melewati barisan rumah yang orang lokal biasa menyebutnya sebagai Billionaire's Row. Ada sekitar tiga blok. Rumah yang akan kau tempati bersama kami, ada di antara barisan itu."
Aku membuka jendela mobil jemputan, melebarkan mata saat melihat bangunan-bangunan yang lebih besar dan mewah. "Ini ... apakah khusus untuk orang-orang yang sangat kaya?"
"Bisa dikatakan begitu."
Bisa kutangkap, Paman Roberto tersenyum saat menjawab itu. Mataku melihat beberapa jejeran mobil di tepi jalan, di bawah pepohonan rindang. "Kenapa mobil-mobil itu diparkir di sana?"
"Kalau mobil pasaran, itu biasanya milik para turis yang datang melihat-lihat kawasan ini. Jika mobil mahal, bisa jadi milik tamu sang empunya rumah yang sekedar mampir berkunjung sebentar."
Mulutku membulat. Aku kembali berdecak-decak kagum, menatapi rumah-rumah mewah itu. Sama sekali tak sebanding dengan rumah kecil yang kumiliki di Magnolia Springs.
Mobil berhenti sejenak di depan sebuah bangunan mewah berwarna pastel. Pintu gerbang membuka perlahan. Tamannya terlihat tertata apik menawan, dilengkapi dengan tanaman merambat yang terjalin rapi dan indah melapisi tembok pagar.
"Terima kasih, Martin," ujar Paman Roberto pada sopirnya. "Tidak usah masuk, tunggu aku sekitar lima menit. Nanti aku perlu kau untuk mengantarkanku kembali ke kantor."
"Baik, Tuan Roberto."
Paman Roberto menoleh ke arahku kemudian. "Ayo, kita sudah sampai, Lizzy. Turunlah."
Aku pun membuka pintu mobil, turun perlahan dengan mata terus menatap tanpa kedip ke arah bangunan besar mewah yang terpampang. Langit mulai gelap bertatahkan berlian. Udara musim semi saat malam hari di Pasific Heights ternyata lumayan dingin. Mungkin karena sangat dekat dengan teluk San Fransisco. Kurapatkan jaket sambil bersidekap. "Ini rumah Paman?"
"Lizzy Darling, sebaiknya panggil namaku saja, Roberto. Kau tak menganggapku masih orang asing, bukan?"
Aku tersenyum. "Baiklah, Roberto."
Roberto balas tersenyum. "Itu terdengar lebih akrab. Hmm, soal rumah, lebih tepatnya, ini kediaman Keluarga Carlton."
Ia melebarkan senyum memperlihatkan barisan gigi yang putih dan rapi saat melihat reaksiku yang melebarkan mata, lalu menepuk aku di pundak. "Ayo, bawa tasmu, kita masuk."
Aku hanya membawa satu tas berisi beberapa pakaian kesayangan, ditambah satu pigura lengkap berisi fotoku bersama mendiang orang tuaku. Hanya itu.
Roberto tak mengizinkanku membawa lebih banyak. Menurutnya itu tak perlu.
Ia akan memberikanku lebih banyak pakaian yang kumau. Aku hanya cukup datang ke butik-butik milik Keluarga Carlton dan bebas memilih apa pun. Mengenai dokumen serta perlengkapan sekolah, semua dibawa olehnya. Dia yang akan mengurus semua itu.
Seorang pelayan berkulit gelap membukakan pintu saat kami tiba di teras. Kulihat ada kamera cctv di sudut dinding atas. Sepertinya aku melihat benda yang sama di dekat pintu gerbang.
"Selamat datang kembali, Tuan Roberto. Nyonya Carlton sudah menunggu di meja makan bersama yang lainnya."
Roberto mengangguk. "Baiklah, terima kasih, Maya. Kau boleh pulang dan kembali besok pagi."
Maya mengangguk sopan. "Baik, Tuan. Permisi."
Ia memberi isyarat agar mengikutinya ke dalam. Aku melangkah sambil menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara atau bereaksi norak saat melihat pemandangan sekitar ruang tamu. Leherku bahkan mulai pegal karena sibuk menatapi kecantikan langit-langit berukuran tinggi di ruangan bernuansa pastel, ditambah lampu gantung besar yang indah berpadu dengan lantai cokelat.
Roberto membawaku melewati lorong berlantai cokelat, masih dengan langit-langit ruangan tinggi dan lagi-lagi bernuansa pastel. Sungguh indah dan unik.
Kami melewati beberapa pintu ruangan yang tertutup sebelum akhirnya tiba di depan sebuah pintu. Roberto mengetuk pelan sebelum membukanya.
Begitu pintu terbuka, pemandangan sebuah meja cokelat panjang berisi penuh makanan yang menggugah selera, dikelilingi delapan kursi. Di ujung meja tampak seorang wanita tua berpenampilan elegan dan gaya rambut disanggul dengan anggun sekali.
Tiga cowok yang sepertinya tak jauh beda dari umurku, menduduki barisan kursi di sebelah kiri. Mereka tampan juga terlihat berpakaian rapi.
Itukah tiga sepupuku? Wow. Jessie pasti akan histeris jika mengetahui ini. Sayang, dia ada di Magnolia Springs, tak bisa ikut menikmati pemandangan di hadapanku kini.
Wanita tua anggun bangkit perlahan sambil menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Elizabeth Carlton, putri satu-satunya dari putra sulungku, mendiang John Carlton, inikah dia, Roberto?"
"Ya, Ibu. Ini Lizzy, putri John." Roberto menyentuh lenganku. "Lizzy, itu nenekmu, Roberta, dan tiga cowok itu putraku, sepupumu. Yang tertua berkemeja hitam itu Leonardo. Leo berumur sembilan belas tahun. Yang berkemeja biru adalah Michaelangelo, dan si bungsu Nathaniel, yang memakai kemeja putih. Mike dan Niel berumur delapan belas tahun beda satu bulan. Sapalah."
Lidahku kelu. Aku melirik ke arah Roberto. Ia memberi isyarat agar menuruti ucapannya tadi.
"Hai, aku Lizzy. Terima kasih sudah menerimaku tinggal di sini."
"Oh, anak yang malang." Nenek beranjak, datang mendekat, memelukku sesaat, lalu menarik lenganku. "Ayo, kemarilah, kita makan malam dulu. Kau pasti sudah lapar. Aku belum tahu makanan kesukaanmu. Jadi, aku dibantu Maya, memasak semua yang dulu disukai papamu semasa hidup. Semoga kau suka. "
"Aku tak pernah kabur dari makanan, Nek. Aku bisa makan apa saja," sahutku berusaha sopan.
Nenek tertawa lembut. "Kau mirip papamu, bisa mudah membuatku tertawa."
Ia menuntunku untuk duduk di dekatnya. Aku menaruh tas pakaian terlebih dulu ke lantai dekat dinding sebelum mendudukkan diri di sana.
Jantungku berdegup kencang saat menyadari sorotan mata dari ketiga sepupu yang duduk di hadapanku. Terutama, cowok berbaju putih yang duduk di dekat Nenek. Ia terlihat sekali seakan tengah mengamati seorang tersangka kejahatan.
Aku harus mengakui, dia terlihat paling menawan, tetapi justru menakutkan, bila di bandingkan dengan Leo dan Mike. Kedua kakaknya itu setidaknya terlihat lebih ramah walau hanya tersenyum samar.
"Ayo, kita makan dulu. Nanti kalian bisa mulai mengobrol untuk lebih saling mengenal," ujar Nenek. "Roberto, kenapa kau tak ikut duduk?"
"Oh, Martin masih menungguku di luar, Bu. Aku harus kembali ke kantor dulu, ada yang harus kuurus. Ada sedikit masalah. Kalian makanlah. Aku mungkin pulang sedikit lebih malam."
"Jika terlalu larut, kau menginap saja di kantormu. Kau bisa kembali besok. Jangan memaksakan diri pulang larut malam. "
Roberto mengangguk. "Tentu, Bu. Aku serahkan urusan di sini padamu. Aku akan menghubungimu nanti atau besok."
Nenek hanya memberi anggukan. "Jangan cemas. Pergilah."
Begitu Roberto pergi, Nenek memberiku dan yang lain sebuah senyuman lembut. "Ayo, kita makan."
Ketiga sepupuku mulai bergerak. Tak terdengar suara atau bunyi apa pun, baik dari mulut mereka atau alat makan yang mereka digunakan.
Aku mulai berpikir apakah ada larangan bersuara saat makan atau memang situasinya terlalu menegangkan?
Perlahan aku menyendok sup dan ikut fokus makan, berusaha tanpa suara atau menimbulkan bunyi apa pun. Ini sungguh membuatku mulai merindukan kehidupan bebas di Magnolia Springs. Astaga. Apa mungkin bisa kulewati waktu di sini sampai beberapa bulan hingga mencapai usia delapan belas tahun?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro