The Best Part. 06
Hai, ada yang kangen?
Mian, baru bisa update ya :)
Jangan lupa vote dan komen, masa makin nipis sih?
Happy reading!
Masjid sekolah yang cukup besar itu kini ramai akan murid perempuan yang akan melaksanakan sholat duhur. Beberapa saat yang lalu semua murid laki-laki beserta bapak guru, telah selesai sholat jum'at. Sekat antara shaf sholat laki-laki dan perempuan pun ditepikan. Hingga sekarang sekat itu belum dibenarkan. Jadi masjid itu tidak disekat saat ini. Terlihat semakin luas.
Caca dan Gigi memakai mukenanya. Berdiri di shaf dekat jendela. Mereka tidak berdua sebenarnya, ada teman kelasnya yang lain, hanya saja masih berwudhu tadi. Jadi mereka sholat lebih dulu saja. Padahal lebih baik berjamaah.
Lima menit kemudian mereka telah selesai. Setelah berdo'a dan berzikir, mereka melipat mukena. Membenarkan kerudung yang sedikit kusut.
"Bentar, Ca. Ini gelang siapa?"
Gigi yang duduk samping jendela itu mengambil gelang yang ada di sana. Ia menunjukannya pada Caca yang masih melipat mukenanya.
"Punya orang dong, Gi," sahut Caca. Gigi lantas langsung menipiskan bibirnya, menahan gemas.
"Ya, maksudnya ini punya siapa lho? Kalau yang punya nyariin gimana? Pasti punya salah satu dari mereka."
Caca memeluk mukenanya yang sudah ia lipat dan memeluknya depan perut. "Mereka siapa?"
"Seluruh murid laki-laki SMA Janus, Arsya Fidiya."
Jika sudah menyebut nama lengkapnya, itu berarti Gigi kesal. Caca terkekeh geli dan melihat gelang itu. Mengambilnya dari tangan Gigi. Memperhatikannya.
"Kasih ke sumber suara aja, nanti diumumin deh. Terus yang punya gelang ini tahu kalau gelangnya hilang. Terus dia ambil. Selesai. Gampang kan?"
Gigi membolakan matanya. "Ya, ya, ya, serah lo aja, Ca."
•••
Alih-alih ke sumber suara yang ada di ruang tata usaha, mereka malah langsung melipir ke kelas. Membawa gelang itu. Memasukannya ke saku rok. Ini bisa terjadi karena tiba-tiba saja mereka lupa belum menyelesaikan tulisan yang ada di papan tulis. Dan harus di selesaikan sebelum jam pelajaran di mulai kembali.
Caca dan Gigi berlari dari masjid hingga ke kelas. Saat tiba di depan kelas, di sana banyak teman laki-lakinya yang tengah duduk di bangku panjang depan koridor kelas. Heh, memangnya mereka sudah selesai menulis?
"Kok kalian gak lanjut nulis? Emangnya udah selesai?" Caca bertanya pada mereka. Mengerutkan kening.
Gigi yang ada di samping temannya itu menyeletuk, "Mereka mah gak usah ditanya, udah pasti belum, males nulis."
Salah satu di antara beberapa teman kelasnya itu Haikal. Gigi memang suka mengibar bendera perang kepada Haikal. Begitupun sebaliknya. Entah apa yang terjadi di antara keduanya.
"Sotoy!" kata Haikal.
Gigi melengos begitu saja. Malas berdebat. Ia harus menyiapkan banyak tenaga untuk menulis. Tidak ingin berdebat dengan Haikal yang tidak berubah. Bahkan semakin menyebalkan.
"Ayo, nulis. Nanti dikumpulin lho."
Sebut saja Caca adalah peri kecilnya IPA 2. Selain tubuhnya yang pendek, dan wajahnya yang masih baby face, gadis itu memang lembut. Tutur katanya ... Membuat teman laki-lakinya begitu menghargainya. Dan Caca merasa dilindungi. Seperti memiliki banyak kakak.
"Duluan aja, Dek."
Ya ampun, sekecil apa sih diri Caca sampai dipanggil Adek?
Memberi jempol di udara, Caca masuk ke kelas. Tapi, ia kemudian langsung berbalik. Mengeluarkan gelang yang ada di saku roknya. "Emm ... Ini punya salah satu dari kalian gak?" tanyanya.
Haikal, Dika dan Qori memerhatikan gelang itu. Sesaat kemudian mereka kompak menggeleng. Merasa asing juga dengan gelang yang ada di tangan Caca.
"Nggak, Ca."
"Coba lo tanya sama yang lain. Emangnya itu dapet dari mana?"
Caca menganggukan kepalanya. "Dari masjid. Yaudah deh, aku masuk dulu ya." Kemudian gadis itu memasuki kelas dan kembali menaruh gelang itu di saku rok.
×××
"Gelang gue mana?"
Misbah menoleh. "Lah? Mana gue tahu. Yang punya kan elo, yang pakai juga elo, ngapa tanya ke gue?"
Afkar berdecak sebal, "Ck! Serius, Mis. Gelang gue hilang," katanya.
"Bukannya tadi pagi masih ada?" Raka ikut menimbrung. Berbalik badan menghadap Afkar dan Misbah. Lalu diikuti Ganda.
"Tadi pagi ada. Terus pas solat jum'at masih. Terus ... Nah! Pasti ada di masjid."
"Iya kalau nggak diambil orang sih aman. Kalau diambil? Hilang dah tuh gelang entah ke tangan siapa."
Afkar mengacak rambutnya kesal. Ketiga temannya yang lain mengerti kalau Afkar sedang kesal. Karena mereka tahu bagaimana berharganya gelang itu bagi Afkar. Satu-satunya gelang peninggalan Ayahnya sebelum meninggal dunia.
"Nanti juga ketemu, Kar. Gue yakin pasti ada yang nemu, terus bakal dibalikin ke elo." Ganda berusaha menenangkan temannya itu. Lebih baik daripada Misbah dan Raka yang mengompori.
"Kalau gak dibalikin? Kalian tahu gimana berharganya gelang itu buat gue. Gue udah janji sama Abah buat ngejaga gelang itu," ujar Afkar. Menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Menghela napasnya. Memikirkan bagaimana kondisi gelangnya itu. Dan juga di mana keberadaan gelangnya sekarang ini.
Apakah gelangnya dipakai orang lain? Atau malah dibuang? Membayangkannya saja sudah membuatnya kesal. Kesal pada dirinya sendiri karena gagal menjaga barang pemberian Abahnya.
"Udah deh, Kar. Sabar, tenang. Berdo'a aja semoga gelangnya ada di tangan orang yang tepat. Dan balik ke tangan lo lagi."
×××
Pulang sekolah Afkar langsung menuju rumahnya. Tidak ada latihan futsal atau nongkrong di kafe bersama teman-temannya. Moodnya sedang turun karena masalah gelang itu. Ia masih memikirkan nasib gelang yang sudah bertengkar manis di pergelangan tangannya selama uda tahun terakhir ini. Dan sekarang, gelang itu hilang karena ia yang ceroboh?
Ya Allah, bantulah Afkar.
"Bang Afkarrr!!"
Pekikan itu menyambut Afkar setelah ia mengucap salam dan memasuki rumahnya. Ia berjalan mendekati adiknya yang duduk sambil menonton serial kartun di televisi. Sendirian.
Setelah melepas sepatu dan menaruh di rak tempat biasa, ia melempar tas ke sofa dan merebahkan tubuhnya di sofa yang sama seperti adiknya duduki itu. Afkar menjadikan paha adiknya sebagai bantalan.
"Abang! Geli! Hahaha ... Geli ihh..."
Adiknya itu bergerak tidak nyaman di tempatnya. Berusaha menjauhkan kepala Afkar dari pahanya. Ya ampun, Afkar ini tidak sadar apa bagaimana? Adiknya masih berumur 9 tahun, sudah jelas kepalanya akan terasa berat di paha adiknya.
"Abang capek lho, Dek. Mau tidur. Diem."
"Ya, tapi jangan di paha aku dong kepalanya! Awas gak? Umma, abangnya, Umma!!" teriak Adiknya.
"Tisya, jangan teriak-teriak. Afkar, kamu makan dulu." Suaranya dari arah dapur. Umma mereka berada di sana. Pantas saja Afkar tidak melihat Ummanya dari tadi.
"Afkar belum laper, Umma! Mau tidur dulu!"
Setelah itu Afkar beranjak. Tidak lupa memberi kecupan singkat di pipi Tisya--adiknya--dan dibalas protesan dari adiknya. Tisya terkadang tidak suka jika dicium secara mendadak. Meskipun oleh abangnya.
"Ih, Abang bau! Jangan cium-cium. Sana!"
Afkar tertawa dan mengambil tasnya. Bukannya pergi ke kamar, ia malah ke dapur. Jelas saja ingin menemui Ummanya yang entah sedang apa.
"Umma, ngapain?"
"Lagi nyatat daftar kebutuhan dapur yang mau Umma beli nanti sore. Antar Umma ke supermarket ya nanti sore? Kamu tidur aja dulu gak papa kok," jelas Ummanya. Duduk di meja makan. Sibuk menulis kebutuhan dapur yang perlu dibeli nanti.
Afkar membuka kulkas. Kemudian mengambil satu buah apel merah dan menutup kulkas kembali. Ia duduk di sebelah Ummanya.
"Umma, salim, kelupaan, hehehe ..."
Umma mendongak. Menyodorkan tangan kanannya. Dan Afkar langsung menyambutnya. Mencium tangan Umma. Kemudian Umma mengusap rambut Afkar. Anak laki-lakinya yang sudah tumbuh remaja. Bahkan sebentar lagi akan lulus SMA. Waktu memang cepat sekali berlalu.
Jika melihat Afkar, hati Umma berdenyut. Ia mengingat sang suami, Abah. Abah sudah meninggal hampir tiga tahun lamanya. Saat Afkar masih duduk di bangku tingkat 10, Abah meninggal dunia.
Afkar yang dalam masa pubernya, beranjak remaja, mengamuk hebat. Tergugu di sudut kamar setelah Abahnya dimakamkan. Melempar semua barang yang ada di kamarnya. Berteriak memanggil nama Abah.
"Abah! Abang mohon, jangan tinggalin Abang, Adek sama Umma. Abah ... Bangun, Abah ... Ya Allah, Afkar mohon bangunkan Abah kembali."
Tidak ada yang bisa menahan tangisan Afkar waktu itu. Bahkan Umma pun tidak bisa melakukan apa-apa untuk anak laki-lakinya. Di satu sisi juga ia menenangkan Tisya, putri kecilnya. Tisya juga tidak bisa ditenangkan. Namun, karena ia masih kecil, Tisya lebih mudah dijinakan daripada Afkar.
"Umma, kenapa?" Afkar mengambil tangan Umma yang ada di kepalanya. Menggenggamnya dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya memegang apel yang sesekali ia gigit.
"Nggak papa. Potong rambut, Bang, udah panjang lho ini," kata Umma.
Afkar menggeleng. Membuat rambutnya ikut bergerak. "Nanti aja. Kalau segini, pas dielus sama Umma lebih enak."
Umma terkekeh. "Alah, kamu gombal!"
×××
Udah jatuh cinta sama Afkar?
Aku mah belum jujur aja wkakakak padahal aku sendiri yg ciptain karakternya huhuuu :"(
Tapi Afkar uwu juga ya, manggilnya Umma sama Abah :)
Gak sabar liat gimana Caca dan Afkar ketemu terus ngobrol????
Gak bisa ngebayanginnya aku mah :((((
Dahhh, kecup kehalangan masker dari nung😋
Indramayu, 18 mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro