Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Beauty and That Boy: 0.3

Aku yakin kalian tidak akan menyesalinya.

Kalimat itu terus terngiang-ngiang-perkataan si orang aneh, sebelum kehidupan mereka berhasil tertukar.

Suara isakan terdengar nyaring di lorong rumah sakit yang lenggang.

Aku menyesal.

***

Rutinitas pagi Seo Changbin benar-benar berputar 360 derajat. Sebelumnya, saat masih menyandang status sebagai tuan muda, ia sering bangun terlambat sehingga menyebabkan keributan kecil antara dirinya, para pelayan, dan nyonya besar yang tak lain ibunya.

Ketentuannya sebagai anak tunggal dari seorang pengusaha sukses, sangat memungkinkan bahwa Changbin akan menjadi penerus perusahaan. Namun dilihat dari kebiasaan buruknya itu, membuat nyonya besar sangat khawatir. Kemarahan nyonya besar layaknya sarapan bagi Changbin.

Ketika hidupnya bertukar dengan Seeun, Changbin tidak bisa melakukan kebiasaan buruknya lagi karena jika telat bangun, ia tidak akan berkesempatan mandi. Saluran airnya terputus karena digunakan oleh pemilik rumah. Karena sekarang Changbin dan nenek tinggal di sebuah rumah sewa sederhana. Pemilik rumah akan memutus saluran air mulai dari pukul enam pagi, alasannya karena jika dibagi dua, aliran air ke rumah sang pemilik akan kecil dan anaknya yang juga masih sekolah jadi susah mandi.

Changbin sempat tertawa dengan alasan itu. Ia sadar kehidupanya saat ini benar-benar terbalik, tapi anehnya dia sangat menyukainya. Meski tidak bisa lagi bangun siang, setidaknya sekarang Changbin sarapan dengan tenang.

Seperti biasa, nenek menyiapkan beberapa lauk di atas meja kecil lengkap dengan dua mangkuk nasi untuknya dan Changbin. Nenek benar-benar menjaga aturan sarapan pagi. Beliau rela bangun dinihari hanya untuk menyiapkan sarapan meski setelah itu harus langsung bergegas kerja.

Changbin menyumpit nasi dengan potongan kimchi di atasnya. Pagi ini menunya sederhana, tapi bagi Changbin sudah lebih dari cukup, sebab selain menggunakan bumbu-bumbu dapur pada umumnya, ada satu bahan lagi yang membuat masakan nenek terasa sangat enak. Besarnya kasih sayang nenek selalu tercampur ke dalam masakannya.

Setelah beres sarapan, seperti biasa Changbin bersiap sekolah sedangkan nenek bersiap kerja untuk mencari kardus dan barang bekas.

Pagi itu, Changbin baru saja keluar kamar saat suara benturan terdengar dari dalam kamar nenek. Ia berlari ke arah sumber suara dan tanpa berpikir panjang membuka pintu kamar nenek. Matanya melebar menemukan tubuh nenek terkapar di depan lemari dengan mata terpejam.

"NENEK!" Changbin bergegas masuk menghampiri tubuh nenek yang tampak lemas, "Nenek ada apa? Nenek, bangunlah."

Changbin menepuk-nepuk lengan nenek, tapi nihil, ia lanjut memeriksa deru napas melalui hidung yang syukurnya masih terasa meski begitu lemah. Dengan panik Changbin mengeluarkan ponsel dan menghubungi 119.

***

Changbin menggebrak-gebrak meja penuh emosi saat mendengar penuturan perawat bahwa nenek tidak dapat langsung ditindak karena harus menyelesaikan urusan administrasi terlebih dahulu.

"Kalian tidak lihat?! Kondisinya sangat darurat. Tolong lakukan sesuatu jika kalian benar manusia." Mata Changbin yang biasa terlihat datar-datar saja dan tidak bersemangat, kini terbuka sempurna menyiratkan ketakutan yang berubah menjadi amarah.

Changbin terus menggebrak-gebrak meja bagian administrasi sampai jemarinya memerah. Beberapa pria berseragam menghampiri dan langsung menyeretnya menjauhi meja.

Usaha dengan melibatkan amarah hanyalah sia-sia. Kini Changbin terduduk pasrah di samping ranjang nenek, sesekali tangannya terangkat mengusap air mata yang jatuh di pipi.

Kondisi nenek belum membaik, matanya masih terpejam rapat. Jarum infus tertancap pada tangannya yang keriput. Changbin sangat menyesal tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan nenek. Pertama kalinya Changbin merasa sangat membutuhkan uang.

Apakah masih tersisa keajaiban untuknya?

Di lain tempat, Seeun memasuki kelas 2-3 yang merupakan kelas Changbin, tapi sepertinya laki-laki itu belum datang, bahkan sampai jam pertama dimulai, Changbin tidak terlihat memasuki kelas.

Seeun keluar dengan perasaan penasaran bercampur khawatir. Mengapa perasaannya begitu cemas pagi ini, bahkan sebelum ia pergi ke kelas Changbin pun hatinya sudah terasa tidak nyaman dan bertambah buruk saat mengetahui laki-laki itu tidak masuk kelas.

Apa jangan-jangan Changbin sakit?.

***

Changbin memandang wajah pucat nenek dan menggenggam tangannya erat seakan menyalurkan energi.

Nenek bertahanlah, aku mohon.

Changbin terus menggenggam tangan nenek sampai dering ponselnya terdengar, dengan nama Seeun di layar. Jantungnya tiba-tiba mencelos dan energinya tiba-tiba habis. Changbin panik, apa yang harus ia katakan?

-
-
-
-
-

Seeun berlari memasuki ruang IGD dengan panik.

"Nenek?" Seeun menghampiri ranjang di mana nenek terbaring dengan selang ventilator terpasang pada hidungnya.

Changbin yang menyadari kehadiran Seeun langsung mundur, memberi ruang antara cucu dan nenek kandung itu. Seeun meraih tangan nenek erat, matanya semakin berkaca-kaca dan dalam hitungan detik suara isak tangis mulai terdengar bercampur dengan bunyi alat medis.

Beruntungnya, setelah kehadiran Seeun, nenek dapat ditangani. Semua itu berkat uang yang Seeun peroleh dengan mudah. Changbin mulai merasa lega dan berharap nenek dapat melalui proses operasinya dengan lancar.

Meski operasi tengah dilakukan, tampaknya Seeun belum juga merasa tenang. Suara isak tangisnya menggema memenuhi lorong rumah sakit yang lenggang. Changbin hanya dapat menatapnya dari sebrang, memerhatikan jejak air mata pada pipi merah Seeun.

***

Tiga hari berlalu. Dengan penuh keajaiban proses operasi nenek berjalan lancar dan kini dirawat untuk masa pemulihan. Nenek sudah bangun satu hari yang lalu dan dapat dipindahkan ke ruang inap biasa.

Setiap pagi, Changbin sarapan di rumah sakit bersama nenek sebelum berangkat ke sekolah. Pulangnya Changbin kembali ke rumah sakit untuk menemani nenek sampai malam. Seeun juga selalu ikut berkunjung, tapi karena harus mengikuti beberapa les, ia hanya dapat menemani nenek tidak lebih dari 30 menit. Hal itu berhasil membuat Seeun lebih banyak murung.

Seperti halnya sore ini. Changbin dan Seeun seperti biasa mengunjungi nenek, dan syukurnya kondisi beliau semakin membaik. Changbin kembali menyuapi nenek untuk makan malam. Seeun memandang adegan itu dengan perasaan yang tidak dapat diartikan. Semuanya bercampur begitu saja, rasa sedih, iri, kecewa, dan marah. Semuanya tercampur menimbulkan perasaan aneh dalam dadanya.

Meski saat ini nenek terlihat semakin sehat dan ceria, perasaan Seeun tidak sebaik itu. Dia banyak diam saat menemani nenek, padahal Seeun telah menganggap nenek layaknya ibu, ayah, saudara, sekaligus sahabatnya. Seeun ingin mengungkapkan perasaannya itu.

Di sela-sela waktu, Seeun mengajak Changbin ke taman rumah sakit dan duduk di sebuah bangku panjang. Seeun mengajaknya berbicara empat mata yang disanggupi Changbin.

"Changbin, mari kita kembali ke kehidupan masing-masing," ucap Seeun tepat saat mereka duduk di bangku taman. Tanpa basa basi atau kalimat pembuka, Seeun langsung mengutarakan maksudnya.

Changbin menatap Seeun dengan tatapan tajamnya, ia memerhatikan wajah Seeun yang tak secerah sebelum-sebelumnya, kini matanya tampak sedikit bengkak, mungkin karena sering menangis, dan kulitnya tampak lebih pucat.

Seeun menatap tajam Changbin. "Aku ingin kembali ke kehidupan sebelumnya, Changbin," jelasnya.

Changbin terdiam beberapa saat sampai akhirnya menggeleng. "Aku suka dengan kehidupanku sekarang. Bukannya kamu juga? Jangan lupa kata si orang aneh, kalau kita tidak akan menyesalinya." tanpa pikir panjang, Changbin yakin dengan jawabannya itu.

Kedua tangan Seeun meremas bagian bawah roknya, sebuah letupan muncul dari balik dada membuatnya sesak. Ia kembali melirik Changbin yang memasang muka datar. Kini Seeun memandangnya dengan sorot putus asa dan sebuah kalimat lolos begitu saja. "Tapi aku menyesal, Changbin. Aku harus bagaimana?"

Seeun tidak dapat menahannya lebih lama. Perasaan kuat dalam dadanya itu semakin membuatnya sesak. Saat ini, yang ada dalam pikirannya bukan lagi kenyataan hidup yang sempat membuat hari-harinya gelap. Namun, bagaimana dengan hari esok jika ia tidak dapat melihat orang yang paling ia sayangi lagi?

Di sampingnya, Changbin terdiam mendengar pernyataan Seeun, ia dapat melihat genangan di pelupuk mata perempuan itu mulai pecah dan jatuh membasahi kedua pipinya.

Percakapan sore itu ditutup dengan Seeun yang melepaskan tangisnya untuk kesekian kali dan Changbin yang diam di sampingnya dengan banyak hal dalam pikirannya.

TBC

Bagian ketiga dari The Beauty and That Boy hehehe

Seharusnya aku update hari minggu kemarin, tapi karena beberapa kendala, akhirnya baru bisa post malam ini. hmmm meski sempat tidak sreg sana sini, semoga bisa tersampaikan dengan baik yaa :)

Selamat membaca dan terima kasih telah membaca cerita ini <3

Jika suka bisa klik vote dan komen <3

See you di bagian selanjutnya, yang kemungkinan besar ending dari cerita The Beauty and That Boy ini <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro