Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

ii. Butterfly Effect

first published oct 29th 2015


.
.
.
.
.
Ahn Seul tidak terbiasa menangis.

"Kau yakin mau membuat tattoo permanen?"

Seul mengangguk, mengiyakan pertanyaan pemuda bertindik tiga dengan alis bertaut di hadapannya. Setelah berpikir semalaman penuh, ia tiba pada satu keputusan final: pada kulitnya akan ditorehkan tinta hitam bersifat permanen. Ia memerlukan sebuah penanda, sebuah pengingat agar tidak mengulangi kejadian kemarin. Seul menyibakkan rambutnya, memperlihatkan bagian belakang telinga kiri untuk menunjukkan tempat di mana ia ingin tattoo-nya ditanamkan.

"Gambar apa yang perlu kutatokan di sini?" Daerah itu kecil, berlekuk, namun tidak akan terlalu sakit. "Kau perlu sesuatu yang sederhana dan eh..., kecil untuk diletakkan di sana."

"Aku sudah mempersiapkannya," ponselnya menampilkan sebuah gambar yang dicari di internet semasa jam istirahat sekolah, pola hitam yang sudah sangat umum di kalangan masyarakat. Buktinya, laki-laki yang bertugas sebagai tukang tato mengangguk-angguk.

"Fleur-de-lis..., tidak ribet dan akan selesai dengan cepat." Senyumnya meliuk, senang karena laki-laki itu tidak berkomentar yang aneh-aneh. Seul dipersilakan duduk di kursi, merasakan rambutnya diraup dan disatukan membentuk cepol kecil di puncak kepala. Terdengar bunyi kursi digeser ke belakangnya, lalu suara laki-laki itu terdengar lagi, "Kau punya kulit yang bagus—tidak ada bekas luka maupun jahitan, kenapa kamu mau membuat tattoo? Permanen, pula."

"Tidak ada apa-apa," sang gadis tersenyum, kekehan kecil lolos dari mulut. "Aku hanya ingin sesekali mencoba punya tattoo, kelihatannya keren." Lewat sudut mata melihat persiapan yang dilakukan oleh si laki-laki, "aku tidak mau kau mengoleskan itu," tunjuknya pada jeli yang sudah setengah keluar dari tube. "Kulit di sebelah sana agak sensitif, padahal kubaca pembuatan tattoo sendiri sudah bikin kulit merah." Ia mendengar laki-laki itu tertawa.

"Ne, ne. Rasanya akan sedikit sakit." Pemuda itu kembali duduk di belakangnya, memposisikan arah duduk Seul sedemikian rupa. "Kenapa memilih fleur-de-lis?" Kulitnya tergesek oleh sesuatu berujung kecil dan tumpul, menari-nari di bagian belakang telinganya selama beberapa saat.

"Entahlah. Aku hanya suka bentuknya. Terlihat manis dan sederhana."

Bunyi dengung mengudara, berselang sepuluh detik, sengatan rasa sakit pertama tiba di kulitnya. Sepuluh jarinya bertautan di atas pangkuan, si empunya menggigit bibir yang terlapisi lip tint Etude kesukaannya. "Fleur-de-lis sering digunakan sebagai simbol perbudakan, tahu."

Perbudakan...? Betul juga, tadi ia sempat menemukan beberapa tautan di layar ponselnya yang menunjukkan adanya hubungan fleur-de-lis dan sejarah yang kelam, tidak dibuka karena Seul tidak punya minat berlebih terhadap bidang sejarah. Kata-kata pemuda yang terus melarikan ujung runcing di atas kulitnya mengingatkan akan sesuatu. Rasanya sakit, di dua tempat pada saat yang bersamaan. Sesuatu di permukaan. Sesuatu di dalam. "Anggap saja, aku ingin diriku ingat bahwa aku pernah terjebak dalam suatu perbudakan." Seul meringis saat mengatakannya, merasakan gigi terbenam pada bagian empuk di dalam mulutnya.

Ia tidak berbohong. Selama bertahun-tahun, ia memang diperbudak oleh perasaannya sendiri, apa yang telah menjadi bom waktu dan disinyalir akan meledak di saat-saat tak terduga. Semalam, ia telah melakukan sesuatu yang membuat hitungan mundur dimulai, lalu boom!, semuanya berantakan.

Hubungannya dan Ahn Taehwan tidak akan pernah sama lagi.

Kedua matanya dipejamkan, berusaha merilekskan punggungnya yang tegang juga mengistirahatkan kedua mata. Semalam, ia terjaga tanpa sempat terlelap, tahu-tahu menemukan sepasang kantung mata berwarna gelap saat bercermin di pagi hari. Sepagi mungkin berangkat ke sekolah, Seul menemukan pintu kamar Oppa tertutup dan lampunya gelap. Ia tidak tahu apakah Oppa masih tertidur atau memang tidak ada di dalam sana.

Sebutir air mata mengalir dan jatuh ke atas jempolnya.

Ahn Seul tidak terbiasa menangis untuk dirinya sendiri, pada dasarnya ia tidak suka harus meneteskan air mata untuk dirinya sendiri. Hitungan jari frekuensinya menangis, sepanjang yang diingat. Ketika pulang dari Namwon. Ketika kemarin menyadari Oppa tidak mau menatapnya. Betapa jarangnya. Saat mengetahui Taehwan akan menjadi kakaknya, ia tidak menangis sedikit pun. Saat memutuskan untuk berbalik dari Tuhan karena kecewa, ia tidak menangis.

Lalu, kenapa saat ini ia menangis...?

"Sudah selesai..."

Rasa sakit yang bertubi-tubi itu berkurang separuh, menyisakan sisa-sisa torehan jarum di kulit yang memerah di sekitar warna hitam. Jarum berhenti berdengung, namun Seul bergeming. Pemuda yang menggambari tattoo di belakang telinga kirinya bingung, kemudian mengangkat alis tatkala melihat jejak-jejak air mata di pipi kliennya.

"Kau perlu tissue?" tawarnya seraya melepaskan ujung jarum dan membereskan peralatan. "Sakit, ya? Tadi kau menolak memakai obat bius, sih..."

Butuh lima detik lamanya sebelum gadis itu menoleh, menatap si pemuda dengan mata sembap dan hidung merah. "Uh-huh. Pembuatan tattoo-nya sakit. Kamu kurang pro."

Seul tidak memerlukan obat bius untuk setiap torehan perih di kulit itu, karena bersamaan dengan jarum diangkat dari permukaan kulitnya, ia merasa kebas seutuhnya. Perasaannya... tidak lagi berdenyut.

Sekarang, ia yakin ia tidak akan menangis lagi. Karena rasa sakit itu sudah kebas, tidak lama lagi pasti akan mati.


*


Ia menemukan lipatan kertas  di bawah pintu kamarnya hari Senin pagi, sedikit lecek akibat menabrak tepian karpet berbulunya. Seseorang menyelipkannya saat ia tertidur semalam, lebih tepatnya sehari penuh karena Seul sama sekali tidak keluar kamar pada hari Minggu. Tidak mau mengambil risiko ia akan berpapasan dengan Taehwan dan mendapati dirinya hancur karena melihat kakak tirinya tidak mau memandangnya. Seul memanfaatkan fasilitas interkom, meminta makan pagi, siang, dan malamnya diantar ke kamar oleh pengurus rumah tangga. Satu hari penuh di dalam kamar, tergolek dengan kepala agak pening di atas tempat tidur. Mengalami demam ringan, kemungkinan besar merupakan efek samping dari luka basah di sekitar tattoo-nya.

Anak perempuan keluarga Ahn tidak mengatakan apa pun saat selesai membaca surat itu. Bibirnya menipis selama beberapa saat, kemudian ia lipat kembali kertasnya. Seul terdiam beberapa saat, ragu mengenai apa yang harus diperbuatnya terhadap surat dari Taehwan. Tidak mungkin ia membuat surat balasan dan menyelipkannya di bawah pintu kamar Taehwan. Tidak tanpa berpapasan dengan kakak tirinya saat keluar kamar.

Jadi, Seul melakukan apa yang harus dilakukannya.

Ia merobek-robek kertas itu menjadi serpihan kecil-kecil dan membuangnya ke tempat sampah.

Kemudian, ia mengenakan jaket dan pergi keluar kamar. Pukul delapan pagi. Taehwan pasti sudah pergi ke sekolah meski semalam ada di rumah.


*


SENDING MESSAGE TO: JUI! ☆

hari ini aku nggak masuk. nggak enak badan.


*



"Kau datang lagi?"

Pemuda di sana menyambutnya dengan seraut wajah kebingungan. Di tangannya ada selembar kain lap. Pukul setengah sembilan pagi, deretan toko-toko di Hongdae belum sepenuhnya terbuka. Terutama salon tattoo yang biasanya dibuka sampai pukul dua belas malam. Pelanggan pertama akan dilayani pukul sepuluh, dan itu masih berkisar satu setengah jam lagi.

Seul mencebikkan bibirnya, mendorong pelan pemuda yang berdiri di ambang pintu agar bisa masuk ke dalam toko. "Aku mau bikin tattoo baru," ujarnya sambil menyapu ruangan dengan pandangan. Kemudian, Seul melangkahkan kakinya ke salah satu sofa yang ada di sana, tempat duduk bagi orang-orang yang menunggu gilirannya ditato. Ia duduk di sana seakan-akan sudah terbiasa mampir kemari sebelum jadwal toko dibuka.

"Seingatku, kemarin kau bilang proses penatoannya sakit dan aku kurang pro."

"Kali ini, pakaikan obat bius saja. Tempatnya lebih luas. Aku bukan orang bodoh yang gemar menyakiti diri sendiri." Sambil berkata demikian, Seul melepaskan jaket jins biru yang dikenakannya. "Aku juga sudah memilih gambarnya."

Lap di tangannya diletakkan di atas meja, dekat mesin kasir yang warnanya agak menguning. Pemuda itu berjalan mendekatinya, mengambil tempat duduk di seberang Seul.

"Kali ini apa?"

Tidak perlu waktu lama baginya untuk menjawab, "Kupu-kupu."


*



"Untuk ukuran seorang pelajar, kau punya banyak sekali tattoo."

Komentar itu membuatnya tertawa kering, separuh mengiyakan kata-kata pemuda itu dan separuh lagi merasa geli karena tidak biasanya ada penjual jasa yang sedemikian cerewet mengenai pelanggannya. Seul tidak bisa melihat bagaimana raut wajah pemuda itu karena posisinya berbaring telungkup, tetapi ia menebak-nebak ada kerut di antara sepasang lengkung alis hitam.

"Pastikan kupu-kupunya cantik," kalimat itu menunjukkan ia mengabaikan komentar sang pemuda. Ujung yang tipis dan tumpul menggelincir di kulitnya membentuk pola yang ia tunjukkan sepuluh menit sebelum ini, saat ia berhasil membujuk tukang tattoo itu untuk memenuhi permintaannya. Bajunya dibuka agar bagian bahu kanannya terlihat, tidak lama lagi akan terlukis pola kupu-kupu apabila Seul mengenakan busana yang memamerkan area bahu.

"Kulitmu bahkan belum sembuh dari iritasi tattoo sebelumnya," semalam, ia baru membuka perbannya, ketika dilihat oleh bantuan dua cermin, Seul menemukan kulitnya yang sensitif memerah dan agak gatal, "Aku heran kenapa anak-anak mulai senang memakai tattoo."

Seul tersenyum walau yakin laki-laki itu tidak akan bisa melihatnya, "Sudah kubilang, aku pernah mengalami perbudakan," ujarnya tanpa terlalu menjelaskan secara detil mengenai alasannya. "Lagipula, mana aku tahu fleur-de-lis punya sejarah seburuk itu. Bentuknya kan, bagus."

"Itu 'kan hanya salah satu sejarahnya." Sesuatu digosokkan ke kulitnya yang mati rasa. Seperti lap. "Nyatanya, fleur-de-lis merupakan simbol monarki Prancis. Jeanne d'Arc menggunakannya sebagai tanda kemenangan. Gerejaku menganggapnya sebagai simbol Santa Maria." Sungguh, Ahn Seul merasa laki-laki ini sangat cerewet. "Militer menjadikannya sebagai simbol kekuatan."

Ia memilih tidak berkomentar apa-apa.

"Aku selalu mengamati gambar yang diinginkan oleh pelangganku dan selalu menerka-nerka apa yang dipikirkan mereka sehingga ingin membuat penanda dengan gambar tersebut," pemuda itu melanjutkannya tanpa menunggu tanggapannya. "Mereka ingin membuat pengingat akan apa yang dirasakan, sebuah tanda mereka telah memenangkan peperangan dalam diri mereka sendiri—oh, memang ada beberapa yang hanya ingin sekedar pamer, kalau yang itu tidak kuperhatikan."

"Agashi, kau baru melakukan kesalahan terbesar dalam hidupmu, ya?"

Jantungnya berhenti berdetak sesaat.

"Kesalahan yang membuatmu menyesal...?"

(Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Kubilang, tidak!)

"Kamu berpikir akhirnya tidak akan jadi seperti ini—karena kamu adalah orang yang teliti."

Bagaimana... ia bisa mengerti? Seul bahkan tidak menceritakan apa-apa kepada pemuda ini. Mereka tidak saling mengenal. Kebetulan, ia hanyalah seorang gadis yang ingin membuat tattoo di belakang telinga kirinya dan bertemu dengan pembuat tattoo seusil ini.

Guliran jarum di belakang bahunya terasa semakin cepat, "Agashi, kautahu kiasan butterfly effect?" Dagunya menggesek permukaan bantal ketika menggeleng. "Tentang, aku akan mengatakannya dalam bahasa Inggris, small things can make big difference. Hal-hal yang terjadi memiliki dampak yang tidak kauperkirakan sebelumnya."

Tidak salah lagi. Apa yang terjadi hari Jumat kemarin adalah realisasi dari butterfly effect. Seul menggigit bibirnya, merasakan penyesalan menderas ke dalam suatu lubang tak berdasar di balik rusuknya.

"Kau mungkin melakukan kesalahan. Kau mungkin diperbudak sesuatu. Tetapi, inilah hidup. Metafora lain dari kupu-kupu adalah siklus kehidupan." Nada suara si pemuda merendah, tercampur dengan dengung jarum yang masih mencetak warna hitam di kulitnya. "Di balik semua masa sulit yang kaualami, kau akan menemukan celah untuk meloloskan diri, lalu kau bisa terbang seperti kupu-kupu untuk mencari tempat baru yang lebih menyenangkan. Kau punya kekuatan dari fleur-de-lis, kau punya sayap untuk terbang. Bukankah itu sudah cukup?—Nah, sudah selesai." Klik! Mesin dimatikan, bertepatan dengan menghilangnya desing jarum di permukaan kulitnya.

Gadis itu mengenakan pakaiannya tanpa berkata apa-apa. Kemudian mengeluarkan dompet merahnya dari saku jaket dan menyerahkan sejumlah uang tanpa menghitung berapa kembalian yang seharusnya diterima. Salon tattoo secara resmi belum dibuka sampai lima belas menit lagi, Seul mengasumsikan ini adalah pesanan di luar jadwal yang tidak seharusnya mengikuti prosedur yang biasanya.

"Terima kasih...," hanya itu yang diucapkannya, tanpa menatap lurus pada mata pemuda yang sudah berbicara panjang-lebar sementara ia mendengarkan dalam diam. Sesuatu memukul-mukul bagian kebas di dalam tubuhnya, seperti mengingatkan bahwa kini ia sudah punya dua stigmata sebagai pengingat kesalahannya hari Jumat lalu.

Ahn Seul berjalan keluar dari sana, tersenyum tipis saat angin musim gugur menerpa wajahnya. Bahunya terasa berdenyut-denyut, kelihatannya efek obat bius sudah habis sehingga ia kembali merasakan sakit dari setiap titik yang menjadi permulaan jarum menempel di kulit.






She has power, she has wings,
isn't it possible for her to overcome every single thing?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro