8. Psithurism: Delapan
"Kau bukan yang melakukan ini padaku?!"
Datang ke kampus dan mendapati mantan pacar mengamuk padanya jelas bukanlah hal yang diinginkan oleh Era. Namun, itulah yang terjadi sekarang. Dia baru saja keluar dari mobil Seth, meninggalkan area parkir sebanyak lima langkah, dan berniat untuk langsung masuk ke gedung kuliah, lalu menemui Madeline, tetapi tiba-tiba saja Gerald datang bersama dengan Barbara dan mengadang jalannya dengan kemarahan yang meluap.
"Wow!" Seth segera maju dan menengahi Era dan Gerald. "Santai, Robinson. Apakah kau tidak memiliki hal lain untuk dilakukan sepagi ini selain membuat keributan?"
Gerald berpaling pada Seth dengan geram. Tangan kanannya naik dengan telunjuk yang segera menekan dada Seth. "Ini bukan urusanmu, Cooper. Jadi, lebih baik kau minggir sebelum kau menyesal."
Seth mendengkus geli. Agaknya kalimat bernada ancaman itu sering sekali menghampirinya belakangan ini. Jadilah dia geleng-geleng. "Sebaliknya, Robinson. Kukatakan padamu, berhenti selagi masih bisa. Aku jamin kau akan menyesal kalau kau tak mendengarkan peringatanku."
Gerald tak peduli. Dia abaikan peringatan itu dan lantas mendorong Seth. Jadilah orang-orang terkesiap heboh, itu jelas adalah sebuah bentuk konfrontasi yang nyata.
"Seth!" kaget Era sembari menghampiri Seth. Dia tampak khawatir, tetapi Seth malah cengar-cengir. "Kau tak apa bukan?"
"Tentu saja aku tak apa."
Era tentu saja ingat, Seth pernah dikeroyok oleh tujuh orang rogue dan masih hidup hingga sekarang. Tentunya Gerald tak akan pernah bisa mengintimidasi Seth.
Walau demikian Era tak akan tinggal diam. Jadilah dia berpaling pada Gerald dan di waktu bersamaan, didengarnya umpatan.
"Sudah kubilang, ini bukan urusanmu, Cooper," geram Gerald dengan memelototkan mata. Lalu tanpa diduga oleh siapa pun, diraihnya tangan Era dalam satu genggaman kuat. "Kau, Era. Ini urusanku dan kau."
Era memang tahu Gerald memiliki sifat dan sikap yang sama sekali tak patut untuk dibanggakan. Namun, dia tak mengira bila Gerald akan menyudutkannya di depan umum seolah tak memedulikan hal lain. Terang saja tindakan Gerald menimbulkan kehebohan para mahasiswa.
Gerald menatap Era tajam. "Jawab pertanyaanku sekarang, Era. Kau bukan yang melakukan ini padaku?"
"Aku sama sekali tak mengerti dengan yang sedang kau bicarakan sekarang," jawab Era sembari menimbang beberapa hal di benak. Genggaman Gerald tak memberikan sakit apa pun untuknya, bisa dikatakan tak ada rasa sama sekali. Namun, agaknya dia tak berpikir untuk membalas konfrontasi Gerald. Jadilah keputusannya kembali pada pilihan utamanya selama ini, yaitu mencoba untuk menghindar. "Jadi, lepaskan aku."
"Kau tak mengerti?"
Era berpaling dan mendapati Barbara menghampiri dengan ekspresi pongah. Kedua tangan Barbara bersedekap dan dilihatnya Era dengan tatapan mencemooh.
"Kau jangan berpura-pura bodoh, Era," ejek Barbara sembari berdecak dengan kesan merendahkan. Lalu dia menyugar rambutnya sekilas sebelum lanjut bicara. "Kami tahu, kau adalah dalang di baliknya dikeluarkannya Gerald dari kampus."
Era melongo sedetik. Dia butuh waktu sejenak untuk mencerna ucapan Barbara. Lalu refleks saja dia bertanya. "Apa kau bilang? Gerald dikeluarkan dari kampus?" Dia beralih pada Gerald. "Kau dikeluarkan dari kampus?"
Gerald menggeram. "Kau tak perlu berpura-pura, Era. Aku tahu, ini pastilah perbuatanmu."
Era yakin, itu adalah perbuatan Oscar. Namun, dia tak akan memungkiri bahwa itu memang adalah perbuatannya secara tak langsung.
Sumbernya adalah percakapan singkat semalam. Oscar sudah mengatakan pada Era untuk memberi sedikit pelajaran pada Gerald. Namun, dia tak mengira bahwa inilah sedikit pelajaran yang Oscar berikan.
"Mengapa kau diam?" tanya Gerald sembari mendengkus. Lalu diangkatnya pergelangan tangan Era sembari mengeratkan genggaman dengan niat untuk menyakiti. "Apakah kau mengakuinya?"
Era diam walau dia yakin bahwa sikapnya sudah memberikan jawaban secara tak langsung. Jadilah dia sedikit merasa bersalah, tetapi jiwa serigalanya malah berkata. Seharusnya Gerald bersyukur karena Oscar hanya mengeluarkannya dari kampus, alih-alih dari dunia ini seperti Mosha.
Mata Era terpejam dramatis. Di satu sisi, dia bisa memahami jalan pikiran Oscar sehingga mengambil keputusan untuk mengeluarkan Gerald dari kampus. Tindakannya memang masuk akal. Namun, sebaliknya di sisi lain. Mengeluarkan Gerald dari kampus juga bisa menjadi bentuk konfrontasi balasan dan itulah yang terjadi sekarang.
"Kau mengakuinya dasar pelacur!"
Era membuka mata ketika Gerald mengumpati dan mendorong dirinya. Sontak saja dia tersurut ke belakang sebanyak lima langkah dan para mahasiswa yang mengerumuni mereka jadi semakin heboh.
"Era!" Seth segera menghampiri dan membantu Era untuk berdiri dengan tegak. "Kau baik-baik saja bukan?"
Era mengangguk. "Kau tak perlu khawatir."
Seth diam saja. Kali ini bukan kekhawatiran yang dirasakan olehnya. Lagi pula dia tahu bahwa Era tak akan mudah tersakiti oleh manusia biasa. Namun, rasa tak terima menguasai benaknya. Tak sepatutnya wanita paling terhormat di kawanan diperlakukan demikian.
Agaknya Seth sudah tak bisa bersabar menghadapi Gerald. Maka dia pun beralih pada Gerald setelah memastikan Era baik-baik saja.
"Sepertinya kau memang tak mengerti bahasa manusia, Gerald. Selain itu kupikir otakmu tak bisa digunakan untuk berpikir."
Gerald memelotot. "Kau."
"Kalau kau ingin berpikir maka kau akan menyadari kalau semua usahamu untuk mencelakai Era dari dulu selalu gagal dan yang terakhir kali adalah semalam. Sekarang kau melihat akibat dari perbuatanmu. Kau dikeluarkan dari kampus. Lalu apa semua ini belum cukup untukmu membuka mata kalau kau sedang berurusan dengan orang yang salah?"
Para mahasiswa yang berada di sana tampak berbisik-bisik. Agaknya sependapat dengan Seth. Namun, di lain pihak hal itu justru semakin memprovokasi Gerald.
Wajah Gerald berubah merah. Rasa panas menjalar sehingga keringat pun mulai memercik. Dia malu, tentu saja. Selama ini dia adalah mahasiswa yang ditakuti, semua orang tunduk padanya, lalu bagaimana bisa Seth mengatainya seperti itu?
Gerald tak terima. Jadilah dia mengepalkan tangan dengan kuat. Dia berniat untuk meninju Seth, tetapi mendadak saja Era bersuara.
"Gerald, kumohon. Kita sudahi masalah kita cukup sampai di sini," ujar Era dengan harapan bisa mendinginkan suasana. Dia tak ingin permasalahan itu semakin berlarut-larut. "Aku minta maaf dan untuk itu aku akan mencoba untuk mencabut pengeluaranmu dari kampus. Bagaimana?"
Mata Seth membesar. "Era."
"Aku hanya tak ingin masalah ini semakin panjang, Seth."
Seth meringis. "Aku tak yakin itu adalah ide yang bagus. Gerald bukan orang yang pantas untuk diberi belas kasih."
Era berniat untuk mengemukakan beberapa pendapatnya sehingga menganggap bahwa itu adalah keputusan terbaik. Lagi pula dia sebentar lagi akan wisuda. Dia pun akan pergi dari Celestial City. Jadi, otomatis saja dia tak akan bertemu lagi dengan Gerald.
Sayangnya, niat Era terpatahkan oleh kenyataan bahwa ucapan Seth memang benar. Nyatanya Gerald malah tertawa terbahak-bahak dengan kesan mencemooh.
"Lagakmu sekarang benar-benar menggelikan, Era. Kau pikir, kau sudah sehebat itu karena berpacaran dengan Oscar?"
Era mengatupkan mulut rapat-rapat sementara suara jiwa serigalanya langsung menggema di benak. Omongan Seth memang benar. Lihat! Dia memang tidak tahu diri.
Napas berembus panjang dan kemudian Era mendengkus samar. "Baiklah kalau begitu. Aku tak akan melakukan atau mengatakan apa pun lagi. Terserah padamu, Gerald. Kita tak ada urusan lain dan kuharap ini menjadi pelajaran untukmu."
Era tak lagi peduli. Diputuskannya untuk pergi dari sana. Kaki melangkah, tetapi Gerald bertindak di luar dugaan.
Gerald mengadang jalan Era. Umpatan meluncur dari bibirnya seiring dengan tangannya yang naik satu. Telapak tangannya menegang, lalu meluncur cepat dengan tujuan pipi Era.
Orang-orang terkesiap. Seth sudah bergerak, tetapi langkahnya terhenti ketika Era pun tak tinggal diam.
Pada akhirnya Era putuskan bahwa mungkin membalas tindakan Gerald adalah pilihan bijak. Lagi pula selama ini dia sudah berusaha mengalah dan menghindar, tetapi Gerald malah menganggap tindakannya sebagai bentuk kepasrahan.
Era tak mengalami kesulitan sama sekali saat menangkap pergelangan tangan Gerald. Jemarinya meremas dan mata Gerald membesar.
Tindakan Era membuat Gerald kaget. Terlebih ketika dirasakan olehnya rasa sakit yang timbul karena cengkeraman Era. Namun, dia tak memiliki waktu untuk larut dalam kebingungan. Sebabnya, di detik selanjutnya, kaki Era menendang kakinya dengan kuat.
Semua mata membelalak. Kesiap pecah tanpa bisa ditahan. Orang-orang tak percaya dengan yang mereka lihat ketika Era membuat tubuh Gerald yang besar itu berputar sekali di udara dan lalu terbanting di tanah dengan menyedihkan. Bahkan Seth pun refleks menyipitkan mata seolah tak tega melihat keadaan Gerald. Walau demikian nyatanya kemudian Seth mendengkus geli sambil mengusap pelipisnya.
"Gerald!" Barbara terpekik. Lalu buru-buru dihampirinya Gerald yang mengerang kesakitan. "Kau tak apa?"
Gerald tak menjawab. Dia justru menggeliat di tanah sembari menahan sesak di dada. Matanya berair dan napasnya megap-megap.
Barbara meradang. Jadilah dia melihat pada Era dengan marah. "Kau benar-benar keterlaluan, Era!"
"Benarkah?" tantang Era tanpa tedeng aling-aling. Agaknya sekarang dia benar-benar sudah mengambil keputusan. "Apakah itu artinya kau ingin aku melakukan hal yang sama untukmu?"
Barbara membeku. "E-Era."
"Ini adalah terakhir kalinya." Ekspresi Era berubah. Kali ini dia tampak begitu serius ketika menatap Barbara dan Gerald bergantian. "Aku harap kalian tidak akan pernah mengusikku lagi atau kalau tidak, kujamin pada kalian, aku bisa bertindak lebih keterlaluan dari ini."
Barbara dan Gerald tak bisa mengatakan apa-apa sementara di lain pihak, Era pun tak ingin berlama-lama di sana. Jadilah dia memutar tubuh dan sempat melihat tatapan takjub Seth yang justru membuatnya jadi cemberut.
Era meninggalkan keramaian itu. Diabaikannya tatapan orang-orang yang menyorotkan beragam reaksi. Kebanyakan dari mereka tampak tak percaya dengan yang telah dilakukannya.
"Era."
Langkah Era terhenti seketika. Matanya memejam dramatis dan dalam hati, dia mengumpat. Siapa lagi kali ini?
Ehm. Bukan orang yang akan mengusikmu, kurasa.
Suara jiwa serigalanya membuat Era membuka mata. Lalu dia berpaling untuk mendapati seorang pria yang tak terduga tengah berjalan ke arahnya.
"Simon."
Simon berhenti tepat di hadapan Era. "Halo, Era," sapanya santai sembari melirik sekilas pada sisa keramaian yang berjarak tak jauh dari mereka. Sempat dilihat olehnya ada Seth yang memeriksa keadaan Gerald. "Apakah aku melewatkan sesuatu yang menarik?"
"Tidak sama sekali." Era menggeleng sembari meringis tertahan. "Sebaliknya, kau justru beruntung karena tidak melihat peristiwa yang akan merusak matamu."
Simon tertawa. "Kau sangat menyenangkan."
"Well, tidak banyak yang menganggapku demikian," lirih Era sembari mengusap kedua tangannya satu sama lain. Disadari olehnya bahwa memang tak banyak orang yang menganggap dirinya menyenangkan. Lagi pula orang yang dekat dengannya memang terbilang sedikit. "Jadi, ada apa kau datang ke sini? Kutebak kedatanganmu bukan karena ingin mencari tontonan memalukan, benar bukan?"
"Tentu saja bukan," jawab Simon sambil geleng-geleng. Lalu dilihatnya jam tangan sekilas. "Aku ada janji temu dengan dosenmu, Madeline."
Era manggut-manggut. "Oh."
"Jadi, kalau kau tak keberatan, bagaimana kalau kita mengobrol lain waktu?"
"Oh, tentu saja." Era buru-buru mengangguk. Pikirnya, Simon sedang tergesa-gesa ingin menemui Madeline, tetapi merasa tak enak bila tak menyapa dirinya. "Silakan saja. Aku tak apa."
Simon mengangguk. "Terima kasih untuk pengertiannya dan ah!" Satu telunjuknya naik dan matanya membesar. "Sebelum aku lupa. Apakah aku bisa mengucapkan selamat padamu sekarang?"
"Selamat?" tanya Era dengan dahi mengerut. Dicobanya untuk menebak hal yang bisa menjadi alasan untuk Simon memberinya alasan. "Untuk wisudaku? Ehm. Itu masih bulan depan."
"Bukan." Kali ini Simon menggeleng sekali sembari tersenyum simpul. Lalu dia lanjut bicara dengan suara yang lebih rendah. "Namun, selamat karena telah menjadi Luna Kawanan Xylvaneth."
O oh! Era tak bisa berkata-kata.
Simon terkekeh.
"A-apa Oscar memberi tahumu soal itu?" tanya Era dengan hati-hati. Dicobanya untuk bersikap santai, tetapi wajahnya terasa kaku total. "Aku tak mengira sama sekali kalau dia akan mengabarimu soal itu."
"Oh, tidak. Oscar tidak mengabariku soal itu. Sebaliknya, firasatku yang mengatakannya. Lagi pula itu bukanlah hal sulit untuk ditebak mengingat Oscar sudah menandaimu dari lama."
Tunggu. Ada sesuatu yang terasa janggal. Jadilah Era bertanya. "Apa kau bilang? Oscar sudah menandaiku dari lama?" tanyanya tanpa benar-benar menunggu jawaban ketika dilihat olehnya Simon yang justru tampak bingung. "Apa maksudmu dengan menandaiku?"
Simon mendeham. Agaknya dia baru menyadari telah kelepasan bicara. Dia telah mengatakan sesuatu yang tak seharusnya. "Well, itu—"
"Simon," potong Era dengan suara yang berubah. "Bisa kau jelaskan?"
Simon tak bisa mengelak. "Itu adalah kebiasaan para manusia serigala pria. Apakah kau tak tahu?"
"Aku tak yakin tahu soal itu. Jadi, tolong jelaskan."
"Sebenarnya itu bukanlah hal yang aneh. Di dalam dunia manusia serigala, hal itu memang kerap dilakukan sebagai penanda ketertarikan atau klaim atas seseorang."
Era melongo. "Jadi, Oscar sudah menandaiku selama ini." Dia menarik napas dalam-dalam. "Tepatnya, bagaimana dia menandaiku?"
Tampak ada pergolakan yang berkelebat di sepasang mata Simon. Agaknya berat untuknya menjawab, tetapi Era tentunya tak akan berhenti sebelum mendapat jawaban.
Simon membuang napas panjang. "Dia menyebarkan aromanya di tubuhmu, Era."
"Ya Tuhan." Era memegang kepala. Mendadak saja tanah yang dipijaknya seolah bergoyang-goyang. "Jadi, apakah itu berarti tanpa sadar aku telah membawa tanda Oscar ke mana-mana sedari dulu?"
Simon tak menjawab. Sebaliknya, dia mengusap kedua tangan. "Well, Era, kupikir aku harus pergi sekarang. Madeline pasti menungguku."
Era mengangguk. "Tentu saja, Simon, dan terima kasih untuk informasi itu."
"Sama-sama."
Simon pergi dengan wajah yang menyiratkan rasa bersalah. Sebabnya, tak sulit untuknya menebak bahwa Era tak menyukai fakta tersebut, fakta di mana Oscar sudah menandainya sedari lama.
Bersamaan dengan itu maka Simon pun sedikit merasa aneh. Pasalnya, sudah sepatutnya setiap wanita serigala mengetahui kebiasaan para pria serigala yang satu itu.
"Sudahlah," gumam Simon sembari menggeleng sekali. Dibuangnya napas sekilas dan diloncatinya tiga anak tangga sekaligus saat memasuki gedung kuliah. "Sekarang lebih baik aku segera menemui Madeline. Ck. Dia selalu saja menghindariku."
Di lain pihak, Seth yang baru saja memastikan bahwa Gerald tidak membutuhkan ambulans sempat melihat Era berbicara dengan Simon. Namun, ketika dia meninggalkan Gerald dan Barbara maka Simon sudah pergi.
Seth sempat melihat Simon memasuki gedung kuliah, lalu bertanya pada Era. "Ada apa dia datang ke sini?"
Era tak menjawab, melainkan terus saja matanya terpejam dengan kedua tangan yang mengepal. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri, tetapi satu dering membuat emosinya bergejolak.
Segera saja Era mengangkat telepon itu. "Oscar!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro