Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Psithurism: Tujuh

Tak butuh waktu lama dan masa-masa itu pasti akan segera berlalu. Demikianlah pemikiran yang sempat terbersit di benak Era tatkala jam kerjanya telah berakhir, lalu dia dan Dree menyusuri jalanan malam bersama.

Dingin udara malam mulai terasa berbeda. Pertanda nyata bahwa musim akan segera berganti. Era menaikkan ritsleting jaketnya hingga menutupi lehernya yang mulai terasa kedinginan. Sementara Dree di sebelahnya tampak biasa saja dengan jaket yang tak terkancing sama sekali. Dree biarkan jaketnya terbuka dan sesekali ditiup oleh angin malam.

Era menyipitkan mata. Diliriknya Dree dengan dahi yang agak mengerut. "Apakah kau tidak merasa dingin?"

"Dingin?" ulang Dree seolah perlu memastikan titik pertanyaan Era sembari melirik pula. Lalu dia tersenyum kecil dan menggeleng. "Sepertinya ini belum terlalu dingin."

"Benarkah?"

Dree mengangguk. "Lagi pula bisa-bisanya kau tidak tahan dingin sementara nyaris seumur hidup kau habiskan di Desa Avaluna. Bukankah di sana nyaris tidak ada matahari?"

"Kau benar," ringis Era dengan ingatan yang melintas di benak. Disadari olehnya bahwa belakangan ini dia tak pernah teringat atau terpikirkan Desa Avaluna lagi, seolah desa itu tak pernah ada. "Di sana benar-benar sangat dingin."

"Maka dari aku jadi heran bisa-bisanya kau tak tahan dingin."

Era tak membalas ucapan Dree, tetapi satu kemungkinan sempat terpikirkan olehnya. Mungkin saja itu karena dia adalah manusia serigala. Darah panas serigala mengalir di pembuluh darahnya. Dia bukanlah vampir yang justru merasakan hal sebaliknya.

Fakta dan kemungkinan itu menerbitkan sekelumit senyum di wajah Era. Pikirnya, dulu dia sempat menentang kenyataan tersebut, tetapi sekarang justru sebaliknya. Menjadi seorang manusia serigala dan bergabung dalam kawanan adalah salah satu hal paling menyenangkan yang pernah dirasakannya.

Senyum di wajah Era terjeda sesaat kemudian. Mendadak saja tubuhnya menegang bersamaan dengan terdengarnya suara jiwa serigalanya.

Ada orang datang.

Bertepatan dengan itu maka muncullah sebuah bayangan dari balik sudut jalan yang gelap. Setelahnya, tak sampai semenit, seorang pria yang mencurigakan telah berdiri di depan mereka.

Pria itu mengenakan jaket hitam yang serampangan. Tatapan matanya tajam dan senyum yang terukir di wajahnya tampak mencurigakan. Jadilah perasaan tak enak dirasakan oleh Era, nalurinya memberi peringatan bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan pria itu.

Era tak ingin mengambil risiko walau bukan takut sebagai penyebabnya. Lagi pula dia sudah lulus ujian petarungan dengan Bogy. Jadi, meladeni seorang pria urakan pastilah tak akan menjadi masalah besar untuknya.

Hanya saja Era memang memiliki sifat yang cenderung ingin selalu menghindari masalah. Dia tak ingin mengabiskan energi dan tenaga untuk hal-hal yang tak penting, termasuk dengan yang satu ini.

Era segera meraih tangan Dree, lalu berbisik rendah. "Sebaiknya kita berjalan lebih cepat."

Dree mengangguk dan mereka pun beranjak menuju jalan lain. Namun, tiba-tiba saja pria itu mendekat sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh. Jadilah tindakan itu tak ubah sinyal untuk sebuah niat jahat yang menguarkan ketegangan di udara.

Kebingungan langsung menyerang Era. Sebabnya, dia yakin sepenuhnya bahwa dia tak mengenal pria itu. Alhasil dorongan untuk bertanya pun timbul. Dia perlu tahu siapa dan ada tujuan apa pria itu sampai mengadang jalan mereka.

"Siapa kau?"

Era berpaling ketika di luar dugaannya, Dree langsung bertanya tanpa tedeng aling-aling. Selain itu, dilihat olehnya Dree yang maju selangkah dengan mata menyipit.

Dree mengamati pria itu dengan lebih lekat. "Apakah kami mengenalmu?"

Pria itu mengabaikan Dree. Tak dilihatnya Dree ketika menjawab dengan acuh tak acuh. "Aku tak punya urusan denganmu. Jadi, lebih baik kau pergi dari sini sekarang juga kalau kau tak ingin menyesal."

Dree melongo. "A-apa kau bilang?"

Pria itu tak lagi menjawab pertanyaan Dree, melainkan dia maju dan semakin mendekat. Tatapannya tertuju pada Era.

Kala itu kebingungan Era sedikit mendapat jawaban. Pertama, pria itu mengenal dirinya. Kedua, pria itu pastilah memiliki niat jahat padanya.

Era membalas tatapan pria itu. Lalu jiwa serigalanya kembali bicara. Dia manusia biasa. Dia bukan manusia serigala. Lalu untuk apa dia mencarimu?

Hal yang sama dipertanyakan oleh Era. Selama ini dia tak memiliki masalah dengan manusia mana pun. Satu-satunya masalah dengan manusia yang dimilikinya dulu adalah terkait dengan Mosha Bennett, seorang pria yang mengklaim dirinya sebagai mafia di Desa Avaluna.

Namun, masalah itu sudah tuntas dari berbulan-bulan yang lalu. Tepatnya, Oscar yang telah menyuruh Philo untuk menuntaskannya. Mosha tak ada lagi di dunia ini dan jadilah Era semakin bingung.

"Aku tak punya banyak waktu, jadi ikut aku sekarang juga."

Pria itu meraih tangan Era tanpa terduga sama sekali. Genggamannya kuat, tetapi tentunya tak cukup untuk menyakiti Era. Walau demikian Era masih bergeming ketika kebingungannya semakin menjadi-jadi.

Samar kerutan muncul di dahi pria itu ketika mendapati Era tak beranjak sedikit pun. Padahal dia telah menarik Era untuk pergi dari sana. Dia merasa sedikit aneh, tetapi tak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Jadilah dia semakin kuat menarik Era. Namun, di waktu bersamaan, tiba-tiba saja ada satu tangan yang mendorong dadanya dan terdengarlah kesiap Era.

"Seth."

Genggaman pria itu pada pergelangan tangan Era sontak terlepas. Dia tersurut beberapa langkah ke belakang. Dadanya sedikit terasa sesak. Jadilah dia melihat Seth dengan geram.

Seth mengabaikan pria itu dan berpaling pada Era. "Kau tak apa-apa bukan?"

"Ya."

Walau demikian bukan berarti semua selesai sampai di sana. Seth beralih pada pria itu. "Siapa kau? Ada urusan apa kau dengan Era?"

"Aku tak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaanmu. Ini bukan urusanmu. Jadi, lebih baik kau pergi dari sini sebelum kau menyesal."

Seth menyeringai. "Sebelum aku menyesal?" Dia berdecih. "Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu," lanjutnya sembari maju. "Kuberikan kesempatan untukmu pergi atau kau yang akan menyesal."

Pria itu tak gentar walau sebenarnya sedikit keheranan yang dirasakan olehnya tadi bisa menjadi pertanda bahwa yang dihadapi olehnya bukanlah orang biasa. Era dan Seth jelas memiliki sesuatu yang tak bisa ditandingi olehnya.

Namun, akal sehat tak cukup menahan geram yang dirasakan oleh pria itu. Parahnya, dia menganggap itu sebagai bentuk penghinaan yang merendahkan harga diri. Jadilah tangannya terkepal, lalu melayang dalam bentuk tinju yang mengarah pada hidung Seth.

Seth berdecak samar dan santai sekali ketika mengangkat tangan kiri. Ditangkapnya tinju itu tanpa kesulitan sama sekali. Jemari bergerak dan lalu diremasnya tinju pria itu.

Jerit pria itu pecah seketika. Keheningan malam ternoda oleh suara kesakitannya. Matanya membelalak dan dicobanya untuk melepaskan tangan dari genggaman Seth, tetapi tak bisa.

Seth geleng-geleng. "Bukankah sudah kukatakan padamu? Pergilah selagi ada kesempatan atau kau menyesal."

"Sialan kau," geram pria itu sembari menahan sakit. Keringat langsung memeriksa di wajahnya yang memerah. "Lepaskan aku bajingan!"

Seth mengabaikan rintihan dan rontaan pria itu. Dia berpaling pada Era. "Apa yang kau ingin aku lakukan padanya, Era? Haruskah aku mematahkan jari-jarinya yang telah menyentuhmu?"

Era menggeleng. Sebaliknya, dia malah beralih pada Dree yang sedari tadi diam saja. "Dree."

Dree tersentak. Agaknya ada sesuatu yang mengganjal pikirannya sehingga dia melewatkan begitu saja adegan heroik Seth barusan. "Ya? Ada apa?"

"Apakah dia orangnya? Apakah dia yang kau maksud?" tanya Era kemudian tanpa melewatkan ekspresi Dree yang tampak ganjil. "Apakah dia orangnya yang kau katakan melihat ke arah kita tadi?"

Dree menggeleng. "Bukan. Semula kupikir memang dia, tetapi tidak. Mereka berbeda. Wajah mereka berbeda."

"Benarkah?" Era sedikit ragu. Sebabnya, keadaan di luar kafe cenderung gelap. Dia tak yakin Dree melihat dengan benar. "Kau yakin?"

"Tentu saja. Bukankah sudah kubilang?" tanya Dree tanpa menunggu jawaban Era. "Aku tak pernah salah melihat. Sejauh apa pun jaraknya, aku tak akan pernah salah melihat."

Keyakinan Dree justru adalah kebingungan Era. Di lain pihak, hal itu ingin dimanfaatkan oleh pria itu. Agaknya sekarang pikirannya semakin jernih dan ide untuk pergi dari sana meronta-ronta di dalam benak. Lagi pula harus diakui olehnya bahwa Seth ternyata memiliki kekuatan yang tak tercermin secara keseluruhan melalui penampilannya yang santai dan necis.

Pria itu menggeram dan mencoba untuk menarik tangannya dari genggaman Seth. "Lepaskan aku!"

"Jangan harap aku akan melepaskanmu," balas Seth santai sembari menguatkan cengkeramannya. Alhasil jerit kesakitan pria itu pun semakin menjadi-jadi. "Jadi, apa yang kau ingin aku lakukan padanya, Era? Jelas sekali dia memiliki niat tak baik padamu."

Era tak yakin. "Aku tak mengenalnya, Seth. Aku tak tahu alasannya mengadangku."

"Kau dengar itu?" Seth mengangkat tinju pria itu dengan gestur penuh intimidasi. "Katakan pada kami, siapa kau dan ada urusan apa kau mengadangnya? Katakan atau aku tak berjanji jari-jari tanganmu akan tetap utuh."

Pria itu menggertakkan rahang. Harga dirinya terluka. Jadilah akal sehatnya kembali kabur dan tergantikan oleh emosi yang langsung membuatnya menendang Seth.

Seth mengelak tanpa melepaskan cengkeramannya pada tinju pria itu. Lalu kaki kanannya menyapu kaki pria itu dalam satu gerakan cepat dan kuat.

Pria itu terjatuh di jalan dan Seth dengan segera menahan dadanya dengan satu kaki. Rasa berat membebani. Dia berusaha bangkit, tetapi tak bisa.

"Kuharap cukup sampai di sini kau mencoba peruntunganmu," ujar Seth tegas. Disiratkan olehnya ancaman yang tak main-main. "Lebih baik kau jawab pertanyaanku atau kau akan menyesal untuk kedua kali."

Pria itu menggeram. Wajahnya amat memerah berkat rasa malu yang tak tertahankan. Walau demikian dia tak memiliki pilihan lain. Jadilah dia menjawab. "Aku bukan siapa-siapa. Kalian tak perlu tahu siapa aku."

Seth menyipitkan mata. Mulutnya membuka, berniat untuk bicara, tetapi pria itu lanjut berkata.

"Gerald."

Seth mengerutkan dahi. "Gerald?"

"Ya," angguk pria itu. "Aku adalah suruhan Gerald. Kami bertemu di kelab dan lalu dia menyuruhku untuk memberi pelajaran pada Era." Dia berpaling pada Era. "Dia ingin aku mencelakaimu."

Era syok. "A-apa? Gerald?"

"Ya, Gerald." Pria itu mengangguk berulang kali. "Aku hanya orang suruhan dan kita tak memiliki masalah pribadi sama sekali."

Era memejamkan mata dengan dramatis. Tak pernah dikira olehnya bahwa Gerald akan bertindak sejauh itu. Bisa-bisanya Gerald menyuruh orang untuk mencelakaiku?

"Jadi, bagaimana, Era?" tanya Seth membuat Era membuka mata kembali. "Apa yang harus kulakukan padanya?"

Mata pria itu membesar. "Sudah kukatakan, aku hanyalah orang suruhan. Aku tak ada masalah apa pun dengan Era. Lagi pula aku tak sempat mencelakainya."

Seth memelotot dan kakinya menekan dengan lebih kuat. Jadilah pria itu mengerang sakit.

"Era?"

Era membuang napas. "Lepaskan dia, Seth. Seperti yang dibilang olehnya, dia hanyalah orang suruhan dan dia tak sempat melakukan apa pun padaku."

"Kau yakin?"

Era mengangguk. "Ya, tentu saja. Lagi pula aku yakin dia tak sebodoh itu untuk mencoba mencelakaiku lagi setelah ini."

Seth tampak menimbang ucapan Era. Ditatapnya pria itu yang terus menahan kesakitan. Lalu dia pun mengangguk. Pertimbangan Era terdengar masuk akal. Jadilah dia menarik kakinya dan pria itu berdiri dengan serta merta.

"Kuharap kau tak akan pernah menunjukkan dirimu lagi di hadapan kami."

Pria itu tak mengatakan apa-apa. Hanya ekspresi wajahnya saja yang menunjukkan geram tak terkira. Sayangnya, dia tak bisa berbuat apa-apa selain mendekap dadanya yang terasa amat sakit, lalu pergi dari sana dengan langkah cepat.

Seth melihat kepergian pria itu dengan tersenyum geli. Dia geleng-geleng sebelum berkata pada Era dan Dree. "Lihat? Sepertinya pulang malam adalah hal berbahaya untuk para gadis seperti kalian. Lebih baik aku antar kalian pulang."

Era dan Dree saling bertukar pandang. Lalu mereka mengangguk bersamaan. Seth pun mengajak mereka untuk menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. Namun, satu dering membuat langkah mereka berhenti bersamaan.

Dering itu berasal dari ponsel Era. Jadilah dia merogoh saku celananya dan tak merasa heran sama sekali tatkala melihat siapa yang menghubunginya. Walau demikian tak urung dia menjadi semakin penasaran. Bagaimana mungkin naluri Oscar bisa sekuat itu? Dia selalu saja menghubungiku setiap kali aku mendapatkan masalah.

Era menunjukkan ponselnya pada Dree dan Seth sebagai isyarat bahwa dia perlu waktu sejenak. Dia sedikit menjauh, lalu barulah mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, Era. Apa yang terjadi?"

Era yakin, naluri Oscar tak akan pernah ada tandingannya. Dari pertanyaan yang serta merta didapatkannya saja sudah cukup membuktikan bahwa Oscar menyadari bahwa baru saja terjadi sesuatu padanya.

"Ehm. Sebenarnya bukan hal yang penting," ujar Era sembari mengusap tengkuk. Lalu didengarnya geraman kasar Oscar dan jadilah dia buru-buru lanjut bicara. "Hanya ada masalah kecil dan Seth sudah mengatasinya."

Geraman kasar Oscar berganti pertanyaan lain. "Bisakah kau mengatakannya secara detail? Apakah tepatnya masalah kecil itu?"

Era tak mempunyai pilihan lain selain jujur. Jadilah diceritakan olehnya secara singkat peristiwa yang baru saja terjadi. Hasilnya, Oscar pun kembali menggeram.

"Apa kau yakin aku tak perlu melakukan sesuatu pada Gerald? Kuperhatikan, lama-lama dia semakin tak tahu diri. Lagi pula ini bukanlah hal pertama yang dilakukannya untuk mengusikmu."

Ucapan Oscar benar dan untuk itu, Era pun diam. Dipertimbangkan olehnya beberapa hal.

Hal yang memberatkan Era adalah kenyataan bahwa dia akan segera tamat dan pergi dari sana. Jadi, pilihan untuk mengabaikan Gerald adalah ide terbaik. Namun, ucapan Oscar selanjutnya justru membuatnya bimbang kembali.

"Melihat dari sifatnya, aku yakin setelah ini dia akan kembali mencari cara untuk mengusikmu, Era. Selain itu kalau boleh jujur maka harus kukatakan bahwa aku masih menyimpan dendam untuk yang dilakukan olehnya padamu tempo hari di gudang kampus."

Era tertegun, sama sekali tak mengira kalau Oscar masih mengingat percobaan pelecehan yang nyaris dilakukan oleh Gerald padanya. Alhasil, dia pun jadi gelagapan untuk bicara.

"Jadi, bagaimana? Apakah aku bisa melakukan sedikit pelajaran untuknya?"

Era membuang napas sekilas. "Silakan saja, Oscar. Lagi pula aku tak ingin memikirkan soal Gerald."

"Jawaban yang tepat. Kau hanya boleh memikirkanku saja."

Era melongo dan panggilan berakhir begitu saja. Jadilah dia geleng-geleng sembari melihat layar ponselnya.

Sementara itu di sisi jalan yang lain, selagi menunggu Era tuntas dengan telepon yang didapat, Seth memerhatikan Dree yang menunjukkan gelagat tak biasa. Telah diperhatikan olehnya sedari tadi bahwa Dree terus gelisah dengan pandangan yang kerap mengedari keadaan sekitar.

Seth mendekati Dree. Di waktu bersamaan, Dree pun berpaling padanya.

"Ada apa?"

Seth menggeleng singkat. "Seharusnya aku yang bertanya padamu. Ada apa denganmu?" tanyanya sembari menarik napas sekilas. "Kuperhatikan dari tadi, kau tampak gelisah dan terus melihat sekeliling." Jadilah dia turut memandangi sekitar walau hanya sepintas saja. "Apa ada sesuatu?"

Dree tampak bimbang. Jadilah dia tak langsung menjawab, melainkan justru menatap Seth untuk sesaat. "Aku merasa seperti ada yang memerhatikan kita tadi."

"Memerhatikan kita?"

Dree mengangguk. "Ya, ada yang memerhatikan kita tadi, tetapi aku terlambat menyadari keberadaannya." Dia diam sejenak sebelum meralat ucapannya dengan nada rendah. "Keberadaan mereka."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro