Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Selenophile: Empat

Era yakin sepenuhnya bahwa cedera di kepalanya bukan main-main, malah bisa dikatakan lebih parah dari yang sempat ia duga. Batu tadi pastilah menyebabkan pembuluh darah di kepalanya pecah dan hasilnya adalah ia jadi tak waras.

Alpha? Jadi alpha yang dimaksud bukanlah nama? Alih-alih adalah gelar untuk pemimpin kawanan manusia serigala? Oh, yang benar saja.

Era memejamkan mata. Tangan naik dan memegang kepala, lantas ia menggeleng. "Aku pasti masih pingsan."

Oscar berpaling pada Landon. "Mengapa dia?"

"Sebentar," ujar Landon seraya mendekat. Dihampirinya Era. "Tenanglah, Alpha. Aku akan memeriksanya."

Oscar terpaksa menyingkir dan memberikan tempat sehingga Landon bisa memeriksa Era. Ia melihat dengan tangan bersedekap di dada dan wajahnya menyiratkan ketidaktenanganan.

"Bagaimana? Apakah dia baik-baik saja?"

Landon memeriksa aliran infus dan mendeham sejenak. "Aku yakin dia baik-baik saja. Sepertinya dia hanya ... syok."

"Syok?"

Landon mengangguk. Dilihatnya ekspresi Era seraya membuang napas. "Wajahnya terlihat seperti manusia biasa yang sedang syok."

"Kau jangan mengada-ada, Landon," gerutu Oscar sembari beranjak dan duduk kembali di tempat tidur. "Tidak mungkin dia—"

"Luna? Alpha? Oh, Tuhan. Apakah aku gila atau sebenarnya aku masih pingsan dan sekarang sedang bermimpi aneh?"

Ucapan Oscar terputus dan ia melongo. "Sepertinya kau benar, Landon. Dia memang sedang syok."

"Aku bisa memahami kebingungannya."

Landon berusaha untuk menahan geli. Ia beralih membuka perlengkapan medis dan mengambil sebotol kecil obat. Diperiksanya label obat tersebut dengan penuh cermat sebelum berpindah pada jarum suntik yang masih tersegel.

"Sepertinya dia membutuhkan lebih banyak istirahat. Tubuhnya terluka dan ia pun lelah. Tidur yang cukup pasti akan memulihkannya dengan cepat. Lagi pula begitulah manusia serigala."

Era tertegun. Ucapan Landon membuat membuat syoknya terjeda. Tangannya jatuh meninggalkan kepala, lalu ia melihat pada infus.

"Apa itu?"

Landon baru saja menyuntikkan obat di kantung infus. "Hanya obat agar kau bisa beristirahat dengan tenang."

"Obat?"

Bola mata Era membesar seiring dengan ketakutan yang mulai timbul. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi dan ia memaksa diri untuk beranjak. Ia berniat turun dari tempat tidur, tetapi Oscar mencegahnya dengan cepat.

"Kau tidak boleh pergi ke mana pun, Azera. Kau harus beristirahat."

Era membeku. "Kau tahu namaku?"

"Tentu saja aku tahu."

"Dari mana kau tahu?"

Oscar melirik tas ransel Era yang tergeletak di meja. "Sebagai warga negara yang taat, kau mempunyai tanda pengenal."

Mata Era terpejam dramatis. Namun, itu tak mengendurkan niatnya semula. Ia mencoba menepis tangan Oscar.

"Aku harus pergi."

Oscar bergeming. "Kau tidak akan pergi ke mana pun. Di sinilah tempat seharusnya kau berada. Di dekatku. Luna harus selalu bersama alpha."

"Tidak," tolak Era sembari menggeleng, terus ditepisnya tangan Oscar yang kerap berusaha menahannya. "Aku bukan luna siapa-siapa. Seperti yang kau tahu, namaku adalah Azera. Azera Cordelia Ross. Aku adalah Era dan aku harus pergi sekarang juga."

"Kau tidak bisa pergi ke mana pun."

Era bersikeras. "Aku harus pergi. Aku harus pergi dari sini atau aku benar-benar akan menjadi gila."

Putus asa membuat Era mengerang. Bola matanya liar melihat ke sana dan kemari. Keringatnya timbul dan mengalir di sisi wajah. Ia terlihat benar-benar kalut.

"Sudah kukatakan, Era. Kau tak akan pergi ke mana pun."

Kegigihan Era mendapatkan perlawanan yang sepadan dari Oscar. Ia tetap berusaha untuk turun dari tempat tidur sementara Oscar memastikan ia tidak akan beranjak sedikit pun.

Kepanikan semakin tak karuan. Era kian dilanda kekhawatiran. Usahanya tak membuahkan hasil dan lebih parah lagi adalah ia mulai merasakan efek obat yang disuntikkan Landon pada infusnya tadi.

Era merasakan tubuhnya jadi berat, bahkan untuk menggerakkan lidah pun ia tak sanggup. Suaranya lenyap dan pandangannya mulai kabur.

"Lihat?"

Suara Oscar terdengar sayup-sayup. Era mengerjap dan ia mencoba menepis tangan Oscar yang meraih tubuhnya.

"Kau butuh istirahat, Era. Jadi, tidurlah."

Anehnya, ucapan itu serupa mantera yang tak bisa dilawan Era. Pada akhirnya ia pun tak berdaya. Ia melihat wajah Oscar untuk yang terakhir kali sebelum ia hilang kesadaran dalam kehangatan yang terasa amat damai—pelukan.

Oscar membuang napas panjang. Dilihatnya Era yang jatuh tertidur di dadanya, ia geleng-geleng.

"Gadis keras kepala."

Landon tersenyum dan membantu Oscar membaringkan Era. "Aku yakin dia persis seseorang."

Mata Oscar menyipit dan Landon buru-buru membereskan perlengkapan medis. Ekspresinya menunjukkan geli seolah yakin Oscar tak akan mencekiknya dengan selang infus.

"Besok pagi dia akan bangun dengan lebih segar. Aku permisi."

Landon pergi. Tinggallah Oscar bersama dengan Ursa yang sedari tadi memilih untuk diam saja. Agaknya ia merasa tak perlu mengatakan apa-apa ketika kehadiran Era telah memberi penjelasan lebih dari yang dibutuhkan.

Ursa membuang napas lega untuk kesekian kali. Sekarang, ia benar-benar merasa terbebas dari kecemasan yang telah membelenggu sejak bertahun-tahun lamanya.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan, Ursa?"

Kelegaan Ursa terjeda. Didapatinya sang alpha melayangkan tanya yang sedikit membuatnya bingung.

"Apa maksudmu, Alpha?"

Oscar menarik udara, lalu menatap Era dengan mengerutkan dahi. "Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan Era kalau dia adalah calon lunaku? Ehm, juga kalau dia adalah seorang manusia serigala. Kau melihat reaksinya tadi bukan? Sepertinya dia memang tidak mengetahui kalau dia adalah manusia serigala."

Ursa paham dan itu kembali membuat ia merasa lega, ternyata penglihatannya tidak keliru.

"Seperti dugaanku sebelumnya, Alpha. Pasti ada sihir yang mengikat jiwa serigalanya. Jadi, yang perlu kita lakukan hanyalah melakukan Upacara Suci. Jiwa serigalanya akan terbebas dan setelah itu barulah jiwa serigalanya yang akan menuntunnya, termasuk memberi tahunya mengenai takdir kalian."

"Upacara Suci?" ulang Oscar dengan nada bertanya. Diulurkannya tangan, lalu dirapikannya anak-anak rambut Era. "Kapan kau bisa melakukannya? Besok malam? Aku akan menyuruh Aaron untuk menyiapkan semua kebutuhan Upacara Suci malam ini juga."

"Alpha."

Suara Ursa nyaris tercekik. Ia meringis dengan wajah tak berdaya. Disadarinya bahwa memang wajar bila Oscar mendesak, tetapi bukan berarti ia tidak syok dengan permintaan tersebut.

"Upacara Suci hanya bisa dilakukan pada saat purnama penuh, Alpha. Aku khawatir kau harus menunggu sampai bulan depan."

Sekarang justru Oscar yang syok. Ia berpaling dan melihat Ursa dengan mata memelotot.

"Tidak bisa dilakukan besok malam?"

Ursa menggeleng. "Tidak bisa, Alpha. Kalaupun besok malam masih purnama, tetapi itu bukanlah purnama penuh. Kita tidak bisa melakukan Upacara Suci."

Oscar mengatupkan mulut. Ekspresinya menunjukkan pergelutan batin yang tak bisa diredam begitu saja. Jadilah Ursa kembali buru-buru berkata.

"Malam ini pun tidak bisa, Alpha. Terlepas dari aku butuh persiapan dan Era sedang tidur, aku yakin kau ingat bahwa kita baru melakukan Upacara Suci semalam."

Oscar memejamkan mata. Tangannya meninggalkan rambut Era, lalu mengepal kuat. Berat, tetapi akhirnya ia mengangguk.

"Kau benar. Sepertinya aku harus menunggu bulan depan."

Ursa merasa lega. Untunglah ia bisa membujuk Oscar.

"Aku punya ide. Setidaknya jaga-jaga agar Era tidak berusaha kabur. Aku yakin ia akan tetap berada di sini dan menerima identitasnya sebagai manusia serigala kalau ia melihat kenyataan itu dengan mata kepalanya sendiri."

Firasat Ursa jadi tak enak. "Maksudmu, Alpha?"

"Bagaimana kalau aku berubah di depannya dan—"

"Jangan, Alpha," potong Ursa horor. Imajinasinya bertindak dan kemungkinan itu mengisi benaknya, jadilah ia semakin tidak setuju. "Aku harap kau tidak melakukannya. Kau bisa membuat Era semakin ketakutan dan dia akan mencap dirinya benar-benar gila."

Oscar berdecak, lalu tak mengatakan apa-apa lagi.

*

Lambaian halus tirai bergerak dalam ombak-ombak kecil tiupan angin dingin. Dicobanya untuk menahan cahaya matahari, tetapi kemilau yang penuh kehangatan itu berhasil masuk dan menjajah. Jadilah tak ada daya dan upaya yang mampu mencegah pagi untuk menunjukkan diri.

Angin berhasil menyusup lebih jauh. Ditelusurinya setiap sudut ruangan, lalu disapanya satu wajah segar yang berbaring di atas tempat tidur. Sekali, dua kali, lanjut hingga ketiga kali dan bulu mata itu lantas bergerak-gerak.

Era tersadar dari tidur yang membelenggu. Perlahan, matanya membuka dan dirasakannya kenyamanan melingkupi sekujur tubuhnya. Tempat tidur memberikan sensasi hangat dan nikmat yang membuatnya enggan untuk bangkit. Rasanya ia masih ingin tidur dan—tunggu!

Tiang infus di sisi tempat tidur. Kamar mewah didominasi warna emas. Sekilas ingatan melintas di benak. Era sontak bangkit dengan wajah ngeri.

A-aku tidak bermimpi.

Kemungkinan lemah itu langsung terpatahkan ketika Era melepas paksa jarum infus di tangan. Rasa nyeri dan setitik darah yang keluar berhasil meyakinkannya bahwa semua itu nyata, bukan mimpi sama sekali.

Era merutuk di dalam hati. Sialan!

Tak membuang-buang waktu, Era segera turun dari tempat tidur. Disambarnya tas ransel di atas meja dan ia bergegas.

Era, kau ingin pergi ke mana?

Suara itu muncul lagi. Era menjawab sembari membuka pintu dengan perlahan, lalu celingak-celinguk, memastikan bahwa keadaan aman. Setelahnya ia mulai jalan dengan mengendap-ngendap di lorong panjang.

Aku akan pergi dari sini.

Suara itu mendeham. Sepertinya itu bukan ide bagus.

Tak masalah walau itu bukan ide bagus, tetapi aku tidak ingin semakin gila di sini. Apa kau tahu? Semalam aku bertemu orang-orang gila. Mereka membahas soal manusia serigala dan alpha. Lebih parahnya lagi, pria itu mengatakan aku sebagai lunanya.

Ehm. Era, kau—

Bukankah semakin cepat aku pergi dari sini maka akan semakin baik? Aku khawatir aku benar-benar akan tertular gila mereka. Manusia serigala? Itu hanya dongeng.

Era, kupikir se—

"Selamat pagi, Era."

Era berpaling. Suara di benaknya menghilang dan sebagai ganti adalah Ursa yang menghampirinya. Ia berusaha mengingat dengan kesan tak yakin.

"Aku adalah Ursa Waverly. Kau bisa memanggilku Ursa dan aku adalah Tetua Suci di Kawanan Xylvaneth."

Era terbengong. Astaga, gejala gila ini kembali berlanjut.

"Aku yakin kau ingat kalau kita sempat bertemu semalam walau kita belum sempat saling menyapa."

Era mengangguk kaku. "Ku-kurasa begitu," jawabnya ragu sebelum sesuatu melintas di benaknya. Jadilah ia menyambar tangan Ursa, lalu memohon. "Aku yakin kau berbeda dengan pria gila itu. Kau pastilah baik hati. Dilihat dari penampilanmu, kau jelas orang yang suka menolong."

Ursa berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa. Terkutuklah ia bila menertawai calon lunanya yang sedang kebingungan.

"Era."

Era mengerang putus asa, tetapi ia tak menyerah. Ia harus pergi secepat mungkin dan Ursa adalah harapannya.

"Aku mohon. Tolong aku."

Dibutuhkan beberapa detik untuk Ursa bisa meredam geli. Ia menarik udara dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Ekspresi teduh terpasang di wajahnya dan ia berkata.

"Apa yang harus aku lakukan untukmu, Era? Lagi pula ke mana kau akan pergi? Bukankah ini memang adalah tempatmu?"

Pertanyaan balik yang diberikan Ursa membuat harapan Era sirna. Ia meneguk ludah dan mundur selangkah demi selangkah.

"Ternyata kau juga gila."

Ursa meringis. "Era."

"Apakah semua yang ada di sini adalah orang gila?" tanya Era seraya memandang Ursa dengan sorot penuh antisipasi. Ia semakin mundur. "Oh, astaga. Sebenarnya siapa kalian?"

Ursa putuskan untuk tidak bertindak gegabah. Ditahannya keinginan untuk menghampiri Era, melainkan ia tetap berdiri di tempat. Ia pasang sikap bersahabat walau Era justru melihat sebaliknya.

"Kami adalah manusia serigala, Era. Persis seperti dirimu. Kita semua adalah satu keluarga dan inilah takdir yang telah kami tunggu selama ini. Akhirnya kau datang."

"Manusia serigala? Takdir?" Era menggeleng berulang kali. Ia sama sekali tidak percaya. "Jangan mengatakan hal tak masuk akal."

"Aku tidak berbohong. Kalau kau ingin bukti, kita bisa melihatnya bulan depan. Aku akan mengadakan Upacara Suci dan kau akan melihat kebenarannya."

Langkah mundur Era terhenti. "U-Upacara Suci?"

"Ya, Upacara Suci. Pada saat itu jiwa serigalamu akan terbebas dan ..." Ursa mengerutkan dahi. Ditatapnya Era lekat-lekat. "Kau sudah menyadari keberadaan jiwa serigalamu bukan?"

"J-jiwa serigala? Apa maksudmu? Aku tidak—"

Lidah Era berhenti berucap. Kata-kata menghilang dari benaknya. Rasa dingin membuat ia jadi menahan napas.

"Suara itu. Kau mendengarnya bukan?"

Era mengerjap, tetapi ia tak menjawab. Sebaliknya, Ursa justru semringah dan segera menghampirinya. Ia raih tangan Era dan berkata.

"Kau sudah berkomunikasi dengannya bukan? Itu adalah dia. Dialah jiwa serigalamu."

Era abaikan perkataan Ursa. Ia tenggelam dalam gelombang kebingungan yang terus menggulung-gulung. Lalu, ia beranikan diri untuk bertanya.

A-apakah yang dikatakannya benar? A-apakah itu kau? A-apakah kau adalah jiwa serigalaku?

Hening sesaat. Era menunggu cukup lama sehingga nyaris membuat ia yakin bahwa Ursa baru saja membual.

Ya, Era. Ini aku.

Era membeku. Siapa kau?

Suara itu menjawab. Aku adalah jiwa serigalamu.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro