Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Selenophile: Tiga Belas

Hari pertama semester baru, Era rasakan bahwa hidupnya sudah tak tertolong lagi. Sekuat apa ia mencoba untuk menghindari Seth maka sekuat itu pula Seth mencoba untuk selalu mengikutinya. Jadilah di mana ada ia maka di sana pula ada Seth.

Era menghentikan langkah. Sejenak, dipejamkan mata dengan menengadahkan kepala. Ia menghitung di dalam hati hingga tiga, lalu barulah ia berpaling. Dilihatnya Seth yang pura-pura sedang membaca artikel di papan pengumuman.

"Seth."

Satu bukti bahwa Seth sedang berpura-pura adalah ia langsung menoleh ketika Era memanggil. Pun sedetik kemudian ia segera menghampiri Era dengan semringah.

"Ada apa?" tanya Seth penuh semangat. Diabaikannya beberapa pasang mata yang agaknya mulai merasa aneh dengan interaksi mereka hari itu. "Kau butuh sesuatu? Kau butuh bantuanku? Katakan saja. Aku pasti akan melaksanakan apa pun perintahmu."

Era berharap kesabarannya bisa lebih luas lagi. "Tidak, Seth. Aku tidak butuh apa pun. Aku hanya, ehm kau tahu?" Matanya melihat sekeliling walau hanya sekilas dan didapatinya bahwa firasat tak enaknya terbukti benar. Orang-orang melihat mereka dengan kebingungan yang tercetak jelas di wajah. "Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian. Jadi, bisakah kau sedikit menjaga jarak dariku."

Seth diam sejenak seolah butuh waktu untuk mencerna maksud perkataan Era. "Pusat perhatian?" tanyanya sambil turut melihat sekitar. Tatapannya sempat beradu dengan beberapa orang dan ia tersenyum ramah. Mereka, kebanyakan adalah para gadis, membalas senyuman Seth dengan sama ramahnya. "Apa maksudmu?"

"Dengar, Seth. Aku tahu sesuatu. Di Istana, kau memang punya banyak teman dan kupikir kau juga tergolong cowok terkenal di kampus. Pada kenyataannya aku sama sekali tidak memerhatikanmu selama ini sehingga aku tak tahu pergaulanmu selama di kampus."

Seth manggut-manggut. "Lalu?"

"Lalu apakah kau tidak merasa kalau sedari tadi orang-orang melihat kita?" Era menggeleng sekilas. "Tidak. Mereka pastilah ingin melihatmu saja, tetapi karena kebetulan ada aku di dekatmu maka secara otomatis mereka jadi ikut melihat padaku juga."

Seth tentu saja paham maksud Era. "Abaikan saja mereka."

Jadilah Era melongo. "Abaikan saja mereka?" Ia berdecak dan memutuskan untuk beranjak dari sana. Dipikirnya percuma saja bicara pada Seth. Agaknya perintah alpha memang benar-benar menjadi hidup-mati untuk manusia serigala mana pun. "Andai semudah itu."

"Memang semudah itu." Seth tak memedulikan permintaan Era semula dan malah menyusulnya. "Kau tak bisa mengontrol orang lain, jadi abaikan saja. Lagi pula kita tidak merugikan mereka."

Era mengabaikan Seth. Ia terus saja berjalan. Pikirnya, mungkin akan lebih baik bila ia cepat pulang ke apartemen. Setidaknya Seth tidak akan mengikutinya sampai ke sana bukan?

"Era, tunggu."

Seth menahan tangan Era. Jadilah langkah Era terhenti seketika. Era berpaling dengan ekspresi malas.

"Ada apa?"

Seth tampak bingung sambil melihat sekitaran. "Mana mobilmu? Ehm kau ingin pulang ke apartemen bukan?"

"Ya, aku ingin pulang ke apartemen, tetapi perlu kau ketahui, aku tidak menggunakan mobil yang diberikan oleh Oscar."

"Jadi, bagaimana kau akan pulang ke apartemen?"

Era mendengkus. "Apa kau tidak tahu ada transportasi umum yang bernama bus?"

"Ah," lirih Seth geli sambil geleng-geleng. "Bagaimana kalau kuantar kau ke apartemen? Ketimbang kau menunggu di halte bukan? Kau akan lelah dan—"

Era segera melepaskan genggaman Seth dan buru-buru beranjak dari sana. Jadilah Seth membuang napas panjang walau itu bukan berarti ia akan menyerah begitu saja.

Sudah menjadi ketetapan dunia, seorang manusia serigala tidak akan mengenal kata menyerah, apalagi pria serigala yang telah ditugaskan oleh alpha untuk menjaga calon lunanya. Begitu pula dengan Seth.

*

Era pikir Seth benar-benar menjalankan perintah Oscar dengan amat baik, menjurus tak dapat dipercaya. Bahkan ia sempat berpikir bahwa pada dasarnya bukan hanya Oscar pria serigala gila, melainkan begitu juga dengan Seth. Buktinya adalah Seth terus saja mengikutinya ketika ia berada di dalam bus.

Oh, Tuhan! Era memejamkan mata dan mendaratkan kepala di jendela. Diabaikannya Seth dan mobil merahnya yang berada di sebelah bus. Jendelanya terbuka dan jadilah Seth kerap melihat ke arahnya, bahkan sesekali melambai.

Era kembali mencoba bersabar, tetapi tak semudah itu. Diingatkannya diri bahwa semua akan berakhir ketika ia tiba di apartemen. Namun, ternyata Seth tinggal di apartemen yang sama dengannya, tepatnya di bawah lantainya.

Oh, Tuhan! Era semakin tak bisa mempertahankan kesabaran. Jadilah ia putuskan untuk beraktivitas dan melakukan apa pun. Ia persibuk pikiran hingga tiba waktunya untuk ia bersiap. Pukul lima sore, ia mengendap-ngendap keluar dari apartemen. Dipastikannya tidak ada Seth dan langsunglah ia pergi ke Central Perk & Pour, kafe tempat ia bekerja paruh waktu.

Era merasa senang dan lega. Setidaknya ia memiliki tempat yang diyakininya bisa bebas dari Seth. Namun, kembali dugaannya keliru.

Seth duduk di salah satu meja. Ada seorang pelayan wanita tengah mencatat pesanannya dan bersamaan dengan itu, ia mengangkat tangan dan melambai pada Era yang melongo di balik area kasir.

"Ada apa? Apa kau mengenal cowok itu?"

Pertanyaan berikut dengan satu sikutan yang mendarat di perutnya membuat Era tersadar dari ketidakpercayaannya. Ia berpaling dan menatap rekan kerjanya yang bernama Audrey Perry. Bersama-sama, mereka menjaga area kasir.

"Oh, kau, Dree," lirih Era sambil membuang napas. Agaknya keberadaan Seth membuat ia lelah lebih cepat dari biasanya. "Ya, bisa dibilang begitu. Dia adalah teman kuliahku."

Dree baru saja memeriksa laci kasir dan ucapan Era membuatnya tertarik. "Oh, apakah kalian sedang pendekatan?" tanyanya lagi sambil melihat Seth, lalu ia geleng-geleng kepala dengan ekspresi penuh takjub. "Dia adalah cowok yang tampan. Jauh lebih tampan dibandingkan Gerald."

Era tak menimpali komentar Dree. Ia hanya memutar bola mata sekilas sebagai respons, tanda bahwa ia mendengar perkataan Dree.

"Selain itu." Dree melirih dengan penuh irama. Dilihatnya Seth dengan lekat dari atas sampai bawah. "Sepertinya dia juga lebih kaya ketimbang Gerald. Sekilas kulihat, semua barang yang melekat di tubuhnya adalah barang-barang bermerek."

Era tak akan menghabiskan waktu untuk membicarakan merek-merek yang dipakai oleh Seth. Nyatanya selama tinggal di Istana, dilihatnya semua manusia serigala mengenakan barang bermerek tanpa terkecuali. Semula ia memang mengabaikannya, tetapi berkat Dree maka jadilah ia terpikirkan juga. Apakah Kawanan Xylvaneth memang hidup bergelimang harta?

Dree semakin mendekati Era. "Kalau dia mengungkapkan cinta, kusarankan agar kau menerimanya tanpa berpikir sama sekali."

"Tidak mungkin dan tidak akan terjadi. Kami tidak ada hubungan apa pun."

Keyakinan Era membuat Dree jadi bertanya-tanya. "Begitu? Lalu kenapa yang kulihat justru sebaliknya? Kuperhatikan, dia terus melihatmu dan tak berpaling sama sekali."

"Ehm. Kuyakin itu dilakukannya karena dia kurang kerjaan."

*

"Oh, kumohon, Oscar. Paling tidak, bisakah kau katakan pada Seth untuk tidak benar-benar mengikuti ke mana pun aku pergi? Kau tahu? Dia bahkan menungguiku di toilet."

Suara tawa Oscar membahana dan terpaksalah Era menjauhkan sejenak ponsel dari telinga. Ia tak ingin gendang telinganya pecah karena tawa Oscar yang memuakkan itu.

"Well, sepertinya dia mengartikan perintahku secara harfiah. Kubilang padanya untuk tidak melepaskan mata darimu."

Era menepuk dahi dan refleks jatuh terduduk di sofa. "Itu menjelaskan padaku akan sikapnya."

Oscar kembali tertawa.

"Jadi, bagaimana? Bisakah kau sedikit meralat perintahmu pada Seth? Oh, kumohon, Oscar. Aku tak ingin menjadi tontonan orang-orang. Seth benar-benar membuatku tak bisa bernapas selama seminggu ini."

Tawa Oscar menghilang dan tergantikan oleh dehaman penuh irama. "Apakah itu artinya kita telah mencapai satu kesepakatan di sini?"

"Apa maksudmu?"

"Permintaanmu tadi, apakah itu menandakan kalau kau tak lagi menolak keberadaan dan tugas Seth? Benar demikian? Karena begitulah yang kutangkap."

Era tak punya pilihan. "Kau memainkan trik psikologi yang tepat, Oscar. The door in the face memang nyaris tak pernah gagal."

"Aku sempat mengira kalau trik itu tak berlaku untukmu, tetapi syukurlah. Kurasa Seth benar-benar membuatmu jadi tak betah."

"Apa pun itu. Kuingin kau mengatakan padanya untuk tidak benar-benar mengikutiku. Cukup dengan jarak yang aman saja dan tak perlu sampai melihatku tanpa kedip. Kalau aku tak tahu Seth sudah pasti kupikir dia adalah pembunuh berantai yang sedang mencari korban selanjutnya."

"Baiklah, Era. Aku akan segera menghubunginya. Kau tak perlu khawatir."

"Terima kasih."

Panggilan berakhir dan Era membuang napas lega sembari benar-benar merebahkan tubuh di sofa. Dipandanginya langit-langit mewah di atas sana dengan rasa tenang yang menyeruak di dada.

Oscar membuktikan kata-katanya. Keesokan harinya, Era tidak mendapati sikap mencolok Seth. Dilihat-lihatnya, Seth bersikap lebih natural. Seth memang masih mengikutinya ke mana pun ia pergi, tetapi dengan jarak yang lebih aman dan alamiah. Jadilah ia merasa lega.

Sayangnya ada beberapa hal yang telah terlanjur terjadi dan tak bisa berubah, seperti sikap beberapa gadis pada Era. Agaknya seminggu adalah waktu yang cukup untuk membuat mereka jadi penasaran padanya, nyaris bertanya-tanya dengan kebingungan serupa, siapakah Era dan mengapa ia bisa menarik perhatian Seth?

Era merasa risi. Tatapan orang-orang membuatnya jadi tak nyaman. Ia mencoba untuk mengabaikan, tetapi ada satu yang tak bisa dihindarinya begitu saja.

Gerald berdiri di hadapan Era. Diadangnya jalan Era, lalu berkata. "Sendirian? Ke mana cowok norak itu? Ehm. Siapa namanya? Seth Cooper?"

Era memejamkan mata dengan dramatis walau hanya sekilas. Ternyata bukan hanya para gadis yang tertarik dengan sikap Seth selama seminggu itu. Bahkan Gerald pun ikut-ikutan memerhatikan mereka. Jadilah ia bertanya di dalam hati, apakah kami semencolok itu?

"Tak ada urusannya denganmu."

Era berniat untuk langsung pergi dari sana, tetapi di luar dugaan adalah Gerald meraih tangannya dan menggenggamnya dengan erat. Jadilah langkah Era tertahan dan dilihatnya Gerald dengan sorot tak percaya.

"Apa yang kau lakukan, Gerald?" tanya Era sambil berusaha menarik tangannya. "Bisa kau lepaskan tanganku? Aku ingin pergi."

Gerald mengabaikannya. "Jawab dulu pertanyaanku, Era. Setelah itu barulah kupertimbangkan apakah kau boleh pergi atau sebaliknya."

"Sebaliknya?"

"Kita sudah lama tidak bertemu," ujar Gerald sembari mengamati Era dengan lekat dari atas hingga bawah. Matanya menyipit dan ia menyeringai. "Mengapa kau terlihat lebih cantik sekarang? Selain itu, parfummu sangat wangi. Aku suka."

Era memelotot. Dilihatnya Gerald menundukkan wajah dengan gelagat menuju pada lekuk lehernya. Ia bereaksi, berniat untuk menghindar, tetapi satu tangan lebih dahulu mendorong Gerald.

Dorongan itu lebih kuat dari yang diduga oleh Era. Jadilah matanya semakin membesar saat melihat Gerald terjungkang di lantai. Ia kaget dan begitu pula dengan orang-orang yang kebetulan sedang berada di sana.

"Seth."

Seth mengabaikan Era. Dilihatnya Gerald dengan wajah tak suka. "Kau pikir, apa yang kau lakukan?"

Wajah Gerald berubah merah. Ia menggeram dan bangkit dengan ekspresi marah. "Kau bisa tanyakan itu pada dirimu sendiri? Mengapa kau ikut campur urusanku dan Era? Memangnya kau siapa?"

Sejenak, Seth diam. Lalu ia malah mendengkus. "Kalau kau ingin melakukan sesuatu, lihat dulu sekeliling. Kuyakin Barbara tidak akan menyukai tindakanmu barusan."

Semua mata, tanpa terkecuali, beralih pada satu titik yang sempat dilirik oleh Seth. Dilihatlah oleh mereka keberadaan seorang mahasiswi cantik berpenampilan glamor bernama Barbara Barnes, pacar Gerald sekarang.

Barbara berdiri bersama dengan teman-temannya. Wajahnya tampak datar. Walau begitu orang-orang bisa menebak, pastilah ia tengah menahan kesal dengan peristiwa yang baru saja terjadi.

Seth beralih pada Era. "Ayo, Era."

Untuk kali ini, Era bersyukur dengan kehadiran Seth. Jadilah tak aneh bila ia mengangguk dan ikut pergi bersama Seth. Mereka tinggalkan kekacauan di sana. Tak mereka pedulikan Gerald dan Barbara yang saling bertatapan tanpa bicara sama sekali untuk sesaat.

"Jadi, sebenarnya aku cukup penasaran. Mengapa kau dulu bisa berpacaran dengan Gerald? Kulihat-lihat, dia benar-benar bermasalah. Kau tentu tahu bukan? Dia berulang kali berbuat ulah."

Era membuang napas panjang. "Semua orang pernah melakukan kesalahan, tak terkecuali aku. Anggaplah dulu aku bodoh sehingga sempat berpikir kalau dia benar-benar mencintaku. Ternyata dia hanya mengincar catatan, tugas, dan jawaban ujianku."

Sontak saja tawa Seth pecah. "Kau benar-benar lugu, Era."

"Begitulah risiko hidup tanpa kasih sayang ayah. Sedikit saja seorang cowok memberiku kebaikan maka aku merasa jadi spesial."

Seth tersenyum penuh arti. "Bagaimana dengan Oscar? Kulihat malah sebaliknya."

"Itu karena aku sudah kapok gara-gara Gerald. Jadi, aku tak akan jatuh untuk kedua kalinya."

Seth kembali tergelak. "Jangan begitu. Oscar berbeda dengan Gerald. Bahkan Oscar berbeda dengan semua pria di muka bumi ini. Dia pasti akan mencintaimu dengan sepenuh hati. Kujamin itu."

Langkah Era berhenti. Jadilah Seth ikut-ikutan berhenti pula.

"Kau tak perlu mempromosikan Oscar, Seth," ujar Era dengan mimik yang membuat Seth jadi geli. "Itu tak akan berguna."

Seth tak merasa tersinggung sama sekali dan pada waktu bersamaan, dilihatnya Era akan beranjak ke arah berbeda. "Kau mau ke mana?"

"Ke toilet," jawab Era dengan mata menyiratkan peringatan. "Jangan ikuti aku dan ..." Ia membuang napas. "... terima kasih untuk yang tadi."

Ucapan terima kasih Era membuat Seth terkesima. Jadilah ia mengangguk dan berkata. "Kapan pun, Era."

Era tinggalkan Seth. Dilaluinya lorong gedung yang panjang dan tempat yang ditujunya adalah toilet.

Sejujurnya Era sudah ingin ke toilet sedari tadi, tetapi berkat Gerald maka keinginan itu harus tertunda sejenak. Selain itu, ia pun sengaja mencari toilet yang berada di sudut gedung. Tempatnya lumayan tersembunyi dan jarang ada yang menggunakannya sehingga ia tak perlu menebalkan muka dan menulikan telinga untuk hal-hal yang terkadang bisa saja terjadi.

Era masuk. Dipastikannya bahwa memang tak ada orang di sana. Setelah itu ia menuju pada satu bilik toilet, tetapi tiba-tiba saja ia mendengar suara pintu toilet yang dibuka dengan bantingan kuat.

Era menoleh. Ada Barbara dan teman-temannya masuk. Sontak saja sinyal peringatan berdenging di kepalanya, termasuk dengan suara jiwa serigalanya yang terdengar panik. Sepertinya mereka akan melakukan sesuatu padamu, Era.

Semoga saja tidak. Era berharap demikian, tetapi Barbara langsung mematahkan harapannya.

Barbara mendekat dan teman-temannya mengelilingi Era. Dilihatnya Era dengan sorot merendahkan, lalu berkata.

"Berani-beraninya kau merayu pacarku, pelacur!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro