11. Selenophile: Sebelas
Sebenarnya Aaron tidak terlalu sibuk. Tugas yang diberikan oleh Oscar padanya beberapa hari yang lalu bukanlah hal berat. Semuanya gampang, tetapi bukan berarti tidak menguras waktu dan tenaga.
Aaron melakukan perjalanan ke Celestial City. Ada beberapa hal penting yang harus diurusnya berkenaan dengan liburan musim panas yang akan selesai sebentar lagi.
"Bagaimana? Apa semuanya sudah beres?"
Aaron mengangguk. Malam itu, tepatnya pukul sebelas malam, ia dipanggil oleh Oscar. Jadilah ia ke ruang kerja Oscar dan melaporkan semua hasil pekerjaannya terlepas dari fakta bahwa tubuhnya yang tak lagi muda mulai menjeritkan permohonan untuk segera diistirahatkan.
"Apartemen, mobil, kartu kredit, dan semua keperluan Era sudah siap, Alpha."
Oscar tinggalkan proposal pengembangan produk yang tengah dipelajarinya sejak sejam yang lalu. Sekarang ada yang lebih penting ketimbang inovasi terbaru di bidang pangan organik yang tengah digelutinya.
Aaron menyerahkan tablet padanya. Ditunjukkannya beragam foto yang memuat penampakan apartemen, mobil, dan semua kebutuhan Era di Celestial City, termasuk di dalamnya pakaian, sepatu, tas, dan semua hal yang menjadi mimpi setiap wanita di dunia.
Oscar memeriksa foto itu satu demi satu dengan teliti. Dipastikan bahwa semua yang disediakan oleh Aaron sesuai dengana arahannya—harus mewah, mahal, dan berkelas.
"Tak ada yang terlewatkan?"
Aaron menjawab dengan penuh keyakinan. "Tidak sama sekali, Alpha. Semua persis seperti yang kau perintahkan."
Oscar mengangguk sembari menaruh tablet di atas meja, lalu ia bangkit. "Baguslah kalau begitu. Sekarang sepertinya aku harus memberi tahu Era soal ini. Aku ingin melihat seperti apa reaksinya."
Aaron melihat Oscar melangkah cepat dengan mengulum senyum. Bila itu berkenaan dengan Era, bisa dipastikan bahwa Oscar tak akan bisa menunggu. Ia tak merasa heran sama sekali.
Oscar meraih daun pintu, tetapi tak langsung keluar. Di luar dugaan, ia berpaling dan kembali berkata pada Aaron. "Istirahatlah besok. Suruh Philo untuk mengurus semua keperluanku besok, tetapi tidak termasuk dengan menyedu teh kamomil."
Senyum geli Aaron semakin menjadi-jadi. Namun, ia tak abai untuk mengangguk. "Terima kasih, Alpha."
Setelah itu barulah Oscar benar-benar pergi. Ia berjalan cepat, nyaris seperti berlari. Dorongan hasrat dalam dirinya tak bisa dibendung dan jadilah ia abaikan semua hal.
Malam memang telah larut. Oscar pun yakin Era sudah bersiap-siap untuk tidur. Namun, dorongan untuk mengabarkan hal tersebut pada Era benar-benar tak bisa ditahan. Ia tak bisa menunggu sampai besok pagi. Lagi pula bukanlah lebih cepat maka akan lebih baik?
Jadilah Oscar menyadari bahwa ia bukannya bersemangat untuk mengabarkan hal itu pada Era, melainkan sebaliknya. Pada dasarnya ia memang akan selalu mencari celah dan alasan untuk bisa menemui Era.
Persis seperti seekor anak anjing yang tak bisa berlama-lama jauh dari tuannya.
Oscar mendeham. Lalu menghardik di dalam benak. Diam kau!
Semua persis seperti dugaan Oscar. Era sudah bersiap akan tidur ketika ia sampai. Dihampirinya Era dan ia berkacak pinggang dengan wajah semringah.
"Aaron sudah mengurus semuanya."
Era mengerjap bingung. "Kau tiba-tiba datang dan mengatakan Aaron sudah mengurus semuanya. Ehm. Apa yang Aaron urus?"
"Keperluanmu. Liburan musim panasmu akan segera selesai."
"Memang dan itu—" Bola mata Era membesar. Perasaannya jadi tak enak. Jadilah ia bertanya dengan suara horor. "Apa kau bilang, Oscar? Aaron mengurus keperluanku? Keperluanku yang mana yang diurusnya?"
Oscar tersenyum dengan kebanggaan. Agaknya ia merasa puas karena Aaron melaksanakan perintahnya dengan sempurna. "Aku ingin membuktikan kalau aku benar-benar egois dan jentelmen, Era. Jadi, kuperintahkan Aaron untuk menyiapkan apartemen dan hal lainnya untukmu."
Era tercekik hingga menimbulkan suara mengerikan. Sekarang wajahnya terlihat benar-benar ngeri.
"Pria yang egois pasti akan bersikeras dengan keinginannya. Jadi, itulah yang kulakukan. Akan kupastikan kau tidak bisa pergi dari kekuasaanku. Selain itu, karena aku pun jentelmen maka aku juga memastikan untuk memenuhi semua keinginan dan kebutuhanmu. Aku jamin, kau akan betah berada dalam kekuasaanku."
Era bergidik. "Kau gila, Oscar."
"Terserah apa katamu. Sesukamu saja mengataiku gila. Aku sudah tak masalah," tukas Oscar santai. Diangkatnya satu tangan dan ditunjuknya Era. "Yang pastinya adalah besok aku sendiri yang akan mengantarmu ke Celestial City."
"Tidak. Aku tidak perlu diantar. Aku bisa pergi dengan bus."
Oscar mengernyit. "Oh, tidak bisa, Era. Pilihanmu hanya ada dua, yaitu tetap tinggal di sini atau pergi bersamaku."
Jadilah Era mengatupkan mulut rapat-rapat. Ia mencoba menenangkan diri di bawah intimidasi aura dan rasa percaya diri Oscar. Oh, sial! Dia benar-benar keren.
Era makin meradang. Pujian yang diberikan oleh jiwa serigalanya untuk Oscar membuat ia makin dongkol saja.
Jadilah Era menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menahan emosi. Dicamkannya di benak bahwa ketenangan akan membuat pikiran menjadi lebih jernih. Dengan begitu, ia pun bisa mencari solusi dari apa yang tengah terjadi.
Era mendapatkan secercah cahaya. Disadarinya bahwa yang terpenting sekarang adalah pergi dari Istana. Setelah itu barulah ia bisa pelan-pelan melepaskan diri seutuhnya dari kungkungan Oscar. Nanti, ketika situasi telah terkendali, ia juga akan meninggalkan apartemen dan semua yang diberikan Oscar. Sekarang, penting untuknya berpura-pura jadi anak anjing penurut, paling tidak agar Oscar tidak curiga.
"Baiklah," lirih Era sambil membuang napas. "Aku akan pergi bersamamu."
Oscar tersenyum. Jawaban Era persis dengan harapannya. Untuk itu didekatinya Era dan ia duduk di tepi tempat tidur.
Tubuh Era bereaksi. Ia mencoba untuk menjauh walau gagal, Oscar segera menahannya. Kedua tangan Oscar mengurungnya di kedua sisi tubuh. Oscar membuatnya tak bisa kabur, bahkan untuk sekedar menciptakan jarak pun tak bisa.
"Mau apa kau?"
Oscar mendengkus geli mendengar pertanyaan penuh antisipasi Era. "Aku tak mau apa-apa."
Jawaban Oscar tak menenangkan Era. Sebaliknya, ia malah semakin waspada. Ia berani bertaruh, pastilah Oscar merencanakan sesuatu.
"Aku tak berbohong, Era. Jadi, kau tak perlu tegang seperti ini. Setidaknya, jangan tegang untuk sekarang. Aku yakin, ada masanya untuk kita tegang bersama-sama."
Era menggeram. "Oscar."
Oscar tergelak sekilas, lalu buru-buru kembali bicara. "Pada intinya, aku hanya ingin mengingatkanmu satu hal. Kau ..." Ia menarik napas dalam-dalam. Geli di wajahnya menghilang dan tergantikan ekspresi serius. Ditatapnya Era dengan lekat. Ia membuat Era jadi tercekat dan tak bisa bernapas. "... tak akan pernah bisa lepas dariku, Era."
*
Pukul delapan pagi. Mobil yang dikendarai oleh Philo telah meninggalkan Istana. Turut pergi bersamanya adalah Aaron, Era, dan Oscar. Sementara Aaron menemani Philo di kursi depan maka lain lagi dengan Era dan Oscar. Keduanya berada di kursi belakang dengan sekat pembatas yang terpasang.
Era mengingatkan diri berulang kali untuk terus menahan emosi. Ketimbang ia memedulikan sikap Oscar yang terus menerus menatap dirinya sepanjang perjalanan, lebih baik diingatnya lagi kejadian beberapa waktu lalu, tepatnya sebelum ia meninggalkan Istana.
Tak pernah Era bayangkan sebelumnya, kepergiannya membuat penghuni Istana menjadi bersedih. Para manusia serigala itu mengerumuninya seperti semut yang mengerumuni gula. Mereka mengucapkan beberapa doa dan harapan, kebanyakan agar ia bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat sehingga tidak perlu meninggalkan Istana lagi. Selain itu, mereka juga berpesan agar ia sering datang ke Istana dan jangan lupa untuk memberi kabar.
Era merasa sedikit geli. Ia bukannya pergi ke belahan dunia yang jauh, melainkan hanya ke Celestial City, kota tetangga. Anehnya, mereka bersikap seolah-olah ia akan pergi selama-lamanya.
Wajah Era seketika berubah. Dalam hati, dibenarkannya hal tersebut. Ia memang akan pergi selama-lamanya dari Kawanan Xylvaneth. Cepat atau lambat, itulah yang akan dilakukannya.
Perjalanan antar kota Pondera E.V dan Celestial City membutuhkan waktu cukup lama. Faktanya Istana terletak di pinggiran distrik Sonnet Springs yang merupakan distrik terluar dari kota Pondera E.V. Beruntung, jalanannya lurus dan tanpa hambatan sama sekali sehingga tiga jam mungkin saja akan terlewati tanpa terasa mengingat Era dan Oscar sama sekali tidak bicara satu sama lain.
Keduanya kompak diam dan sibuk dengan dunia mereka sendiri. Era sibuk dengan melihat pemandangan luar seraya memikirkan banyak hal dan terkadang ia membaca buku sementara Oscar sibuk dengan melihat Era, tidak berbeda jauh.
Perjalanan berakhir sebelum jam benar-benar menunjukkan pukul sebelas siang. Mobil memasuki kawasan apartemen elite bernama The Avalon Gardens. Era melihat namanya dan ia tersenyum masam.
"Mengapa? Apa ada yang salah? Kau tak suka tempat ini? Kalau begitu, aku bisa menyuruh Aaron untuk—"
Era menggeleng. "Bukan begitu. Hanya saja namanya membuatku teringat akan desa Avaluna."
Oscar diam sejenak, lalu ia mendengkus geli. Bertepatan dengan itu, mobil berhenti bergerak dan pintu mereka terbuka. Ada Aaron yang menyilakan keduanya.
"Silakan."
Bersama dengan Oscar dan Aaron, Era melewati satpam dan mereka disapa dengan ramah oleh resepsionis yang berjaga. Ketiganya menuju lift dan tak membutuhkan waktu lama, tibalah mereka di lantai yang dituju, terus pada unit aparteman yang diperuntukkan bagi Era.
Kaki melangkah keluar dari lift. Era dapati cahaya gemerlap lampu gantung mewah menyambutnya dan memberikannya pemandangan lorong panjang yang dipenuhi oleh lukisan seni kontemporer, beserta dengan tanaman hijau yang tersebar rapi di setiap sudut.
Hanya ada satu unit yang berada di lantai itu. Keberadaannya mencolok dengan kehadiran pintu bewarna cokelat tua dengan aksen emas yang memberikan kesan mewah.
Era mengerutkan dahi dan jadilah ia bertanya-tanya. Apakah sesuka itu Oscar dengan warna emas?
Aaron membuka pintu, dipersilakannya Oscar dan Era masuk. Lalu diberikannya waktu pada mereka untuk menilai keadaan unit apartemen itu walau hanya sekilas.
Ekspresi Era menerbitkan senyum kecil di wajah Aaron. Tak perlu diperjelas, ia tahu bahwa Era menyukai tempat tinggalnya yang baru itu. Terlebih lagi Era pun tak merasa segan untuk memuji.
"Tempat ini indah sekali, Aaron."
Senyum kecil Aaron berubah menjadi lebih besar. "Aku senang kau menyukainya, Era."
"Aku tahu, Aaron memang selalu bisa diandalkan."
Era berpaling dan melihat Oscar dengan mata menyipit. "Mengapa kau terdengar bangga? Aku bukannya memujimu."
"Aku bangga karena aku telah memilih orang yang tepat untuk mengurus keperluanmu," ujar Oscar pintar. "Bukankah begitu, Aaron?"
"Tentu saja, Alpha."
Era putuskan untuk tidak meladeni Oscar. Alih-alih ia fokuskan perhatiannya untuk mencermati setiap sudut unit apartemen itu. Ia nikmati semua yang ada, termasuk dengan pemandangan panorama kota yang tersaji melalui jendela-jendela besar dan langkah membawanya berakhir di balkon yang amat cantik.
Angin sepoi-sepoi menyambut Era dan membuat rambutnya berlarian. Tanpa sadar ia tersenyum dengan satu keyakinan, pemandangan itu pastilah akan lebih cantik ketika di malam hari. Jadilah ia ingatkan diri untuk membuktikan dugaannya nanti malam.
"Aku senang kau menyukai tempat ini."
Era melirik dan mendapati Oscar menyusulnya. "Harus kuakui, tempat ini memang bagus dan indah."
"Apa pun itu, kupastikan yang terbaik untuk calon lunaku," ujar Oscar seraya meraih tangan Era. Dikecupnya jemari Era dan dibuatnya Era jadi menahan napas di dada. "Kupastikan kau akan bahagia bersamaku, Era. Apa pun. Semuanya akan kuberikan."
Era membeku. Tatapan Oscar terasa membidik sehingga ia bergeming total. Ia tak bisa bergerak seolah dunianya terhisap dan semua bergumul pada dimensi yang disebutnya.
"Oscar."
Era mengingatkan diri untuk fokus pada rencana awal. Sehangat apa pun Kawanan Xylvaneth atau sebaik apa pun Oscar, itu tak berarti apa-apa dengan keinginannya untuk bisa menentukan takdir dengan bebas. Ia tak ingin terikat pada apa pun, termasuk ramalan, kawanan, dan alpha.
Jadilah Era putuskan untuk tak mendebat Oscar. Sepenuhnya, ia menjadi gadis patuh hari itu. Sebabnya adalah ia tak ingin menguras tenaga dan anggaplah itu sebagai kenang-kenangan sebelum ia benar-benar pergi dari mereka semua.
Memang bukan besok. Bukan pula minggu depan. Setidaknya Era harus memastikan keadaan terlebih dahulu sebelum pergi dari The Avalon Gardens dan meninggalkan semua fasilitas yang diberikan Oscar padanya.
Era pikir, mungkin waktu yang tepat adalah sekitar tiga bulan lagi. Paling tidak ia telah menyelesaikan penelitian dan ia bisa mengikuti wisuda musim gugur. Setelahnya ia bisa melenggang dan meninggalkan semua seperti rencana semula.
Selain itu, Era pikir bukanlah masalah bila menjalani hidup sementara waktu dengan fasilitas yang tersedia. Itu bukanlah hal buruk selama tidak ada Oscar di dekatnya.
Jadilah bisa dipastikan sesemangat apa Era menyambut semester baru. Ia bangun pagi dan bersiap. Segera saja ia ke kampus dengan menggunakan transportasi umum, yaitu bus. Ia tak berniat untuk mengendarai mobil yang disiapkan oleh Oscar dan berakhir menjadi bahan gosip satu kampus.
Era tiba di kampus. Saat itu keadaan telah ramai. Ia bertemu dengan teman-temannya, juga mantan kekasihnya.
Gerald Robinson masih seperti ingatan Era terdahulu. Ia masih melihat Era dengan sorot merendahkan dan itu membuat Era jadi bertanya-tanya, mengapa aku dulu bisa berpacaran dengannya?
Era tak mendapatkan jawaban, alih-alih pikirannya seolah hilang melayang tanpa bekas. Kakinya berhenti melangkah dan ia bengong menatap wajah seseorang di depannya.
Mustahil. Jadilah Era mengerjap berulang kali. Namun, percuma. Keraguan itu terpatahkan ketika sosok itu mendekatinya dan menyapa.
"Halo, Era."
Era bergidik. "Seth."
Seth tersenyum. "Aku mencarimu dari tadi. Ternyata kau baru datang."
Mata Era sontak memejam. Barulah disadarinya kejanggalan ketika mereka bercakap-cakap di Paviliun Ursa. Pun termasuk dengan arti perkataan Oscar.
"Kau tak akan pernah bisa lepas dariku, Era."
Era mengepalkan kedua tangan. Ia menggeram dengan suara berat, sarat dengan kekesalan. "Oscar."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro