Enam
Sudah dua jam semenjak Kaisar pergi meninggalkan kamar hotel, dan Krystal mulai merasa jenuh. Kecerewetan pria itu membuat dunia sepinya mendadak berubah. Dan di saat kesepian memeluknya kembali seperti saat ini, Krystal merasa membutuhkan udara segar.
Krystal memilih untuk meninggalkan hotel dan menyusuri jalan. Hiruk-pikuk para pelancong yang mencari hiburan seolah tak ada habisnya. Matanya kemudian beralih ke bulan purnama yang menggantung di langit dengan cahaya temaram.
Bulan mengingatkan Krystal dengan sosok sang Ayah. Meski hanya cahaya temaram, kehadiran Bulan selalu Krystal rindukan dalam diam.
Tak banyak memori yang bisa Krystal ingat tentang sosok Ayah kandungnya, namun memori di ulang tahunnya yang ke tujuh sangat membekas di benaknya. Di bawah cahaya temaram bulan purnama, sang Ayah pulang dari tugasnya dan mengecup kening Krystal penuh sayang. Ia hanya bisa mendengar sayup-sayup doa yang beliau lantunkan. Selama hidupnya, itu merupakan kali pertama Ayahnya hadir di hari spesialnya.
Sayangnya, lima tahun kemudian di saat bulan purnama di hari ulang tahunnya di mana Krystal berharap momen berharga itu terulang, ia malah mendapatkan sebuah kabar duka, bahwa sang Ayah telah pergi untuk selama-lamanya.
Kala itu Krystal tidak menangis seperti sang kakak. Ia hanya tertunduk di pojok ruangan, memandang sekeliling di mana orang-orang menangisi sosok jasad ayahnya yang disemayamkan di dalam peti. Namun Krystal merasakan sakit dan kosong yang begitu besar di rongga dadanya.
Suara bergedebuk membuyarkan lamunan Krystal. Ia kemudian melihat ke sekeliling dan menemukan dirinya sudah berjalan cukup jauh dari titik sebelumnya. Merenung sambil merangkai langkah memang kerap dilakukannya, seringkali ia tidak sadar sudah berjalan terlampau jauh.
Fokusnya kembali diarahkan ke sumber suara bergedebuk yang terdengar sebelumnya. Matanya memicing melihat dua orang yang sedang bertikai di seberang tempatnya berdiri. Seorang wanita tengah terduduk di tanah depan pertokoan yang telah tutup. Krystal menduga suara yang sebelumnya ia dengan berasal dari tubrukan tubuh wanita itu dengan rolling door pertokoan.
Berikutnya Krystal melihat adegan yang membuat darahnya mendidih sebagai seorang perempuan. Wanita itu ditampar dengan begitu kencangnya hingga tubuhnya tersungkur. Makian dan cacian juga terdengar dari mulut si pria, membuat Krystal tak habis pikir jika di depan umum saja pria itu bisa melakukan hal sekeji itu bagaimana jika tak ada orang?
Krystal baru saja ingin menghampiri kedua orang itu untuk melerai, namun ia tidak memperhatikan trotoar tempat ia berdiri sebelum melangkah sehingga kakinya terperosok ke jalanan yang berlubang.
"Mungkin ini akibat dari yang Jessica bilang untuk tidak ikut campur dalam urusan orang lain," rutuk Krystal.
Pria itu menarik rambut perempuan tadi hingga membuatnya berdiri, kemudian ia menyeret perempuan itu sambil menarik rambutnya.
Krystal segera berdiri, mengabaikan rasa sakit yang timbul di kakinya. Berusah mengejar pria dan wanita itu."Hei, Pak! Berhenti!" teriaknya.
Wanita yang ditarik rambutnya itu melihat ke arah Krystal, tidak ada air mata di sana, seolah kekerasan yang dilakukan pria itu tidak berefek banyak baginya. Hal itu membuat alisnya berkerut. Jika wanita itu tidak merasakan sakit, maka kemungkinan lainnya adalah wanita itu sudah terlampau sering mengalami kekerasan itu.
Dengan langkah tertatih Krystal terus mengejar kedua orang itu hingga kehilangan jejak mereka di sebuah pertigaan. Kakinya terasa ngilu setelah dipaksa berjalan saat terkilir.
Krystal mengeluarkan ponselnya untuk memesan kendaraan online, namun ponselnya kini mati total karena kehabisan daya. Ia sedikit merutuk kenapa lupa membawa power bank yang sudah ia siapkan di nakas.
Krystal mendengus pasrah dan berbalik arah untuk kembali ke hotel, namun semakin lama sakit di kakinya semakin menyiksa.
"Anda baik-baik saja?"
Sebuah suara mengagetkan Krystal. Ia menoleh dan mendapati seorang laki-laki dengan seragam loreng dan sebuah tas punggung berdiri di depannya. Sebuah nama tertera dengan huruf cetak di dada kanannya, dr. Laynisam.
Ah, dokter militer rupanya. Profesi gabungan antara ia dan yang sang ayah emban, pikir Krystal.
Krystal mengangguk singkat tanpa berkata, dan kembali berjalan dengan langkah tertatih.
"Kaki Anda terluka." Pria itu kembali angkat suara. "Boleh saya bantu?" ucapnya.
Krystal terdiam, memaksa kakinya untuk berjalan lebih jauh yang ada hanya akan memperparah kondisinya. Ia membutuhkan fasilitas kesehatan terdekat.
"Berapa jauh jarak rumah sakit terdekat?" tanya Krystal.
"Empat kilometer ke arah barat daya," jawab sang pria.
Krystal mengeluh. Ia tidak akan sanggup untuk berjalan sejauh itu. Ia melihat sekeliling, namun tidak menemukan kendaraan umum untuk dipakai.
"Boleh saya pinjam ponselnya untuk pesan taksi online?"
"Mohon maaf, saya tidak punya aplikasinya."
Krystal termangu, ternyata di zaman serba mudah seperti ini masih ada orang langka yang tidak mempunyai aplikasi taksi online di kota sebesar ini.
"Di perbatasan aplikasi itu tidak dibutuhkan," jelas si pria.
Kenyataan yang menghantam Krystal dengan telak. Ia lupa bahwasanya ada sebagian orang yang menjalani kehidupannya dengan cara yang berbeda, seperti sang ayah.
"Baterai ponsel saya juga kebetulan habis. Saya bisa mengantar Anda ke pos, jaraknya kurang lebih satu kilometer, di sana ada kendaraan, dari sana saya akan antar Anda ke rumah sakit."
Krystal mengangguk. "Terima kasih, Anda bisa tunjukkan jalannya?"
Si pria mengangguk, kemudian ia mulai berjalan pelan di depan Krystal.
Semakin lama, langkah Krystal semakin mengecil, dan si pria pun menyadari hal itu.
"Jika terus berjalan, itu tidak baik untuk kaki Anda," ujar pria itu. Kemudian ia melepas tasnya dan memakainya di bagian depan dan berjongkok di hadapan Krystal. "Jika tidak keberatan, Anda bisa naik di punggung saya sampai ke pos."
Krystal mendengus dalam hati, rasanya tidak enak terlibat dalam situasi canggung seperti ini dengan orang yang baru saja ditemuinya. Selama ini ia selalu mandiri dan jarang membutuhkan bantuan orang lain. Namun sepertinya kali ini ia harus mengalah dengan egonya.
Dengan kikuk Krystal pun mendekat dan mengalungkan tangannya pada leher pria itu, dengan sigap pria itu menopang tubuhnya dan kembali melanjutkan perjalanannya.
"Asli sini?" tanya Pria itu yang memecah keheningan.
"Bukan, lagi liburan."
"Kenapa bisa terkilir?"
"Tadi ada perempuan dipukuli, saya niat menolong, tapi nggak lihat jalan, kaki terperosok, dan akhirnya terkilir."
"Lain kali, lapor saja Mbak, salah-salah Mbak juga bisa dipukuli. Angka kriminalitas saat malam di sini cenderung lebih tinggi."
Krystal mengangguk, mengamini perkataan pria itu, lain kali ia akan menuruti kata-kata Jesica agar tidak terlalu mencampuri urusan orang lain.
"Iya, Mas."
"Jadi Mbaknya asli mana?"
"Jakarta Mas,"
"Liburan sendirian ke Bali?"
Krystal tercenung. Bingung bagaimana harus menjawab. Haruskah ia menceritakan bahwa ia sedang berbulan madu saat ini? Ah, tapi mengapa rasanya hal itu salah untuk diungkapkan. Pikirannya kemudian melayang kepada sosok sang suami, mungkin kah Kaisar sedang menunggunya di hotel saat ini? Apakah ia khawatir karena ponselnya tak dapat dihubungi?
"Mbak?" teguran dari pria yang menggendongnya membuat Krystal meraih kesadaran.
"Iya," jawabnya.
"Kalau liburan sendirian jangan keluar terlampau malam Mbak."
"Iya," jawab Krystal singkat.
Krystal sebetulnya tidak menyukai percakapan basa-basi seperti ini, namun ia tetap harus menghargai pria yang telah menolongnya ini. Setidaknya Krystal tidak ingin dicap sebagai orang yang tidak tahu terima kasih.
"Sebentar lagi kita sampai Mbak, di sana posnya," ujar pria itu sambil menujuk arah dengan kepalanya, membuat mata Krystal dengan reflek melihat ke arah tersebut.
Mata Krystal menangkap sosok yang amat familier. Seorang laki-laki yang sedang menggendong seorang perempuan di punggungnya, sama seperti yang Krystal dan pria penolongnya lakukan.
Krystal masih sangsi karena suasana yang temaram, namun saat keduanya saling bersimpangan, Krystal yakin seratus persen bahwa pria itu adalah sang suami, Kaisar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro