
PART 3 : Isak Tangis
Malam itu, suasana hening dan tenang menyelimuti rumah kecil di pinggir desa, di mana seorang gadis berusia delapan belas tahun sedang duduk dengan serius di sudut kamar yang remang-remang. Lyra tenggelam dalam bacaan bukunya yang membahas tata surya dan planet-planetnya, mencermati setiap detail dengan penuh konsentrasi. Namun, saat ia sampai di bagian akhir buku, sebuah visual yang mengejutkan muncul di benaknya.
Dalam visual tersebut, Lyra menyaksikan sosok seorang wanita muda yang tampak panik dan takut, hingga melemparkan buku itu ke lantai dengan kekuatan seakan buku tersebut adalah sumber ketakutan yang luar biasa. Wanita itu tampak sangat kacau, dengan rambutnya yang berantakan dan ekspresi wajah yang penuh kecemasan. Salah satu momen yang paling mengejutkan adalah ketika wanita tersebut menempelkan kedua tangannya ke lantai; tiba-tiba, lantai tersebut retak dengan sendirinya, dan retakan itu menyebar hingga ke tanah di bawahnya.
"Tak boleh aku kehilangan Leo dan bayi dalam kandunganku. Aku ini berbahaya; Andromeda pasti akan mencariku. Aku harus mencari bantuan..." wanita itu berujar, suaranya penuh dengan ketakutan dan rasa putus asa, sebelum akhirnya berlari keluar dari rumah dan menuju kedalaman hutan.
Lyra dapat merasakan setiap momen dengan sangat jelas seolah-olah ia berada di sana sendiri. Ia melihat keringat mengucur deras dari dahi wanita tersebut saat ia berlari melewati hutan lebat. Di tengah hutan, wanita itu mendekati sebuah rumah tua yang tinggi dengan arsitektur bergaya Eropa kuno. Rumah itu tampak menakutkan, dengan cat dinding yang berwarna hitam arang, memberikan kesan menyeramkan.
"Jangan pergi ke sana..." Lyra berusaha berteriak, mencoba memperingatkan wanita itu, namun ia tahu dengan pasti bahwa wanita tersebut tidak akan mendengarnya.
Wanita itu mengetuk pintu rumah tua dengan cepat dan panik. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang pria tinggi dengan rambut keemasan muncul. Pria itu sedang menggendong seorang anak laki-laki, dan tampaknya rumah tua yang mengerikan itu dihuni oleh manusia, bukan makhluk halus seperti yang dibayangkan Lyra.
"Ada apa, Lacerta?" tanya pria tersebut dengan nada prihatin. Usianya tampak sekitar dua puluhan akhir, dan ekspresinya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
"Lacerta?" Lyra bertanya pada dirinya sendiri, penasaran apakah nama wanita itu adalah nama ibunya.
Wanita bernama Lacerta itu mengajukan pertanyaan dengan penuh ketegangan, "Andromeda akan menagih janjiku. Dia ingin aku berada di Eris, tapi aku selalu menolaknya dengan alasan aku belum berusia 27 tahun. Namun sekarang, aku sudah memiliki keluarga kecil. Apakah dia akan tetap menagih janjiku?"
Pria berambut keemasan itu menunjukkan kemarahan yang jelas, "Kenapa kau membuat janji jika tidak bisa menepatinya? Andromeda adalah pria paling berbahaya di muka bumi. Dia bukan astronot biasa; dia memiliki kemampuan telekinesis yang sangat berbahaya!" Kemarahan pria itu tampak sangat mendalam, menunjukkan betapa serius dan berbahayanya situasi ini menurutnya.
Tak lama kemudian, seorang wanita cantik keluar dari rumah dengan tatapan bingung. Lyra merasa bahwa wanita ini adalah istri dari pria berambut keemasan tersebut.
"Lacerta?" wanita itu terlihat terkejut, namun seketika mereka berpelukan dengan penuh rasa sayang dan relief. "Vela..." Lacerta dan wanita itu memeluk satu sama lain dengan erat, seolah-olah pelukan tersebut adalah satu-satunya cara untuk mengatasi kecemasan yang menyelimuti mereka.
Tiba-tiba, visual itu menghilang, seiring dengan melemahnya kemampuan Psychometry Lyra. Kepala Lyra terasa berdenyut nyeri, dan cairan merah pekat mulai menetes dari hidungnya.
"Darah..." gumam Lyra, merasa kesadaran dan kekuatannya mulai pudar bersamaan dengan darah yang menetes. Perlahan-lahan, Lyra jatuh ke dalam kegelapan, kehilangan kesadaran seiring dengan tetesan darah yang semakin banyak.
Di luar kediaman Lyra, jauh dari kepanikan dan kekacauan yang melanda, Libra sedang sibuk mengemas barang-barangnya dengan penuh semangat. Suasana di rumah Libra terasa tegang, saat ia bersama istri dan anaknya mempersiapkan diri untuk meninggalkan tempat tersebut. Setiap gerakan Libra penuh dengan ketegasan dan kemarahan, seolah-olah keputusan ini adalah hal yang sangat penting baginya.
"Apakah kau benar-benar yakin akan mengusir anak itu?" tanya Canes, istri Libra, dengan nada penuh kekhawatiran. Suaranya menunjukkan betapa beratnya keputusan yang harus dihadapi, dan matanya memancarkan harapan agar suaminya mempertimbangkan kembali tindakannya.
Libra menatap istrinya dengan tatapan penuh keyakinan, "Aku sangat yakin, Canes. Lagipula, dia itu monster. Aku sudah benci dengan anak itu sejak lama. Jika dia bukan keponakanku, aku mungkin sudah membawanya ke penjara. Ini bukan hanya soal keengganan; ini soal keselamatan keluarga kita."
Canes, dengan wajah yang mencerminkan keprihatinan mendalam, berusaha untuk meyakinkan Libra, "Aku paham betapa menyulitkannya situasi ini, tapi aku khawatir keputusanmu ini akan menjadi sesuatu yang kau sesali di kemudian hari. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti, dan kita mungkin akan merasa bersalah jika ini adalah kesalahan kita."
Libra, dengan sikap yang keras kepala, tetap bersikukuh pada pendiriannya. "Keputusanku sudah bulat, Canes. Aku tidak ingin mendengar bantahan lagi. Ini adalah keputusan yang telah kuambil dan aku rasa ini adalah yang terbaik untuk kita."
Sementara itu, di dalam hati Libra sebenarnya terdapat rasa ragu dan rasa sakit yang mendalam. Meskipun ia berusaha keras untuk menyembunyikannya, ada bagian dari dirinya yang merasa tak tega membiarkan keponakannya, Lyra, hidup sendirian dan tanpa tempat bergantung. Namun, rasa takut akan kemungkinan bahwa keluarga kecilnya akan menjadi korban dari keputusan yang salah membuatnya sulit untuk berubah pikiran. Libra merasa terjebak antara rasa tanggung jawab dan kekhawatiran akan keselamatan keluarganya sendiri.
Darah yang mengering di lantai ruang bawah tanah menyisakan jejak gelap dari dampak kemampuan manusia yang merusak, sebuah pengingat bisu dari kekuatan yang tidak terduga. Namun, semua ini bukanlah kebetulan semata; setiap peristiwa di dunia ini tampaknya telah dirancang dengan cermat oleh Sang Pencipta.
Setelah dua jam tak sadarkan diri di lantai dingin yang keras, Lyra perlahan-lahan membuka mata. Kelelahan dan rasa sakit membebani tubuhnya, namun dia berusaha untuk berdiri dan berjalan menuju lantai atas dengan penuh kesulitan. Di ruang kecil yang terletak di lantai atas, dia membersihkan dirinya dengan air dingin, mencoba menghilangkan sisa-sisa lengket yang menempel di tubuhnya.
Lyra menyempatkan diri untuk makan roti selai kacang, meski setiap gigitan terasa pahit di mulutnya. Kepalanya dipenuhi oleh ingatan menyakitkan dari tiga hari yang lalu, hari di mana dia merasa terasing dan bersalah. Rumah ini, tempat di mana banyak kenangan dan penyesalan berkumpul, seakan menjadi saksi bisu dari semua kejahatan dan kesalahan yang telah dilakukannya.
Dengan isakan yang penuh penyesalan, Lyra menangis dalam kesunyian malam. Suasana di sekelilingnya semakin membekas rasa kesepian yang mendalam, yang membuatnya merasa terasing dari dunia di sekelilingnya. "Ayah, maafkan aku..." suara tangisannya menggema dalam ruang kosong itu, meluapkan rasa bersalah yang mendalam atas segala kesalahan yang telah dibuatnya.
Meskipun realitas hidupnya tidak sesuai dengan imajinasi indah yang pernah dibayangkannya, Lyra bertekad untuk terus berjuang demi mewujudkan impian dan harapannya. Keinginannya untuk bertemu ibunya menjadi motivasi utama. Dia tidak ingin merasa sendirian selamanya dan yakin bahwa ibunya masih hidup, entah di mana pun dia berada.
Dengan tekad yang kuat, Lyra menuju kamarnya dan mulai mengemasi pakaian-pakaiannya ke dalam koper hitam yang dulunya diberikan oleh ayahnya. Setiap lipatan pakaian terasa seperti beban emosional yang harus dihadapi, dan air mata tak henti-hentinya mengalir di pipinya. Meskipun ia berusaha keras untuk menyusun barang-barangnya, kebingungan menyelimuti pikirannya. Ke mana ia harus pergi? Akankah ada tempat di luar sana yang menerima dirinya dengan kemampuannya yang luar biasa? Lyra meragukan kemampuannya untuk bergaul dengan orang-orang di luar sana, dan pertanyaan ini membebani pikirannya.
Di tengah waktu yang semakin sempit, Lyra merenung dengan air mata yang terus membasahi wajahnya. Dia bertanya-tanya tentang arah dan tujuan hidupnya, mencoba mencari jawaban yang dapat memberinya petunjuk tentang masa depannya. Dengan rasa putus asa dan kebingungan yang mendalam, Lyra merasa terjebak antara keinginan untuk menemukan ibunya dan ketidakpastian tentang bagaimana melanjutkan hidup di dunia yang tampaknya tidak ramah.
Tiba-tiba, angin kencang yang berhembus dengan ganas menyebabkan jendela kamar Lyra terbuka dengan sendirinya. Udara dingin yang tajam masuk ke dalam ruangan, membuat Lyra terpaksa meninggalkan tempatnya untuk menutup jendela tersebut. Namun, ketika dia melangkah menuju jendela, dia disambut oleh pemandangan yang begitu luar biasa di luar sana.
Di kejauhan, dari arah hutan yang tidak jauh dari rumahnya, terlihat sebuah tornado besar yang berputar dengan kekuatan yang mengesankan. Tornado itu memancarkan kilatan petir yang menyilaukan, dan Lyra tidak bisa menahan rasa terkejutnya melihat fenomena yang tidak biasa ini. Namun, sesuatu yang aneh terasa berbeda dalam tornado itu, memancing rasa penasaran yang mendalam dalam diri Lyra.
Meski tornado itu berputar dengan intensitas tinggi di tengah hutan, tidak ada tanda-tanda bahwa ia bergerak mendekati area pemukiman penduduk. Lebih mengejutkan lagi, kilatan petir di dalam tornado itu tiba-tiba menghilang dan digantikan oleh salju yang berputar-putar, menambahkan dimensi baru pada fenomena tersebut.
Bagi kebanyakan orang, jarak yang cukup jauh mungkin membuat detail tornado itu sulit terlihat, namun kemampuan Lyra memungkinkan dia untuk melihat setiap detail dengan jelas. Dia merasa ada sesuatu yang sangat penting yang harus diperhatikannya. "Aku harus menemui pria berambut keemasan itu," pikirnya, teringat pada visual yang dia lihat mengenai wanita bernama Lacerta.
Dengan tekad yang kuat, Lyra mengambil koper hitam miliknya dan berlari menuju hutan. Rasa urgensi untuk bertemu dengan pria tersebut membakar semangatnya, dan dia berharap pria itu dapat membantunya menemukan ibunya. Hutan pinus yang lebat dan gelap membuat pencariannya semakin sulit, tetapi Lyra tidak menyerah.
Beruntung bagi Lyra, kemampuannya dalam Dark Tech membantunya dalam situasi ini. Kemampuan ini memungkinkan dia untuk mengendalikan cahaya dan kegelapan dengan pikirannya sendiri. Dengan usaha yang besar, Lyra berfokus untuk menciptakan bola cahaya kecil dengan pikirannya. Cahaya itu memancarkan sinar lembut yang membantunya menembus kegelapan hutan dan memudahkan pencariannya.
Saat dia semakin dekat dengan tornado, Lyra merasakan kekuatan kemampuannya mulai pulih dan kembali normal, jauh dari kelemahan sebelumnya. Jantungnya berdebar kencang saat dia mendekati tornado yang kini hanya berjarak satu meter darinya. Ketika Lyra berada dalam jarak yang sangat dekat, dia hanya bisa mengeluarkan satu kata untuk menggambarkan apa yang dilihatnya: "Wow."
Tornado itu mungkin menarik perhatian Lyra, namun perhatian utamanya tertuju pada seorang pria berambut pirang kecokelatan yang berada di pusat tornado tersebut. Pria itu tampaknya dengan sengaja memanipulasi udara di sekelilingnya dengan gerakan tangannya, menunjukkan kemampuan yang setara dengan atau bahkan lebih hebat dari kemampuan Lyra sendiri.
Dengan rasa ingin tahu yang membara dan keberanian yang memotivasi langkahnya, Lyra mendekati pria tersebut, menepis segala rasa takut dan bahaya yang mungkin ada. Mata Lyra tidak pernah lepas dari pria itu, hingga tanpa sadar dia tersandung pada akar pohon yang besar. Entah pria itu menyadari kehadiran Lyra atau tidak, tiba-tiba tornado itu berhenti berputar, dan suasana menjadi hening seketika.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro