BAB 1: GADIS ASTEROID
Di Desa Corona, pada tanggal 13 Juli 2018, suasana pagi yang tenang tiba-tiba hancur oleh dentuman ledakan yang mengguncang keheningan fajar. Ketika matahari mulai memancarkan sinarnya dari timur, sebuah tragedi mengerikan terjadi di ruang makan sebuah rumah. Di sana, seorang pria paruh baya terbaring tak bernyawa, bersimbah darah. Tangan pria tersebut masih memegang erat dadanya yang sobek, seolah berusaha menahan rasa sakit yang sangat parah akibat kilatan serbuk gelap yang berbentuk seperti bola basket yang menyertainya.
Di depan tubuh yang terkulai itu, seorang gadis berambut cokelat bergelombang berdiri dengan tubuh bergetar hebat. Jantungnya berdetak kencang, setiap ketukan seolah lebih cepat dari detik yang berdetak di jam dinding. Gadis itu menatap kedua tangannya yang masih memancarkan butiran-butiran hitam, sementara kabut gelap melingkupi dirinya dengan suasana mencekam.
"A-ku ti-dak bermaksud melukaimu. Maafkan aku, aku tidak bisa mengendalikan ini," ucapnya dengan penuh rasa penyesalan yang mendalam, suaranya bergetar seiring dengan nyeri yang menderanya. Kepala gadis itu terasa berdenyut, seperti dijambak dengan kasar, menambah derita emosional dan fisik yang sudah ada.
Gadis itu berjuang keras untuk tidak terpengaruh oleh kekuatannya sendiri, berusaha mengendalikan sesuatu yang tidak bisa ia kontrol. Ia tidak ingin melukai lebih banyak orang, jadi ia berlari keluar dari rumah yang kini setengah roboh dan rusak parah akibat ledakan itu. Dengan cepat, ia melarikan diri ke arah hutan yang terletak tidak jauh dari kediamannya, tanpa mempedulikan seruan dan teriakan orang-orang yang mulai berdatangan ke tempat kejadian.
"Lyra, ke mana kamu akan pergi?" teriak seorang pria tua dengan jenggot panjang berwarna putih dan tubuh pendek seperti kurcaci, yang sedang mendorong gerobak berisi sayuran dan buah-buahan segar dari kebun.
Seorang wanita yang mengenakan gaun merah dengan motif kotak-kotak putih, sambil membawa keranjang besar berisi pakaian yang hendak dijemur, juga memanggilnya dengan cemas, "Lyra, apa yang terjadi?"
Suara seorang pria yang sangat dikenal Lyra terdengar di kejauhan, namun ia tetap meneruskan pelariannya ke dalam hutan, mengabaikan semua seruan yang mengikutinya. Pria tersebut hanya dapat menatap dengan sinis saat Lyra menjauh, meninggalkan permukiman di belakangnya.
Saat Lyra semakin jauh masuk ke dalam hutan, suara-suara dari luar mulai memudar dari pendengarannya. Ia berlari melewati pepohonan pinus yang menjulang tinggi, namun lambat laun pandangannya mulai kabur, semakin gelap, dan akhirnya kesadaran gadis itu pun memudar sepenuhnya.
***
Tiga hari kemudian.
Kelopak mata Lyra perlahan terbuka, memperlihatkan iris matanya yang berwarna biru secerah lautan. Namun, di balik keindahan mata tersebut, tersimpan banyak luka dan kepedihan yang mendalam. Gadis itu duduk dengan tenang, memandang langit malam yang dipenuhi bintang-bintang yang bersinar. Matanya melayang jauh ke angkasa, sementara pikirannya terbelenggu oleh kejadian beberapa hari yang lalu.
Di ruang makan yang sederhana, Lyra duduk di seberang meja dari seorang pria paruh baya yang tampak bijaksana. Pria itu, yang dikenal sebagai Profesor Leo Centaurus, adalah salah satu ilmuwan terkemuka di dunia, seorang jenius yang telah melahirkan banyak penemuan sains penting. Berbagai gelar kehormatan dan piagam penghargaan terpajang rapi di lemari kaca, menghiasi dinding ruangannya. Meskipun di luar, Leo dihormati dan diakui sebagai salah satu otak brilian dalam bidangnya, di dalam rumahnya, suasana tampak jauh lebih sederhana.
Lyra, putri tunggal Profesor Leo, tengah melahap roti selai kacang yang menjadi menu sarapan mereka selama sebulan terakhir. Roti dengan selai yang sama berulang kali membuatnya merasa muak, namun berbeda dengan sang ayah, Lyra menyantapnya dengan semangat yang tampak kontras. Sementara Leo dengan serius memeriksa tumpukan kertas berisi analisis dan catatan ilmiahnya dari beberapa tahun terakhir, suasana meja makan mereka terasa hening dan monoton, seperti hari-hari sebelumnya. Kehidupan sehari-hari Lyra terasa membosankan dan tidak menarik, sebuah rutinitas yang membuatnya merasa terkurung dalam kebosanan yang tiada akhir.
Berbeda dengan ayahnya yang dipandang tinggi, Lyra sering kali menjadi sasaran kebencian dan pengucilan dari masyarakat sekitar. Dia sering disebut-sebut sebagai monster, alien, atau bahkan penyihir oleh orang-orang di desanya. Perilaku dan kemampuannya yang aneh membuatnya menjadi bahan ejekan dan ketidakpercayaan.
Kejadian terakhir yang melibatkan Lyra adalah ledakan di laboratorium sains saat ia masih di Sekolah Menengah Atas. Ledakan tersebut menyebabkan 30 murid harus dirawat di rumah sakit, dan sebagai akibatnya, Leo terpaksa menjual 300 hektar perkebunan kacangnya yang sangat berharga untuk menutupi kerugian serta menebus anaknya dari penjara. Lyra tidak memiliki teman di sekolah, mereka menjauh darinya karena dianggap berbahaya. Andai saja Lyra bukan anak dari Leo, mungkin dia sudah lama menjadi bahan penelitian atau bahkan terjerat dalam penjara akibat tindakannya yang sering melukai orang lain. Meski Lyra tidak pandai mengungkapkan perasaannya dan lebih memilih diam, kekuatan dalam dirinya selalu melawan. Kini, di meja makan, Leo terus berusaha membujuk putrinya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sementara Lyra dengan keras menolak.
"AKU TIDAK MAU BERKULIAH! AKU TIDAK PEDULI JIKA AYAH MEMILIKI GENGSI TINGGI DAN BERHARAP AKU BISA MENYAMAI AYAH! AKU TIDAK MAU!" bentak Lyra dengan kemarahan yang membara.
Leo, yang merasa tertekan oleh penolakan putrinya, mencoba untuk menjelaskan dengan sabar, "Lyra, dengarkan ayah. Ayah tidak akan hidup selamanya dan selalu bisa memberi makanmu setiap hari. Ayah hanya ingin kamu bisa mandiri, mencari penghidupanmu sendiri, dan dihargai oleh orang lain. Dengan pendidikan tinggi, kamu bisa mengendalikan emosimu lebih baik dan berpikir lebih bijaksana."
Upaya Leo untuk memberikan nasihat dan motivasi tampak sia-sia di mata Lyra yang sudah terlalu lelah dan frustrasi. Dalam hatinya, Lyra hanya ingin diterima dan tidak terus menerus merasa terasing dari masyarakat. Dia merasa terjebak antara keinginan untuk menyenangkan ayahnya dan kebutuhan untuk melindungi dirinya sendiri dari penilaian dunia luar.
"Kau tidak pernah benar-benar memahami betapa menyesakkannya keadaan ini. Terjebak dalam penilaian orang-orang yang memandangku sebagai monster hanya karena kemampuan sialan yang kucoba sembunyikan. Kesulitan mendapatkan teman, karena semua orang menjauhiku, membuatku terasing dalam kesendirian. Tidak ada yang mendengarkan keluh kesahku. Ayah? Dia tidak pernah ada. Setiap hari, selama dua puluh jam, dia terbenam dalam penelitian tentang planet aneh yang sama sekali tidak memperhatikanku!" Lyra meluapkan semua kepedihan yang telah mengendap dalam hatinya selama delapan belas tahun.
"Ayah meminta maaf atas semua itu, tetapi kau perlu memahami, Lyra..." suara Leo terputus di tengah kalimatnya.
"Sudahlah, aku tidak ingin mendengar satu kata pun dari mulutmu lagi."
Dengan gerakan marah, Lyra bangkit dari kursi dan berbalik, hendak menuju kamarnya. Namun, langkahnya terhenti saat Leo berbicara lagi. Kali ini, nada suara Leo lebih tegas dan menembus telinga Lyra dengan rasa sakit yang mendalam, membuatnya terpaku di tempat.
"Kau sama seperti ibumu, egois dan keras kepala. Kalian berdua adalah monster yang tak bisa dikendalikan!" Dengan dua kalimat tersebut, Leo berteriak keras saat Lyra berbalik dan melempar bola hitam sebesar bola basket ke arahnya.
Ledakan energi yang kuat membuat Leo terhempas ke belakang, jatuh dari kursi makan cokelat berukiran bunga yang hancur bersamaan dengan barang-barang di sekelilingnya. Keramik-keramik pecah, lemari terbuka, dan piring-piring jatuh ke lantai. Gelas-gelas di meja makan terlempar dan pecah berkeping-keping. Aura gelap menyelimuti Lyra, matanya menghitam, dan kekuatan yang menguasai dirinya mengendalikan tubuhnya. Di sudut ruangan, Leo merasakan sakit yang hebat saat dadanya terkoyak oleh energi hitam tersebut. Meskipun masih sadar, dadanya terasa sesak dan darah muncrat dari kemeja yang dikenakannya. Dengan senyum getir, Leo menatap putri tunggalnya.
"Ly-ra, ayah tahu kau berbeda. Kamu adalah putriku, kesayanganku. Namun, ayah memang tidak pernah ada untukmu. Ayah salah, selama ini mengabaikanmu. Maafkan ayah, anakku." Mendengar kata-kata itu, kekuatan Lyra mulai melemah, emosi yang mengendalikan pikirannya memudar. Tatapannya kembali seperti semula, biru seindah lautan.
"Auw ...." Fikiran Lyra tersentak kembali ke kenyataan saat seekor semut menggigit kaki kanannya.
Dengan perlahan, Lyra berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju rumah. Dia bertekad untuk meminta maaf kepada ayahnya. Namun, ketika tiba di halaman rumah, ia terkejut melihat buket-buket bunga mawar yang sudah layu, beberapa keranjang berisi bunga, dan foto ayahnya. Dengan hati yang berat, Lyra melangkah masuk ke rumah yang tampak sedikit rusak di bagian belakang, dengan pintu kayu yang tampak reyot. Saat hendak memutar gagang pintu, seorang pria paruh baya keluar dengan sekantong sampah berisi botol-botol bir.
"Lyra?" Suara pria itu dipenuhi keheranan dan rasa terkejut yang mendalam saat matanya menangkap sosok gadis yang berdiri di depannya. Rambut Lyra tampak kusut dan tidak terurus, sementara pakaiannya, kotor dan kusam, dipenuhi oleh daun-daun kering yang menempel. Penampilan Lyra yang berantakan dan memprihatinkan kontras tajam dengan kesan bersih dan rapi yang biasanya dipancarkan oleh Paman Libra.
Lyra menatap pria yang berdiri di ambang pintu dengan kebingungan yang mendalam, "Paman Libra?"
Paman Libra, yang mengenakan kaos abu-abu pudar, memiliki wajah yang sangat mirip dengan ayahnya, namun perilakunya sangat berbeda. Paman ini jarang sekali berkunjung karena tinggal di kota yang jauh, dan kedatangannya yang tiba-tiba ke rumah sederhana mereka di desa terpencil sangat tidak terduga. Entah apa yang mendorong paman pemabuk ini untuk muncul di sini.
"Apa yang sedang paman lakukan di sini?" Lyra bertanya dengan nada sinis dan penuh ketidakpuasan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro