Bagian 3 - Sesuatu yang hangat
Dia yang ada saat orang lain tak ingin kau ada
Mengelus sampai kau terbuai dalam rasa yang entah apa
Yang memelukmu erat, memberi sebuah kehangatan
Dia yang menawarkan sebuah kenyamanan
Mungkinkah dia, atau kah?
Ia harap
Semoga
***
Siang berganti malam. Malam yang gelap tanpa bintang. Udara dingin menusuk kulit, membuat tubuh menggigil didera ngilu.
Di tengah kegelapan itu terlihat seseorang dengan baju hitam melekat pas di tubuhnya. Dengan sebuah pisau dapur di tangannya.
Seseorang tersebut berjalan ke luar dari bangunan panti yang dihuni Merah.
Bayang itu melangkah dengan mantap. Berjalan tanpa ragu menyusuri jalanan, di malam gelap minim pencahayaan. Bayangan itu terlihat masuk ke pintu samping bangunan.
Bangunan yang terdapat anjing. Anjing yang selalu menyalak galak kepada orang asing yang lewat. Anjing itu ada di sana, dia waspada menatap garang ke arah bayangan itu.
BUK
Sebelum anjing itu menggonggong, sosok berbaju hitam itu dengan cepat menendang anjing itu keras. Sangat keras. Berulang kali, sampai kepala anjing itu ada di bawah sepatunya.
Anjing itu tak bergerak dan tak menggonggong lagi.
Atau mungkin sudah tak bisa.
Sosok bayangan itu mulai mengambil ancang-ancang untuk menyerang anjing itu. Meluncur dengan cepat, menerkam dengan lincahnya.
Sebuah pisau telak menembus perut anjing itu. Merobek kulit perutnya, menimbulkan sengatan rasa sakit yang menyengat.
Begitu sakit.
Lama kelamaan anjing itu sudah tergolek lemah.
Tak ada tanda-tanda kehidupan dari anjing tersebut.
Atau memang anjing itu sudah tak bernyawa.
Tidak hanya sampai di situ, sosok bayangan tersebut merobek perut anjing malang itu. Dengan cekatan ia mengeluarkan isi perutnya. Kemudian mencolek mata anjing itu dan mengulitinya. Membiarkan anjing itu mati mengenaskan dengan tubuh kaku pucat yang tercabik binasa.
Kemudian sosok bayangan itu bangkit. Dia berjalan menuju bayangan lain yang berdiri di kegelapan yang menyambutnya hangat.
***
Keesokan harinya Merah terbangun lebih awal. Wajahnya terlihat sangat segar, penuh dengan semangat. Dia menyapa semua orang yang sedang berkumpul di lapangan depan panti.
Sebuah kabar yang menggemparkan terjadi pagi ini. Seorang tetangga panti menggedor pintu panti di pagi buta dengan seekor anjing yang mati mengerikan di dekapannya.
Seorang kakek tua yang tinggal di dekat panti datang dengan wajah garangnya.
"Siapa pelakunya, hah!" bentak kakek itu.
Penghuni panti asuhan tampak bingung. Apa maksud kakek itu, mereka tak mengerti.
"Ada yang bisa kami bantu, kek?" salah seorang pengurus panti bertanya.
"Anjingku terbunuh! Aku yakin pasti salah satu dari penghuni panti ini yang membunuh anjingku. Tidak bisa melihat barang bagus, dasar orang miskin!" kakek itu teramat emosi. Urat-urat di wajahnya sangat terlihat. Wajahnya merah dan mengeras.
"Maaf kek, penghuni panti ini memiliki jadwal tertentu. Anak-anaknya pun selalu kami awasi. Kakek tidak boleh menuduh sembarangan."
"Aku sangat yakin. Aku mau ada penggeledahan di sini," tuntut kakek itu dilimpahi kemarahan.
"Baiklah, kami akan membuktikannya," jawab salah satu pengurus panti.
Semua warga panti di introgasi. Semua kamar anak-anak di geledah untuk mencari barang bukti kejadian semalam. Namun sayang semuanya nihil, belum ada tanda apapun.
Merah berjalan perlahan dengan wajah tetap ceria, menatap apa yang terjadi. Merah tidak terpancing dengan kekacauan yang terjadi di panti.
Tidak sama sekali.
Pengurus panti mengatakan mereka tidak menemukan pembunuh anjing di panti asuhan itu. Kemudian mengatakan maaf pada pemiliknya. Lalu sang pemilik berlalu pergi dengan kecewa dan kesal karena tidak menemukan pembunuh anjing kesayangannya.
***
Pengurus panti utama yang bernama ibu Halimah mendekati Merah lalu mengajaknya berbincang di ruangannya. Merah patuh menjawab lalu mengekori ibu Halimah yang berjalan di depannya.
Ruangan itu tidak begitu besar. Ruangan yang didominasi dengan kayu. Lantainya terbuat dari kayu.
Ada beberapa pernak pernik kucing di atas meja kerja yang juga terbuat dari kayu. Lucu. Tapi fokus Merah tak hanya di situ. Merah tahu pasti ada sesuatu yang ingin ditanyakan oleh ibu panti. Karena tak biasanya dia begini.
Dari gerak geriknya sangat terlihat.
Kemudian ibu Halimah menyodorkan sebuah kotak kardus. Di sana ada kain hitam yang digunakan sebagai alas sebuah jantung dan sepasang mata yang berlumuran darah.
Benar bukan. Pikir Merah.
Sekarang Merah hanya menunggu pertanyaan yang akan dilontarkan, kemudian bergegas pergi dari tempat itu.
Entahlah, tapi Merah merasa tak nyaman.
"Untuk apa kau menyimpan barang seperti itu?!" tanya ibu Halimah dengan tatapan penuh introgasi.
Tapi Merah tak takut. Untuk apa dia takut?
Mata Merah berkilat tajam menatap itu Halimah.
"Jangan mengusikku atau jantung dan matamu yang akan menjadi penghuni selanjutnya kotak itu" kata Merah menatap ibu Halimah.
Merah menyunggingkan senyuman yang mampu membuat siapapun enggan melihatnya.
Ibu Halimah agaknya tahu bagaimana Merah. Dia tak bisa meneruskan ini.
Lantas ibu Halimah menyuruhnya kembali ke dalam kamar. Ibu Halimah enggan berurusan dengan Merah .
Dia tahu Merah sejak dulu sudah aneh.
Meskipun sekarang lebih menjengkelkan lagi.
Tapi ibu Halimah tak bisa berbuat apa-apa, karena sesuatu hal yang mengharuskan dia dan seluruh pengurus panti tidak menyakiti fisik Merah.
Ibu Halimah sengaja membiarkan Merah pergi. Jujur saja dia telah lelah, namun dia bisa apa?
Jika sudah tiba masanya, ibu Halimah ingin Merah pergi dari sana. Kemudian mereka akan kembali aman tanpa keberadaan Merah disekitarnya.
***
Mood Merah hancur. Merah tidak suka diintrogasi ataupun diancam.
Sangat tidak suka.
Dalam dirinya mengutuk orang-orang tersebut. Termasuk yang pernah menyentil harga dirinya.
Sejak dulu Merah selalu begitu.
Sekarang Merah rasanya ingin melampiaskan sesuatu. Tapi entah apa.
Emosi sedikit demi sedikit memenuhi dirinya.
Merah memejamkan matanya. Mengambil menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, kemudian menghembuskan. Begitulah seterusnya. Berharap emosinya setidaknya akan sedikit berkurang.
Karena dia akan sulit mengendalikannya, jika bukan sisi baiknya yang mengambil alih.
Tapi natanya rasa marah dan tak suka masih tersimpan dalam diri Merah.
"Sialan!" teriak Merah dalam kamarnya.
Merah tak bisa menahan lagi. Rasanya Merah ingin melampiaskannya.
TOK
TOK
TOK
"Merah buka pintunya," kata seseorang di luar kamar Merah.
Merah terdiam. Benarkah itu dia? Dia sudah kembali. Gumam Merah dalam hati.
Merah menyunggingkan senyum lebar.
Akhirnya dia pulang.
Hari yang ditunggunya telah tiba.
Dia telah tiba.
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro