Bagian 16
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Fira bergegas menuju parkiran bersama Dhea yang akan pulang menggunakan angkutan umum. Seperti biasanya, Fira akan pulang bersama Aras. Hari ini Aras tidak ada acara apapun, terbukti dari tidak ada satu pesan pun yang dikirim oleh lelaki itu padanya. Fira pun sama, ia bisa langsung pulang dengan Aras karena tidak ada acara apapun.
Tiba di parkiran, suasana di sana masih ramai. Dhea melambaikan tangan sambil keluar dari lingkungan sekolah. Bisingnya suara murid-murid dan kendaran membuat Fira kesulitan mencari keberadaan Aras.
Walaupun ia tahu di mana Aras memarkirkan motornya, ia tetap berada di tepi parkiran. Malas berdesakan hanya untuk menuju ke motor Aras berada. Dirinya berdecak kesal karena parkiran tidak kunjung surut keramaiannya.
Menoleh ke kanan dan kiri, tiba-tiba saja sebelah tangannya ditarik. Fira memekik karena terkejut. Gadis itu menatap sosok tinggi di hadapannya yang berusaha untuk menarik dirinya.
"Lepasin! Tolong!"
Fira berusaha untuk tetap berada di posisinya, namun itu sia-sia, tenaganya tidak cukup besar untuk menahan tarikan seseorang itu. Meski berteriak, tidak ada yang membantunya. Orang itu justru menarik lengannya dengan kasar dan cepat. Tubuhnya bahkan terseok demi menyeimbangkan langkah orang itu yang sangat lebar.
Orang itu adalah seorang laki-laki yang Fira tidak kenali siapa. Namun, dari aromanya, ia mulai curiga. Sepertinya, asumsinya akan benar tentang lelaki itu.
Keluar dari gerbang dan menepi di dekat pohon mangga yang lebat, lelaki itu berbalik. Masih mencengkeram lengan Fira karena gadis itu memberontak.
"Diem!"
Fira berdecih karena asumsinya benar. Ia terus berusaha untuk menjauhkan tangan yang sangat ia benci itu dari tangannya. Tidak. Ia tidak sudi lagi tangan yang dulu selalu menggenggam tangannya itu, kini malah mencengkeramnya dengan begitu kuat. Cukup dulu saja, dan jangan lagi.
Melihat berontakan dari Fira, lelaki yang tidak lain adalah mantan pacar gadis itu justru mengguncang cengkeraman tangannya pada Fira. "Diem dulu, Safira!" bentaknya sekali lagi.
Fira mendongak dan menatap benci pada Dion. "Singkirkan tangan kotor kakak itu dari tangan aku!" ucapnya dengan tegas. Sorot matanya menyampaikan kalau ia marah, benci dan kecewa. Ya, kecewa akan kejadian masa lalu yang masih sulit untuk ia tepis kenyataannya.
Jika menatap bola mata hitam gelam milik Dion, Fira akan terjun ke dalam jurang masa lalu. Terbentur pada dinding yang berteriak padanya kalau apa yang Dion lakukan untuknya dulu hanya kepura-puraan. Menyelami rasa sakit yang untuk pertama kalinya ia rasakan dulu, kini bisa datang lagi dengan begitu mudah.
Satu detik ... dua ... tiga ....
Fira tidak bisa. Ia belum bisa untuk tidak menangis jika mengingat semuanya. Ia dengan cepat mengalihkan tatapannya saat dirasa kedua matanya mulai berembun. Sial! Mau sampai kapan terus begini?
"Kalau kamu nggak berontak, aku nggak akan kayak gini, Ra!" ungkap Dion tidak mau kalah.
Ya, jika Aras selalu kalah kalau berbicara dengan Fira, maka di sinilah Fira akan mendapatkan kekalahan.
Bersama Dion, Fira akan selalu kalah dalam menyuarakan sesuatu. Dion egois, keras kepala dan Fira membenci itu. Bahkan, rasanya untuk melawan Dion saja, Fira tidak bisa.
Tapi, untuk sekarang, Fira tidak mau kalah lagi. Cukup sudah. Cukup dulu saja, sekarang tidak lagi.
"Aku berontak karena apa? Karena kamu! Karena kamu sendiri yang ngebuat aku berontak kayak gini, Kak Dion!" papar gadis itu dengan tajam.
Sebenarnya, Fira mulai merasakan sakit di tangannya. Sudah pasti tangannya itu memerah. Dion, sialan!
Dion menahan napasnya untuk beberapa saat. Mengatur emosinya agar tidak melukai gadis di depannya itu. Namun, ia lupa, sebelum itupun, dirinya sudah melukai Fira dengan sengaja.
"Please, Ra ... aku cuma mau ngobrol sama kamu," tutur Dion dengan lembut. Ia mengendurkan cengkeramannya pada tangan Fira, tapi tidak melepaskannya.
Fira menghela napas beratnya. "Apalagi yang mau diobrolin? Mau menjelaskan apalagi? Bukannya udah jelas semua, ya? Kak Dion, selingkuh dan aku minta putus, terus karena nggak terima kakak dorong aku sampai mau ketabrak mobil? Kurang jelas di mananya?" Gadis itu mencecar Dion dengan fakta-fakta masa lalu mereka yang sempat terjadi.
Tidak berkutik, Dion justru semakin dalam menatap Fira. Ia sama sekali tidak mengelak atau berusaha untuk mencari pembelaan apapun karena apa yang dikatakan gadis itu memang benar adanya. Dan dirinya, merasakan penyesalan dan rasa bersalah yang begitu mendalam.
Melihat Dion yang tidak bisa membalas apapun, Fira terkekeh sumbang. "Atau, kakak mau menjelaskan dibagian selingkuhnya? Tentang perselingkuhan kakak yang beralasan nggak mau merusak aku? Cih, drama yang apik." Sekali hentak, Fira berhasil menjauhkan tangan Dion dari tangannya. Ia mendongak dan menatap Dion yang masih menatapnya dengan tatapan rasa bersalah.
Fira menepuk bibir Dion dua kali dengan pelan. "Ini. Ini yang udah mengacaukan segalanya. Ini yang mewakili semua isi hati. Ini yang yang menjadi bukti kalau hubungan kita emang benar-benar selesai sejak dua tahun lalu. Dan ... karena ini juga, aku tahu, mana laki-laki yang tulus dan yang butuh pelampiasan hasrat nafsunya."
Kilat adegan masa lalu bisa Fira ingat lagi. Hari itu ... tepat hari kelulusan Dion, yang seharusnya menjadi hari bahagianya dengan lelaki itu, justru akhir dari semuanya.
Di sana, di halaman belakang yang sepi. Di bawah pohon kersen yang rindang dan angin bertiup pelan. Ia melihat dengan jelas kalau Dion ...
sedang berciuman.
Bersama seorang gadis yang pinggangnya dipeluk erat.
Saat itu juga, hati Fira ... hancur. Retak.
Jadi ... waktu lima bulan hanyalah sebuah kesia-siaan yang ia sesali pada akhirnya.
Berpacaran dengan Dion adalah sebuah awal rasa sakit yang kehadirannya tidak pernah ia harapkan sebelumnya.
Pada akhirnya, dari sana ia tahu jika Dion memang bukan laki-laki yang tulus padanya. Ia membenci Dion setelah itu.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, Dion tidak menampik perselingkuhan itu sama sekali.
...
Aras menjalankan motornya keluar gerbang. Kepalanya yang terbungkus helm itu menoleh ke kanan dan kiri. Matanya meneliti ke semua tempat di sekitar depan sekolah. Mencari keberadaan Fira yang sejak sepuluh menit tadi tidak kunjung muncul.
Awalnya, Aras ingin menelpon Fira, hanya saja tidak diangkat oleh gadis itu. Berulang kali dihubungi, namun tetap tidak mendapatkan jawaban apapun. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari gadis itu depan gerbang sekolah. Siapa tahu Fira menunggunya di sana.
Menoleh ke sisi kanan, ia mendapatkan seorang laki-laki bertubuh tinggi berdiri di tepian. Suara obrolan mereka terdengar karena tidak terlalu jauh dari tempatnya sekarang terdiam. Lalu, dengan rasa penasaran--karena suara itu tidak asing, dirinya menstandar motornya begitu saja. Pun dengan helmnya.
Langkah lebar kaki Aras mendekati lelaki yang ia curigai itu. Semakin dekat dan semakin jelas dengan suara sang perempuannya, ia mempercepat langkahnya. Tidak salah lagi, itu Fira!
"Safira?!"
Fira dan Dion menoleh. Aras menatap keduanya bergantian. Kemudian Aras memposisikan tubuhnya di hadapan Fira. Kini, ia yang ada di hadapan Dion.
"A ... ras?"
Menoleh sedetik pada Fira, Aras menatap Dion. Meski tubuh Dion lebih tinggi darinya, tapi ia tidak peduli sama sekali. Ia menatap Dion dengan raut datarnya.
"Ada urusan apa sama Safira?" tanya Aras dengan datarnya.
Dion menaikkan satu alisnya. "Lo lagi? Masalah lo apa ikut campur urusan gue sama Fira?" Ia malah menantang Aras dengan nada sindirannya.
Aras terkekeh, meremehkan. Tidak peduli sopan santunnya pada lelaki di hadapannya itu. "Seharusnya lo yang tanya sama diri sendiri. Kenapa masih berani muncul di depan Fira dengan landasan kalau lo adalah mantannya? Basi!" ucapnya dengan santai.
Mata Dion mulai tersorot emosi. Ia mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Kemudian, ia menatap tajam pada Aras yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Lo nggak berhak larang hal apapun yang menyangkut tentang Fira dan gue, karena lo bukan siapa-siapa!"
"Oh, ya? Gue bukan siapa-siapa? Kalau gue bukan siapa-siapa, buat apa gue waktu itu ada bareng Fira di cafe? Dan kalau bukan siapa-siapa, buat apa gue ke sini dan dengan repotnya ngerusuh obrolan kalian?" Aras menarik seringainya. Sebal sekali melihat wajah lelaki di depannya itu yang ia tidak ketahui siapa namanya. Dirinya hanya tahu itu adalah mantan pacar Fira.
Dion menatap Fira yang ada di belakang tubuh Aras. "Gue cuma butuh ngobrol sama Fira, bukan sama lo. Nggak peduli lo siapa dan lo apanya Fira. Karena gue cuma butuh Fira, bukan elo atau orang lain. Paham?" Ia kembali menatap Aras.
Mundur satu langkah, Aras mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Fira. Gadis itu masih diam dan tidak keberatan sama sekali atas tindakan yang ia tunjukkan saat ini. Dengan pelan, ia menoleh pada Fira dan menggenggam erat tangannya.
Ia menatap Dion. "Gue berhak karena Fira pacar gue. Berani lo ganggu atau buat dia ingat masa lalunya, jangan harap gue bakal diem aja," ucapnya dengan tegas. Kemudian menarik tangan Fira untuk menjauhi Dion.
Fira tertegun, bagaikan disengat listrik untuk satu detik. Gadis itu menatap tangannya yang digenggam oleh Aras. Perasaannya campur aduk. Senang, sedih, baper di waktu yang bersamaan.
Tanpa banyak kata, Aras langsung melepas genggaman tangannya dan memasangkan helm di kepala Fira, pun di kepalanya sendiri. Kemudian, ia naik ke atas motornya, baru disusul Fira. Menyalakan mesin motor, Aras menoleh ke belakang.
"Tangan lo mana?"
Dengan bingung, Fira mengulurkan tangannya. Lalu, dengan tidak mengucapkan apapun lagi, Aras justru memasukkan tangan Fira ke saku hoodienya.
"Nggak usah berisik," pesannya pada gadis itu.
Singkat, namun berarti.
Fira ingin menangis rasanya. Kenapa Aras begitu manis?
...
Jumlah word : 1475
HAHAHA DAH OFFICIAL NIH? BENERAN ATAU BOHONGAN?
WKWKWK
Indramayu, 21 sep 20
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro