Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Aku Hana

Tak.

Suara langkah kaki terdengar di sela – sela keramaian rumah sakit jantung tersebut. Maklum, si empunya kaki memakai sendal berbahan kayu. Terdengar lantang meski di sekitarnya terlalu ramai.

Ternyata yang memiliki kaki itu seorang gadis remaja yang sangat cantik. Kulitnya yang seputih salju terlihat mencolok. Rambut ungu kebiruan pendeknya terlihat berkilau menawan. Bajunya juga terlihat modis meski simpel. Beberapa pujian dilemparkan begitu melihat gadis itu berlalu.

Meksi gadis itu cantik sekali, tapi wajahnya tampak muram dan dingin. Tatapan matanya yang menampakkan ketidakpedulian otomatis membuat orang – orang di sekitarnya menjaga jarak. Bibir tipisnya tertutup rapat, tidak melengkung sedikit pun. Wajahnya bagai ditutupi kabut.

Seolah sudah hafal, dia terus berjalan dengan cepat menuju suatu tempat. Dilemparkannya kata permisi beberapa kali. Tentu saja dengan wajah datar. Tanpa kesalahan sedikit pun, dia berbelok dan mendapati sebuah ruangan tak jauh di hadapannya. Di sekitarnya terdapat kursi – kursi yang diperuntukkan untuk menunggu giliran. Dengan malas, gadis itu mencari tempat duduk yang kosong. Meski akhirnya, ia menghela nafas lega ketika menemukan tempat duduk yang kosong.

Ditatapnya keramaian rumah sakit yang tadi dilewatkannya. Meski bangunan itu disebut rumah sakit jantung, tak menyurutkan keramaian sedikit pun. Sedikit bergumam, gadis itu menggerutu. Alangkah banyaknya penderita penyakit jantung di negara ini.

"HANAAA!!" seruan seseorang membuat gerutuannya terhenti. Gadis itu menoleh, mendapati gadis seumurannya sedang terengah – engah di sampingnya. Gadis yang memanggilnya tadi langsung mengangkat wajah dan menyeringai lebar.

"Hana, kau tahu?? Kau itu sangat susah untuk diikuti. Belajarlah untuk berjalan lebih lambat. Kasian juga jantungmu...." Kata gadis itu. Gadis yang duduk di kursi—atau kita sebut saja Hana, hanya menatap temannya datar.

"Sudah kubilang berapa kali Maya, aku tak peduli jika aku berjalan cepat atau lambat. Jantungku akan tetap sakit." Kata Hana sedikit sarkas. Maya hanya tersenyum tipis mendengar kalimat temannya itu. Ia sudah biasa mendengarnya. Lagipula, Hana sedikit pun tak punya salah berkata seperti itu. Setidaknya itu menurutnya.

"Bagaimana?? Sudah dipanggil??" tanya Maya sambil duduk di samping Hana. Hana tak menjawab. Tatapannya tak menentu. Sejenak, wajah gadis itu terlihat sedih. Namun itu hanya sesaat. Wajahnya berubah kosong. Maya hanya menghela nafas, pertanyaannya tidak dijawab.

Hana Shafiya. Nama gadis itu. Gadis penderita penyakit jantung itu selalu terlihat dingin dan sarkas. Ia tak suka bila ada orang yang bertanya – tanya tentang kehidupan pribadinya—terutama tentang penyakitnya. Hanya Maya dan tantenya yang sabar menghadapi sikapnya.

Sahabat satu – satunya, Maya Aliya Nada, sangat berkebalikan dengan Hana. Gadis itu sangat ceria dan ramah bahkan pada orang asing sekalipun. Maya memiliki rambut coklat panjang ikal yang selalu diikat kuda di samping kepalanya. Kulitnya kuning langsat dan matanya coklat besar.

Hari ini Hana berkunjung ke rumah sakit untuk jadwal check up nya. Seperti biasa, ia akan absen sekolah untuk sehari. Karena orangtuanya terlalu sibuk untuk menemani putri tercintanya, maka biasanya Hana akan ditemani tantenya, Tante Ellie. Tapi hari ini Tante Ellie tidak bisa menemaninya karena harus menemani anaknya tur sekolah. Maka dengan senang hati Maya menawarkan diri untuk menemani Hana.

Tak sekali Maya menemani Hana ke rumah sakit, dan baginya, itu pengalaman yang menyenangkan. Setidaknya kemampuannya sebagai kakak sulung yang bisa diandalkan langsung terlihat jelas. Ia selalu bisa diandalkan Hana meski terkadang Hana terlalu dingin. Mengingat Hana yang anak tunggal, rasanya Maya memang ditakdirkan untuk menjadi sahabatnya itu.

"Hana Shafiya! Pasien dokter Safira!" panggil seorang perawat. Hana dan Maya sama – sama menoleh. Suster itu tersenyum pada Hana, yang tidak membalas senyuman itu. Keduanya sudah saling mengenal satu sama lain. Namun Hana tak merasa perlu repot – repot menghafal nama – nama perawat yang mengenalnya.

Hana mengangkat tubuhnya dari kursi dengan enggan. Ketika Maya juga bangkit, Hana langsung menatap tajam Maya.

"Oke oke. Aku akan tunggu di sini." Kata Maya langsung. Hana mengangguk puas dan melangkah masuk ke dalam ruangan.

Ruangan putih polos langsung menyambutnya. Seorang dokter perempuan terlihat duduk di depan meja sambil serius mencatat. Hana mengambil salah satu kursi dan duduk diatasnya. Dokter itu langsung mengangkat kepalanya dan tersenyum.

"Halo Hana. Sudah lama rasanya aku tidak bertemu denganmu. Padahal baru saja sebulan lalu ya. Bagaimana?? Apakah kau melakukan saranku??" sapa dokter itu ramah. Hana hanya menggeleng pelan menjawab.

"Kenapa?? Hana jadwalnya padat ya??" tanya dokter Safira lagi. Hana sekali lagi menggeleng pelan. "Dokter hanya menyarankan. Setahuku, saran itu boleh dilakukan, boleh tidak." Jawab Hana. Dokter Safira tersenyum. Dilihatnya kembali data di hadapannya.

"Oke, Hana sekarang disuntik lagi ya. Suster, tolong siapkan ya." Kata Dokter Safira. Suster yang berdiri di sampingnya langsung mengangguk dan menghampiri Hana. Hana hanya mendesah.

Baginya, ini tetaplah rutinitas yang membosankan.

~#~#~

Maya berusaha keras untuk melewati beberapa kerumunan orang di depan meja penerimaan resep, tapi tetap saja gagal. Hana yang lengannya ditarik oleh Maya hanya menatap datar temannya itu.

"Egghh..... Sedikit lagi....." Gumam Maya. Hana menghela nafas melihat temannya itu, lalu dengan sekali sentakan ditariknya Maya. Maya langsung limbung ke belakang dan ditangkap Hana.

"Jangan paksakan diri Maya. Kau bisa menunggu kerumunannya bubar." Kata Hana. Maya langsung terkesiap. "Hanaa.. tak kusangka kau sedang dalam mode malaikat hari ini." Kata Maya dilebay – lebaykan. Hana mendelik sebal. Maya terkekeh.

"Aku berkata seperti itu karena itu logis. Aku tak mau membayangkan diriku mati diimpit orang – orang itu." jelas Hana. Maya semakin terkekeh. "Meski kau itu dingin, ternyata bisa kocak juga yah. Yasudah, ayo kita ke kantin. Perutku mendadak lapar." Kata Maya dan langsung semangat menarik Hana. Hana kelimpungan mengikuti.

"Pelan – pelan Maya." Pinta Hana. Maya menoleh ke belakang. "Ehhh?? Bukannya kau tidak peduli kalau harus berjalan cepat atau lambat??" goda Maya. Pipi Hana menggelembung kesal. "Bukan itu. Kalau kau menarikku seperti itu, bisa – bisa aku keseleo." Sungut Hana. Ditunjuknya sendal kayunya yang memiliki hak setinggi 5 sentimeter. Maya terkekeh lagi.

"Baiklah, aku akan pelan – pelan." Maya memutuskan mengalah, meski baginya amat menyenangkan melihat sahabatnya marah – marah seperti itu. Hana memang jarang berekspresi. Dan hanya dirinya yang bisa membuat Hana banyak mengeluarkan ekspresi.

Sesampainya di kantin, hanya ada satu meja yang tersisa. Melupakan nasihat Hana, Maya langsung menarik Hana menuju meja itu dengan terburu – buru. Hana bersiap mengomel lagi, tapi Maya sudah membuatnya duduk di kursi itu.

"Aku akan membeli makanan dulu. Kau mau makan apa??" tanya Maya. Hana sekali lagi menghela nafas. "Apa saja." Jawab Hana. Maya langsung mengangguk siap. Ditinggalnya sahabatnya itu begitu saja.

Sekali lagi Hana mengamati keramaian di sekitarnya. Gadis itu lupa membawa ponselnya bersamanya. Jadilah dia bosan jika sendirian. Apalagi jika Maya meninggalkannya sendiri.

Hana sekali lagi menghela nafas. Dengan sedikit enggan dia menoleh.

AH—

SPLASH!!

Hana mengerjapkan matanya. Dapat dirasakannya rambutnya basah kuyup sekarang. Pemuda di hadapannya tampak sama terkejutnya. Matanya membelalak lebar dan tubuhnya membeku di tempat. Sejenak, keheningan mengambil alih keadaan.

Gelas kertas yang kosong di tangan pemuda itu jatuh dan menggelinding di lantai yang juga basah seperti dirinya.

Seketika Hana sadar bahwa pemuda di hadapannyalah yang membuat dirinya basah kuyup.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro