3. Terdesak
Dunia terus berputar dengan kecepatannya. Lambat atau cepatnya jam berputar, semuanya menjadi relatif bagi segala makhluk. Namun, bagi Heeseung, waktu seperti membeku. Dia tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Heeseung giat belajar tentang apapun. Sayangnya, kemampuannya tidak cukup dibandingkan orang lain. Bakatnya masih kalah jika tidak diimbangi kerja keras. Karena itu, Heeseung mengorbankan waktunya dengan sekolah, latihan, sekolah dan latihan lagi. Namun, biaya akademi untuk tari dan menyanyi sangat mahal. Demi yang terbaik, Heesung nekat bekerja paruh waktu.
Dia sadar akan kemampuan vokalnya yang pas-pasan. Namun, tekadnya tidak tergoyahkan kendati banyak pelatih menyarankan Heeseung pindah ke seni lainnya.
Hanya satu hal yang Heeseung pegang kuat-kuat walau dicemooh di belakang orang lain. Dia tidak mau keluarganya mati.
Usaha keras yang dia kerahkan itu tidak pernah membohongi siapapun. Dia ingin mengubah nasib buruk.
Pada akhirnya, di kelas XI SMA itulah, Heeseung berani menghadap ke orang tuanya. Dengan riang yang sangat dibuat-buat, Heeseung menyampaikan cita-citanya.
Dia mau menjadi idola.
Ekspresi Sangjoon dan istrinya mendadak muram. Mereka ingin Heeseung memiliki cita-cita lain, agar kekhawatiran mereka bisa dipatahkan anak sendiri. Namun, Letnan Jeon telah memberi waktu cukup lama agar Heeseung berproses sendiri dan tidak menghubungi mereka lagi. Sampai keduanya lupa apa yang diinginkan Letnan Jeon.
Ingatan tentang ucapan pria congkak itu melayang di udara, seolah terucap baru kemarin siang. Padahal sudah bertahun-tahun lalu.
Sangjoon menatap hampa wajah anak sulungnya itu. Paras Heeseung memang rupawan, diwariskan oleh istrinya. Sayang, penampilan Heeseung selalu kusut akibat kelelahan. Kantong matanya sangat tebal karena tidur singkat setiap hari. Waktunya habis di studio demi mengasah keterampilan.
Heeseung dikenal sebagai sosok penyendiri. Untungnya sikap itu tidak dibenci siapapun. Dia tidak punya karakter sombong kepada yang lain. Heeseung hanya terlalu sibuk mengejar impiannya.
Di sekolah, dia gemar mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang padat. Anak itu aktif di klub akting, tari, dan OSIS. Tidak heran dia dipanggil Tupai Terbang yang Tampan. Selalu meloncat kemana-mana demi kegiatan. Gemar mengumpulkan acorn alih-alih piala. Dia dicintai guru dan teman sekolahnya.
Usai sekolah, Heeseung tak akan diam begitu saja. Dia melakukan riset mendalam tentang politik dan konflik antar negara. Matanya sampai bengkak kurang tidur. Tak hanya itu, Heeseung aktif di taekwondo dan panah sebagai dasar bertarung yang harus dikuasainya. Dia harus memiliki kemampuan bertahan sebelum menyerang siapapun kelak. Tidak akan ada yang bisa menebak apa yang terjadi di masa depan.
Apapun akan Heeseung lakukan, asal pandai menjaga diri. Jika hidupnya berada di ambang kematian, semestinya Sangjoon mengirim Heeseung di akademi kepolisian sejak dini. Berlatih tembak menembak dengan pistol. Melakukan manuver mencengangkan dalam pertahanan sekaligus serangan. Akan ada banyak aktivitas fisik melelahkan yang berguna. Bukan duduk tenang di bangku sekolah 14 jam lamanya setiap hari demi mengejar teori semata.
Heeseung kelelahan menjalani aktivitas padat. Namun, ingatan tentang Inhwa dicium pucuk pistol masih lekat dalam ingatan. Heeseung tak mau kejadian itu terulang lagi. Dia harus bekerja lebih keras.
Berhenti mengeluh! Batinnya mengamuk. Segan untuk goyah, walau hidupnya sudah rumit.
Demi ketentraman ayah dan ibunya, Heeseung tak mau memasrahkan kematian di tangan Letnan Jeon.
Pada akhirnya, Heeseung terkapar di meja belajar dan kelelahan. Temannya tak ada yang mengganggu lelapnya. Para guru juga maklum. Selama nilai Heeseung stabil di jajaran sepuluh besar satu angkatan, tak masalah dia mendengkur di kelas.
Dia memang popular, tapi tidak satu pun teman yang dianggap dekat oleh Heeseung. Ini salahnya sendiri memenuhi jadwal dengan latihan dan kegiatan ekstrakurikuler. Seperti julukannya, mudah membaur dengan orang lain. Menyusup masuk ke kelompok pertemanan yang berbeda kecuali sekelompok iljin di sekolah. Heeseung harus hati-hati pilih teman.
Pemuda itu susah diajak kumpul-kumpul di luar sekolah. Berulang kali Heeseung menolak ajakan teman-temannya buat hangout. Heeseung jadi tidak enak hati dan ikut pergi. Mereka berkumpul di kafe untuk membeli minuman.
Kala asyik melempar lelucon, pundak Heeseung ditepuk oleh pria bertopi fedora. Senyum kepura-puraannya tersungging, padahal dia sangat mengingat wajah orang itu.
Sungguh mengesankan bahwa Letnan Jeon mengenali Heeseung di mana pun. Keluarga Heeseung diamati sepanjang waktu agar tidak melarikan diri.
"Ya?" tanya Heeseung agak defensif.
"Kau anaknya Sangjoon, kan?"
"Iya." Heeseung menjawab agak ragu-ragu.
"Aku teman lama ayahmu."
Letnan Jeon terkekeh dan menarik kursi dari seberang meja, sengaja bergabung dengan meja Heeseung. Beberapa teman Heeseung melirik resah dengan kehadiran tamu tidak diundang.
Penampilan Letnan Jeon mengerikan. Ada codet melintang di pipi kanan yang mengarah ke bibir kiri. Pria itu pernah mengalami hal berbahaya dan mengerikan rupanya.
"Ah, ya." Heeseung mengangguk canggung.
Matanya melirik ke kanan kiri, meminta bantuan agar salah satu dari temannya menginterupsi percakapan Heeseung dengan Letnan Jeon. Lebih baik Heeseung segera pergi. Akan tetapi, dugaan Heeseung meleset. Tak ada teman yang menolong selain dirinya sendiri.
"Ayahmu punya utang padaku. Katakan padanya untuk segera melunasinya."
Pria itu tersenyum kecil. Namun, bagi Heeseung, itu senyuman mematikan.
Heeseung tahu arti ucapan Letnan Jeon. Utang yang dimaksud adalah nyawa Heeseung. Dia harus segera mendaftar di agensi yang lebih bagus. Bagaimana pun caranya, Heeseung harus debut secepatnya. Sebelum semuanya terlambat.
Lantas, bagaimana caranya jadi idola terkenal jika hidupnya kacau balau?
Percuma Heeseung melaporkan Letnan Jeon ke polisi. Pria itu lebih licik dari kelihatannya. Sangjoon yang akan diciduk. Identitas asli ayahnya akan terbongkar dan dipenjara. Nasib Heeseung nantinya tak akan seperti sekarang. Mungkin Heeseung akan bernasib sama. Dituduh sebagai mata-mata berkat arahan ayahnya.
Letnan Jeon berlalu. Aroma kapur barus di tubuh Letnan Jeon merusak kedamaian Heeseung. Pria itu harusnya mati saja di negaranya sana. Bukan mengejar-ngejar Sangjoon sampai sekarang.
Sangjoon harus berani menembak kepala pria tersebut. Bukan menjadi pengecut seperti ini menyerahkan keluarganya sebagai sandera. Kadang Heeseung menyalahkan Sangjoon tetapi, cinta dan bakti sebagai anak menutupi kemarahannya untuk melindungi semua anggota keluarga.
"Heeseung-ah, aku ikut prihatin. Kukira ayahmu tidak punya utang pada mereka." Salah satu teman Heeseung berkomentar dengan nada iba.
"Dia mirip debt collector yang mengejar bibiku. Sungguh mengesalkan sekali." Yang lain menimpali dengan nada yang sama. Penuh simpati.
"Tidak masalah. Sudahlah. Ayo kita makan dulu. Sebentar lagi kita harus absensi di kelas kalau tak mau dicatat bolos." Heeseung mengalihkan topik.
Di bawah meja, kaki Heeseung gemetar. Heeseung tak seharusnya takut. Akan tetapi, entah kenapa waktu semakin pendek bila di ambang maut yang mengintai.
Dunia berputar lebih cepat kala dia terdesak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro