Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Ancaman Terselubung

"Kirim anakmu ke agensi hiburan. Jenderal menginginkannya jadi idola. Kelak jika sudah tenar, Heeseung akan jadi perwakilan negara ini. Anakmu tak sekadar idol yang dipuja jutaan wanita. Dia akan punya misi khusus nantinya," kata si tamu dengan nada memerintah.

Pria berbadan tambun itu mengenakan mantel hitam dari kulit imitasi. Cara bicaranya sangat congkak. Kakinya ditopangkan di atas meja, menunjukkan kekuasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan sang tuan rumah. Topi fedora diletakkan di sebelah kakinya. Aroma tembakau dari cerutu menyebar ke penjuru ruang tamu. Dengan sengaja, pria itu menyemburkan asap ke wajah Lee Sangjoon—ayah Heeseung.

Sangjoon menganggukkan kepala kikuk. Dia menundukkan kepala amat dalam. Pria itu gemetar ketakutan.

Ini salahnya. Jatuh cinta pada wanita Korea Selatan. Menikah diam-diam dan melarikan diri dari Paju. Kota itu merupakan wilayah perbatasan antar dua negara beda ideologi, telah mengubah Sangjoon. Kota yang memberi pintu kebebasan bagi Sangjoon. Pria itu adalah seorang mantan tentara Korea Utara yang kabur. Sekarang dia telah tertangkap oleh pimpinannya.

Seharusnya Sangjoon mati ditembak Letnan Jeon, pria pengisap nikotin cerutu panjang itu. Akan tetapi, Letnan Jeon adalah seorang manipulatif kawakan. Gemar memainkan emosi orang. Dengan memanfaatkan kelemahan lawan, dia langsung menang mudah. Targetnya bukan Sangjoon. Dia menetapkan keturunan Sangjoon akan menerima dampak mengerikan. Itu adalah kepuasan menyaksikan Sangjoon menderita akibat pembangkangannya.

"Istrimu cantik, Sangjoon. Utungnya dia pandai menyimpan rahasia. Kalau kalian berdua buka suara...." Letnan Jeon melirik pistol di meja, "kalian semua akan mati. Camkan itu, Prajurit Lee. Paksa putramu ikut agensi hiburan kalau ingin hidup kalian tenang."

Sangjoon enggan menanggapi. Keinginannya sederhana. Anaknya bebas melakukan apapun yang mereka mau. Tidak seperti dirinya yang sejak lahir sudah menerima tugas berisiko tinggi. Sayangnya nasib buruk tetap akan membayangi keturunan Sangjoon.

Sangjoon tidak bisa melawan. Posisinya rentan. Bila pun bertarung, dia akan kalah. Hidup atau mati, Sangjoon gagal melindungi keluarga. Dia tidak ingin istri dan anak mereka bergelimang darah dan terbunuh.

Mata Sangjoon bergetar, menahan amarah yang menggelora di dada. Dengan tenang, dia menatap pria pemilik topi fedora, mengharap ampunan untuk keluarganya agar hidup.

Kekehan Letnan Jeon bergema, mengejek ketakutan yang menyergap dada Sangjoon. Pria itu sudah tertangkap di rumahnya sendiri oleh mantan atasannya. Lee Heeseung, putra sulungnya menjadi tawanan yang siap dijagal kapan saja oleh pemerintah yang dikhianati Sangjoon.

Jiwa patriotisme Sangjoon lenyap berkat kehidupan yang brutal. Dia ingin kesempatan kedua, hidup lebih baik tanpa disakiti ataupun menyakiti. Dengan lari dari negara asalnya, Sangjoon bisa bahagia.

"Mari pulang, anak-anak," ajak Letnan Jeon ke pada tiga pengawal lain. Mereka berempat beranjak dari kursi masing-masing.

Para pengejar pengkhianat negara meninggalkan rumah Sangjoon dengan langkah kaki enteng, di hati tersimpan kebengisan tak terperi.

Tangisan Inhwa–istri Sangjoon pecah seketika. Tidak menduga bahwa empat tamu itu sangat berbahaya. Datang memberi perintah yang amat sangat riskan. Inhwa ingin melapor ke polisi, tetapi kasus ini hanya akan berbutut panjang. Suaminya bakal dideportasi, lalu mati dibunuh berlabel status pengkhianat. Belum cukup itu, urusan administrasi kedua putranya tak akan diakui dua negara secara mudah sekalipun mereka memilih salah satunya. Terlebih Sangjoon memalsukan identitasnya.

"Suamiku, bagaimana bisa nasib anak kita terancam? Maafkan aku yang mudah membuka pintu. Kukira kurir biasa yang mengantar paket untuk Heeseung. Maafkan aku yang mengabaikan peringatanmu agar tidak membuka pintu sembarangan," isak Inhwa memeluk sang suami. Takut setengah mati.

"Tidak apa-apa. Heeseung harus melakukannya. Arahkan dia jadi idol. Jika tidak, kita semua mati. Jangan beritahu masalah ini ke anak-anak sampai mereka cukup umur," ucap Sangjoon. Suaranya tercekat. Benar-benar tidak tega pada kedua putranya yang tak tahu apa-apa.

"Kenapa tidak sekarang agar mereka lebih mengerti keadaan kita?" desak Inhwa kehilangan akal sehatnya. Wanita itu kalut. Benar-benar ngeri ketika salah satu tamu memainkan pistol.

"Sadarlah, Inhwa! Anak-anak kita tak boleh tahu. Biarlah kita mengarahkan masa depan mereka seakan ini pilihan mereka sendiri. Bukan paksaan kita mau pun Letnan Jeon." Sangjoon semakin gusar atas kekalutan yang menimpa istrinya.

Jang Inhwa hanyalah warga sipil biasa yang tak tahu apa-apa soal pekerjaan Sangjoon. Selepas pernikahan, dengan jujur Sangjoon membuka diri dan mengajak istrinya pindah dari Paju. Keduanya menetap di Seoul dan menemukan tempat yang baik. Sangjoon nyaris lupa bahwa dia pria tak terdaftar di negara istrinya saking lamanya tak berurusan dengan mantan rekan seperjuangan.

Tiba-tiba, mantan ketuanya yang brengsek itu muncul, mengancam dirinya dengan memanfaatkan keluarga Sangjoon. Sampai kapan pun Sangjoon tak akan memaafkan Letnan Jeon.

Tanpa mereka ketahui—di balik pintu kamar—Heeseung mendengar semuanya. Ancaman Letnan Jeon begitu mencekam. Tangan mungilnya terkepal. Matanya membelalak ngeri. Namun, Heeseung sudah memantapkan tekad.

Demi ayahnya yang dikejar maut di tangan orang Korea Utara. Demi ibunya yang hanya warga sipil biasa. Demi adik laki-lakinya yang nyenyak tidur dan mendengkur halus di kamar utama. Juga demi hidupnya sendiri yang menjadi tumbal sang ayah secara tak sengaja. Heeseung ikhlas menghadapinya. Dia menangis ketakutan pun tidak akan ada gunanya. Dia akan bekerja keras demi mewujudkan keutuhan keluarga.

Selagi bermain dengan kotak senjata milik ayahnya, Heeseung menemukan kumpulan anak kunci yang tersemat di dasar kotak dari kayu. Dengan hati-hati, Heeseung mencocokkan anak kunci dengan lubang pintu tanpa suara.

Dan itulah yang terjadi. Pemandangannya terlalu mengejutkan saat ibunya mengangkat tangan, gemetar setengah mati berada di jarak tembak salah satu pengawal. Pucuk pistol ditempelkan ke dahi Inhwa. Pelatuk siap ditarik kalau Inhwa dan Sangjoon bertindak di luar izin Letnan Jeon.

Semestinya anak itu menggigil kedinginan. Menangis sejadi-jadinya di depan orang dewasa. Memohon pengampunan agar orang tuanya dibebaskan. Akan tetapi, si kecil Heeseung tak melakukan itu. Heeseung tahu, bukan dirinya yang terancam bahaya, melainkan ayahnya yang amat Heeseung cintai.

Dengan hati-hati, Heeseung mengunci pintunya lagi, bersikap tak tahu apa-apa. Cukup lama Heeseung menunggu salah satu dari orang tuanya membuka pintu kamar. Heeseung menyimpan pisau lipat milik ayahnya ke dalam saku celananya ketika pintu terbuka. Anak itu pura-pura membaca buku dongeng.

Wajah Sangjoon tampak ceria. Seolah tiada sesuatu yang mencekam. Heeseung tersenyum. Dia pun melakukan hal yang sama.

Paling tidak, anak berusia delapan tahun ini mengerti bahwa bersikap tak tahu apa-apa adalah pilihan terbaik. Selama mereka hidup dalam kebohongan demi kebaikan yang lain, itu adalah solusi terbaik sampai bom kembali diaktifkan beberapa waktu kemudian.

"Appa, aku mengantuk," ucap Heeseung merengek manja. Tangan kecilnya merengkuh pinggang sang ayah. "Tolong turuti keinginanku. Ceritakan buku ini."

Sangjoon balas mendekap erat putranya. Dia membenamkan semua permintaan maaf kala mencium kening putra sulungnya. Air matanya meleleh. Bersalah karena anak berusia delapan tahun harus menanggung perbuatannya.

Mestinya dia tidak menikah dengan Inhwa. Mestinya dia sudah mati bertahun-tahun lalu dalam pelarian. Namun, kenyataannya hidup memang tidak pernah muncul tanpa masalah. Ini adalah keputusannya sendiri untuk bahagia.

"Maafkan Appa, Nak," ucap Sangjoon parau. Suaranya tercekat, tak mampu meredam kepedihan yang menggumpal di tenggorokan.

"Waeyo? Hanya karena Appa tak mau mendongeng, bukan berarti Appa tidak salah. Appa boleh menolak keinginanku, Appa."

Secara tersirat, Heeseung menenangkan sang ayah.

Semestinya Sangjoon menolak gagasan Letnan Jeon untuk menjerumuskan putranya sebagai pembunuh. Pria itu tidak menginginkan Heeseung mengikuti jejaknya sebagai iblis tidak berperasaan. Sudah berapa banyak nyawa yang darahnya menggenang di kaki Sangjoon semasa menjadi bagian pasukan elit? Pria itu dibayangi ketakutan akan orang-orang sekarat yang ditembak demi sebuah tugas.

"Kau benar, Heeseung-ah. Tetapi malam ini, Appa akan menceritakan kisah bagus untukmu," sahut Sangjoon dan berdehem. Pria itu menarik napas dan menceritakan dua saudara bernama Heongbu dan Neolbu.

Malam merayap semakin pekat. Sepasang anak dan ayah tertidur di kasur, saling mendekap seakan menyatu dalam lembah pikiran bahwa takdir mereka memang telah ditetapkan melakukan perlawanan demi sebuah kebenaran. Seakan Sangjoon paham, putranya seorang jawara di kemudian hari.

*****

Songgon, 08 Maret 2024
17.30 WIB

Terima kasih untuk pembaca budiman yang berkenan meninggalkan jejak berupa bintang yang bersinar. Semoga suka cerita ini ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro