Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Teror Ketakutan

"Apa salah Max sama kamu, Von? Kenapa kamu melakukan hal sekeji itu pada dia?"

"Mengapa kamu tega menodai kesucian Max?"

"Apa nggak ada belas kasihan sedikit pun di hati kamu ketika Max mengiba pada kamu, Von?"

"Dari sekian banyak cowok, kenapa harus anak kami yang kamu nodai?"

"Kamu tega, Von!"

"Kamu kejam!"

"Kamu wanita yang nggak berperasaan!"

"Sekarang lihat akibat perbuatan kamu. Max depresi. Dia tertekan. Merasa nggak ada harga diri lagi!"

"Masa depan dia hancur gara-gara kamu!"

Vonda menggeleng-gelengkan kepala. Benar-benar merasa tidak berdaya dengan tangisan dan ratapan kedua orang tua Max. Membuat ia merasa benar-benar bersalah hingga ke titik yang terendah. Terutama ketika ia sedikit memalingkan wajahnya demi melihat Max.

Max ada di sana. Terduduk di sudut ruangan dan melipat kedua kakinya. Membenamkan wajah di puncak lutut sementara kedua tangannya memeluk kaki. Punggungnya terlihat bergetar. Cukup menunjukkan bahwa ada isakan yang berusaha diredam di sana.

Vonda terhenyak. Sepasang tangan mencengkeram kerah kemeja yang ia kenakan. Wajah wanita paruh baya yang basah berurai air mata itu terlihat memerah karena amarah.

"Kamu harus bertanggung jawab, Von. Kamu harus menikahi Max."

"Tidaaak!"

Vonda menjerit. Benar-benar menjerit dengan sekuat tenaga hingga bisa membuat setan lari ketakutan karenanya.

Napas Vonda terengah-engah dan matanya membuka nyalang seketika. Ia berusaha melihat dalam kegelapan malam yang memerangkap dirinya.

Vonda mengerjap. Menatap ke sekitar dan dahinya berkerut. Tidak ada Max di sudut ruangan. Juga tidak ada sepasang orang tua yang menghakimi dirinya.

"Aku ... mimpi?"

Vonda meneguk ludah. Aneh, tapi ia berani bersumpah kalau rasa ngerinya terasa begitu nyata. Membuat tubuhnya basah karena keringat. Dan lebih dari itu, Vonda pun bisa merasakan dirinya bergetar. Terutama saat ia mengulurkan tangan. Berusaha untuk menyalakan lampu tidur di atas nakas.

Seberkas cahaya lampu bewarna kuning lembut langsung menerangi kamar Vonda. Mengusir kegelapan yang tadi melingkupi dirinya.

Vonda duduk bersandar di kepala tempat tidur. Mengulurkan tangan dan meraih segelas air putih yang tersedia di nakas. Meneguknya dengan cepat. Tenggorokan yang kering kerontang benar-benar menyiksa dirinya.

"Ya Tuhan."

Kelegaan yang diberikan oleh air itu membuat Vonda bisa menghirup udara dengan lebih lapang. Rasa serak dan kering yang membelenggu dirinya seketika menghilang. Dan untuk beberapa saat, Vonda hanya duduk termenung. Tengah malam itu, mimpi buruk sukses mengacaukan tidur nyenyaknya.

Hampir setengah jam Vonda habiskan dengan berdiam diri hingga ia menarik napas panjang. Memadamkan kembali lampu di atas meja nakas, membaringkan tubuh, dan memejamkan mata. Tak lupa membaca doa dan berharap agar bisa melanjutkan kembali tidurnya.

Waktu terus bergulir. Berhasil mengaburkan kesadaran Vonda. Membuat ia kembali tertidur. Alam bawah sadarnya terombang-ambing lagi dalam kekalutan yang membungkus dirinya.

"Ini surat penangkapan Anda, Saudari Vonda. Anda ditangkap dengan tuduhan sudah melakukan pemaksaan, pencabulan, pemerkosaan, perbuatan tidak menyenangkan, dan penyalahgunaan fasilitas umum. Anda akan dituntut pasal berlapis-lapis. Bahkan Hotman Paris pun tidak akan mau membela klien dengan kejahatan memalukan seperti ini. Dan perlu Anda ketahui bahwa Kak Seto sudah mengawal kasus ini. Banyak pihak yang mengecam tindakan Anda."

Vonda membeku. Serasa ingin mati saat melihat tangannya diraih dan dipasang borgol oleh polisi.

"Pak. Jangan, Pak. Saya mohon. Saya nggak bersalah."

Vonda meronta. Mencoba menolak ketika polisi menyeret dirinya untuk masuk ke mobil polisi. Namun, Vonda benar-benar tidak berdaya melawan. Dan tak ada yang bisa Vonda lakukan selain pasrah. Ikut ke kantor polisi, berganti pakaian, menjalani pemeriksaan, dan pengadilan. Sampai pada akhirnya ia pun harus menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi.

Hari terus berlalu. Menghantarkan Vonda pada hari di mana ia mendapatkan penjenguk pertamanya. Di luar dugaan, orang itu justru adalah Max. Wajah Max terlihat sendu saat berkata.

"Seandainya kamu mau menikahi aku, Von. Semua ini nggak akan terjadi. Hiks."

***

"Oke! Kemaren aku memang telat sih, Von. Cuma ... paling lima menit doang dan kamu udah ngacir pulang?"

Ugh!

Vonda merasa kepalanya berdenyut. Akhir-akhir ini tidur Vonda tidak pernah nyenyak, dan semalam? Jangankan tidur nyenyak, yang terjadi bahkan ia takut untuk tidur. Khawatir jika terlelap ia justru akan bermimpi buruk lagi.

"Kan katanya kemaren balik dari kantor kita mau jalan. Eh, malah kamu membatalkannya secara sepihak."

Perkataan Sarah untuk yang kesekian kalinya membuat kesadaran Vonda tersentil kembali. Saat itu Vonda merasa kakinya benar-benar tidak bertenaga ketika menyusuri pelataran kantor bersama Sarah. Ia mengembuskan napas panjang ketika mencerna perkataan Sarah barusan.

Seperti yang dikatakan oleh Sarah, ya! Rencana jalan-jalan mereka kemarin batal. Tak perlu bertanya alasannya mengapa.

Vonda yang ketakutan setengah mati lantaran pembicaraan dengan Max pada akhirnya memutuskan kabur dari kantor. Tepat semenit sebelum Max keluar dari ruangannya! Benar-benar tindakan wakil ketua yang terpuji.

"Memangnya kemaren kenapa kamu kok mendadak pulang duluan?" tanya Sarah lagi seraya masuk ke dalam lift, diikuti Vonda di belakangnya. "Aku mau hubungi kamu juga nggak bisa. Orang ponsel kamu pasti masih sama itu cowok kan?"

Vonda mengangguk. "Sebenarnya bukan cuma ponsel aku yang ada sama dia," lirihnya lesu.

Sarah terkikik. "Iya iya iya. Aku tau kok bukan cuma ponsel."

Sret!

Vonda menoleh dan mendelik tajam pada Sarah. "Maksud aku itu ... kunci mobil aku juga sama dia. Terus karena aku lupa di mana aku simpan kunci cadangannya, sampai sekarang mobil aku masih terparkir di hotel."

"Ah." Sarah manggut-manggut. "Kenapa kamu nggak ambil aja? Datangi dia."

Vonda terdiam.

"Atau kamu merasa malu ya?" tanya Sarah menggoda. "Cie cie cie."

Untuk yang kesekian kalinya di pagi itu, Vonda mengembuskan napas panjang. Ia melirik ke atas dan melihat angka yang bertukar-tukar. Bertanya-tanya di dalam hati, mengapa laju lift terasa semakin lambat kalau Sarah sedang bicara menggoda.

"Ngomong-ngomong, aku jadi penasaran deh. Cowok itu cakep nggak ya? Gimana rasanya pengalaman pertama sama dia? Ups!" Sarah menutup mulutnya sekilas dengan kelima jari tangannya. "Pasti berkesan ya? Soalnya aku ingat ada yang bahas ukuran kemaren."

"Kamu ini stres!" tukas Vonda. "Aku bahkan udah nggak peduli dia secakep apa atau gimana ukuran dia, yang penting aku cuma mau menghindari dia aja."

Sarah angguk-angguk kepala dengan mengulum senyum geli. "By the way, kamu gituan sama dia sempat nanya nama dia nggak? Namanya siapa?"

Vonda melirik dengan sudut mata. "Jangan harap aku bakal kasih tau kamu siapa nama dia."

"Bilang aja lupa kenalan. Pas gituan aku yakin deh kamu pasti nggak sempat basa-basi lagi."

Sia! Walau pada akhirnya aku memang kenalan sama dia, tapi sebenarnya yang dibilang Sarah bener juga. Waktu itu aku mana sempat mikir nama segala macam.

Vonda membuang napas saat pintu lift terbuka. Ia melangkah keluar. Melambai sekilas pada Sarah tepat sebelum pintu tertutup kembali. Membawa sahabatnya ke lantai berikut.

Sejenak tangan Vonda hanya menggenggam daun pintu ruangan. Hatinya bimbang. Tak pernah mengira bahwa akan ada masa di mana masuk ke ruangannya sendiri menjadi hal yang mendebarkan.

Bukan jenis debaran jatuh cinta yang sering Vonda lihat di drama-drama yang kerap menemani malam Minggunya. Ini lebih menjurus pada debar ketakutan seperti kreditur yang sudah menunggak tagihan selama enam bulan dan debt collector sedang mengintai nyawanya.

Deg!

Mendadak saja hidung Vonda mengendus aroma maskulin yang terasa asing-asing familiar. Ketika ia mencoba memaksa otak untuk mengingat di mana ia pernah menghirup aroma yang serupa, terdengar satu suara berat berkata padanya. Bertepatan dengan mendaratnya satu tangan besar di atas punggung tangannya yang memegang daun pintu. Menahan tangannya, sekaligus mengambil alih tindakan untuk menekan daun pintu tersebut. Membukanya.

"Saya pikir pintunya terkunci, ternyata nggak."

Mata Vonda mengerjap, lalu menoleh. Ada wajah Max di sebelahnya. Membuat mata Vonda membesar seketika. Max menatapnya dalam jarak yang begitu dekat.

"Mbak mau masuk nggak?" tanya Max.

Max menunggu beberapa detik seperti menyadari bahwa Vonda sedikit ada masalah dengan kesadarannya. Vonda tersentak. Mengangguk kaku dan melangkah masuk.

Max menutup pintu. Namun, ia bergeming di tempatnya berdiri. Ia melihat Vonda melangkah dan pada akhirnya duduk di kursi. Setelah itu, barulah Max melangkah pelan ke arah Vonda dan bertanya.

"Kemaren kenapa Mbak pulang duluan?"

Pertanyaan itu membuat Vonda yang berniat menyalakan komputer, seketika mengurungkan niat. Alih-alih segera menjawab, ia justru mengangkat wajah dan menatap Max dengan sorot ngeri.

"Mbak mau hindari saya?" tanya Max lagi. "Iya?"

Vonda mengerjap sekali. Dalam hati ia berkata.

Ya kali. Mana ada cewek normal yang nggak bakal kabur kalau diteror dua pilihan sama cowok kayak dia? Yang bener aja.

"Jadi Mbak mau lari dari tanggung jawab?"

Diam sejenak, Vonda lalu menggeleng dengan bingung. Ia jelas saja menggeleng, daripada berurusan sama polisi kan? Hanya saja ....

"Pokoknya saya nggak mau tau. Sabtu besok Mbak harus ikut saya ke rumah orang tua saya."

Deg!

Mata Vonda melotot. "Secepat itu, Mas?"

"Lah? Memang Mbak maunya kapan ke rumah saya? Tahun depan?" tanya Max balas melotot. "Mbak nggak tau kalau akhir-akhir ini saya sarapan bukan dengan makanan, melainkan dengan teror Mama saya. kan?"

Glek!

Gawat! Ternyata ini cowok punya orang tua setipe singa betina. Ya Tuhan. Malangnya nasib hamba. Belum nikah aja udah harus berhadapan dengan kengerian calon mertua.

Vonda mencoba menenangkan diri. Memaksa bibirnya untuk melengkung demi menghadirkan seulas senyuman.

Sungguh! Seumur hidup Vonda tidak pernah berpikir bahwa ia akan dituntut pertanggungjawaban oleh seorang cowok. Lebih parahnya lagi, cowok itu adalah atasan barunya!

"M-Mas."

Vonda mengembuskan napas panjang sekali.

"Saya pikir ini bukan waktu dan tempat yang tepat untuk kita membicarakan hal ini."

Dahi Max berkerut. "Maksud Mbak apa?"

"I-ini di kantor." Vonda memaksa paru-parunya tetap bekerja dan entah mengapa ia merasa sangat sulit untuk bernapas. "Selain itu ... sekarang masih jam kantor."

Mata Max menyipit. Mulai menyadari arah pembicaraan Vonda.

"Lebih baik kita nggak mencampuradukkan tentang urusan pekerjaan dengan kehidupan pribadi," pungkas Vonda.

Sebagai respons, Max mengembuskan napas panjang. Ia mengangguk.

"Apa yang Mbak katakan ada benarnya."

Perkataan Max membuat Vonda pelan-pelan merasakan kelegaan. Setidaknya ia berharap bisa mengulur waktu kematiannya.

"Kalau begitu," lanjut Max kemudian. "Pulang kantor nanti, Mbak ikut saya."

"Eh?"

"Ingat! Jangan berusaha untuk kabur." Mata Max menajam, menyorotkan keseriusan yang tak terbantahkan. "Saya nggak bakal izinkan Mbak untuk kabur."

Ketika Max selesai mengatakan hal tersebut, Vonda tidak sempat merespons lantaran cowok itu keburu beranjak. Semula Vonda pikir bahwa Max akan ke ruangannya, tetapi ia salah menduga. Max justru beranjak ke pintu ruangan mereka.

Tindakan Max kemudian membuat Vonda sontak berdiri dari duduknya. Max memutar anak kunci di pintu. Tanpa basa-basi menarik anak kuncinya yang berjumlah dua tersebut. Ia menghampiri Vonda yang membeku seraya memamerkan anak kunci di tangannya.

Max pun menyeringai. "Sepertinya kunci utama dan kunci cadangan harus saya tahan untuk sementara waktu."

Kedua anak kunci itu lenyap di saku celana Max.

"Hah?!"

Vonda terkesiap. Beranjak dari meja kerja dan menahan Max yang akan melangkah ke ruangannya.

"Mas! Saya nggak bakal kabur. Jadi nggak perlu sampai pintunya dikunci dong."

Mengabaikan kedua tangan Vonda yang memegang tangan kirinya, Max berkata.

"Kalau nggak kabur, ya nggak masalah dong pintunya mau saya kunci atau saya hancurkan sekalian? Iya kan?"

Glek!

Vonda meremang.

Sial! Ini cowok ternyata lebih tangguh dari yang aku bayangkan. Dia ternyata lumayan pintar.

"Ehm," gumam Vonda seraya berpikir, mencari alasan lain. "Mas, kalau pintunya dikunci ... nanti makan siang saya gimana?"

"Mudah." Max tersenyum. "Kita pesan layanan antar aja. Biar saya yang traktir."

Glek!

Alasan lainnya.

"N-nanti kalau saya mau ke toilet gimana?"

Max manggut-manggut. "Ah."

Vonda tersenyum. Merasakan secercah harapan. Namun, di detik selanjutnya senyuman itu menghilang bersamaan dengan harapannya yang menguap. Tepat ketika Max kembali bersuara.

"Pakai toilet di ruangan saya saja. Nggak perlu sungkan, by the way," ujar Max. Seringai terbit di wajah tampannya. "Kata sungkan kayaknya udah nggak berlaku lagi buat kita."

Vonda tercengang tanpa mampu berkata apa-apa.

"Iya kan?"

*

bersambung ....

Btw. Buat yang mau pesan buku TEST DRIVE silakan buruan ya. Stok mulai menipis. Hahaha.


Itu ya. Setiap paket TEST DRIVE kalian bakal dapat novel setebal 611 halaman, camilan khas Bengkulu, CD jaring laba-laba, dan ikat rambut.

Yang mau pesan novelnya bisa di Shopee: V Missv.

Atau kalau kalian mau PDF-nya juga bisa ke nomor: +62 896 1991 0101.

Oh ya. Harga novelnya 150rb dan PDF 85rb.

Untuk info, cerita ini tamat di bab 58 ♡´・ᴗ・'♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro