8. Dua Pilihan
Vonda mengembus napas pelan-pelan sementara benaknya masih saja terbayang-bayang dengan perkataan Sarah sewaktu mereka makan siang. Tak ingin mengingat hal tersebut, otaknya justru berinisiatif untuk melakukan hal yang sebaliknya.
Aku? Memperkosa itu cowok? Yang benar saja!
Vonda mengerucutkan bibir. Merutuki diri sendiri seraya sedikit mengubah posisi duduknya di kursi kerja. Ingatannya masih berlanjut.
Itu cowok itu cowok. Nama dia Maxwell Ferdinand, Von. Dia itu sekarang atasan kamu. Dimarah dia baru kamu tau rasa.
Cuma ... Vonda sedikit mengerutkan dahi. Baru menyadari sesuatu yang melintas di benaknya.
Nama dia kok sama-sama ada Ferdinand di belakangnya sih? Buat aku jadi ingat sama nama Pak Lucas aja.
Vonda menggeleng sekali. Sejurus kemudian ia malah merasa sedikit mual karena memikirkan kemungkin yang satu itu.
Mana mungkin cowok kayak gitu ada hubungan sama Pak Lucas. Beda jauh mah. Kayak Kutub Utara dan Kutub Selatan.
Tubuh Vonda merinding. Sedikit bergidik seperti ada hantu yang melintas di belakangnya. Apalagi rambut kuduknya benar-benar meremang. Terutama ketika pembicaraan antara dirinya dan Sarah tadi terngiang kembali.
"Coba deh aku nanya. Yang pertama kali ajak buat gituan siapa? Kamu atau dia?"
"Ya aku sih, Sar."
"Tanggapannya pas diajak gituan gimana? Nolak atau nerima?"
"Ehm ... dia langsung nolak sebenarnya."
"Nah itu dia! Terus selanjutnya, setelah ditolak kamu ngapain?"
"Ehm ... ya aku langsung naik ke pangkuan dia dan—"
"Stop! Nggak usah dilanjutkan. Otak aku masih terlalu bagus untuk bisa membayangkan hal gila yang selanjutnya kamu lakukan sama dia di mobil."
"Yah ... begitulah."
"Jadi, sampai di sini kamu udah bisa mikir bahwa kalaupun ada terjadi tindak pemerkosaan, itu artinya ya kamu yang memperkosa dia. Bukan dia yang memperkosa kamu. Mana ada jalannya cewek diperkosa malah pakai gaya kuda?"
"Bener juga sih. Biasanya korban selalu di bawah ya kan, Sar? Mana ada cewek diperkosa, tapi malah inisiatif untuk ambil posisi di atas. Ehm ... benar-benar. Sepertinya memang aku yang memperkosa dia."
"Karena itu, Von. Walau mustahil cowok itu bakal melaporkan kamu ke polisi, tapi seenggaknya rada memalukan kalau sampai orang-orang tau. Mau nama kamu masuk berita dengan judul begini: Parah! Cewek ini memperkosa seorang cowok di pinggir jalan. Fakta ketiga akan membuat kamu tercengang."
"Eh?"
"Nggak mau kan? Jadi berdoa saja biar dia nggak mempersoalkan lagi kejadian malam itu."
"Kamu nakut-nakutin aja deh, Sar."
"Ya, tapi ini logis kan?"
Vonda meneguk ludah. Satu kalimat tanya terakhir Sarah yang satu itu benar-benar menyita pikirannya saat ini. Namun, walau selogis apa pun perkataan Sarah, tetap saja Vonda masih bisa berpikir.
Mana mungkin ada cowok yang melaporkan kalau dia abis diperkosa sama cewek di pinggir jalan? Ya kali. Diusut polisi nggak, malu iya. Bukannya itu justru buat harga diri dia sebagai cowok jadi terusik ya?
Vonda gelengkan kepala. Berusaha meyakinkan diri untuk yang ke sekian kali bahwa semua akan baik-baik saja. Tepat ketika pintu ruangan Max terbuka tiba-tiba dengan kasar.
Brak!
"Astaga!"
Vonda seketika terkaget di kursinya. Spontan mendekap dada kirinya yang langsung saja berdebar dengan cepat. Perpaduan sempurna dari rasa terkejut mendengar suara keras itu dan wajah seorang cowok yang kemudian muncul di hadapannya. Anehnya, rasa kaget dengan cepat berubah menjadi ketegangan yang menjalari setiap sisi tubuh Vonda.
Vonda meneguk ludah. Menunggu dengan tubuh membeku, terutama saat Max menghampiri dirinya. Lantas ia bicara dengan suara berat yang terdengar sarat akan emosi.
"Saya minta pertanggungjawaban Mbak."
Vonda memucat. Ia sempat berharap agar dirinya salah dengar atau Max sedang main-main. Namun, tidak akan ada cowok yang main-main dengan wajah seserius itu.
Astaga, Tuhan! Baru juga Sarah ngomong tadi ... dan sekarang udah kejadian?
Berusaha menenangkan diri walaupun itu mustahil, Vonda bertanya dengan suara yang terbata-bata.
"A-apa?"
Di matanya, Vonda bisa melihat bagaimana kerasnya wajah Max ketika cowok itu mendekati dirinya. Kedua tangan Max menekan meja Vonda. Ia lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Vonda. Membuat wajah mereka berada dalam jarak yang begitu dekat. Keseriusan yang terpancar dari mata Max membuat tubuh Vonda panas dingin.
Glek!
"Saya ulangi," kata Max dengan penuh penekanan. "Mbak harus bertanggungjawab untuk apa yang Mbak lakukan ke saya malam itu."
Napas Vonda serasa berhenti berembus. Kalimat Max tidak memiliki sedikit celah pun untuk bisa menghadirkan pemikirkan positif di otak Vonda.
"Mbak harus bertanggungjawab."
Kali ini mata Vonda membesar dan mulutnya menganga. Kengerian menyelimuti tubuh cewek itu tanpa main-main.
Ya Tuhan. Mampuslah aku. Bisa kena malu seumur hidup aku. Dituntut karena memperkosa cowok? Kayaknya baru kali ini ada kasusnya di Indonesia.
Sementara itu, tak menurunkan intensitas ketajaman sorot matanya yang menatap pada Vonda, Max bertahan. Untuk berkedip pun ia tidak melakukannya. Seolah ingin benar-benar menunjukkan keseriusan perkataannya.
Vonda bisa merasakan tubuhnya mendingin. Persis seperti mayat korban pembunuhan mutilasi. Rasanya nyawa di dalam tubuhnya saat ini sudah tercabik-cabik memikirkan kemungkinan buruk di depan mata.
"M-Mas mau melaporkan saya ke polisi ya?" tanya Vonda dengan suara bergetar. Nyaris saja lidah Vonda tak mampu benar-benar menanyakan hal tersebut.
Max mengerjap. Berusaha untuk tetap serius, tak urung juga satu kerutan muncul di dahi cowok itu. Merasa sedikit bingung dengan pertanyaan Vonda.
"Polisi?"
Vonda menarik napas sekali. "Apa ini nggak keterlaluan kalau Mas sampai melaporkan saya ke polisi gara-gara kecelakaan kita di pinggir jalan malam itu?"
Max kembali mengerjap. Kali ini kerutan di dahinya bertambah satu lagi.
Ini cewek gila ngomongin apa sih? Apa dia mabuk lagi?
Mempertimbangkan hal itu, Max semakin mencondongkan wajah. Sedikit mengendus dan tidak mendapati aroma alkohol sedikit pun. Lagi pula, orang gila mana yang akan mabuk-mabukan di saat jam kerja?
Di lain pihak, mendapati Max yang semakin mendekat pada dirinya membuat Vonda ketakutan setengah mati. Menganggap itu sebagai bentuk penuntutan yang tak akan mengenal kata damai. Penuntutan harga mati.
"Mas, saya tau saya salah. Saya memang memaksa Mas untuk ... untuk ..." Vonda meneguk ludah berulang kali. "... untuk tidur bareng saya di mobil. Cuma ... itu nggak merugikan Mas sama sekali kan? Masa Mas harus melaporkan itu sebagai tindak pemerkosaan?"
What?!
Max merasa jakunnya lepas dan ia tersedak karenanya. Nyaris membuat dirinya seperti tidak bisa bernapas lagi. Mengap-mengap, Max melotot pada Vonda. Tak percaya dengan apa yang telinganya dengar.
Nggak merugikan aku sama sekali?
Maka mata Max kian melotot lebar, lalu menggeram.
"Mbak bilang nggak merugikan saya sama sekali?" tanya Max mendesak Vonda. "Nggak merugikan saya sama sekali? Nggak merugikan saya?"
Glek!
Vonda menarik tubuhnya hingga benar-benar mentok bersandar pada punggung kursi. Ia tidak bisa menghindar lebih jauh lagi. Alhasil ia pun panik.
Mampus kamu, Von.
"Mbak pikir mentang-mentang saya cowok, terus tindakan Mbak malam itu nggak merugikan saya sama sekali?"
Bibir Vonda bergetar karena pertanyaan Max dan matanya yang membara. Ingin membela diri, tapi sisi waras Vonda membenarkan kesalahan yang telah ia buat. Sontak saja membuat dirinya ketakutan.
Biaya pengacara berapa sih? Hotman Paris mau nggak dibayar pakai traktiran makan siang sekali?
"M-Mas. Sabar bentar," ujar Vonda menarik napas dalam-dalam. "Lagi pula ... malam itu nggak benar-benar bisa ... disebut memperkosa."
Wajah Max mengeras.
"Ya kali ..." Vonda mengerjap. "Masa ada cowok yang diperkosa ... masih bisa sadar pas make kondom lagi?"
"Kamu!"
"Jelas itu bukan pemerkosaan, Mas," lanjut Vonda berusaha memberanikan diri. "Itu suka sama suka."
"Suka sama suka?" tanya Max dengan suara horor.
Vonda mengangguk dengan kaku.
"Iya." Dagu Vonda terangkat. Berusaha untuk menampilkan sosok dirinya yang berani. "Suka sama suka."
"Oke!" kata Max kemudian. "Jadi Mbak nggak mau tanggung jawab?!"
Kali ini mata Vonda yang melotot, sementara Max terlihat semakin memerah wajahnya. Di otaknya berputar-putar banyak hal.
Mama.
Olivia.
Vonda.
Perjodohan.
Calon istri.
Argh!
Membuat Max benar-benar pusing tujuh keliling.
Nggak bisa membawa Vonda ke hadapan Mama, itu artinya bakal benar-benar nikah dengan Olivia. Aku nggak bisa ambil risiko seperti itu. Lagi pula cuma bawa Vonda ke rumah kan? Seenggaknya urusan sama Olivia selesai. Dengan Vonda? Pelan-pelan aku bisa buat alasan lain.
Nggak cocok. Ketahuan selingkuh. Pokoknya banyak alasan lain untuk membatalkan suatu hubungan. Intinya selamatkan dulu kehidupan aku dari perjodohan yang nggak aku inginkan.
Alhasil, Max tidak berniat untuk mundur.
"Mbak mau tanggung jawab atau saya laporkan ke polisi hah?!"
Astaga, Max. Mana ada ceritanya kamu melaporkan Vonda ke polisi dengan tuduhan pemerkosaan? Tapi, kalau menilai dari perkataan Vonda dari tadi, apa dia lagi ketakutan bakal aku laporin ke polisi? Kok bisa?
Mengabaikan hal tersebut, Max berusaha memusatkan diri untuk melototkan matanya pada Vonda. Tidak membiarkan mata cewek itu berpindah dari sepasang matanya.
"Mbak pilih yang mana?"
Vonda meneguk ludah. "K-kita lakuinnya suka sama suka, Mas."
"Suka sama suka dengkulmu!" ancam Max. "Kalau Mbak memang yakin kita suka sama suka, berarti Mbak nggak masalah dong kalau ini saya laporkan ke polisi?"
"Ya ampun," kesiap Vonda.
"Nggak berani kan?"
Napas Vonda tertahan di dada.
"Oke," kata Max. "Kalau begitu pilihan Mbak cuma satu. Mbak harus bertanggung jawab sama saya."
"Tanggung jawab?" Mata Vonda mengerjap. "Tanggung jawab apa, Mas?" tanya Vonda takut-takut. "Bayarin biaya ganti rugi tiga bungkus kondom yang dipakai?"
"Mbak!"
"Atau biaya ganti rugi layanan Mas?"
"Mbak pikir saya gigolo?!"
Vonda nyaris melompat dari kursinya ketika melihat Max yang meradang. Wajah cowok itu terlihat begitu merah hingga Vonda pikir sebentar lagi akan ada asap yang keluar dari kepalanya.
"J-jadi ... saya harus tanggung jawab seperti apa?"
Max menarik napas sekali. Memberikan jeda beberapa detik sebelum bertanya.
"Mbak nggak tau apa yang biasanya dilakukan cowok ketika ada cewek yang menuntut pertanggungjawabannya?"
Mata Vonda melotot, lalu mengerjap, dan kemudian membesar lagi.
"Saya ingin Mbak menemui orang tua saya."
Kali ini Vonda benar-benar terlonjak dari kursi. Kengerian, ketakutan, dan masa depan yang hitam gelap membayang di pelupuk matanya.
Seumur hidup, menemui orang tua seorang cowok untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, tak pernah masuk dalam skenario hidup seorang Vonda Raveena. Sayangnya, hal itulah yang mungkin akan terjadi sebentar lagi.
Kilasan-kilasan masa depan melintas di benak Vonda. Ia pergi menemui orang tua Max. Meminta maaf untuk kesalahan yang telah dirinya lakukan hingga menodai putra mereka. Namun, ada satu hal yang lebih penting ketimbang itu. Yaitu, ia mungkin harus menguras uang tabungannya untuk melamar Max.
"OH ... MY ... GOD ...."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro