Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Pemaksaan dan Pertanggungjawaban

~ Tragedi atau komedi, terkadang semua hanya tergantung bagaimana cara mata menilai situasi. ~

"Jadi ..."

Suara Sarah terdengar tepat setelah seorang pelayan menyajikan pesanan di meja mereka. Cewek itu menarik gelas jus jeruk, mengisap isinya dengan bantuan satu sedotan sebelum lanjut bicara.

"... aku cuma bertanya-tanya, kapan video Ando mau di-upload?"

Mata Vonda berkedip dengan lesu. Melihat Sarah dengan tatapan lelah.

"Ah ... dengan hastag Ando pendek."

Vonda berguman rendah. Entah karena tidak ingin perkataannya didengarkan oleh karyawan lain mengingat kafetaria kantor selalu ramai saat jam istirahat atau akibat ia yang tak lagi bertenaga. Intinya adalah Vonda menggeleng sekali.

"Daripada itu aku justru kepikiran untuk buat hastag lainnya."

Sedotan masih berada di antara kedua belah bibir Sarah. Hanya dahi cewek itu yang berkerut sebagai ganti pertanyaan: apa. Vonda menarik napas letih.

"Hastag yang melibatkan nama seseorang dan panjang."

"Uhuk!"

Sarah terbatuk dan lalu malah tertawa keras sekali. Vonda mengembuskan napas panjang. Tak menghiraukan tawa Sarah yang meledak hingga kedua matanya basah berair.

Hingga kemudian sesuatu melintas di benak Vonda. Kali ini gantian dahinya yang berkerut-kerut. Tangannya yang semula ingin menarik gelas es teh lemon, berhenti bergerak.

"Kalau aku pikir-pikir," lirih Vonda kemudian. "Kok aku merasa agak aneh ya?"

Sarah membersihkan sisa tetesan jus jeruk di sekitar bibirnya dengan bantuan dua helai tisu sebelum bertanya.

"Aneh apa?"

Vonda menyisihkan gelas. Melipat kedua tangannya di atas meja dan sedikit mencondongkan wajah ke arah Sarah.

"Sikap kamu."

Sarah bingung. "Sikap aku?"

"Tadi pagi, waktu aku cerita kejadian malam itu. Kok kamu nggak kelihatan kaget gitu ya?"

Vonda baru menyadari hal tersebut. Pagi tadi ia memang tanpa sengaja langsung menceritakannya pada Sarah. Walau tidak secara gamblang karena Vonda hanya memakai istilah test drive di pinggir jalan, tapi ia menyadari bahwa aneh rasanya bila Sarah tidak meminta klarifikasi pada dirinya. Alih-alih, Sarah hanya tertawa.

Sekarang ketika dirinya menyinggung soal 'nama seseorang dan panjang' Sarah juga langsung tertawa. Tidak menanyakan apa pun. Seperti Sarah yang tidak perlu lagi menanyakannya pada Vonda.

"Barusan juga. Pas aku ngomong soal panjang ..."

Sarah kembali tertawa.

"... kamu juga kayak yang nggak kaget." Vonda menatap Sarah. "Kamu nggak penasaran dengan yang terjadi sama aku atau nggak peduli dengan kemalangan yang terjadi sama aku atau kamu sudah tau tentang apa yang terjadi sama aku?"

Seringai terbit di wajah Sarah. "Pilihan C."

Vonda meringis ngeri. "Kamu udah tau?" tanyanya horor.

Sarah mengangguk. "Ya karena itu aku santai aja pas kamu cerita dan ngomong soal test drive di pinggir jalan," jawabnya seraya menyisihkan gelas jus dan beralih menarik piring nasi goreng seafood miliknya. "Itu karena rasa kaget aku udah tumpah meluber-luber di Minggu siang."

Vonda menunggu.

"Di saat aku nelepon ponsel kamu."

Vonda meneguk ludah. "Jangan bilang ...."

"Hahaha. Coba tebak? Cowok itu yang angkat telepon aku."

"Ya Tuhan."

Kedua tangan Vonda naik dan memegang kepala. Seolah-olah khawatir kepalanya akan copot karena berita yang satu itu.

Sarah tertawa semakin keras lagi.

"Udah jelas itu cowok ngomong beberapa hal yang sukses buat aku rasa-rasanya terkena serangan jantung dadakan."

"Dia ngomong apa aja?"

Mata Sarah berkilat geli. "Yakin kamu mau tau detailnya?" Ia mendeham. "Dia ngomong beberapa hal yang melibatkan sepatu."

Tangan Vonda jatuh dari kepala.

"Gaun."

Mata Vonda membesar.

"Sama celana dalam jaring," pungkas Sarah tertawa lagi.

Vonda memejamkan mata dengan dramatis. Menggigit bibir bawah dan ia merasa kepalanya berdenyut-denyut.

"Pas telepon itu selesai, aku pikir aku harus periksa telinga ke dokter. Hahaha. Cuma ... ya ampun. Fakta kalau kamu nggak balik hubungi aku seharian, itu udah cukup jadi bukti kalau ponsel kamu memang nggak sama kamu. Ya otomatis dong aku sama sekali nggak meragukan penjelasan cowok itu." Sarah meraih sendoknya. "Siapa pun orangnya, pasti tau apa yang terjadi kalau sepatu, gaun, dan celana dalam jaring cewek tertinggal di mobil cowok."

"Ya Tuhan. Can you just stop saying celana dalam jaring?" tanya Vonda meringis. "Seharian ini kenapa cuma itu yang rasa-rasanya aku dengar?"

"Hahaha!"

"Terlepas dari itu," lanjut Vonda yang sekarang benar-benar tidak menghiraukan soto daging pesanannya. "Aku kecewa banget kamu nggak khawatir dengan keadaan aku, Sar."

Sarah menikmati dulu satu suapan nasi gorengnya sebelum berkata.

"Mengkhawatirkan kamu? Oh, please, Von. Aku justru lebih mengkhawatirkan itu cowok. Tell me deh."

Kali ini sorot mata Sarah agak berubah. Hingga Vonda merasa sedikit tidak nyaman.

"Itu cowok maksa kamu nggak untuk test drive di pinggir jalan?"

Vonda berdoa di dalam hati semoga tidak ada telinga yang mendengar pembicaraan mereka saat itu.

"Nggak."

"Oke."

Sarah mengangguk seraya menunjuk Vonda dengan sendok di tangannya.

"Artinya bukan pemerkosaan dan itu adalah hal yang paling penting. Bahkan saat sudah menikah pun hubungan seksual harus menjadi persetujuan kedua belah pihak. Dengan kata lain karena tidak ada pemaksaan, aku nggak bisa dong salahin cowok itu dan memperlakukan kamu kayak korban. Orang nggak ada yang maksa dan nggak ada yang dipaksa."

Bibir Vonda cemberut.

"Pertanyaan selanjutnya. Ehm ..." Dahi Sarah berkerut ketika ia berpikir. "Kemungkinan ini sebenarnya sudah aku singkirkan dari kemaren sih. Walau bagaimanapun juga, segila apa pun kamu ..." Sarah menggigit sekilas bibir bawahnya. "... dan semabuk apa pun kamu, tapi bukan berarti malah kamu yang maksa itu cowok kan? Soalnya bukan apa, nggak pakai acara mabuk aja kamu udah gila. Apalagi kalau kamu mabuk." Sarah geleng-geleng kepala. "Nggak kan Von?"

Vonda membeku.

Semenit ....

Dua menit ....

Tiga menit ....

"Shit!" Sarah mengumpat dengan histeris. "Did you?"

Vonda meringis. "Like what you said, Sar. Aku ini nggak pakai acara mabuk aja udah gila. Apalagi kalau mabuk?"

"Omo omo omo."

Tangan Sarah gemetaran, terpaksa melepaskan sendok dari tangannya. Berpindah mendekap jantungnya sendiri.

"Kamu ..." Wajah Sarah terlihat ketakutan. "... memperkosa cowok di pinggir jalan?"

"What?!"

***

Max mengembuskan napas panjang. Ia baru saja kembali ke ruangannya setelah menikmati makan siang bersama dengan direktur perusahaan. Orang penting di sana yang kebetulan adalah sepupunya yang baru saja menikah.

Bermanis mulut, Max mengucapkan permintaan maafnya secara langsung untuk ketidakhadirannya dalam pesta pernikahan Lucas. Pun tak lupa mengobral janji bahwa ia akan bekerja sebaik mungkin selama dibutukan.

Dan setelah perjuangan yang menguras tenaga itu, sekarang Max menghadapi cobaan selanjutnya. Yaitu, berupa telepon dari sang ibu.

Max menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menguatkan diri dan ia mengangkat telepon tersebut.

"Halo, Mama. Udah makan siang?"

Terdengar sedikit suara berisik di seberang sana sebelum suara wanita paruh baya menyahut sapaan Max.

"Halo juga, Max. Mama sudah makan siang. Yah ... walau makan siang ini rasanya begitu hambar."

Dahi Max berkerut. Beranjak dan duduk di kursinya. "Hambar? Memangnya Bu Surti masaknya kurang garam atau gimana, Ma?"

"Bukannya kurang garam."

Max yang tengah membawa satu tangannya untuk bertahan di atas meja bisa mendengar ibunya itu menghela napas panjang. Terasa seperti sedang begitu lelah.

"Mama cuma merasa mungkin akan lebih enak kalau Mama makan ditemani sama calon mantu."

Gubrak! Siku Max terpeleset dari atas meja kerjanya sendiri.

"Mama!"

"Max! Mama serius! Kapan sih kamu mau kenalkan cewek itu ke Mama?"

Max rasa-rasanya mulai merasa kesal dengan pertanyaan itu.

"Ya ampun, Ma. Kan baru kemaren kita bahas. Aku belum ngomong dong ke dia."

"Ck. Cuma ... kamu udah pernah singgung obrolan soal kunjungan ke rumah kita kan?"

Max menjawab lesu. "Belum pernah."

"Ya Tuhan. Max, cowok nggak boleh kayak gitu. Dekat ke cewek, tapi nggak kasih kepastian itu nggak boleh."

"Kepastian apa, Ma?" tanya Max meringis.

"Ya ajak cewek ke rumah buat dikenalin ke keluarga itu salah satu bentuk keseriusan cowok. Tahap menuju kepastian."

Bola mata Max berputar-putar mendengar perkataan ibunya.

"Oke, coba Mama tanya sekarang. Setelah malam Minggu di pesta itu ... kalian ada ketemu lagi nggak?"

Pertanyaan itu membuat Max merenung sejenak.

Ketemu? Ya jelas dong orang kami ketemu.

Jadi Max menjawab. "Ya kami ketemu kok, Ma."

"Lama atau sebentar?"

Mata Max mengerjap.

Kami berada di satu kantor yang sama, bahkan bisa dikatakan satu ruangan.

Jadi Max kembali menjawab. "Ya kami ketemunya lama dong, Ma."

Terdengar embusan napas lega di seberang sana.

"Selama seminggu, kalian biasanya ketemu berapa kali?"

Max kembali berpikir.

Kami kerja ada lima hari dalam seminggu. Itu artinya ya kami ketemu lima hari.

Jadi lagi-lagi Max menjawab. "Biasanya sekitar lima hari gitu, Ma."

"Wah!"

Max mengerjap. Suara kesiap ibunya di seberang saja nyaris membuat ia terlonjak.

"Kamu benar-benar serius dengan cewek ini, Max?"

Max bingung. "Eh? Apa, Ma?"

"Ya Tuhan! Mama benar-benar nggak nyangka kalau kamu sangat memprioritaskan cewek ini."

"Memprioritaskan?" tanya Max menggumam.

Namun, gumaman itu menjadi tidak berarti ketika ibunya kembali berkata dengan suara yang begitu bersemangat.

"Cowok memang harus kayak gini, Max. Sepadat apa pun pekerjaan tetap harus meluangkan waktu untuk bertemu dengan pacarnya. Itu harus dibiasakan dari sekarang, biar jadi kebiasaan pas udah bekeluarga ntar. Nggak ada cewek yang nolak dapat cowok yang perhatian."

Max melongo. "Eh?"

Meluangkan waktu?

Bekeluarga?

Cowok perhatian?

Entah mengapa tiga hal itu membuat kepala Max mendadak berputar-putar. Ia merasa lantai tempat ia berpijak mendadak mengalami gempa lokal.

"Oke! Sampai di sini Mama udah bisa menebak kalau kamu benar-benar serius dengan cewek ini."

Ditambah lagi oleh satu kata itu.

Serius? Oh, tidak! Yang benar saja. Max merasa bulu kuduknya meremang.

"Cuma ... Mama kayaknya ini nggak sopan deh. Masa dari kemaren nanyain itu cewek bolak-balik, eh namanya nggak Mama tanyain."

Astaga. Max menahan napas di dadanya.

"Nama dia siapa, Max? Kan nggak mungkin Mama ke mana-mana ngomong pacar kamu dengan panggilan 'cewek itu'. Mama ini bukan calon mertua kayak di televisi kan?"

Max meringis.

Calon mertua apaan, Tuhan?

"Nama dia siapa?"

Ringisan Max semakin nyata. Merasa benar-benar tidak berdaya menghadapi teror pertanyaan dari ibu kandungnya sendiri.

"Namanya Vonda, Ma," jawab Max tidak berdaya, ingin berbohong pun khawatir justru memperparah keadaan. "Vonda Raveena."

"Vonda. Ehm nama yang unik. Mama baru pertama ini kenal cewek namanya Vonda. Ck. Pasti calon mantu limited edition ini mah. Hohohoho."

Tawa itu membuat nyawa Max serasa ingin kabur dari raganya saat itu juga.

"Oke, Max. Jadi kamu diskusikan sama Vonda. Kapan mau datang ke rumah kita. Kan Mama sama Papa mau ngobrol sama dia."

"Ma."

"Kamu ingat kan kalau nggak ada halangan, kamu bakal tunangan dengan Olivia tiga bulan lagi?"

Ya ampun.

"Harapan Mama malam Minggu besok kamu mau ajak Vonda ke rumah sih. Jadi urusan dengan Olivia bisa cepat kelar deh."

"Ma."

"Oke. Ntar kita ngobrol lagi ya, Sayang? Kamu kerja yang rajin. Jangan mengecewakan orang-orang."

Untuk hal itu, Max mau tak mau menyetujuinya. "Iya, Ma."

"Mama percaya kok kamu bisa kerja yang bener di sana. Bukannya apa, tapi kemaren itu susah banget buat bujuk kamu kerja kan? Eh, kalau kamu mendadak setuju itu artinya kamu benar-benar siap untuk bekerja."

Max tak mengeluarkan sepatah kata untuk mengomentari perkataan ibunya yang satu itu. Ia hanya angguk-angguk kepala dengan lemas.

"Ya sudah. Mama tutup teleponnya dan Mama tunggu kabar baik dari kamu. Bye."

"Bye."

Telepon terputus. Tepat setelahnya, Max mengembuskan napas panjang. Mendadak merasa ada beban ratusan kilogram yang mendarat di kedua pundaknya.

Vonda? Datang ke rumah? Ya Tuhan! Nggak bisa kasih cobaan yang lebih berat lagi ya?

Max menyingkirkan ponsel dan meremas kedua tangan. Menghirup napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, lilitan dasi di leher membuat napasnya terasa sesak.

Max mengendurkan lilitan dasi itu dengan kasar. Melepaskan satu kancing teratas di kemejanya. Lantas menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Sejurus kemudian, Max bangkit. Berusaha menahan desakan kedua tangan, tapi ia benar-benar tak berdaya hingga pada akhirnya cowok itu meremas rambutnya.

Pertunangan dengan Olivia? Atau bawa Vonda ke rumah?

Max mondar-mandir di ruangannya.

Ini hari pertama aku kerja bukannya aku urusin soal kantor, eh malah sibuk mikir cewek mana yang akan aku bawa ke hadapan orang tua aku? Astaga!

Max menggeram.

Seandainya malam itu Mama nggak lihat Vonda masuk ke mobil aku, semua ini pasti nggak bakal terjadi. Kalau Vonda nggak masuk ke mobil aku, otomatis dong Mama nggak bakal seheboh ini.

Kaki Max berhenti melangkah. Matanya membesar seolah baru menyadari sesuatu.

Benar. Ini semua berawal dari Vonda kan? Ini semua gara-gara dia.

Max mengangguk dengan penuh semangat. Melihat ke arah pintunya dan bergumam dalam hati.

Dia yang buat masalah, ya berarti dia dong yang harus tanggung jawab.

Tak berpikir dua kali, Max memutuskan untuk tidak membuang waktu lebih lama lagi. Ia berjalan ke pintu. Meraih daunnya dan membuka pintu itu dengan kasar.

Brak!

"Astaga!"

Max melihat Vonda yang terlonjak kaget di kursinya dengan tangan mendekap dada kiri. Ketika pandangan mereka bertemu, terlihat wajah Vonda yang menegang. Namun, belum cukup menegang sampai Max menghampiri dirinya, lalu berkata.

"Saya minta pertanggungjawaban Mbak."

Vonda memucat. "A-apa?"

Tangan Max menekan meja Vonda. Tubuhnya condong ke arah cewek itu. Wajah mereka berada dalam jarak yang begitu dekat dan keseriusan terpancar dari mata Max hingga membuat tubuh Vonda panas dingin.

"Saya ulangi," kata Max dengan penuh penekanan. "Mbak harus bertanggungjawab untuk apa yang Mbak lakukan ke saya malam itu."

Napas Vonda serasa berhenti berembus.

"Mbak harus bertanggungjawab."

*

bersambung ....

Fyi: buat yang ga mau nunggu, cerita ini sudah tersedia dalam bentuk buku, PDF, dan di KaryaKarsa. Dijamin, ga bakal rugi deh ♡´・ᴗ・'♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro