Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Klarifikasi

"Kenapa Mas bisa ada di sini?"

"Loh? Mbak juga kenapa ada di sini?"

"Mas ikuti saya?"

"Eh! Jangan-jangan Mbak yang ikuti saya kan?"

Pertanyaan dengan nada menuding terdengar saling sahut menyahut. Seketika langsung menarik perhatian orang di ruangan itu.

"Ehm ... maaf. Kalian sudah saling kenal ya?"

Sret!

Vonda dan Max sama-sama berpaling pada Indra Sugeng Riyadi selaku ketua dari bagian kepegawaian. Mereka menatap pria paruh baya itu dengan sorot yang membuat Indra pun mengerjap, terutama ketika keduanya menjawab bersamaan.

"Nggak."

"Iya."

Indra melongo mendapati jawaban keduanya yang berbeda.

"Eh?"

Vonda dan Max kompak melihat satu sama lain lagi. Tepat ketika Indra kembali bertanya lagi.

"Saling kenal atau nggak nih?"

"Iya."

"Nggak."

Indra lagi-lagi melongo saat mendapati baik Vonda maupun Max yang mengubah jawaban, tapi ... eh masih juga menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Membuat ia semakin bingung.

Walau tentu saja bukan hanya Indra saja yang bingung. Semua orang di ruangan itu sama herannya seperti Indra. Saling melirik dengan raut wajah yang menampilkan tanda tanya.

Tangan Indra terangkat.

"Nggak iya. Iya nggak," ulang Indra menirukan jawaban Vonda dan Max tadi seraya menunjuk keduanya bergantian. "Kok beda-beda jawabannya sih?" Indra mengerutkan dahi. "Jadi yang benar apa?"

Pertanyaan serupa memenuhi benak semua orang. Alhasil jangan heran bila akhirnya semua menatap Vonda dan Max dengan sorot aneh.

Vonda dan Max mengerjap. Semua orang menatap mereka dalam diam, menunggu penjelasan. Membuat sepasang anak cucu Adam itu sama-sama meneguk ludah dengan bingung. Berusaha mencari jawaban yang tepat dan aman untuk pertanyaan menjebak tersebut. Max berusaha tidak menggaruk kepalanya, sementara benaknya mengumpat.

Sial! Ini hari pertama bekerja kenapa aku langsung kayak yang disidang di depan semua orang sih?

Vonda pun rasanya ingin sekali kabur dari ruangan itu. Astaga, tapi bagaimana bisa ia bertemu dengan cowok yang dirinya goda?

Aduh! Aku cuma ingin hidup tenang. Eh? Mana bisa ceritanya aku tenang kalau ada cowok ini?

Glek!

"Ehem!"

Max mendeham. Otaknya langsung berpikir dan ia pun berusaha untuk tersenyum. Mencoba untuk menjelaskan.

"Saya dan Vonda ketemu di pesta pernikahan Pak Lucas."

Sret!

Vonda langsung memalingkan wajah. Matanya menatap Max dengan sorot ketakutan.

Ya Tuhan. Ini cowok kenapa bisa sampai tau nama aku?

"Jadi ya makanya kami sedikit bingung," kata Max mencoba untuk santai. "Kenal nggak kenal sih sebenarnya."

"Oh." Indra angguk-angguk kepala mengerti. "Gitu toh. Ya ... walau kenal nggak kenal, tapi seenggaknya semuanya jadi lebih gampang dong. Bapak dan Ibu sudah saling tau sama lain." Indra merasa lebih lega. "Pasti malam itu kalian sudah saling ngobrol."

Wah! Lebih dari ngobrol, Pak.

Vonda meneguk ludah. Diam-diam melirik pada Max.

Sebenarnya ngobrolnya dikit, Pak.

Max menarik napas dalam-dalam. Menyadari bahwa Vonda melihat padanya.

"Jadi ..." Indra menepuk tangannya sekali. ".. saya juga nggak perlu repot-repot untuk mengenalkan atasan dan bawahan baru Departemen Pengembangan dan Perencanaan." Ia memamerkan senyum lebarnya.

"Apa, Pak?"

"Apa, Pak?"

Pertanyaan kompak Vonda dan Max itu membuat Indra tertawa. Pria paruh baya itu lantas berkata pada karyawan lainnya.

"Lihat! Kalau tadi omongan mereka nggak kompak kan? Nah! Sekarang setelah tau mereka adalah atasan dan bawahan baru, eh jadi langsung kompak."

Vonda mengerjap. Sedikit bingung dengan perkataan Indra. Walau otaknya sudah memikirkan kemungkinan mengerikan itu, tetapi ia tidak akan terburu-buru percaya. Sungguh! Vonda sekarang benar-benar tidak bisa mempercayai isi kepalanya sendiri.

Itulah mengapa di detik selanjutnya, Vonda memberanikan diri bertanya. Otaknya bisa saja salah mengira kemungkinan.

"Maksud Bapak ..." Vonda melihat pada Max yang terlihat bingung juga. "... Mas ini ....."

Namun, Vonda menggantung ucapan. Hati kecilnya tidak sanggup menuntaskan kalimat yang ia takuti. Walau di lain pihak sepertinya Indra mengerti maksud perkataan Vonda. Ia pun mengangguk, berkata seraya melihat pada Max.

"Pak, Vonda Raveena ini adalah wakil ketua Bapak."

Max pun terdiam. Sepertinya ia tengah berusaha mencerna informasi yang baru saja telinganya dengar. Sementara itu Indra kemudian berpaling pada Vonda dan berkata lagi.

"Vonda, beliau ini adalah Maxwell Ferdinand. Ketua departemen kamu yang baru."

Sial! Kok tumben otak aku bisa bener memperkirakan kemungkinan yang bakal terjadi?

Hanya saja ....

Max melebarkan matanya. Begitu pun dengan Vonda. Kali ini mereka sama-sama terkesiap dengan satu kata.

"What?!"

***

Max melangkahkan kaki. Ia melewati pintu yang dibuka oleh Vonda dan berjalan memasuki ruangan tersebut. Kepala cowok itu bergerak ke kanan dan ke kiri bergantian. Sedikit memutar tubuh. Mengamati keadaan sekeliling.

Melihat satu set sofa yang rapi, Max lalu berpindah pada meja kerja di seberang ruangan. Fokusnya menuju papan nama di sana. Wakil Ketua.

Max mengembuskan napasnya sekali dan kali ini matanya melihat pada satu pintu di dinding. Tertulis di sana. Ketua.

Max paham. Secara logika mereka berdua ada di ruangan yang berbeda.

Tidak. Max menggeleng. Dirinya dan Vonda benar-benar berada pada satu ruangan.

Gawat!

Max menggeram dalam hati dan memutar tubuh. Tepat ketika ia menatap mata Vonda dan satu pertanyaan langsung menudingnya.

"Mas kok tau nama saya?" Vonda menatap tajam. "Sampai ngomong sama Pak Indra kalau kita sudah kenal." Dahi Vonda mengerut dengan rasa ngeri. "Kita kan belum ada kenalan. Malam itu kan ..." Vonda menahan napas.

"Malam itu kan kita ehem-ehem tanpa sempat kenalan," kata Max menuntaskan perkataan Vonda dengan mata mengerjap salah tingkah. "Yah ... bad attitude memang, cuma ...." Max pun menggantung ucapannya.

"Cuma siapa yang masih sempat mikir kenalan kalau udah on gitu?" tanya Vonda horor.

Max membeku. Tangan terangkat dan mengusap tengkuk. Sementara Vonda seakan baru tersadar dengan kalimat yang terlepas dari lidahnya, buru-buru mengusap wajah sekilas. Berusaha untuk memfokuskan kembali pikirannya, alih-alih teringat lagi tentang malam itu.

"Mas mata-matain saya ya?" tanya Vonda kemudian setelah menemukan kembali inti permasalahan. Bahkan wajahnya sampai menyiratkan raut ngeri. "Kenapa?"

Max menarik napas. Mendadak kaget ketika melihat Vonda yang tiba-tiba bersedekap seraya bertanya.

"Mas sudah terpesona sama saya? Makanya cari tau tentang saya?"

Max melongo. "Eh?"

"Mas," desis Vonda kemudian. "Saya mohon. Kita lupakan aja ya tentang malam itu? Please." Vonda memohon. "Saya nggak mau jadi bahan gosip kantor. Ya?"

Max tak mampu menahan kekehan halus yang lolos dari mulutnya. "Wah! Kamu ini benar-benar sesuatu ya, Mbak?"

"Maksudnya?" Vonda mengerjap tak mengerti.

"Di mana-mana, kalimat yang Mbak omong barusan itu harusnya jadi kalimat cowok."

Mengatakan itu, Max justru mendapati raut bingung Vonda. Hal yang membuat ia lanjut berkata.

"Saya mohon. Kita lupakan aja ya tentang malam itu? Please," ujar Max mengulang perkataan Vonda seraya menampilkan gestur andalan cowok, perpaduan antara sorot permohonan dan geli secara bersamaan.

"Oh gitu."

Vonda mengangguk samar. Otaknya membenarkan perkataan Max.

"Lagi pula, Mbak," lanjut Max kemudian. "Saya ini bukannya mata-matain Mbak lantaran terpesona sama Mbak."

Wajah Vonda bersemu merah. Mau tak mau merasa malu juga.

"Melainkan karena barang-barang Mbak kan ketinggalan di mobil sama."

"Ah," kesiap Vonda dengan mimik terperangah. "Iya ya?"

"Ya iyalah," tukas Max. "Ada clutch Mbak. Di dalam sana ada undangan pesta pernikahan Mas Lucas kan? Saya lihat nama Mbak di undangan itu." Ia menjelaskan. "Vonda Raveena."

Vonda angguk-angguk kepala.

"Jadi tenang aja. Saya juga nggak mau kena gosip kantor di hari pertama saya kerja," kata Max terlihat salah tingkah. "Lagi pula ... malam itu ...."

"Kita sama-sama terbawa suasana ya kan?" ujar Vonda menyambung perkataan Max yang terjeda. "Saya mabuk dan malah mendesak Mas untuk ...."

"Berhubungan intim dengan Mbak." Kali ini Max yang menyambung perkataan Vonda. "Yah ... saya cuma mau jadi cowok baik hati karena Mbak yang ngotot minta."

"Apa?"

Vonda merasa tubuhnya sedikit limbung sehingga ia buru-buru bertahan pada dinding.

Max mengerjap sekilas. "Saya benar kan?" tanyanya sok polos. "Mbak ngebet minta saya buat ..." Kedua tangan Max naik dan lalu bergerak abstrak. "... gituin Mbak."

Vonda melongo. Wajahnya benar-benar terlihat syok.

"Terima kasih sekali, Mas. Saya nggak pernah lihat ada cowok yang sangat baik hati kayak Mas di muka bumi ini."

Max mengulum senyum. "Sama-sama, Mbak. Nggak merepotkan kok."

"What?!"

Vonda menjerit dan Max mengangkat tangannya.

"Maksud saya ..." Max menarik napas sekali, mengambil sikap waspada. "Lain kali Mbak jangan mabuk lagi. Walau malam itu saya nggak terlalu repot, tapi jangan diulangi lagi."

Vonda menggeram dengan kedua tangan yang mengepal. "Saya bisa pastikan kalau saya nggak bakal mabuk lagi."

"Saya tenang kalau begitu, Mbak." Max membuang napas lega. "Fyuh."

Vonda mendengkus. Beranjak menuju ke mejanya, menarik kursi, dan duduk hanya untuk mendapati Max yang kemudian memilih berdiri di depannya. Kedua tangan Max menekan meja dengan posisi tubuh yang sedikit condong ke arahnya.

"Cuma ya, Mbak. Saya mau nanya."

"Apa?"

"Kira-kira barang Mbak mau diambil nggak?"

"Ya maulah."

Wajah Max menyiratkan kelegaan tak terkira.

"Bagus deh kalau gitu. Soalnya bukannya apa ya? Tapi, seumur hidup saya belum pernah menyimpan celana dalam cewek di lemari pakaian saya."

Vonda melotot.

"Mana bahannya jaring laba-laba lagi." Max menatap Vonda tak berdaya. "Memangnya Mbak ini spiderwoman apa?"

Vonda menjerit. "Tidak!"

*

bersambung ....           

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro