Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

47. Luar Biasa

~ Kahlil Gibran berkata: "Sekalipun pedang-pedang yang bersemayam di balik sayap-sayap itu barangkali akan melukaimu." ~


Pagi hari yang menyenangkan. Tidak ada jadwal ke kantor yang mengharuskan untuk segera bangun. Pun tidak ada dering ponsel akibat panggilan dari Mama yang suka meneror. Lebih dari itu ... ada hangat tubuh seseorang yang menciptakan sensasi berbeda saat ia membuka mata.

Vonda di pelukannya. Masih tertidur nyenyak dengan rambut yang acak-acakan. Napasnya teratur. Hal yang berbeda sekali dengan malam tadi, sebelum mereka berdua tertidur akibat kelelahan.

Max mengembuskan napas. Menatap langit-langit dan mendapati itu adalah kedua kalinya ia melihat langit-langit yang sama. Sudah terasa familiar.

Beberapa saat lamanya, Max bergeming. Membiarkan tubuh tanpa busana mereka yang tertutupi oleh selimut tetap saling menghangatkan di dalam sana dengan intim.

Max merasakannya. Ada satu kaki Vonda yang naik dan mendarat di atas kakinya. Pun ada tangannya yang terdiam di perutnya. Sementara itu ... wajahnya berada di dadanya.

Situasi itu membuat dada Max bergemuruh. Jantungnya berdebar dan ia buru-buru menenangkan diri.

"Ehm."

Satu lenguhan panjang dari bibir Vonda membuat Max menurunkan pandangan. Di pelukannya, tubuh Vonda menggeliat. Ia mengangkat wajah dan membuka mata di detik selanjutnya. Pun tersenyum.

"Pagi."

Suara Vonda terdengar parau saat menyapa Max. Menerbitkan senyum geli di wajah itu.

"Aku pikir kamu nggak bakalan bangun."

Vonda mendengkus geli. "Aku pikir kamu udah balik."

Mata Max menyipit. "Kamu bisa berpikir pas masih tidur?"

Pertanyaan yang membuat Vonda tertawa. "Ya nggak gitu juga, Max," desahnya. "Cuma beberapa detik pas aku mulai sadar tadi ... aku pikir kamu udah nggak ada. Kamu udah balik kayak kapan hari itu."

Max paham maksud Vonda. "Sorry. Waktu itu aku harus buru-buru buat ke kantor."

"Aku tau," lirih Vonda seraya beringsut dari pelukan Max. Ia bangkit duduk seraya mempertahankan selimut untuk menutupi dadanya. "Mau sarapan atau apa gitu?"

Max ikut-ikutan duduk. Menyugar rambutnya yang tak kalah berantakan dengan Vonda. Di saat itu, Max sekilas melihat pada kelima jarinya. Menyadari bahwa tak ada sehelai rambut rontok pun yang ia dapatkan.

Ehm. Hal yang menakjubkan. Mengingat kuatnya dia meremas rambut aku malam tadi, aku pikir pagi ini aku udah botak.

"Sarapan?" Max menyeringai. "Siapa juga yang bakal nolak?"

Vonda beranjak. Meraih sesuatu dari lantai dengan susah payah dan ternyata itu adalah bra. Mengenakannya dengan cepat, ia lantas beralih pada celana dalam yang ditemukan tak jauh dari tempat di mana dirinya menemukan bra tadi.

Vonda berdiri hanya mengenakan dua potong pakaian minim itu. Menghadap pada Max yang meraih kemejanya di nakas.

"Ehm ... kamu tau? Kapan hari pas kabur dari unit kamu ... sebenarnya aku pakai baju kamu."

Max memegang kemejanya dengan satu tangan. Tampak belum akan mengenakannya karena ia lebih tertarik pada perkataan Vonda.

"Ya tau dong. Orang lemari aku jadi agak berantakan gitu," kata Max. "Memangnya kenapa?"

Tak menjawab pertanyaan Max, Vonda lantas melenggang beranjak menuju ke lemari pakaian. Membuka satu pintunya dan berjongkok. Menarik tiga lembar pakaian dari dalam sana.

"Wah! Baju aku!"

Vonda tertawa. "Daripada kamu pakai kemeja itu, mending pakai kaus ini," ujarnya menyerahkan pakaian tersebut pada Max. "Lebih enak juga."

"Benar benar benar." Max menerimanya dengan tawa. "Aku nggak nyangka kalau aku nggak jadi kehilangan baju aku."

"Dasar! Untuk sandal jepitnya, tenang aja. Sebenarnya itu juga masih aku simpan di lemari sepatu depan."

Niat awal, Vonda memang berencana untuk membuang pakaian dan sandal tersebut. Namun, ia mengurungkan niatannya dan Vonda pun bersyukur karenanya.

Sesaat berselang, Vonda sudah mengenakan kaus dan celana pendek yang nyaman. Tak lupa mencuci wajah dan ia berkata pada Max.

"Aku ke dapur."

Max mengangguk sekali seraya meraih ponselnya. Ia memeriksa beberapa hal sebelum memutuskan untuk bangkit. Mencuci wajah dan menyusul Vonda ke dapur.

Vonda mengeluarkan nasi dari magic com setelah menyiapkan kol, bawang, dan cabai yang siap untuk diracik. Berikut dengan bumbu ulek yang membuat Max mengerutkan dahi. Ia tidak mengira kalau Vonda memiliki ulekan.

"Aku harap kamu nggak alergi makan nasi goreng pagi-pagi."

Max mendekat dan menyadari ada telur dan sosis yang telah disiapkan pula. Selain itu, ada semangkuk pepaya yang telah diiris.

"Nggak sama sekali," jawab Max seraya meraih mangkuk pepaya. Mengambil sepotong dengan bantuan garpu. "Sejujurnya nasi goreng itu jauh lebih terhormat dibandingkan dengan piza yang nyaris berubah jadi kerupuk."

Meletakkan nasi di dekat kompor, Vonda mengerutkan dahi. "Kerupuk piza?"

Max terkekeh. "Itu gara-gara pizanya keluar masuk kulkas dan microwave berulang kali. Ya ... anggap aja kerupuk rasa piza atau piza krispi."

"Kamu ini. Ada-ada aja," ujar Vonda sembari menyiapkan segelas air putih dan menyerahkannya pada Max. "Minum dulu."

Max menyeringai. Baru menyadari bahwa seharusnya ia membuka hari dengan segelas air putih, alih-alih langsung dengan sepotong pepaya.

Selagi Max menikmati pepaya di kitchen island, Vonda meraih celemek bergambar teddy bear. Mengenakannya dan bersiap untuk memasak.

Aroma khas bumbu yang ditumis menguar ke udara. Max yang tengah menikmati buah pepaya langsung bersin-bersin. Begitu pula dengan Vonda. Alhasil bersin mereka terdengar seperti sahut menyahut dan mereka sama-sama tertawa.

Untungnya penyiksaan indra penciuman itu tidak berlangsung lama. Tak sampai sepuluh menit, dua piring nasi goreng tersaji di antara mereka.

Sarapan itu lengkap. Ada telur, sosis, irisan tomat, dan beberapa lembar daun selada. Dan menilik dari penampilannya, Max berani bertaruh rasanya tidak akan mengecewakan.

Vonda menarik kursi dan duduk pula di kitchen island. Tersenyum penuh arti ketika Max menyeringai melihat piring sarapannya.

"Aku ingat. Cowok selalu makan lebih banyak."

Perkataan Vonda sukses membuat Max mengangkat kepala dan tertawa terbahak-bahak. Memberikan kesempatan untuk Vonda bertingkah sedikit jahil.

Vonda mengambil satu kerupuk dari stoples. Langsung memasukkannya ke dalam mulut Max.

Max tidak keberatan sama sekali untuk tertawa seraya mengunyah kerupuk. Lagi pula itu adalah awal yang tepat untuk memulai sarapannya.

"Jadi ..."

Suara Max terdengar di sela-sela mengunyah nasi goreng. Ia mengambil seiris tomat dan melahapnya dalam satu suapan.

"... aku pernah dengar. Katanya sarapan dengan sepiring nasi goreng itu nggak bagus."

Vonda kembali mengambil kerupuk. "Masa? Aku nggak tau tuh."

"Makanya aku kasih tau. Sarapan dengan sepiring nasi goreng itu nggak bagus," ujar Max meyakinkan dengan mata menyipit. "Yang bagus itu, sarapan dengan dua piring nasi goreng sekaligus."

Untung saja Vonda tidak tersedak. Namun, tawanya benar-benar meledak.

***

Siang hari itu, Vonda menyusuri lorong lantai ruangannya. Jam di tangan sudah menunjukkan sepuluh menit lewat dari pukul dua belas siang. Sudah memasuki jam istirahat kantor dan ia mempercepat langkah. Sarah sudah menunggunya di kafetaria kantor.

"Ssst. Ssst."

Vonda mengerutkan dahi. Tepat ketika ia melintasi satu ruangan di mana karyawan bagian departemennya berada.

Ruangan itu besar. Cukup untuk menampung sebanyak empat puluh orang karyawan di kubikel masing-masing. Di ambang pintu, ada tiga orang karyawati yang langsung kompak tersenyum pada Vonda.

"Siang, Bu."

Vonda balas tersenyum. "Siang juga."

Lanjut berjalan, samar Vonda masih sempat mendengar helaan napas di belakang dirinya. Seolah-olah ketiga orang karyawati itu merasa lega. Vonda bergumam rendah.

"Takut aku semprot ya?"

Tiba di kafetaria kantor, Vonda langsung menemukan keberadaan Sarah. Di satu meja dengan makan siang yang sudah terhidang.

"Seperti yang kamu mau," kata Sarah seraya melihat Vonda yang menarik kursi. "Ketoprak pakai ayam goreng."

Vonda tersenyum. Menarik piring dan memulai suapan pertama. Menikmati rasa enak yang langsung menyapa lidahnya.

"Oke. Kalau aku nggak salah ingat," kata Sarah setelah meminum es tehnya. "Minggu depan Kania bakal lamaran kan?"

Ada setitik kuah kacang yang menempel di bibirnya. Vonda merasakannya dan ia pun menarik selembar tisu. Membersihkan sejenak sebelum menjawab pertanyaan Sarah yang didahului anggukan sekilasnya.

"Yuhu. Kamu bakal datang kan? Mama tanyain kamu loh."

Menyendok kuah sup dan menyeruputnya, Sarah mendesah saat aneka bumbu itu menyentuh indra perasanya.

"Aman aja. Cuma ... ya itu, Von. Aku kayaknya nggak bisa nginap. Soalnya Lili agak rewel akhir-akhir ini."

Vonda mengangguk maklum. "Mungkin Lili tau kalau sebentar lagi dia bakalan punya adek. Jadi udah merasa cemburu duluan."

"Ck! Kamu ini. Lagian ya aku juga belum tau lima lingerie kemarin itu sukses atau nggak."

Hampir saja kuah ketoprak yang ada di mulut Vonda menyembur keluar. Ia tertawa sementara Sarah terlihat benar-benar serius.

"Bukannya udah ada mau sebulan ya?"

Sarah menggeleng. "Baru tiga minggu."

Jawaban yang langsung mendapat putaran malas bola mata Vonda. Ia berdecak saat menatap pada Sarah lagi.

"Ya intinya kamu udah bisa ngecek kali. Tinggal beli testpack doang."

"Ya nggak gitu juga kali. Lagian aku merasa gemetaran tiap harus ngecek pipis aku. Aku deg-degan nunggu hasilnya, Von."

Vonda ketawa. "Ya, tapi senang gitu kan?"

Seringai Sarah terbit. "Ya iya dong. Masa senang ehem-ehemnya doang."

"Dasar."

Satu dering menginterupsi percakapan santai Vonda dan Sarah. Berasal dari ponsel Vonda. Berupa panggilan video dari Reny.

Hal itu menyadarkan Vonda. Sudah beberapa hari terakhir ini Reny tidak mengajaknya bertatap muka melalui layar ponsel.

"Eh, Mama ganggu kamu lagi makan siang ya?"

Vonda menggeleng. "Nggak kok, Ma. Ini udah selesai."

Reny tampak menghela napas panjang. "Uh. Untung deh. Mama tadi semangat banget buat hubungi kamu. Udah lama loh kita nggak video call."

"Mama pasti sibuk ya? Sampai lupa sama aku."

Di seberang meja, Sarah hanya diam saja melihat sahabatnya itu yang sedang asyik berbicara dengan Reny.

Untuk sekelas hubungan FWB, kamu itu udah terlalu jauh kali, Von. Ckckck! Bertaruh satu lingerie baru aku, kamu nggak bakalan kuat deh.

Sarah memilih untuk kembali menikmati sup ayamnya. Seraya tetap mempertahankan indra pendengarannya dalam mode menyimak perbincangan dua wanita beda usia itu.

"Bukannya sibuk, tapi Mama akhir-akhir ini lagi banyak kerjaan di PKK Kelurahan. Ibu-ibu pada mau buat usaha kecil-kecilan gitu."

"Wah! Hebat!"

Reny tampak tersipu dengan pujian spontan Vonda. "Kamu lebih hebat lagi," katanya. "Ehm sebenarnya Mama hubungi kamu ini karena Mama mau suruh kamu ke rumah, Von."

"Eh? Ada acara, Ma?"

"Nggak sih. Cuma mau ngobrol aja. Ehm ... Sabtu depan main ke rumah Mama ya? Sebenarnya Mama mau kamu datang minggu ini, tapi Mama juga masih harus bantu-bantu di Kelurahan. Jadi Sabtu depan aja. Gimana?"

Jika Vonda pikir-pikir, baru saja berapa hari yang lewat ia pergi ke rumah Max. Tepatnya baru seminggu. Dan sekarang Reny sudah ingin bertemu lagi?

Terlepas dari kenyataan itu, sebenarnya menemui Reny bukan ide yang buruk. Vonda pun menyukainya, tapi ....

"Gimana kalau Minggu depannya lagi aja aku ke rumah, Ma?"

Wajah Reny terlihat sedikit kecewa. "Kenapa? Kamu lagi sibuk?"

"Ehm itu. Malam Sabtu minggu depan itu adik aku mau lamaran, Ma. Jadi aku kayaknya harus pulang."

"Oh!" Mata Reny membesar. "Berarti Max juga ikut kamu pulang ya?"

Vonda melongo. "Eh?"

"Ya iya dong dia harus ikut kamu pulang," ujar Reny antusias. "Ntar biar Mama suruh Max sekalian ngomong soal hubungan kalian ke orang tua kamu ya?"

Kali ini mata Vonda yang membesar dan di depannya, Sarah hanya menggelengkan kepala. Seperti tidak kaget sama sekali.

I told you, Von. Orang Indonesia itu mudah baperan. Apalagi ibu-ibu yang cuma punya seorang anak. Mana anaknya udah masuk zona layak nikah lagi.

Sementara Sarah yang tampak tenang, Vonda justru sebaliknya. Ia langsung terlihat seperti ikan yang kekurangan air. Mengap-mengap berusaha untuk tetap bisa bernapas.

"Ma, itu—"

"Kamu tenang aja, Von," kata Reny dengan mantap. "Kamu balik kali ini biar sekalian jadi momen buat Max mulai pembicaraan serius sama orang tua kamu."

Vonda merasa horor.

"Pokoknya Max harus pergi. Kalau sampai Max nggak ikut pulang sama kamu, biar Mama coret dia dari kartu keluarga."

"Ma—"

Reny tersenyum puas. "Dah! Mama telepon Max sebentar."

Alhasil, Vonda makin ketakutan..

"Ma."

Vonda berusaha mencegah, tapi panggilan video itu terputus. Sekarang Vonda tak bisa berbuat apa-apa, selain menatap kosong pada layar ponselnya yang menggelap.

"Ehm!"

Dehaman Sarah membuat Vonda beralih padanya. Ia tampak santai dan bertanya.

"Itu cowok lagi di mana?"

Vonda mengerjap sekilas. Menjawab tanpa ekspresi. "Kayaknya lagi makan di resto Padang langganan dia."

Sarah manggut-manggut sementara pikiran Vonda melayang-layang. Membayangkan Reny menelepon Max ketika cowok itu sedang makan. Syok mendengar perintah Reny, bisa saja berakibat fatal bagi Max.

Gimana kalau ia tersedak gulai tambusu?

Bayangan Max kelojotan karena usus sapi yang tersangkut di tenggorokan membuat Vonda merinding.

"Astaga!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro