Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45. Beragam Emosi

"Vonda, Om."

Vonda memperkenalkan dirinya seraya mencium tangan ayah Max yang bernama Edhi Tris Ferdinand. Penampilannya tampak segar walau ada beberapa helai rambut putih di atas kepala. Ia tersenyum lebar. Tampak senang menerima perkenalan diri yang sopan dari Vonda. Walau Reny justru sebaliknya.

Reny mencebik seraya memainkan satu kaki Rimbo. Menggerakkannya dengan gestur seolah Rimbo sedang mencakar.

"Masa panggil Om? Ini suami Mama, bukan Om-Om."

Edhi tertawa sementara Vonda refleks mengusap tengkuk. Salah tingkah dan menyadari bahwa perlu meralat panggilannya.

"V-Vonda, Pa."

"Ah, iya-iya," angguk Edhi dan ia melontarkan satu pertanyaan pencair suasana. "Jadi kamu orangnya yang suruh Mama ganti warna rambut?"

Vonda menyeringai setelah melirik pada rambut Reny. "Mama jadi tambah cantik kan, Pa?"

"Tentu saja," jawab Edhi. "Mata kamu bagus. Tau mana yang cocok buat Mama."

Masih memeluk Rimbo, Reny berkata. "Mata Vonda memang bagus, Pa. Buktinya Vonda pilih Max. Itu udah terbukti banget kalau pilihan Vonda bagus kan?"

"Ehm!" Max mendeham dan tidak ingin memperlama masa bincang-bincang yang bisa mempermalukan dirinya. Ia buru-buru memindahkan topik pembicaraan. "Makan yuk, Ma? Mama udah masak apa aja?"

Vonda mengulum senyum melihat wajah Max yang berubah kaku karena perkataan Reny. Untungnya Vonda pun tidak ingin membuat suasana menjadi semakin canggung hingga ia turut berkata.

"Ah, iya! Benar. Mama katanya mau masak banyak kalau aku datang ke rumah kan?"

Reny mengangguk. Melepaskan Rimbo dan meraih tangan Vonda. Mengajaknya masuk.

"Mama udah masakin dendeng batokok seperti janji Mama tempo hari. Mama dapat resepnya dari orang Padang asli. Dijamin enak banget."

Max mengembuskan napas lega melihat pemandangan itu. Ia bergeming di tempatnya berdiri. Diam melihat pemandangan itu.

Reny begitu senang. Setengah merengkuh Vonda, mereka menuju ke ruang makan. Begitupun dengan Edhi. Sebagai pemeriah suasana, ada tujuh ekor kucing yang mengekori mereka sambil mengeong-ngeong riuh.

Sungguh meriah dan membuat Max tertegun untuk beberapa saat. Hanya karena Vonda berpaling dan melambai padanya maka Max turut bergabung pula.

Beberapa saat kemudian mereka berempat sudah duduk di meja makan dengan piring yang telah terisi nasi dan beragam lauk pauk yang menggugah selera. Untuk itu, reaksi Vonda benar-benar alamiah.

"Wah!" kesiap Vonda. "Ini banyak banget, Ma."

Reny menganggukkan. "Mama tadi sampai minta tolong sama ibu-ibu PKK buat bantuin masak. Terus mereka tanya apa Mama mau lamaran lagi malam ini."

Vonda dan Edhi tertawa. Hanya Max yang terlihat memajukan bibirnya.

"Ya wajar ditanyain apa Mama mau lamaran lagi, Ma," kata Max. "Ini beneran banyak banget. Bahkan kayak Mama mau buka warung Tegal aja. Apa aku buat iklan di Instagram?"

"Kamu ini. Warung Tegal nggak ada dendeng batokok," cibir Reny.

Tangan Max mengacungkan garpu di tangannya. "Tapi, ini ada tahu bacem."

Itu adalah makan malam yang menyenangkan. Bukan hanya karena menu lezat yang tersaji, alih-alih lantaran kehangatan yang tercipta dengan begitu alamiah.

Reny kembali memberikan sepotong dendeng batokok di piring Vonda. Saat itu ia berkata.

"Mama beneran nggak sangka kalau kalian ternyata kerja di kantor yang sama. Mana satu ruangan lagi. Ketua dan wakil. Astaga!" Reny mendelik sekilas pada Vonda dan Max bergantian. "Kalian ini benar-benar. Hal kayak gitu nggak kasih tau ke Mama."

Vonda terkekeh. Menerima dengan senang hati potongan dendeng batokok yang keenam. Di sebelahnya, Max meneguk ludah.

Doyan atau kelaparan ini cewek?

"Mama nggak tanya kan?" kata Vonda enteng. "Coba kalau Mama tanya aku kerja di mana, ya ... pasti aku kasih tau."

"Kamu ini," gerutu Reny dengan wajah sok kesal. "Memang pintar banget balas omongan Mama."

Edhi tertawa. "Memang bener yang dibilang Vonda. Seharusnya Mama tanya dari pertama bertemu," ujarnya seraya beralih pada Vonda. "Jadi kalian berdua sebenarnya sudah pacaran sebelum atau setelah Max pindah?"

"Ehm."

Vonda nyaris tersedak potongan daging dendeng. Max pun dengan sigap memberikan minum. Pada saat itulah mereka saling pandang. Seperti sedang melakukan telepati untuk menentukan jawaban yang sama. Namun, sedetik kemudian justru suara Reny yang terdengar.

"Udah pasti mereka pacaran sebelum Max pindah ke sini dong, Pa."

Vonda dan Max kompak melihat Reny yang meletakkan sesendok tumisan buncis dan tempe ke piring Edhi. Keduanya sama mengerjap dengan ekspresi polos.

"Ya?"

Reny tersenyum. "Menurut Papa saja deh. Memangnya Max mau jauh-jauh ke sini dan meninggalkan koleksi mobilnya cuma untuk bantu Lucas?" tanyanya. "Aku yang ibu kandungnya saja meragukan kalau anak aku bisa sebaik itu. Bisa mendadak langsung kiamat besar dong."

"Uhuk!"

Tanpa ada angin tanpa ada hujan, Max seketika langsung terbatuk mendengar perkataan Reny. Kali itu, gantian Vonda yang memberikan minum pada cowok itu.

"Ah!" Edhi manggut-manggut, melihat pada istrinya. "Benar juga sih. Kemarin dia ngebet katanya mau mengurus perusahaan mobil-mobilannya itu kan?"

"Perusahaan mobil-mobilan?" tanya Max memajukan bibir. "Itu namanya melihat peluang pasar, Pa. Semakin lama pecinta mobil antik di Indonesia bakal banyak. Mending aku bikin suplier perlengkapannya aja sekalian."

"Malah semangat ngomongi soal mobil. Ckckck! Berusaha untuk mengalihkan pembicaraan," kata Edhi menggoda. "Berarti?"

Reny tergelak, melirik pada suaminya. "Ya itu artinya sekarang terbukti kalau mereka udah lama pacaran. Orang malam pas pesta Lucas, jelas-jelas Mama lihat Vonda masuk ke mobil Max. Itu udah bukti lainnya kalau mereka mah udah pacaran."

Ya ampun. Vonda berusaha untuk tersenyum, walau kaku.

"Jadi," sambung Reny seraya memainkan sendok di tangannya, mengarah pada Max sedetik, lalu berpindah pada Vonda. "Bisa dikatakan kalau Max bela-belain buat bantu Lucas itu cuma karena Vonda. Biar dia bisa sering ketemu sama Vonda."

Wah!

Dalam hati, Max sudah bertepuk tangan diiringi oleh para gadis pemandu sorak di pertandingan basket tingkat kelurahan. Takjub dengan ibunya itu.

Mama memang hebat banget untuk urusan menarik kesimpulan yang sebenarnya nggak ada.

"Benar kan, Von?"

Mata Vonda mengerjap dua kali. Senyum kakunya mendadak beku dengan ekspresi yang mengerikan. Di mata Max, ekspresi itu persis seperti orang yang sedang kebelet buang air besar.

Max menarik napas dalam, bersiap untuk merengek. "Ma—"

"Ya bisa dibilang gitu sih, Ma."

Eh?

Max menoleh pada Vonda yang memotong perkataannya. Terlihat cewek itu bicara seraya menutup sendok dan garpunya di tengah-tengah piringnya yang telah kosong.

"Soalnya gimana ya, Ma?" Vonda memberikan tatapan menggoda pada wanita paruh baya itu. "Namanya aja anak muda. Memangnya tahan lama-lama LDR?"

"Hahaha!"

Tawa Reny dan Edhi pun pecah. Hal menyenangkan, tetapi juga menyiksa bagi kedua orang paruh baya itu mengingat usia mereka yang sama-sama tak muda lagi. Antara ingin terus tertawa atau mengambil risiko tersedak kacang merah di gulai ayam, mereka pada akhirnya menyerah.

Selesai makan malam, sementara dua orang asisten rumah tangga membereskan semua piring kotor, Reny dengan penuh semangat menyeret Vonda. Melihat itu, Edhi yang semula ingin berbincang dengan Max— mengingat sudah beberapa lama anaknya tidak pulang ke rumah, mengurungkan niatnya semula. Ia justru mengekor pada Reny dan Vonda yang ternyata menuju ke kamar.

"Mama udah siapin ini untuk kamu loh, Von. Makanya Mama pengen banget kamu ke rumah."

"Eh?" Walau bingung, Vonda tetap mengikuti langkah Reny. "Mama siapin apa?"

Di belakang mereka, Edhi terdengar bicara. "Pokoknya kamu harus suka loh, Von. Papa sudah capek banget temeni Mama keliling buat cari barang ini."

Melirik ke belakang melalui pundaknya, Vonda bertanya pada Edhi. "Barang apa, Pa?"

Reny membuka pintu kamar. "Barang yang cantik untuk calon mantu."

Reny membiarkan Vonda duduk di sofa yang tersedia di kamar bersama dengan Edhi. Sedangkan dirinya beranjak ke lemari pakaian. Membuka satu pintu dan mengeluarkan sehelai gaun selutut. Memamerkannya pada Vonda yang seketika meriang.

I-ini bukan gaun turun-temurun kan?

Rasa panik itu tentu bukan tanpa alasan. Vonda gemetaran ketika bangkit dan meraih gaun bewarna putih itu. Berpotongan sederhana, nyatanya gaun itu terlihat sangat elegan. Memiliki lengan hingga siku, gaun itu mengembang di bagian bawah, dan meramping ke atas. Perpaduan antara sifon dan brukat yang tampak cocok sekali untuk wanita muda seperti dirinya.

Please, Tuhan. Jangan bilang ini gaun dari nenek buyutnya Max.

Tentu saja gaun modern itu bukan gaun turun menurun seperti yang dikhawatirkan oleh Vonda. Hal tersebut dijelaskan oleh Reny kemudian.

"Kamu ingat Via kan? Olivia."

Vonda mengangguk. "Kenapa dengan dia, Ma?"

"Karena pertunangan dia dan Max batal, jadinya adeknya yang mau tunangan duluan," jawab Reny. "Kalau nggak salah Edelai bakal tunangan bulan depan."

Ehm. Vonda masih belum tahu kaitannya dengan gaun itu.

"Jadi kamu ntar harus ikut datang pas acara pertunangan dia."

Akhirnya Vonda mengerti. "I-ikut datang?"

Adalah Edhi yang kemudian menjawab pertanyaan terbata Vonda. Wajahnya tampak semringah.

"Tentu saja kamu harus ikut datang, Von."

Reny mengangguk penuh semangat. "Biar Mama bisa kenalin kamu sama teman-teman Mama."

Vonda membeku.

Mau mengenalkan aku sama teman-teman Mama?

Selagi pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, mata Vonda mampu melihat bagaimana wajah Reny dan Edhi yang dipenuhi aura kebahagiaan. Mata mereka pun berbinar-binar. Tanpa sadar, Vonda meremas gaun itu.

***

Jam nyaris menunjukkan pukul sepuluh Waktu Indonesia Barat ketika mobil Max berhenti di sisi gedung apartemen Vonda. Sepintas memandang ke sekeliling, Max bisa melihat bahwa suasana saat itu masih ramai. Bukan hal yang aneh mengingat saat itu malam Minggu.

Max berpaling pada Vonda yang duduk di kursi penumpang. Ia diam. Dahi Max berkerut, seolah baru menyadari bahwa sepanjang perjalanan pulang, Vonda nyaris tak bicara apa pun.

"Von?"

Max memanggil nama Vonda dengan lembut. Vonda berpaling seraya melepaskan sabuk pengaman. Ia tersenyum.

"Makasih untuk malam ini, Max," kata Vonda.

Mata Max menatap pada kedua bola mata Vonda. Merasakan bahwa ada yang tidak beres dengannya.

"Kamu kenapa?" tanya Max turut melepaskan sabuk pengaman dan sedikit memutar tubuh. "Kamu kelihatan agak beda." Ia semakin memerhatikan Vonda. "Apa ada yang salah dengan makan malam tadi? Mama dan Papa ada ngomong sesuatu ke kamu?"

Vonda terdiam, tapi pelan-pelan ia menggigit bibir bawah. Tindakan yang sudah barang tentu membuat Max semakin bertanya-tanya.

"Mama pasti ada ngomong sesuatu yang—"

Bibir Vonda mengerut ketika menggelengkan kepalanya hingga membuat Max menghentikan ucapannya. Namun, bukan berarti gelengan Vonda itu membuat perasaan Max menjadi tenang. Tidak. Yang terjadi justru sebaliknya.

Max semakin waspada dengan semua kemungkinan yang terjadi. Namun, cowok itu mengerti. Ia tak bisa langsung memaksa Vonda. Ia harus pelan-pelan.

"Terus?" tanya Max hati-hati. "Kenapa kamu kelihatan kacau gini?"

"Aku ...."

Max merasakan ada yang berbeda di suara Vonda. Dan ketika ia belum mampu meraba situasi yang tengah terjadi, mendadak saja ia melihat sebutir air mata jatuh di pipi cewek itu.

"Von?" Mata Max melotot. "Kamu kenapa?"

Vonda buru-buru menyeka air matanya. "Aku ...." Mata berlinang itu menatap Max. "Makasih banget, Max."

"Hah? Makasih?" tanya Max panik. "Makasih apaan kalau kamu sampai menangis gini?"

Ada air mata lagi yang jatuh di pipi cewek itu. Anehnya, di saat itu pula Vonda mengeluarkan kekehan lirih.

"Aku senang banget malam ini."

Perkataan dan ekspresi Vonda membuat Max terdiam. Ia bergeming saat melihat Vonda yang lagi-lagi menyeka air matanya. Dengan satu senyum yang terasa berbeda.

"Bukan karena makan malam atau gaun yang aku dapat, tapi ...."

Lagi-lagi Vonda tak mampu meneruskan perkataannya. Namun, Max sepertinya paham.

"Mama dan Papa kan?" tanya Max kemudian.

Vonda memberikan dua kali anggukan sebagai jawaban. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia sedang berusaha untuk menahan isakan melankolisnya.

Max tersenyum dan lantas sedikit bergeser. Mengembangkan tangannya.

"Sini."

Vonda mendengkus geli di sela air mata dan senyumnya. Namun, ia menerima tawaran pelukan cowok itu. Max mengusap pelan punggung Vonda.

"Aku juga makasih. Udah buat orang tua aku senang malam ini."

Tak bicara, melainkan membenamkan wajahnya di dada Max, tangan Vonda mengerat di sekeliling tubuh cowok itu. Menghirup dalam-dalam aromanya. Menyimpan wangi maskulin itu di setiap sensor saraf penciumannya. Berencana untuk mengingat sensasi itu dalam jangka waktu yang belum ia ketahui entah sampai kapan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro