Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42. Dugaan Dan Kejutan

Vonda bangun dengan tubuh yang terasa remuk redam di beberapa tempat. Tidak heran bila butuh waktu lumayan cukup lama baginya untuk membuka mata.

Seberkas cahaya lampu masuk ke retina mata Vonda. Refleks membuat ia kembali memejamkan matanya untuk beberapa saat sampai merasa siap menerima situasi di sekelilingnya pagi itu. Dan hal pertama yang Vonda lakukan ketika membuka matanya lagi adalah melihat ke sebelah.

Kosong. Vonda mengembuskan napas panjang. Matanya mengerjap dan lantas justru menarik napas dalam-dalam. Aneh. Namun, ada sesuatu yang terasa mencekik tenggorokannya. Seperti ada yang menimpa jantung.

"Dia udah pulang."

Suara Vonda terasa lemah ketika mengatakan itu. Hal aneh lainnya bukan? Untuk apa ia mengatakan itu?

Vonda bangkit dari tidur dan untuk sejenak, ia hanya duduk terdiam di tepi tempat tidur. Setengah merenung mungkin. Memikirkan apa yang tengah terjadi.

"Huh."

Vonda mengusap wajah sekilas. Mendadak saja ia merasa seperti kepala penuh oleh beraneka ragam benda tak kasat mata.

Bangkit dan menuju ke kamar mandi, Vonda berniat untuk mencuci wajah terlebih dahulu sebelum mandi.

Vonda berdiri di depan wastafel, menatap pada pantulan cermin. Namun, sedetik kemudian ia justru tertunduk melihat ke bawah. Pada air yang mengalir dengan lancar masuk ke saluran pembuangan wastafel.

"Kenapa aku jadi gini sih? Kalaupun dia balik, itu memang wajar kan? Lagian aku dan dia ...."

Vonda tak meneruskan perkataannya.

"Ya ... walaupun kami nggak ada hubungan, tapi yang malam tadi itu terjadi di saat kami sama-sama sadar."

Tangan Vonda pun menampung air yang mengucur. Membasuh wajah sebanyak tiga kali.

"Aku harus gimana kalau ketemu dia ntar di kantor?"

Tak ingin, tapi banyak kemungkinan yang memenuhi benak Vonda. Ia tak yakin bisa bersikap biasa-biasa saja.

"Argh!" geram Vonda seraya meremas rambut dengan gemas. "Kenapa aku bisa kelepasan kayak gitu sih?"

Memikirkan bahwa ia dan Max tidak memiliki hubungan yang sesungguhnya, tapi justru melakukan hal seintim itu membuat kepala Vonda berdenyut-denyut. Rasanya pening dengan satu pertanyaan yang menggema seketika.

"Kira-kira dia bakal ngira aku cewek gampangan nggak ya?"

Hanya dengan memikirkan kemungkinan itu saja sudah cukup membuat Vonda merasa begitu frustrasi. Tanpa sadar membuat ia terduduk di lantai sementara kedua tangannya memegang tepian wastafel.

"Argh!"

Semua pemikiran itu secara bergantian membahana di benak Vonda. Berulang kali, bahkan ketika ia mandi dan bersiap untuk pergi ke kantor.

"Ya ampun. Apa aku ambil cuti dadakan aja ya?"

Namun, melihat Vonda telah bersiap dengan pakaian kerja, sudah barang tentu cewek itu tidak akan mengambil cuti. Hal yang memberatkannya adalah ketika ia ingat ada rapat yang harus ia hadiri. Rapat itu melibatkan ia dan juga Max.

Deg!

Vonda mendekap dada. Jantungnya seperti memberontak di dalam sana.

"Parah. Cuma ingat nama dia aja udah buat aku gugup gini. Ya ampun. Rapatnya apa nggak bisa zoom aja ya?"

Selagi Vonda masih meratapi kemungkinan nasibnya hari itu, ia tetap berusaha untuk menikmati sarapan. Roti gandum dengan sebutir telor ceplok setengah matang dan beberapa irisan sayuran di atasnya.

Dering ponsel menjeda sarapan Vonda. Berasal dari panggilan yang membuat ia nyaris tersedak irisan tomat.

"Mama."

Baru saja Vonda berhasil meredakan debar jantungnya karena teringat Max, sekarang ia justru mendapati ibu dari cowok itu membuat ia kelimpungan.

"Eh, Calon Mantu."

Vonda buru-buru meraih segelas air minumnya. Astaga. Ternyata bukan tomat yang membuat ia tersedak, melainkan daun selada.

"Kamu udah berangkat kerja, Von?"

Memastikan bahwa selada itu sudah benar-benar meluncur masuk ke perutnya, Vonda baru menjawab.

"Ini baru aja udah selesai sarapan, Ma. Bentar lagi mau jalan."

"Oh," lirih Reny di seberang sana. "Kalau gitu, Mama ngomong langsung aja ya?"

Tubuh Vonda seketika menegang dan terasa dingin. "Ngo-ngomong apa, Ma?"

"Ngomong tentang hubungan kamu dengan Max."

Mata Vonda mengerjap.

"Tadi Max udah ngomong ke Mama. Katanya semalam kalian berhubungan lagi."

What?!

Untung saja roti gandum itu sudah Vonda habiskan. Kalau tidak, Vonda yakin kalau saat itu ia bukan hanya tersedak tomat atau selada. Melainkan tersedak roti itu lengkap dengan isi-isinya sekaligus!

"Be-be-berhubungan?"

Napas Vonda terasa putus-putus saat itu.

Max nggak punya otak atau gimana? Bisa-bisanya ia cerita ke Mama kalau kami semalam berhubungan? Ya Tuhan. Dia

"Iya. Max ngomong kalau kalian ribut berapa hari gitu. Baru malam tadi kalian berhubungan lagi. Dia telepon kamu atau gimana, Von?"

"Eh?"

Vonda mengerjap berulang kali. Seperti otaknya perlu mencerna kata-kata Reny lebih lama.

"Ah," lirih Vonda seraya berusaha untuk tidak menggaruk kepala. "Max ngomong ke Mama kalau kami ribut?"

"Ck! Ternyata berarti kalian memang ribut. Kalian berantem gitu ya?"

Ketika Reny menanyakan hal itu, seketika saja otak Vonda membayangkan peristiwa di mana ia dan Max berantem malam tadi. Sampai membuat mereka berdua sama-sama babak belur dengan lemas di tempat tidur.

"Ah. Nggak serius kok, Ma. Tenang aja."

Terdengar Reny menghela napas panjang. "Untunglah kalau begitu. Dan karena itu kenapa Mama telepon sepagi ini. Buat tanya, mungkin kita bisa ketemu dan ngobrol berdua, Von."

"Ngobrolin apa, Ma?"

Jawaban Reny membuat Vonda kejang-kejang.

"Ya tanggal kalian lamaran dong. Masa ngobrolin tanggal kamu gajian. Kamu ini. Hehehe."

"Ta-tanggal lamaran?"

Saat itu, Vonda memutuskan untuk tidak lagi sarapan dengan roti gandum telur ceplok setengah matang. Ia mendadak merasa mual-mual tak terkira.

Menikah dengan Max?

Vonda tak bisa membayangkannya.

***

Dia nggak bakal anggap kamu kayak wanita murahan kok. Tenang aja. Max bukan cowok kayak gitu.

Itu layaknya mantra yang Vonda hadirkan di benaknya saat menuju ke ruang kerja. Demi mendamaikan kegugupan yang semakin menjadi-jadi. Berharap agar debar jantungnya bisa kembali pada ritme normal. Lantaran riuh yang kian tak terkira itu membuat Vonda khawatir. Bisa saja jantungnya meledak. Isinya hancur lebur tak tersisa dan ia mati di tempat.

Astaga!

Vonda masuk dan membiarkan pintu menutup dengan sendirinya sementara ia terus melangkah. Menuju pada meja kerja, nyatanya pandangan Vonda justru terarah pada pintu Max.

Dia udah datang atau belum ya? Soalnya rapat jam delapan ini kan?

Selagi Vonda bertanya-tanya kehadiran cowok itu, mendadak saja satu suara muncul di belakang dirinya.

"Pagi, Von."

Vonda terlonjak kaget. Nyaris benar-benar melompat seraya berseru.

"Astaga!"

Vonda serta merta membalikkan badan dan melihat pada Max yang menyapanya dengan tersenyum. Pintu telah menutup. Membuat Vonda jadi meneguk ludah dengan tak tenang.

Cuma ada kami berdua di dalam sini.

Vonda benar-benar kelimpungan. Gugup, gemetaran, dan nyaris bisa dibilang ... salah tingkah. Hal yang langsung disadari oleh Max.

"Kamu kenapa?"

Pertanyaan itu membuat Vonda kian gelagapan. Ia tidak bisa berpikir dengan jernih dan langsung menarik keputusan. Dengan harapan agar suasana di antara mereka tidak keruh.

"Yang malam tadi ...."

Itu adalah topik pembuka hari yang tidak Max antisipasi. Mau tak mau membuat ia menjadi susah bernapas.

"Malam tadi itu ...."

Max mungkin akan mengatakan bahwa malam tadi adalah malam yang sempurna. Malam yang benar-benar membuat ia nyaris merasa buta. Malam yang benar-benar membuat ia seperti pria paling bahagia di dunia. Malam yang—

"Nggak berarti apa-apa kan, Max?"

Susunan kata-kata di benak Max buyar seketika. Sedetik ia melongo. Hanya bisa diam saat melihat Vonda sedikit gelagapan ketika berkata.

"K-kita sama-sama dewasa. Berhubungan kayak gitu bukan berarti hal yang buruk kan? Maksudnya ... kita sama tau kalau seks itu kebutuhan biologis."

Vonda menggigit bibir bawah.

Bukan berarti aku berhubungan dengan kamu itu menandakan aku wanita nakal. Kita bisa anggap seperti aku yang juga lagi memenuhi kebutuhan biologis aku. Please, jangan sampai kamu pikir aku yang macam-macam.

Max tertegun. Menarik napas dalam-dalam dan lagi-lagi ... ia merasa seperti ada yang meremas jantungnya. Namun, berbeda dengan yang kemarin ia rasakan. Remasan kali ini menghadirkan sensasi yang ingin ia usir jauh-jauh. Ia berusaha menenangkan diri dan memaksa untuk tersenyum.

"Ya ... tentu saja. I-itu bisa terjadi ke siapa aja."

Vonda menggigit bibir bawah dan mengembuskan napas panjang. Namun, anehnya Vonda tidak merasa lebih tenang padahal Max memberikan jawaban seperti yang ia inginkan.

Ada yang tidak tepat di sana. Seperti sekrup yang keliru memasuki lubangnya. Dan sama seperti Max, Vonda pun tersenyum dengan berat.

"K-kita bisa menanggapnya seperti saling ..." Vonda meneguk ludah. "... membantu."

Ah, Vonda benar-benar tidak tahu harus bagaimana mengatakannya tanpa meninggalkan rasa malu di wajah. Namun, setidaknya Max cukup menolong dengan buru-buru mengangguk. Jujur saja, ia tak ingin mendengar kelanjutan perkataan Vonda.

Aku berasa jadi cowok berengsek aja.

"Ya, Von. Aku tau," kata Max kemudian. "Lagi pula nggak ada pihak yang dirugikan di sini. Kita berdua sama-sama jomlo. Jadi kita juga nggak ada menyakiti siapa pun."

"Ah, benar-benar." Vonda mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kamu benar banget."

Setelahnya mereka kompak terdiam. Menarik napas dan seperti butuh waktu untuk kembali tenang.

"Ehm ... apa kita langsung ke ruang rapat, Max?"

Max mengembuskan napasnya pelan.

Mungkin efek belum makan berat dari semalam. Ditambah dengan nggak jadi sarapan dan dapat telepon dari Mama. Dan sebagai pelengkap, ada percakapan ini.

Max merasa tubuhnya amat lelah. Ia sungguh tidak bertenaga.

"Oke. Aku simpan tas dulu."

Vonda mendapatkan sedikit waktu untuk benar-benar menarik napas lega ketika Max masuk ke ruangannya. Walau entah mengapa udara yang ia hirup terasa berbeda. Tidak menyejukkan seperti biasanya. Alih-alih membuat ia merasa sesak.

Sesaat kemudian Max keluar. Vonda tersenyum padanya dan mereka pergi ke ruang rapat. Menghadiri diskusi antar departemen yang berlangsung sekitar dua jam lamanya. Jeda yang amat ampuh untuk Vonda dan Max. Berkat rapat tersebut, hubungan profesionalisme yang harus dibentuk membuat kondisi mereka berdua cukup membaik.

"Kamu masih di ruangan? Apa aku jemput aja?"

Telepon dari Sarah di jam istirahat menyadarkan Vonda bahwa perutnya sudah begitu kosong. Walaupun ia sarapan, sepertinya ada hal yang membuat ia nyaris kehilangan semua tenaga yang ia miliki.

"Iya. Ada satu surat yang harus aku balas. Kamu ke sini dulu deh."

"Oke-oke. Ini aku udah di lorong. Bentar lagi sampai."

Telepon berakhir dan tak lama kemudian ada ketukan di pintu. Sarah masuk seraya memamerkan senyum cerianya seperti biasa. Ia duduk menunggu sementara Vonda menyelesaikan pekerjaannya.

"Oke! Ayo kita makan sekarang, Sar. Aku udah lapar banget."

Sarah bangkit saat Vonda menghampirinya. Mengangguk, tapi tak urung juga matanya melihat pada pintu yang lain.

"Nggak pamitan sama bos kamu?"

Vonda menggeleng sekilas. "Nggak usah."

"Apa dia nggak makan siang juga?"

"Ehm." Vonda memutar bola matanya sekilas dan berpikir. "Ntar paling dia makan juga kok. Dia suka makan di resto Padang yang deket perempatan itu."

Sarah manggut-manggut. "Oh."

Vonda meraih tangan Sarah, mengajaknya keluar dari ruangan.

"Udah ah ngomongin dia," ujar Vonda seraya membuka pintu. "Keburu aku tambah lapar. Ntar—"

"Vonda?"

Baik langkah kaki maupun ucapan Vonda sama-sama berhenti. Satu suara yang mendadak terdengar di telinganya membuat ia melongo. Mata Vonda membesar tatkala melihat siapa wanita paruh baya yang menyapa dirinya.

Sikap Vonda membuat Sarah bertanya-tanya. Lantaran ekspresi Vonda saat itu persis seperti tengah melihat setan di siang bolong.

"Mama."

Sarah mengernyitkan dahi. "Mama?"

"Astaga, Vonda. Mama nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini," kata wanita paruh baya yang tak lain adalah Reny. Ia menghampiri Vonda. "Ini kebetulan banget bisa ketemu kamu."

Vonda meneguk ludah. Tanpa sadar ia melepaskan tangan Sarah dan membiarkan tangannya diraih oleh Reny.

"Kamu lagi istirahat ya?" tanya Reny dengan penuh semangat. "Mau makan siang?"

Vonda mengangguk kaku. "I-iya, Ma."

Reny tersenyum senang. "Kebetulan dong. Mama juga ke sini karena mau ajak Max makan siang bareng. Ya ... sekalian ngobrol gitu."

Kerutan di dahi Sarah bertambah. "Max?"

"Eh, bentar."

Reny ikut-ikutan mengerutkan dahi. Persis seperti Sarah walau dengan penyebab yang berbeda. Lantaran ia baru menyadari sesuatu yang sempat ia lewatkan.

"Kok kamu bisa ada di sini, Von?" tanya Reny seraya melihat papan nama di atas pintu ruangan itu. "Ini bukannya kantor Max?"

Vonda meneguk ludah. Bingung harus menjawab apa dan tiba-tiba pintu kembali terbuka. Menampilkan Max yang keluar dan nyaris menjerit kaget melihat siapa yang berdiri di depan pintu.

Wajah Max berubah horror. "Mama? Kenapa Mama ke sini?"

"Max!" kata Reny setengah berseru. "Mama mau ngobrol sama kamu."

Jawaban yang membuat Max benar-benar tidak berkutik. "Sekarang?"

"Loh? Bukannya di telepon pagi tadi Mama udah ngomong ya?"

Max ingat betul percakapannya dengan Reny pagi tadi.

"Sorry kalau Mama kelewatan. Mungkin kita bisa ketemu, Max. Biar bisa bicara sebentar. Siapa tau ntar pikiran kamu jadi terbuka."

"Ngobrol dengan Mama bukannya buat pikiran aku kebuka, Ma. Justru sebaliknya. Pasti pikiran aku tambah mampet."

"Kamu ini benar-benar deh. Ya udah deh. Ntar aja kita lanjut ngobrol lagi."

Mata Max melotot. Wajah horornya semakin menjadi-jadi.

"Mama baru pagi tadi ngomong biar kita ketemu dan siang ini Mama nongol di depan ruangan aku? Ntar yang Mama maksud itu beneran ntar ya?"

Reny memutar-mutar bola mata. Menilik dari ekspresinya, jelas Reny tidak berpikir bahwa tindakannya bisa membuat Max mendadak mengidap penyakit magh. Padahal aslinya cowok itu bukan penderita sakit magh sama sekali.

"Lagi pula kayaknya Mama beruntung banget. Bisa ketemu kamu dan Vonda sekaligus. Walau Mama sebenarnya heran." Reny melihat pada Vonda yang memucat dan Max yang memerah secara bergantian."Kenapa kalian bisa keluar dari ruangan yang sama ya?"

Oh, tidak! Vonda dan Max saling lirik dengan gemetaran. Seakan mereka merasakan hal yang sama.

Mampuslah aku.

Sementara di tempatnya berdiri, Sarah hanya terbengong-bengong melihat kejadian yang membingungkannya itu.

Ini aku yang udah kelaparan banget terus otak aku jadi lemot atau mereka semua pada eror berjamaah?

"Ehm, maaf."

Suara Sarah membuat Vonda, Max, dan Reny sama-sama berpaling pada cewek yang hari itu tampak anggun dengan setelan rok selutut bewarna hitam. Ketiganya bisa melihat bagaimana raut bingung tercetak nyata di wajah Sarah yang mungil.

"Ini kok aku kayak yang bingung gitu ya?"

Reny sedikit menelengkan wajah ke satu sisi. "Bingung?"

Mengangkat satu tangan, Sarah menunjuk pada Vonda maupun Max secara bergantian seraya bertanya.

"Sejak kapan kamu dan Pak Max punya Mama yang sama, Von?"

Vonda terdiam. Max membeku. Hanya Reny yang dengan penuh percaya diri mengangkat dagu dan mengambil alih untuk menjawab pertanyaan itu.

"Ya semenjak mereka memutuskan untuk nikah dalam waktu dekat dong."

Tiga pasang mata langsung membelalak.

Tiga seruan pun terlontar bersamaan.

"Apa?!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro