Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

40. Tepat Pada Semua Hal

Fyi. Semua cerita akan tamat di bulan ini.

◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌

Mungkin Vonda yang menundukkan wajahnya atau mungkin Max yang mengangkat wajahnya, atau mungkin tanpa bicara mereka sama sepakat untuk kompak bergerak menuju satu sama lain. Terlepas dari tiga kemungkinan itu, yang pasti memang hanya satu. Yaitu, ciuman itu terjadi.

Kedua bibir yang bertemu itu hanya butuh waktu beberapa detik saja untuk saling menempel, setelahnya mereka pun seperti berlomba untuk saling bergerak. Melumat, memanggut, dan mengecup. Bergantian dan berulang kali. Bahkan lebih dari itu, sentuhan tersebut tak butuh waktu lama untuk memicu hal lainnya.

Adalah tangan Vonda yang semula terangkat karena satu tonjolan kecil di balik kaus tipis Max, pada akhirnya memilih untuk mendarat kembali di sana. Meremas kaus itu dengan kuat tatkala bibir Max dengan lincah menjelajahi bibirnya.

Max semula berpikir untuk melumat bibir itu dengan penuh kelembutan, tapi otaknya mengalami kegagalan berpikir. Terbukti dari menggebunya ia menikmati kedua belah bibir Vonda.

Dimulai dari pagutan di bibir bawah Vonda, lalu berpindah untuk melumat dalam-dalam bibir bagian atasnya, lantas bergerak menggoda sudut bibir cewek itu dengan ujung lidahnya. Satu belaian hangat nan basah merayu. Melintasi bibir Vonda dengan lidah Max yang sensual.

Vonda merekah. Membuka demi menerima sentuhan lebih yang dijanjikan tanpa kata oleh Max. Membiarkan lidah itu menerobos masuk ke dalam rongga mulutnya. Memberi sentuhan pertama yang menggetarkan Vonda hingga ke ujung kaki. Hingga membuatnya tanpa sadar bergerak semakin mendekatkan diri pada Max.

Max tahu Vonda bereaksi pada sentuhannya. Alhasil tak heran bila cowok itu melepaskan tangan Vonda yang masih ia genggam. Lantas kedua tangannya pun bergerak. Menjelajahi dan menuju ke tempat yang berbeda.

Menahan tengkuk Vonda, Max semakin mendapatkan aksesnya untuk mencicipi mulut cewek itu semakin dalam lagi. Mengabsen tiap giginya, lalu merangsek, dan menyapa pada kehangatan di dalam sana.

Dua lidah bertemu. Saling membelit dan ciuman berubah menjadi sentuhan panas yang membakar keduanya.

Max mengerang. Ciuman yang membara dan penjelajahan tangan yang menemukan bongkahan bokong Vonda adalah perpaduan sempurna yang amat memabukkan. Di saat bibirnya terus menikmati bibir Vonda, maka satu tangannya pun meremas bokong cewek itu.

"Ah."

Erangan Vonda lolos. Tepat ketika Max menarik bibirnya dan dengan rasa yang tak tertahankan lagi, berpindah mencumbu kulit Vonda. Memberikan jejak basah yang melintasi pipi, berpindah ke sisi wajah, lalu menuju ke leher.

Saat itu Max menyadari bahwa posisinya sangat membatasinya. Jadi ia bergerak. Bangkit dan mendapatkan kesiap Vonda ketika tanpa aba-aba Max mendorong dirinya hingga berbaring di atas sofa.

Bergerak sesuai insting, Vonda pasrah saja tatkala Max sudah berada di atasnya. Kedua kaki cewek itu membuka. Membiarkan Max mengambil tempat di antaranya. Membuat mereka semakin dekat melekat.

Bobot tubuh Max membuat Vonda melenguh. Kecupan basah Max di lehernya, membuat Vonda mengangkat wajahnya tinggi-tinggi. Memejamkan mata dan menikmati bibir Max membuat ia merasa begitu dipuja.

Lenguhan demi lenguhan Vonda membuat Max makin terlecut. Gairah di dalam dirinya bagai dipacu. Dengan bibir dan lidahnya yang menikmati sensasi kulit di leher jenjang Vonda, tangan Max pun kembali menjelajah.

Hal pertama yang menjadi sasaran Max tentu saja sepasang payudara Vonda. Tangan Max menangkup dari luar. Memang terhalang oleh piyama dan bra, tapi tetap saja ia masih mampu merasakan kelembutannya.

Max meremas. Dengan kuat dan dengan penuh irama. Membuat lenguhan Vonda semakin menjadi-jadi karenanya.

Puas membuat Vonda tak berdaya dengan remasannya, tangan itu pun pindah. Pelan-pelan turun. Berhenti pada paha Vonda. Menyentuhnya dengan ringan hingga membuat Vonda tanpa sadar menahan napas.

Jantung Vonda berdebar-debar demi menunggu sentuhan yang akan Max berikan selanjutnya dan ... jari tangannya pun bergerak. Mengangkat tepian piyama terusan itu. Membuka jalan baginya untuk masuk dan memberikan sentuhan ujung jari yang menggetarkan di seluruh sensor kulit Vonda.

Jari tangan Max bergerak begitu lembut dan ringan. Selembut dan seringan bulu yang tertiup oleh permainan angin. Bergerak dalam usapan dan sentuhan yang membuat Vonda tanpa sadar meremas kedua pundak Max.

Respon Vonda melecut Max untuk semakin berani menyentuh. Semakin naik dan ... berhenti.

Keputusan yang sangat berat diambil oleh Max. Menghentikan penjelajahan tangannya tepat di pangkal paha cewek itu. Terdiam di sana. Sebenarnya membuat ia merasa pening. Namun, Max merasa ia harus melakukan itu. Ia harus berhenti, karena ....

"Vonda."

Vonda menyadari ada yang tidak beres. Tepat ketika ia merasakan sentuhan yang menggetarkan dirinya itu berhenti. Vonda membuka matanya yang berkabut dan langsung menatap Max.

"Max."

Vonda bisa melihat bagaimana wajah cowok itu terlihat mengeras. Sorot mata cowok itu terlihat begitu ramai oleh beragam perasaan yang tak dimengerti oleh Vonda.

Max menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan dirinya sejenak, lalu berkata seraya menatap lurus pada Vonda.

"Ki ... ta cukup sampai di sini aja ya?"

Terlihat jelas Max sangat susah ketika harus bicara. Suara cowok itu terdengar serak dan parau. Namun, jelas saja Vonda menjadi bingung.

"Maksud kamu?"

Vonda meneguk ludah. Berbagai pemikiran melintas di benak Vonda. Membuat ia khawatir.

Mungkin Max mikir aku cewek nggak benar. Mungkin Max

"Aku nggak bawa dompet."

Pikiran buruk seketika mengabur dari benak Vonda dan ia menatap Max.

"Ya?" Vonda mengerjap. "Kamu nggak bawa dompet?"

Meringis, Max mengangguk. "Aku pikir aku cuma mau benerin wastafel aja. Jadi aku nggak bawa dompet."

Wajah Vonda berubah merah. Pikiran buruk tadi yang menghilang justru tergantikan oleh pikiran yang lebih buruk lagi.

Dia nggak pikir buat kasih aku duit setelah kami kayak gini di atas sofa kan? Dia ... dia ... mau bayar aku? Dia

"Dan kalaupun aku bawa dompet, aku juga sebenarnya nggak yakin apa ada kondom di dompet aku."

Lagi-lagi, pikiran buruk Vonda langsung mengabur. Namun, kali ini akibatnya ia tak bisa menahan tawanya untuk pecah.

"Hahaha!"

Menahan bobot tubuhnya dengan satu siku, Max menciptakan sedikit jarak di antara mereka. Dahinya berkerut.

"Kenapa kamu tiba-tiba ketawa?"

"Hahaha!" Vonda berusaha menahan tawanya sejenak. "Aku tadi sempat pikir kamu mau kasih aku duit abis kita ciuman kayak gini. Taunya cuma gara-gara kondom."

"Hah?" Max nyaris ingin menjitak Vonda. "Bisa-bisanya kamu bilang perkara kondom itu cuma? Kamu hidup di tahun berapa coba? Kondom ... itu salah satu penghargaan yang bisa cowok kasih ke cewek."

Vonda tergelak lagi karena omelan Max. "Ah ... tentu saja kamu memikirkan semua keamanannya."

"Aku nggak bisa lanjutkan ini sementara mungkin nanti kamu khawatir bakalan hamil."

Mata Vonda menatap pada Max. "Aku baru selesai menstruasi kemaren kok. Jadi nggak bakalan hamil."

"Hah?"

Max melongo. Lalu matanya mengerjap, seperti berusaha menarik kesadarannya untuk kembali pulang pada dirinya.

Tahan, Max. Tahan. Jangan jadi cowok berengsek ah. Cowok berengsek udah kebanyakan di dunia ini.

"Cuma ... aku juga nggak bisa lanjutkan ini sementara mungkin nanti kamu khawatir kalau aku nggak bersih."

Vonda berkedip sekali. "Kamu nggak bersih?"

Mata Max seketika melotot. "Sembarangan kalau ngomong. Aku ya bersih. Kamu pikir aku ini pecandu hubungan bebas apa?"

"Terus?" tanya Vonda. "Apa kamu yang khawatir kalau-kalau aku nggak bersih?"

"Ah ... i ... tu ...."

Tentu saja bukan itu yang jadi pertimbangan Max. Melainkan ia tak ingin membuat Vonda menyesal pada dirinya. Tadi murni hanya kekhawatiran Max bahwa apa yang akan ia lakukan bisa membuat penyesalan bagi Vonda. Hanya itu. Dan kali ini mata Vonda berkedip dua kali. Baru menatap pada Max dengan sedikit kikuk.

"Kamu tau aku juga nggak pernah berhubungan sebelumnya ...."

Max terdiam. Hanya bisa membisu melihat Vonda yang berkata lirih bersamaan dengan hadirnya dua semburat merah jambu di kedua pipinya. Merona. Sementara kedua bola matanya berputar ke arah lain. Tampak tak nyaman ketika membicarakannya.

Itu tak ubahnya seperti bom warna warni yang seketika meledak di mata Max. Nyaris membuat ia tak bisa melihat.

"Jadi," lanjut Vonda kemudian. "Aku juga—"

"Berenti, Von," potong Max kemudian dengan tiba-tiba.

Fokus mata Vonda yang tadi sempat berpindah ke arah yang lain ketika bicara, seketika kembali lagi pada Max. Namun, belum lagi ia bertanya maksud cowok itu, Max justru berkata.

"Jangan betingkah semanis itu," ringis Max. "Aku jadi ... jadi ...."

Ah, sudahlah!

Max tidak bisa bicara lagi. Sepertinya mulut Max mendadak mengalami gangguan bicara untuk beberapa saat. Lantaran ada hal lain yang tiba-tiba menjadi prioritas. Ehm ... melumat bibir Vonda, misalnya.

Vonda kaget. Sedetik ia masih menunggu lanjutan perkataan Max, tapi di detik selanjutnya ia justru mendapati bibir yang tadi bicara telah mendarat dengan begitu menggebu di bibirnya.

Dada Vonda seketika mengempis. Berusaha mencuri napas terakhir yang bisa ia hirup sebelum ciuman Max membuat semua organ tubuhnya menjadi kacau.

Bibir Max melumat bibir Vonda. Dengan geram, dengan menggebu, dengan tak tanggung-tanggung. Wajah merona Vonda melintas di benak Max saat matanya terpejam menikmati kelembutan bibir Vonda.

Wajah itu merona. Merah jambu. Manis menggoda. Membuat Max tak kuasa menahan desakan untuk mencumbu cewek itu.

Max membuka mulut Vonda. Lalu tanpa peringatan, mengisap lidah hangat Vonda ke dalam rongga mulutnya. Di dalam sana, lidah Vonda menjadi bulan-bulanan cumbuan mulut Max. Ia melumat lidah Vonda. Memberi pijatan lembut yang membuat Vonda melenguh panjang. Memberikan gigitan kecil, lalu mencecap. Memainkannya sesuka hati.

Vonda memejamkan mata kuat-kuat. Merasa yakin jika ia membuka mata maka dirinya akan melihat keadaan di sekitarnya berputar-putar.

Setiap lumatan yang lidahnya terima membuat Vonda semakin gelisah. Pun keberadaan tangan Max yang masih berada di balik piyamanya makin membuat ia kelimpungan.

Menggeram samar, Max menarik diri. Mata Vonda membuka. Ia mendapati Max melepas kaus yang ia kenakan dalam sekejap mata. Lantas kaus itu melayang entah ke mana.

Setelahnya, tanpa bertanya, Max meraih tepian piyama Vonda. Membuat cewek itu refleks bangkit, membiarkan Max melepaskan piyama dari tubuhnya.

Max terpana. Melihat Vonda terbaring di bawahnya. Sedikit malu sehingga menyilangkan kedua tangan di dadanya yang masih tertutupi bra.

Tentu saja. Yang satu itu akan selalu menjadi bagian yang menarik. Walau anehnya wajah pasrah Vonda yang merona lebih menyihir lagi bagi Max. Membuat ia tak bisa bertahan lebih lama lagi.

Max kembali menghampiri Vonda. Bibir mereka bertaut lagi. Dan tatkala mereka saling memberikan ciuman yang menggebu, dengan senang hati Max membawa tangannya untuk meremas payudara Vonda. Berkali-kali hingga membuat Vonda refleks mengangkat satu kakinya. Mendaratkannya di atas tubuh Max. Berusaha untuk semakin menarik cowok itu melekat erat padanya.

Penyanggah payudara Vonda melayang di menit selanjutnya. Disusul dengan suara kesiap Vonda yang menggoda tatkala Max dengan segera menurunkan mulutnya. Bermain pada salah satu puting Vonda yang sudah berdiri tegang karena rayuannya.

Tangan Vonda meremas rambut Max yang halus. Mata cewek itu terpejam dengan begitu kuat. Melenguh dengan begitu keras. Semuanya berpadu sempurna ketika mulut Max mengisap putingnya. Memainkannya dengan lidah, lalu menyedotnya kuat-kuat.

Sementara mulutnya melakukan rayuan yang memabukkan di payudara Vonda, tangannya pun tak ingin kalah. Kelima jari Max bergerak. Meraba paha Vonda. Menemukan satu tali yang tersimpul membentuk pita di garis pinggul cewek itu.

Max tadi sempat melihatnya. Sekarang ia ingin melihatnya lagi. Melepaskan puting Vonda dari mulutnya, cowok itu menundukkan wajah. Memberikan kecupan-kecupan kecil di sepanjang perut Vonda. Sampai kemudian bibir itu berhenti di atas kewanitaan Vonda. Kewanitaan yang tertutupi oleh satu pakaian dalam berpotongan kecil. Dihiasi pita tali di kedua sisinya. Selagi Max menatap ke bawah sana, Vonda menggigit bibir bawahnya.

"Aku ... nggak sengaja aja pakai yang jaring-jaring lagi malam ini."

Seperti hal itu perlu dijelaskan saja oleh Vonda. Namun, Max menyeringai. Celana dalam bermotif jaring-jaring itu tidak benar-benar menutupi kewanitaan Vonda. Yang ada justru sebaliknya. Memberikan rasa penasaran.

Kedua tangan Max bergerak. Menarik celana dalam itu dengan pelan sementara Vonda mengangkat sedikit kakinya. Semenit kemudian ketika Max kembali menindih dirinya, tak ada lagi sehelai benang pun yang melekat di tubuh mereka. Kali itu mereka berdua merasa begitu ... lepas dan bebas.

Max menggoda setiap saraf di tubuh Vonda. Mengecup bibirnya. Mengisap lehernya. Melumat puting payudaranya.

Vonda pun memberikan godaannya. Memberikan cakaran halus di punggung Max. Menggigit lembut pundaknya. Meremas rambutnya.

Rasa gelisah semakin memuncak di diri Vonda. Ia resah. Tak bisa melakukan apa pun selain semakin membuka kaki, berusaha untuk semakin menarik Max, dan menawarkan kelembaban di bawah sana yang kemudian dirasakan oleh cowok itu.

Tangan Max bergerak. Ke bawah. Menuju pada pusat kewanitaan Vonda yang telah teramat siap untuk dirinya. Hangat, basah, dan ... Max memasukkan satu jarinya.

"Argh."

Vonda sontak melengkungkan punggungnya di bawah tubuh Max. Merasakan sensasi keberadaan jari Max di tubuhnya. Max menggertakkan rahang. Begitu liat dan kuat.

Max meneguk ludah. Baru jarinya saja yang merasakan dan ia seperti akan meledak saat itu juga. Bagaimana jika ... jika ....

Vonda merasakan kejantanan Max sudah teramat mengeras. Jelas hal itu terasa di perutnya. Membangkitkan sisi primitifnya.

Ketika Vonda mendapati Max memasuki dirinya dengan jari, ia nyaris gila akan kebutuhannya. Membuatnya entah sadar atau tidak, meraih kejantanan Max.

Max tercekat. Ketika jarinya bergerak di dalam Vonda, ia mendapati jemari Vonda menggenggam kejantanannya. Jari halus cewek itu mengusap kepala kejantanannya. Mengoleskan setitik kelembaban di sana, lalu perlahan bergerak.

Astaga! Seketika saja Max khawatir bahwa dirinya akan benar-benar meledak bahkan ketika mereka belum memulai.

"Kita ke kamar, Von?" tanya Max dengan susah payah.

Sejujurnya Max benar-benar ingin menikmati malam itu. Sofa memang memiliki fantasinya sendiri. Namun, kali ini Max ingin menggumuli Vonda dengan leluasa.

Sofa bisa menunggu antrian selanjutnya, janji Max.

Tampaknya hal itu juga yang diinginkan oleh Vonda. Ia mengangguk.

Max bangkit. Meraih Vonda dan membuat cewek itu kaget ketika mendapati Max yang menggendong tubuh polosnya.

Vonda dengan serta merta melingkarkan kedua kakinya di seputaran pinggang Max. Bertahan di sana dan ketika Max akan melangkah, Vonda merasakan sesuatu. Yaitu, kepala kejantanan Max menyentuh ambang kewanitaannya.

Langkah Max terhenti seketika. Mereka saling menatap. Seakan pikiran mereka mampu untuk saling menduga, Vonda membawa satu tangannya yang semula melingkari leher cowok itu. Bergerak turun. Menyusup di antara celah tubuh mereka berdua. Vonda menemukan kejantanan Max, lalu mengarahkannya dengan benar ke kewanitaannya. Di saat itu, Max pun mendorong.

"Oh!"

Vonda memejamkan mata. Serta merta membanting kepala ke belakang ketika kejantanan Max menghunjam dengan begitu kuat ke dalam dirinya.

"Astaga."

Max mendesis. Merasakan sensasi hangat di dalam sana. Juga sensasi kuat dan liat.

Ah! Kayaknya kamar juga bisa menunggu antrian selanjutnya.

Vonda mendorong tubuhnya untuk semakin mendekat pada Max sementara cowok itu mengeraskan rahang dan mulai menggerakkan pinggulnya. Tangan Max bergerak turun. Menahan Vonda tepat di kedua bongkahan bokong. Pilihan yang tepat karena ia pun bisa meremas bagian itu sementara kejantanannya bergerak keluar masuk di dalam kewanitaan Vonda.

"Oh, Max."

Vonda memejamkam mata. Meremas rambut cowok itu. Mendaratkan wajahnya di lekuk bahu Max. Pasrah pada setiap gerakan yang diciptakan.

Max semakin terpacu ketika merasakan bagaimana Vonda sangat menyihir dirinya. Di dalam sana, otot kewanitaan Vonda terasa amat memerangkap miliknya. Rasanya benar-benar candu hingga mendorong Max kembali menghunjam dengan begitu kuat.

Tangan Max meremas bokong Vonda. Membawa tubuh bagian bawah Vonda bergerak dalam ritme yang ia ciptakan sendiri. Seirama dengan gerakan pinggulnya yang semakin kuat dan cepat. Keluar masuk berulang kali. Menciptakan suara yang seolah hadir sebagai pemanis dalam percintaan mereka.

Percintaan?

Max tertegun.

Mungkin ini nggak seserius itu, tapi astaga!

Entah mengapa Max merasa seperti seluruh tubuhnya tersedot pada pusaran yang bernama Vonda. Ia ingin setiap rasa Vonda melekat di seluruh saraf tubuhnya. Ingin benar-benar merasakan cewek itu hingga ke tetes terakhirnya. Hal yang kemudian semakin membuat Max terpacu untuk memuaskan Vonda.

"Max."

Lirihan Vonda yang menyebut namanya membuat Max mengerang. Membuat ia semakin menghunjam dengan dalam dan kuat. Lagi dan lagi.

"Oh, Max."

Semua sensasi itu membuat Vonda merasa begitu pening tak berdaya. Rasa penuh dan keras di dalam kewanitaannya. Remasan kuat pada bokongnya. Belum lagi saat ia merasakan buah zakar Max yang beradu pada bagian bawah bokongnya. Semuanya benar-benar begitu padu membuat Vonda merasa begitu dipuja.

Vonda mengeratkan pelukannya. Membuat kedua payudaranya yang lembut tertekan di dada bidang Max. Semakin menekan ketika ia merasakan Max sedikit bergerak. Mengubah sedikit posisi tubuhnya di dalam dan cowok itu menghunjam lagi. Kali ini dengan hunjaman yang tepat menyentuh saraf Vonda di dalam sana.

"Max!"

Vonda semakin meracau. Makin meremas rambut cowok itu.

Max tahu bahwa ia telah menemukan titik sensitif Vonda. Ia pun merangsek bertubi-tubi. Hal yang menciptakan desahan, lenguhan, dan jeritan Vonda semakin menjadi-jadi.

Peluh memercik. Merembes di sepanjang kulit. Membuat Vonda dan Max melekat semakin erat tanpa peduli entah sudah berapa lama mereka seperti itu. Berdiri di tengah ruangan. Saling memuja dengan kebutuhan yang sama besarnya.

Keringat bercucuran. Membasahi tubuh polos mereka berdua. Sampai pada detik selanjutnya, Vonda yang mulai merasa lelah karena telah menjerit panjang sebanyak dua kali di dalam gendongan Max, kembali merasakan sensasi yang sama. Gelenyar yang akan kembali membawa dirinya pada puncak kenikmatan.

"Vonda."

Suara Max terdengar susah. Napasnya berubah menjadi cepat dan sulit. Dan semua semakin menjadi-jadi seiring dengan tiap hunjaman yang Max lakukan. Yang kian kuat dan cepat. Berkali-kali.

Basah, hangat, dan licin. Semua sensasi kewanitaan Vonda benar-benar membelai kejantanan Max.

Itu adalah godaan. Berupa rayuan yang tak mampu diungkapkan. Dalam bentuk cengkeraman dan kehangatan yang tak bisa Max tangkis keberadaannya.

Max menyerah. Pada akhirnya ketika orgasme yang Vonda rasakan berdampak pada dirinya, ia memutuskan untuk menyerah.

Didahului oleh satu hunjaman terakhir, Max mendesak amat kuat hingga kejantanannya menabrak mulut rahim Vonda. Membuat cewek itu kembali menjerit panjang untuk yang ketiga kalinya. Lantas ia pun merasakan kejantanan Max berkedut di dalam dirinya.

"Oh, Vonda."

Kepala Vonda jatuh di pundak Max. Ia tak bisa bicara. Ia benar-benar merasa tak bertenaga lagi.

"Astaga, Max."

Dada Vonda bergerak lembut di atas dada Max. Berusaha untuk tetap bernapas, usai tiga kali kenikmatan yang nyaris membuat ia seperti buta. Begitu pun dengan Max, berusaha menenangkan diri setelah terpaan orgasme yang baru saja mendera dirinya.

"Ya ampun."

Max tidak ingin, tapi tak urung juga ia terkekeh. Yang langsung disambut oleh tawa Vonda.

"Kita benar-benar parah," kata Vonda seraya bergelayut manja, ia sedikit menarik wajahnya demi bisa menatap mata Max. "Bahkan sekadar ke kamar aja udah yang nggak tahan lagi."

Kekehen Max pelan-pelan memudar. Terganti senyum saat melihat wajah Vonda yang berantakan, tapi anehnya terlihat berseri-seri. Dan yang membuat ia berbangga diri adalah hal itu semua terjadi karena dirinya.

Vonda membalas senyuman Max. Pun sama terpananya melihat wajah acak-acakannya yang seksi dan tampan. Sungguh amat menggoda hingga Vonda tak berpikir dua kali demi menangkup kedua pipi Max.

Max diam. Bergeming saat wajah Vonda mendekat sementara matanya menutup pelan-pelan. Tepat sedetik sebelum bibir Vonda mendarat di bibir Max. Melabuhkan ciuman lembut yang membuat Max merasakan remasan di jantungnya.

Rasanya ... tak mampu Max jelaskan dengan kata-kata.

Itu terasa begitu tepat.

*

bersambung ....

Sekadar info: yang mau versi lengkap bisa beli PDF atau buku. Juga bisa baca di KaryaKarsa. Makasih :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro