4. Kenangan Tanpa Nama
Vonda sangat berterima kasih pada orang-orang yang selalu belajar dengan tekun. Tanpa ada mereka, niscaya saat ini ia pasti tidak akan bisa masuk ke unit apartemennya.
Pintu unit apartemen Vonda berbunyi. Tanda kunci terbuka oleh sederet angka yang sudah dimasukkan. Tanpa membuang waktu, Vonda pun bergegas masuk ke dalam.
"Argh!"
Tepat ketika pintu unit apartemen tertutup, Vonda menggeram. Langsung menumpahkan semua rasa kesal yang membuncah dalam dada. Dua tangannya meremas rambut dengan kegeraman yang tak main-main. Mata melotot dan wajah memerah. Vonda persis seperti tokoh antagonis di sinetron azab yang tak pernah ia tonton. Terduduk di sofa ruang tamu, Vonda kemudian merutuki dirinya berulang kali.
"Aku tau kamu itu gila, Von. Aku tau kadang kamu itu nggak waras. Cuma ... tidur dengan cowok asing di pinggir jalan?"
Mata Vonda memejam.
"Argh! Aku ragu kalau kamu lahir dulu ada otak! Pasti kamu lahir nggak pakai otak kan, Von?!"
Vonda terus mengumpat. Mengambil bantal sofa dan meninjunya berulang kali. Seolah-olah bantal tersebut adalah dirinya sendiri.
"Makanya otak itu dipakai! Jangan ditinggal dalam lemari!"
Vonda kembali meninju.
"Segitu gilanya kamu sampai menggoda cowok asing? Ya Tuhan!"
Vonda menjerit dengan suara melengking yang pasti bisa membuat Kuntilanak jadi minder seketika.
"Nggak ada otak dan sekarang kamu juga harus menuliskan nggak ada malu sebagai sifat kamu, Von!"
Bantal sofa menjadi kusut dan mengenaskan dalam waktu yang singkat. Di hadapan Vonda, benda empuk itu seolah memasrahkan diri untuk menjadi bulan-bulanan kekesalan.
Namun, sejurus kemudian tinju Vonda pun berhenti. Ia mendadak saja mengganti rutukannya dengan ringisan penyesalan.
"Selama dua puluh sembilan tahun hidup di dunia ini ... hiks. Mengabaikan semua godaan dan rayuan yang datang silih berganti ... hiks. Ternyata pada akhirnya justru kamu yang menggoda dan merayu seorang cowok nggak dikenal? Sampai-sampai kamu kasih keperawanan kamu ke cowok asing tanpa nama?"
Vonda meringis frustrasi.
"Mari kita beri penghargaan MURI tahun ini kepada Vonda Raveena untuk kategori cewek paling bego se-Indonesia Raya."
Tangan Vonda kembali meremas bantal sofa.
"Kenapa aku sial sekali akhir-akhir ini, Tuhan?" tanya Vonda kemudian. "Udahlah yang sakit hati gara-gara Ando dan duit DP mobil lenyap. Eh ... sekarang aku malah sakit jiwa gara-gara cowok tanpa nama dan keperawanan aku pun lenyap."
Raga Vonda seperti kehilangan kekuatan. Tubuh itu melorot dan jatuh di atas sofa. Dengan pandangan iba, ia terus meracau.
"Enak juga kalau itu terjadi dengan orang yang aku suka. Eh ... ini boro-boro aku suka. Namanya aja aku nggak tau siapa."
Lantas entah apa yang dipikirkan Vonda hingga ia bernyanyi pelan.
"Ya nasib ya nasib. Mengapa begini? Baru pertama bercinta, eh sama cowok tanpa nama. Di pinggir jalan pula."
Napas Vonda mengembus pelan. Untuk beberapa saat ia hanya diam, seolah sedang merenungi nasibnya yang malang.
"Sekarang? Ponsel kamu nggak tau di mana. Gaun yang dibayar pakai kartu kredit juga hilang entah ke mana. Kunci mobil pun nggak tau rimbanya."
Vonda mengembuskan napas panjang.
"Gimana hidup kamu selanjutnya, Von? Baru awal bulan, tapi kemalangan sudah datang bertubi-tubi. Gimana akhir bulan nanti?" Mata Vonda pun terpejam dramatis. "Jangan-jangan aku beneran udah masuk rumah sakit jiwa."
Untuk beberapa saat lamanya, Vonda hanya memejamkan mata. Menarik napas dan mengembuskan dengan begitu dramatis hingga menimbulkan bunyi. Persis seperti orang yang terkena sesak napas. Ketika ia membuka mata, Vonda berusaha mengumpulkan pikiran positifnya.
"Tenang, Von. Kehilangan keperawanan bukan berarti masa depan kamu hilang. Lagi pula cowok mana yang masih sibuk nanya-nanya masa lalu? Pasti itu cowok yang kolot. Masa lalu ya masa lalu. Setiap orang berhak belajar dan meniti masa depan yang cerah."
Bibir Vonda melengkung cemberut dan matanya mengerjap-ngerjap.
"Cuma ... kan cowok di Indonesia memang banyak yang kolot. Hiks hiks hiks. Apa itu artinya aku bakal dapat jodoh bule gitu?"
Vonda meringis lagi.
"Semoga saja masih ada cowok di Indonesia punya pikiran terbuka dan lebih dewasa melihat kesalahan yang telah aku lalui. Hiks hiks hiks."
Menarik napas dalam-dalam, Vonda lantas bangkit dari tidur.
"Sudah, Von. Lupakan tentang semalam dan mulai lembaran baru."
Vonda mengangguk-anggukkan kepala berulang kali, lantas berusaha berdiri. Ia memutuskan untuk beranjak ke kamar. Mandi dan membersihkan diri adalah hal yang akan ia lakukan.
Masuk ke kamar, Vonda langsung menuju ke kamar mandi. Ia segera melepas pakaian yang ia kenakan seraya menampilkan raut jijik ketika harus meletakkan tiga potong pakaian itu ke sudut kamar mandi. Vonda bertekad akan membuang ke tong sampah secepatnya.
Menahan nyeri di tubuh yang terasa remuk, Vonda beranjak. Berencana menuju ke bawah pancuran, ia justru berdiri membeku tatkala melihat pantulan tubuhnya di cermin yang tersedia di dinding kamar mandi itu.
"Omo!" Vonda terkesiap dengan mata melotot. "Itu badan manusia atau badan macan tutul? Ya ampun! Kok bentol-bentol semua?"
Vonda beranjak ke cermin.
"Kamu digigit nyamuk di mana sampai penuh gini, Von?"
Wajah Vonda syok. Tak percaya dengan yang matanya lihat. Hingga ia menurunkan pandangan. Menatap langsung pada tempat-tempat yang mampu ia lihat.
Pertama di dada. Mata Vonda serasa ingin melompat dari rongganya saat melihat kulit payudaranya merah-merah di beberapa tempat. Tak hanya itu, yang membuat Vonda semakin syok adalah bagaimana keadaan kedua ujung payudaranya yang terlihat mengenaskan.
"Ini puting aku kenapa jadi kayak biji kacang hijau merekah mau jadi toge?"
Vonda menggeram.
"Tidak!"
Tangan Vonda terangkat. Menahan tubuhnya yang terasa akan jatuh, bertumpu pada cermin di dinding. Ketika itulah mata Vonda melihat lagi. Di perutnya. Di sekeliling pusarnya pun penuh dengan cap merah.
Hanya di dada dan di perut? Oh, tidak. Di pahanya juga ada.
Vonda menahan napas. Namun, nalurinya muncul. Mendorong Vonda sedikit memutar tubuh dan seketika ia langsung menjerit histeris.
"Bahkan sampai ke bokong aku juga?!"
Vonda memejamkan mata.
"Ya Tuhan. Sebenarnya semalam aku berhubungan intim dengan manusia atau dengan vampir sih? Ini badan aku kenapa merah semua?"
Dan seakan menjawab pertanyaan Vonda, ada suara-suara yang lantas menggema di benaknya.
"Astaga! Saya nggak pernah dicium kayak gini, Mas."
"Saya bisa cium Mbak sampai Mbak puas."
"Iya, Mas. Cium saya di mana-mana. Saya suka banget ciuman Mas."
"Ehm ... ngomong-ngomong. Ini namanya bukan ciuman, Mbak."
"Terus?"
"Lebih tepatnya cupang."
"Kayak nama ikan."
"Hahaha."
Vonda bergidik. Tawa itu terdengar seperti kekehan Kuntilanak di telinga Vonda. Membuat bulu kuduk cewek itu meremang seketika.
"Vonda."
Suara Vonda terdengar begitu horor.
"Kamu benar-benar sudah gila."
Tangan Vonda meremas rambutnya kembali seraya berjalan menuju ke arah pancuran. Benar-benar berencana ingin membasahi kepalanya agar ingatan mengerikan itu lenyap dari benaknya.
"Kuda, cicak, ular, dan ikan cupang."
Vonda memutar kran dan air pun menetes.
"Aku sukses jadi penjaga kebun binatang dalam semalam, Tuhan."
Vonda yakin dirinya memang gila. Maka tidak aneh rasanya bila mendapati ia yang terus menerus merutuki kebodohannya tatkala air mulai membasahi sekujur tubuh. Ia benar-benar tidak habis pikir, jika dirinya bisa sampai melakukan hal seekstrim itu.
Vonda menuang sabun cair ke telapak tangan. Dengan begitu berhati-hati, ia mengusapnya ke seluruh tubuh. Berusaha tidak menghiraukan cap-cap merah di sekujur kulitnya itu. Hingga ketika selesai mandi dan mengenakan handuk, ia beranjak ke kloset. Vonda duduk dan buang air kecil. Lalu jeritannya pun melengking di udar.
"Auw!"
Vonda meremas handuk di tubuhnya. Matanya melotot dan langsung berlinang air mata.
Rasa sakit itu hadir tanpa sempat Vonda antisipasi. Ia hanya bisa menggigit bibir bawah demi bertahan. Napasnya terengah. Dan tak perlu ditanya seberapa menderitanya Vonda ketika ia harus membilas kemaluannya.
"Astaga. Ini kayaknya bukan cuma keperawanan aku yang koyak. Ini malah kayaknya organ intim aku udah hancur."
Tangan Vonda terkepal. Tepat ketika ia mendengar suara lagi di benaknya.
"Udah ah. Saya mau keliling aja. Yah cari cowok. Yang punya itu panjang dan besar. Hihihi. Biar ke ... ra ... sa ...."
Vonda terhenyak di kloset duduk itu. Matanya membulat ngeri saat ucapannya malam itu terngiang kembali.
"Astaga. Jangan bilang Tuhan anggap omongan aku itu doa."
Tangan Vonda terangkat ke depan bibirnya.
"Lagi pula, anu cowok itu bukan lagi dalam kategori kerasa. Malah langsung masuk ke dalam kategori sangat kerasa."
Vonda mengerjap.
"Eh?"
***
Matahari telah meninggi. Sinarnya pelan-pelan masuk melalui celah ventilasi satu kamar di gedung apartemen yang berbeda. Sinar matahari itu terlihat menyilaukan hingga membuat sepasang mata yang masih tertutup menjadi terusik seketika karenanya. Mengerjap-ngerjap beberapa kali hingga kedua mata pun terbuka. Menampilkan sepasang bola mata bewarna cokelat gelap.
"Argh."
Cowok itu melenguh panjang saat tersadar sepenuhnya dari tidur nyenyak yang membuai dirinya. Terlalu nyenyak hingga tanpa sadar ia tersenyum lebar karenanya.
"Hahaha."
Ia tertawa pelan.
"Aku beneran pasti udah gila," katanya kemudian. "Bisa-bisanya menghabiskan malam dengan cewek gila yang bahkan nggak aku kenal namanya."
Ia mengusap wajah.
"Gimana? Apa pas dia bangun ntar aku ajak kenalan?" Ia menyeringai. "Kenalkan. Nama saya Maxwell, biasanya dipanggil Max. Mbak siapa?"
Max memejamkan matanya. Mengembuskan napas panjang dan memutuskan untuk nanti saja memikirkan skenario yang akan ia lakukan. Sekarang yang paling penting adalah ....
Max mengerjapkan mata saat berpaling ke sebelah. Dahinya berkerut dan matanya sontak mencari-cari.
"Eh? Cewek itu ke mana?"
Max segera bangun dan duduk. Menahan selimut di bagian bawah tubuhnya yang polos. Sejenak ia melihat jam dan mendapati hari telah menunjukkan jam sebelas siang. Cowok itu lantas bangkit. Meraih celana pendek di lemari dan merasakan sesuatu yang ganjal.
"Kayaknya posisi pakaian aku rada berubah."
Max mengenakan celana dan mengabaikan rasa janggal itu sejenak. Memutuskan untuk mencari keberadaan cewek yang ia bawa ke unit apartemennya semalam. Cewek gila yang membuat dirinya bercinta sebanyak tiga kali.
"Mbak?"
Max keluar dari kamarnya. Menyasar ke seluruh ruangan seraya terus menerus memanggil. Namun, tak ada satu sahutan yang terdengar. Sampai kemudian Max berkacak pinggang di tengah ruang tamu. Tampak berpikir.
"Bentar deh. Aku nggak ngigau kan?" tanya Max pada dirinya sendiri. "Semalam aku bener-bener tidur sama cewek yang nggak aku kenal kan?"
Mendadak saja bulu kuduk Max meremang.
"Aku bukannya tidur sama setan kan ya?"
Mata Max melotot.
"Gawat! Kalau anu aku hilang gimana?"
Max buru-buru menarik pinggang celana, melihat ke dalam, dan ia langsung bernapas lega.
"Ya ampun. Beneran deh. Udah ketakutan banget aku kalau pusaka yang satu ini mendadak hilang."
Namun, kelegaan itu tetap tidak mampu menutupi rasa penasarannya.
"Tapi, kalau semalam itu benar-benar nyata ... terus sekarang cewek itu ke mana?" tanya Max lagi. "Dia nggak mungkin ...."
Mata Max membesar seperti menemukan kepingan puzzle terakhir untuk menyempurnakan gambarnya. Sontak kepalanya mengangguk-angguk mengerti dengan geli.
"Dia pasti pergi dengan pakai baju aku."
Max tertawa.
"Hahaha. Kenapa dia malah kabur? Dia nggak sadar kalau barang-barang dia tertinggal di mobil aku semua?"
Max tertawa-tawa. Seketika saja ia merasakan lucu yang benar-benar menggelikan perutnya. Sampai ia tertawa terbahak-bahak dan matanya pun berair karenanya.
"Aduh."
Mengusap dadanya yang polos, Max beranjak ke dapur. Ia membuka kulkas dan menarik sekotak piza beku dari dalam sana. Menuju ke microwave dan menghangatkannya sejenak.
Seraya mengisi perutnya yang kosong di kitchen island, Max menyeringai seraya menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak habis pikir.
"Kamu beneran gila, Max. Dari sederetan cewek yang antri, kamu justru memilih bersama dengan cewek tanpa nama."
Max pun menelan kunyahan piza di mulutnya. Seringai di wajahnya semakin menjadi-jadi ketika teringat kilasan malam itu. Percintaan mereka yang benar-benar di luar nalar manusia waras manapun.
"Cewek telanjang tanpanama yang gila."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro