39. Percikan Pemicu
Semula Vonda pikir bahwa hanya butuh waktu sedikit lebih lama dari biasanya untuk genangan air di wastafel itu mengalir kembali. Namun, setelah dua menit berlalu, dengan busa sabun pencuci wajah yang masih memenuhi wajahnya, Vonda menyadari bahwa genangan air itu nyaris bisa dikatakan tidak bergerak sama sekali.
"Ini dia suruh aku masukin ikan lele atau gimana? Etdah! Malah jadi kayak kolam gini."
Itulah mengapa Vonda berlari ke dapur dan membilas wajahnya di wastafel sana. Setelahnya ia pun memutuskan untuk segera menelepon Rika. Meminta dikirim petugas untuk memperbaiki wastafelnya.
"Aduh, Mbak. Kok mendadak? Tukangnya udah pulang dong."
Vonda mengerjap. "Eh, Rohimah. Ya kali aku rencanakan dulu wastafel aku mampet, baru aku hubungi kamu."
"Hahaha! Tukangnya udah pada balik, Mbak. Paling besok sore pas Mbak balik kerja deh."
Vonda mencoba menerima hal itu. Ia akan menunggu besok sore sementara air itu masih menggenang. Namun, setiap Vonda beranjak ke kamar mandi—sekadar untuk buang air kecil atau untuk urusan lain, ia selalu merasa kesal melihat genangan air tersebut. Akhirnya tanpa sadar Vonda menghubungi Max.
Ya ampun. Kenapa aku malah hubungi dia?
Ketika menyadarinya, Vonda sudah ingin memutuskan panggilan. Pun ia juga sudah memikirkan alasan jika nanti Max menanyakan mengapa ia menghubungi cowok itu.
Bilang aja nggak sengaja ketekan.
Namun, baru saja Vonda ingin memutuskan panggilan tersebut, eh ... ternyata sudah keburu diangkat duluan oleh Max. Alhasil, Vonda tidak heran sama sekali jika sekitar tiga puluh menit kemudian bel unitnya berbunyi. Mengabaikan piyama terusan selutut yang ia kenakan, Vonda pun langsung membuka pintu. Menyambut kedatangan Max dengan ekspresi wajah yang dibuat sesantai mungkin.
"Eh, si tukang ledeng udah sampai."
Vonda menyapa dengan jahil ketika mendapati Max berdiri di depan pintunya. Mengenakan celana panjang dan jaket, cowok itu terlihat seperti akan pergi ronda di pos Siskamling terdekat. Yang kurang hanyalah sarung motif kotak-kotak saja.
Menanggapi sapaan jahil Vonda, Max hanya memberikan cibiran sekilas seraya melangkah masuk. Jadi Vonda pun langsung menutup pintu tersebut dan menyusul langkah kaki Max.
"Wastafel mana yang tersumbat? Dapur?"
Mengambil tempat di sebelah cowok itu, Vonda lantas menggeleng. "Bukan wastafel dapur, wastafel di kamar mandi aku."
"Oh ... kamar mandi di belakang?"
Vonda kembali geleng-geleng kepala.
"Kamar mandi di kamar aku," jawab Vonda kemudian.
Sejenak Vonda menggigit bibir bawahnya. Satu pemikiran langsung melintas di dalam benaknya dan membuat ia tertegun beberapa saat.
Ini nggak sopan banget sebenarnya sih. Masa ajak cowok masuk ke kamar. Astaga, Vonda. Harusnya kamu mikir itu sebelum khilaf telepon dia.
Vonda menarik napas dalam-dalam. Berharap agar Max tidak menganggap dirinya yang macam-macam.
Jangan sampai dia pikir aku lagi mau menggoda dia atau gimana gitu.
Namun, rasa khawatir Vonda semakin menjadi-jadi. Lantaran ia baru menyadari bahwa saat itu ia sedang mengenakan piyama terusan selutut.
Duh! Harusnya tadi aku ganti baju dulu.
Vonda mencoba menebalkan muka. Berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. Seperti yang ia lakukan adalah hal yang tak berarti apa-apa.
Vonda meraih tangan Max. Mengajak cowok itu untuk beranjak menuju ke kamar. Berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri yang entah mengapa secara tiba-tiba merasa tak tenang. Seperti kikuk.
Sesampainya di dalam kamar, rasa kikuk yang mendera Vonda semakin menjadi-jadi. Membuat ia seperti kekurangan oksigen. Namun, lagi-lagi ia berusaha untuk santai ketika menunjuk pada pintu kamar mandinya.
"Di sana."
Max mengangguk sekali. "Oke. Coba kita lihat wastafel yang mampet itu."
Ekspresi Max benar-benar membuat Vonda tertawa. Sejenak membuat ia melupakan rasa kikuk yang membelenggu.
Sampai di wastafel tersebut, Max bersedekap di depan dada. Sedikit bersandar pada dinding, Vonda bertanya.
"Gimana? Bisa nggak?"
Pertanyaan yang langsung mendapat respons menghunjam Max. Cowok itu menoleh dengan mata menyipit, ia malah balik bertanya.
"Kamu meragukan kemampuan aku heh? Jangankan perkara wastafel mampet, otak kamu yang mampet aja bisa aku benerin."
Vonda menyeringai. "Gitu aja tersinggung."
"Ck!"
Max berdecak, lalu tanpa aba-aba meraih ritsleting jaketnya yang terkunci hingga ke atas. Membuat mata Vonda melotot dengan antisipasi. Terlebih ketika Max melepas satu per satu tangannya dari jaket hitam tersebut. Menampilkan kaus putih tipis yang melekat di tubuhnya.
Ya ampun Kenapa nggak sekalian lepas baju aja sih?
Glek!
Vonda meneguk ludah, lantas mengerjap ketika Max memberikan jaket itu padanya. Seraya mendekati wastafel, ia bertanya.
"Mana alat-alatnya?"
Vonda tersadar. "Bentar."
Ketika Max menoleh, Vonda sudah berlari keluar dengan membawa serta jaketnya. Di saat itulah Max bergumam rendah.
"Dia nggak sering kayak gini kan? Nyuruh cowok ke rumah sementara dia pakai piyama gitu? Ck! Nggak aman sama sekali. Mana pakai acara masuk ke kamar lagi."
Max menggelengkan kepala.
"Kamu beruntung karena aku cowok baik-baik, Von. Ckckckck"
Sejurus kemudian, Vonda datang kembali. Kali ini bukan dengan jaket Max di tangannya. Melainkan satu kotak keperluan perpipaan yang memang tersedia di semua unit apartemen. Selama ini kotak itu tersimpan rapi di lemari kompor Vonda. Ia tidak mengira kalau alat itu akan digunakan juga.
Max meraih kotak itu. "By the way, bayarannya udah siap kan? Bukannya apa. Membiarkan keringat orang kering dulu baru kasih bayaran, itu namanya dosa."
"Hahaha. Aman deh. Kamu perbaiki ini dan aku siapkan bayarannya. Kamu mau apa?"
Max berjongkok. Meletakkan kotak itu dan membukanya. Mengamati alat-alat di dalam sana.
"Kamu punya apa aja memangnya? Biar aku milih."
"Ehm ... seandainya ayam tepung Mama kamu masih ada, pasti itu yang aku goreng sekarang."
Max mendengkus. "Itu udah seminggu yang lewat. Ya kali ayam tepung itu nggak abis-abis."
"Hahaha." Vonda tergelak. "Aku bisa masakin kamu makan malam sih. Ehm ... kamu udah makan belum?"
"Sebenarnya belum, tapi kalau kamu udah makan ... mending buatkan aku cemilan aja deh."
Vonda tahu hal itu. Jadi semenit kemudian Vonda meninggalkan Max di kamar mandi sementara dirinya beranjak ke dapur. Membuka kulkas dan meneliti bahan makanan apa yang ia miliki saat itu.
"Ada tempe."
Pandangan Vonda naik dan menemukan satu chicken roll yang ia buat hari Minggu kemaren. Ia mengangguk sekali. Sudah menentukan bahwa tempe mendoan dan chicken roll adalah camilan yang sempurna.
Dengan cekatan Vonda mengiris tempe. Membuat adonan tepungnya dan sekejap mata tempe itu telah berada di dalam penggorengan.
Selagi menunggu tempe itu masak, Vonda beralih pada chicken roll yang masih berbalut kertas aluminium foil. Memotongnya dalam posisi menyerong dan siap untuk digoreng pula setelah semua tempe selesai dimasak.
"Kamu masak apa?"
Vonda nyaris melonjak kaget ketika dengan tiba-tiba Max muncul di belakangnya. Melongok melihat ke dalam wajan.
"Apa itu?" tanya Max lagi dan Vonda mengusap dadanya yang berdebar.
"Kamu ini buat kaget aja," kata Vonda mendelik dan hanya cengiran Max yang ia dapat sebagai balasan. "Udah selesai benerin wastafelnya?"
Max mengangguk. "Lain kali jangan keramas di wastafel. Isinya rambut semua."
"Ups!" Vonda menutup mulutnya sekilas. "Aku nggak pernah keramas di wastafel kok."
"Oh ya?" tanya Max dengan sorot tak percaya. "Terus kalau kamu nggak keramas di sana, gimana ceritanya coba itu wastafel penuh dengan rambut?" Sorot mata Max berubah. "Atau itu bukan rambut?"
Mata Vonda melotot.
"Jangan ngomong itu jembut," tukas Max. "Hahaha. Parah kamu!"
Tak terkira lagi merah wajah Vonda karena perkataan Max yang satu itu. Tak habis pikir mengapa bisa-bisanya Max berkata sedemikian rupa hingga wajahnya terasa panas menahan malu. Ia pun mendelik.
"Sembarangan aja kalau ngomong. Kamu mau aku goreng hah?"
Max terbahak-bahak. "Hahaha. Kamu sih. Ngaku aja kenapa coba? Malah mau opsi yang lebih memalukan lagi."
Vonda mendengkus dengan ekspresi manyun. "Dasar!"
"Hahaha. Itu beneran rambut kan? Soalnya kalau itu bukan rambut, aku khawatir tangan aku ntar gatal-gatal loh. Hahaha. Ya kali aku ke dokter terus ditanyain. Ehm ... penyebab gatal-gatalnya karena apa, Pak?" Max terpingkal. "Hahaha! Aku harus jawab apa coba?"
"Kamu ini beneran mau aku goreng ya?" tanya Vonda seraya mengangkat sutil di tangannya. "Iya?"
"Hahaha. Ampun ampun, Nyai."
Dengan susah payah, Max berusaha menahan tawa yang masih mengancam akan tersembur lagi. Ia pun mencoba mengubah fokus pikirannya. Kembali melirik pada isi wajan.
"Ehm ... aromanya enak. Kamu masak tempe?"
Mulanya Vonda tak ingin menjawab pertanyaan itu. Masih merasa malu gara-gara perkara wastafel. Lantaran Vonda memang sering keramas di wastafel bila sedang terdesak.
Namun, bila Vonda memikirkan sifat Max selama ini, ia pun sadar jika Max tidak benar-benar berniat mempermalukannya. Lagi pula mereka sudah biasa saling bercanda kan?
Cuma nggak perlu bercanda sampai bawa jembut kali.
Menarik napas sekilas, Vonda pun menjawab. "Aku masakin tempe mendoan. Ehm." Sesuatu melintas di benak Vonda dan ia menoleh. "Kamu makan tempe kan?"
"Maksud kamu?" tanya Max. "Kamu nggak kira aku makannya kacang kedelai mentah kan?"
"Hahaha. Kan siapa tau karena nama kamu yang keren jadinya kamu nggak makan tempe. Gitu loh maksud aku."
Max mencibir. Ia beranjak mengambil segelas air dingin dari dalam kulkas. Layaknya sudah biasa di sana, Max pun berlalu.
"Antar ke depan ya? Aku mau makan sambil nonton."
Vonda melongo sedetik melihat kepergian Max yang meninggalkan dirinya sendirian di dapur, lalu ia pun tertawa keras.
"Nggih, Ndoro!"
Sebenarnya ketika Max datang ke dapur, Vonda sedang menggoreng tempe mendoan yang terakhir. Jadi tak lama butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan semuanya.
Tuntas menggoreng, Vonda langsung menyusul Max yang telah santai di depan televisi. Membawa nampan dengan dua piring makanan, dua piring kecil, dan sebotol saus. Pun tak lupa dengan seteko air putih.
Vonda geleng-geleng kepala. Tak percaya melihat santainya Max duduk di sana.
"Wah! Wah! Wah!"
Max bangkit dari posisi santainya. Menegapkan punggung dan berbinar-binar menyambut nampan yang kemudian mendarat di atas meja. Tanpa aba-aba, Max langsung membersihkan tangan. Menuang saus ke satu piring kecil dan mencomot tempe mendoan.
"Harusnya tempe mendoan itu lawannya cabe rawit. Bukannya saus."
Mengambil chicken roll, Vonda mencibir. "Udah makan tinggal makan, masih aja banyak keluhannya."
"Hahaha!"
Satu tempe ludes masuk ke dalam mulut Max dan ia mengambil chicken roll. Sementara mulutnya mengunyah, matanya pun melihat pada tayangan berita di televisi. Vonda berdecak.
"Ck! Hidup udah ruwet, eh ... pakai ditambah acara nonton berita lagi."
Max menyeringai. "Makanya itu aku nonton berita. Biar aku sadar kalau masih banyak yang hidupnya lebih ruwet dari aku."
"Hahaha! Bener juga sih."
"Ya iya dong."
"Kamu tau nggak?" tanya Vonda kemudian tanpa menunggu jawaban Max. "Sebenarnya itu juga alasan kenapa aku nonton film horor."
Kunyahan Max berhenti. Sorot mata cowok itu tampak berubah.
"Biar aku sadar kalau masih banyak yang hidupnya lebih menyeramkan dari aku. Hahaha!"
Max membersihkan tangan dengan tisu sebelum meraih gelas minum. Menghapus dahaga di tenggorokan.
"Stres."
"Kan kamu udah tau aku stres."
"Hahaha. Bener juga sih."
"Dah ah. Daripada nonton berita mending kita nonton lain aja."
Max yang semula ingin mengambil tempe mendoan lagi langsung menghentikan gerakan. Melihat Vonda yang ingin mengambil remote.
"Mau nonton film apa?"
Awalnya Vonda pikir akan mengajak Max menonton film bergenre fiksi ilmiah, tapi ketika Max bertanya ... mendadak saja satu ide jahil melintas di benaknya. Itulah mengapa sekarang sorot mata Vonda berubah. Menatap Max dengan aura menyeramkan.
"Nonton The Conjuring mau?"
Sudahlah. Max melotot.
"Kamu ini bener-bener nggak ada akhlak ya? Aku rela-rela bantuin kamu, eh malah kamu balas gini."
"Hahaha. Yes! Conjuring aja. Hahaha!"
Max tak akan membiarkan Vonda memutar film horor mengerikan itu. Ia tak mau menjadi parno saat melihat ke atas lemarinya nanti malam.
"Vonda!"
Tepat ketika Vonda bangkit, Max mengulurkan tangan. Meraih pergelangan tangan Vonda.
"Loh? Aku mau ganti film. Hahaha!"
Max menahan tangan Vonda dan mendelik. "Jangan harap aku biarkan kamu mutar itu film."
"Hahaha!"
Sambil tertawa, Vonda berusaha melepaskan tangan Max yang menggenggam tangannya dengan begitu kuat. Namun, tak bisa. Sampai Vonda kemudian memutuskan untuk menarik saja tangannya dan tetap gagal. Max langsung menahannya.
"Nggak bakal aku lepasin."
Kembali, Vonda berusaha menarik tangannya dan Max melakukan hal yang sama. Sampai di satu momen, Max kian geram dengan tawa mencemooh milik cewek itu.
Tak berpikir dua kali, Max menambah kekuatannya dan alhasil bukan hanya tangan Vonda yang tertarik padanya. Alih-alih keseluruhan tubuh Vonda pun ikut-ikutan tertarik padanya.
Vonda tidak tau apa yang terjadi hingga sedetik kemudian ia menyadari bahwa dirinya telah mendarat di atas tubuh Max. Benar-benar mendarat di tubuh cowok itu, hingga satu tangan Vonda pun bertahan di satu dadanya. Tepat pada satu tonjolan kecil yang menyembul dari balik tipisnya kaus putih itu.
Vonda menundukkan pandangan dan matanya melotot. Pada puting Max yang ia sentuh. Yang langsung saja membuat tangannya seperti terbakar arang menyala.
Sontak Vonda mengangkat tangannya dari sana. Ia menahan napas tatkala puting Max di telapak tangannya memberikan kesan yang membuat jantungnya menjadi berdebar-debar.
"Max."
Bobot tubuh Vonda yang ia rasakan membuat Max mengerjapkan mata. Tangannya yang memegang tangan Vonda seperti tidak bertenaga lagi. Lebih dari itu, sentuhan Vonda pada putingnya membuat ia meneguk ludah. Sentuhan yang seolah diciptakan untuk membuat tubuhnya menegang seketika.
"Vonda."
Mata keduanya beradu. Tanpa ada kata-kata setelahnya, hanya ada keheningan yang menyelimuti. Untuk beberapa saat lamanya, mereka seperti kompak mempertahankan posisi itu. Vonda di atas Max dan membuat cowok itu jadi setengah berbaring di atas sofa yang empuk.
Semenit berlalu. Hanya ada mata yang saling mencari-cari satu sama lain. Sampai di menit selanjutnya, tidak tahu siapa yang memulai atau entah siapa yang bergerak lebih dahulu, nyatanya ada dua bibir yang saling bertemu.
*
bersambung ....
Haloha. Makasih banyak buat yang masih baca sampe bab hari ini. Sekadar info bab hari ini adalah bab terakhir di bulan Februari. Karena apa? Yup! Karena aku selalu libur dua hari di akhir bulan. Pas banget loh tanggal 27 dan 28 itu hari Senin Selasa besok.
Kita ketemu lagi di tanggal 1 Maret. Kalau kalian nggak tahan nunggu, boleh banget kok baca di KaryaKarsa atau pesan novel/PDF sama aku (^・ェ・^)
Makasih banyak (。・ω・。)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro