Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36. Kenyamanan Yang Terbentuk

"Ini namanya bukan penakut, tapi realistis."

"Hahaha!"

"Coba aja kamu pikir pakai otak kamu itu."

"Hahaha!"

"Udah tau ngeri, kenapa masih ditonton?"

"Hahaha!"

"Yang namanya nonton itu untuk hiburan."

"Hahaha!"

"Jadi gimana ceritanya kita bisa terhibur kalau yang ditonton itu ngeri?"

"Hahaha!"

Entah sejak kapan paha ayam yang semula berada di tangan Vonda, kembali lagi mendarat di atas meja. Tindakan yang tepat. Paha ayam itu pasti akan terjatuh di atas kursi seandainya tak dikembalikan oleh Vonda mengingat sekarang ia tengah terpingkal-pingkal seraya memeluk perutnya. Tiap pembelaan yang Max katakan, justru menyulut tawa cewek itu semakin menjadi-jadi.

"Kamu ntar keselek tulang ayam baru tau rasa."

"Hahaha!"

Vonda berusaha menghentikan tawa sejenak saja, tapi begitu sulit. Apalagi ketika ia melihat wajah Max yang memerah. Entah karena malu atau karena takut dengan film It yang telah ia jeda, Vonda tak yakin karena ia justru kembali terpingkal-pingkal.

"Vonda!" geram Max. "Kamu lama-lama buat kesal juga ya?"

Vonda kembali berusaha menahan tawa dan akhirnya berhasil. Walau masih menyisakan kekehan sesekali.

"Aku? Buat kesel?" Vonda memasang tampang polos. "Kok bisa?"

Max cemberut. "Gimana bisa kamu nggak sadar kalau kamu itu buat kesal?" balas Max. "Memangnya kamu nggak merasa?"

"Merasa apa sih?"

Max tahu bahwa Vonda menggodanya. Sungguh membuat Max semakin kesal.

"Pokoknya itu film ganti aja."

Vonda menggeser duduk. Menampilkan ekspresi menggoda yang semakin membuat perut Max mual-mual.

"Tadi katanya kamu nggak peduli sama filmnya. Eh, giliran aku putar It, kamu malah suruh ganti?"

Mata Max melotot, tapi hal itu bukannya membuat Vonda takut. Yang terjadi justru sebaliknya. Cewek itu justru merasa semakin geli.

Naga-naganya bakal sakit beneran nih perut aku. Hahaha!

"Nggak peduli bukan berarti harus dikasih film horor kali."

Tangan Max terangkat. Menunjuk pada layar televisi yang tengah menampilkan adegan di mana Georgie Denbrough sedang menungging pada lobang saluran air lantaran kapal kertasnya terbawa arus air hujan dan hanyut ke dalam sana.

"Lihat itu lihat. Logisnya di mana coba? Masa hari hujan sederas itu ada orang tua yang membiarkan anak mereka main hujan di luar?"

"Hahaha!"

Sudahlah. Tawa Vonda meledak lagi. Hal yang membuat Max semakin cemberut.

"Itu nggak logis kan? Lagian itu anak nggak mikir apa? Ya kali di dalam saluran air ada badut? Kan nggak logis."

"Ya ampun, Tuhan!" seru Vonda.

Tangan Vonda lalu menepuk-nepuk tangan Max dalam desakan tawa yang tak terbendung lagi. Tak peduli bagaimana bentuk wajah Max atau bahkan bentuk wajahnya sendiri kala itu, Vonda tertawa.

"Max, itu anak kecil coba. Boro-boro mikir logis, dia aja belum tau arti pikiran logis itu yang kayak gimana. Hahaha!"

Max mendengkus.

"Itulah guna orang tua, Von." Tangan Max kembali menunjuk pada layar televisi. "Itu juga kakaknya udah gede. Bukannya melarang adeknya buat main hujan-hujanan, eh ... malah dibuatkan kapal-kapalan lagi. Apa nggak dodol itu kakaknya?"

"Hahaha!"

Mata Vonda terpejam basah lantaran air mata yang kembali terbit di kedua sudut matanya. Ketika ia membuka mata, wajah Max terlihat mengabur dalam pandangannya.

"Terus juga, itu tetangganya lihat ada anak orang nungging bukan ditanyain atau apa kek, eh ... malah dilihat doang."

"Max, astaga."

"Aku aja waktu kecil sering banget dimarahin sama tetangga kalau main udah kesorean."

Vonda mengelap sekilas air matanya, bertanya dengan susah payah. "Oh ya?"

Max masih kesal, tapi ia tetap menjawab pertanyaan Vonda. Ia mengangguk.

"Dibilangnya gini," kata Max kemudian. "Eh, anak susah. Udah sore ini. Pulang sana. Ntar Mama sama Papa kamu mau cari anak di mana lagi kalau kamu udah hilang?"

"Hahaha!"

Vonda semakin terpingkal mendengar jawaban Max. Untuk beberapa saat, Max seperti membiarkan Vonda menikmati tawanya. Cowok itu memilih untuk diam. Mengerucutkan mulut seraya bersedekap di depan dada.

"Itu tetangga kamu mulutnya super juga ya. Masa sama anak kecil dibilangin kayak gitu. Hahaha!"

Max mendesah. "Apa yang mereka bilang memang bener sih. Dari kecil aku sering dipanggil 'anak susah' gitu," lanjut Max kemudian. "Anak yang susah didapatkan maksudnya."

Vonda angguk-angguk kepala. Teringat dengan percakapan antara dirinya dan Reny tempo hari. Ia tak terkejut sama sekali ketika Max mengatakan hal tersebut.

"Rata-rata ibu-ibu di kompleks aku memang mulutnya embyeeer semua. Makanya Mama betah tinggal di sana. Bahkan ini ya. Walau Mama nggak punya anak bayi atau cucu balita, beuh! Mama rutin ke Posyandu Kelurahan tiap bulan. Bantu Bidan imunisasi."

"Hahaha!"

"Omongan mereka pada kayak mercon semua. Tepat sasaran, tapi ya itu ... mereka nggak toxic. Paling kencang ghibahin artis aja. Itu juga memang artisnya yang pada mau dighibahin kan?"

"Hahaha!"

"Jadi dari kecil aku udah biasa banget ketemu omongan-omongan sadis. Mau gimana lagi. Kalau Mama repot, yang bantu jagain aku ya ibu-ibu itu."

Tawa Vonda pelan-pelan berubah. Kali ini tergantikan oleh senyum lebar. "Berarti kamu punya banyak ibu dong?"

"Wah! Bener banget."

Layaknya Vonda, wajah Max pelan-pelan berubah. Dari yang berwajah kesal, sekarang terlihat berseri-seri.

"Kalau aku pulang ke rumah, aku buka kaca mobil tuh. Dari pintu masuk kompleks sampai ke rumah, aku bakal dipanggilin. Hahaha."

"Iya?"

Max mengangguk. "Pulang, Max? Widih! Anak susah balik juga! Max, masih ingat jalan pulang?" Ia tertawa. "Hahaha. Lagian ya ... kayaknya memang semua wanita di dunia ini pengen punya anak secakep aku deh. Nggak heran kalau ibu-ibu itu pada sayang sama aku."

Vonda sontak membanting kepalanya ke belakang. Tertahan pada punggung sofa dan kedua tangan mendarat di atas perutnya sendiri.

"Ugh!" keluh Vonda. "Perut aku berasa mual-mual. Kayak yang mau muntah gitu."

Max ikut-ikutan mengambil posisi seperti Vonda. Mengistirahatkan kepalanya di punggung kursi. Pun turut menatap langit-langit seperti yang cewek itu lakukan di sebelahnya.

"Aku juga kadang mau muntah, tapi ya ... mau gimana lagi. Memang kayak gitu kehidupan aku."

Sama sekali bukan bentuk dukacita. Lebih tepat bila dikatakan itu adalah bentuk satire sukacita alias sukacita terselubung.

"Seneng deh ya kalau kamu punya banyak ibu."

"Hehehe." Max sedikit berpaling. "Kamu nggak punya banyak ibu?"

Vonda menggeleng sekali. "Nggak dong. Lagian kita beda banget. Kalau kamu anak susah. Nah, aku kayaknya anak gampangan."

"Hahaha!"

Vonda turut berpaling dan memberikan tatapan sipitnya pada cowok itu. "Aku dengar-dengar cerita, katanya aku langsung muncul di rahim Mama aku tiga minggu setelah ijab kabul. Kamu bayangkan aja."

"Wah!" Max terkesiap, lalu dua jempolnya terangkat seketika. "Tokcer!"

"Hahaha. Ya begitulah. Makanya kata orang, sebenarnya resepsi Mama dulu itu rencananya mau dibatalkan."

"Kenapa?"

"Waktu itu resepsi Mama dan Papa mau diadakan sebulan setelah nikahan. Eh, Mama malah mual-mual gara-gara hamil aku. Tapi, mau dibatalkan juga rugi sama duit yang udah keluar. Makanya gara-gara itu Mama sempat digosipin hamil di luar nikah."

"Kayaknya lingkungan tempat tinggal kita beda ya?"

Vonda mendengkus geli, tapi tak urung juga ia mengangguk. Membenarkan perkataan Max.

"Tempat tinggal aku memang rada toxic gitu. Mama kadang stres juga, tapi ya itu. Kalau udah macam-macam, bakal dilibas sama Mama aku. Kata Mama hidup di pinggiran ibukota juga keras, bahkan lidah yang lembut aja harus dilatih biar keras juga."

"Hahaha!"

"Apalagi kami keluarga besar—"

"Keluarga besar?"

"Ah." Vonda mengerjap dan melirik pada Max. "Aku punya lima orang adik."

"Wah! Tokcer kuadrat!" kesiap Max kagum.

"Hahaha! Gara-gara itu Mama sering dibilangin sama tetangga. Katanya hobi banget buat anak. Harusnya pakai KB."

Max terkekeh.

"Mama yang nggak peduli gitu. Paling Mama bilang gini," lanjut Vonda setelah menarik napas dalam-dalam sekilas. "Orang buatnya juga sama suami aku kok. Kenapa situ yang sewot?"

Kali ini Max yang terpingkal-pingkal. Mau tak mau membuat ia bangkit dari posisi santainya tadi. "Kayaknya aku jadi tau deh dari mana sifat kamu berasal."

Seringai membentuk di wajah Vonda. "Dari Mama aku ya?"

"Kayaknya iya. sih."

Vonda mengembus napas panjang, lalu membiarkan seringainya pelan-pelan memudar menjadi seulas senyum di bibir.

"Ngomongi Mama ... aku jadi pengen balik rasanya."

Ucapan tulus Vonda membuat Max tersenyum. "Ya balik aja. Rumah kamu jauh?"

Vonda menggeleng. "Nggak jauh kok. Lumayan deket. Di Tangerang."

"Lah! Selemparan kolor juga sampai."

Mata Vonda melirik. "Kolor siapa yang dilempar langsung sampai ke Tangerang heh? Kolor Superman?"

"Hahaha! Ya ... maksud aku, aku pikir orang tua kamu tinggal di mana gitu. Beda pulau kek atau beda negara."

Vonda mendengkus. "Sebenarnya capek gara-gara kerjaan yang buat aku jadi malas balik. Tapi, sebentar lagi aku memang harus balik sih."

"Ada acara?"

Vonda mengangguk. "Adik aku mau lamaran."

"Eh?" Mata Max melotot. "Lamaran nikahan?"

"Ya kali lamaran pekerjaan dibuat acara," kata Vonda geli. "Dia bakal nikah sama pacarnya dari SMP coba."

Max takjub karena informasi yang satu itu. "Wah! Udah pacaran berapa tahun?"

"Tahunan," jawab Vonda enteng.

Max diam-diam melirik Vonda. Berusaha mengamati aura pada cewek itu. Suasana mendadak hening. Sebelum pada akhirnya satu tangan Vonda mengibas sekilas di depan wajah.

"Jangan mandang aku dengan tatapan kasihan kayak gitu. Aku beneran nggak merasa sedih atau gimana karena bakal dilangkahi adik aku."

"Ya ... aku bukannya kasihan. Cuma ...."

Bibir Vonda membentuk senyum. Masih bertahan di atas punggung sofa, ia memalingkan wajah pada Max.

"Cewek zaman kini nggak mengenal istilah langkah melangkah. Jodoh itu udah diatur. Jadi kalau mau complain, harusnya Tuhan yang digugat."

Max mengangguk. "Benar banget."

"Aku bahagia dengan lamaran adik aku," desah Vonda. "Lagian mana ada kakak yang nggak senang lihat adiknya senang? Dan sebenarnya itu juga yang Kania pikir."

"Adik kamu itu?" tanya Max merujuk pada nama Kania yang disebutkan oleh Vonda.

Vonda menjawab dengan anggukannya. "Sebenarnya dia udah mau nikah tahun kemarin. Ya ... walau dia nggak ngomong ke aku, tapi aku sering dengar dia sama pacarnya si Yogi, bahas soal pernikahan. Cuma Kania nunda gara-gara aku."

"Oh."

"Aku tau. Dia pasti mau lihat aku duluan yang nikah. Cuma, ya ampun. Hubungan terakhir yang aku pikir bakal berhasil malah justru berantakan. Mana waktu itu Kania udah semangat banget pas keluarga aku dan Ando ketemu dan bahas soal lamaran."

Max terdiam.

"Makanya kemarin waktu aku putus sama Ando, aku bilang ke dia untuk nikah duluan. Kan aku nggak mungkin menahan kebahagiaan dia gara-gara keegoisan aku."

"Dia pasti nggak anggap kamu egois. Dia memang cuma mau lihat kamu bahagia. Takut buat kamu sedih saat lihat kebahagiaan dia."

Perkataan Max sontak membuat Vonda terdiam untuk beberapa saat. Lalu yang ia lakukan hanya menatap kedua mata Max.

Mata Max memancarkan sorot tulus. Sama tulusnya dengan kata-kata yang baru saja ia ucapkan.

Vonda tersenyum. "Mungkin karena itu juga kenapa aku meyakinkan Kania ... kalau kebahagiaan dia nggak mungkin buat aku sedih. Gimana bisa seorang kakak jadi sedih gara-gara adeknya bahagia coba? Nggak mungkin kan?"

Pertanyaan yang membuat Max tertegun. Tersadar, itu hanyalah pertanyaan retoris.

Sesuatu di diri Vonda menyentil Max. Menghadirkan kekaguman yang membuat ia bangga. Menyadari bahwa terlepas dari sifatnya yang terkesan tidak waras, tapi ada bentuk kedewasaan yang jarang sekali dimiliki oleh cewek lainnya. Jadi bukan menjadi hal yang mengejutkan bila dalam senyumnya, Max menggeleng sekali.

"Nggak mungkin."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro