35. Sisi Lain
Rika di balik meja resepsionis hanya berdiri dalam diam. Membawa kedua tangan bersedekap sementara matanya menyipit melihat lurus ke depan. Pada dua orang yang kini masuk melewati lobi.
"Kayak yang di sini nggak ada aku aja. Mereka berdua nggak sapa aku atau apa gitu? Apa di mata mereka aku lebih halus dari makhluk halus? Jadi nggak kelihatan?"
Rika mendengkus tatkala dua orang yang ia lihat masuk ke dalam lift. Hanya ketika mereka membalikkan badan di dalam lift, Rika pun mendapatkan satu lambaian tangan Vonda. Tepat beberapa detik sebelum pintu lift itu tertutup.
Rika benar-benar tak habis pikir. "Ini nih kalau orang lagi jatuh cinta. Jadi lupa sama dunia."
Sementara di dalam lift yang perlahan bergerak naik ke atas melewati setiap lantai, ada Vonda yang terkekeh keras karena membayangkan wajah kesal Rika tadi. Jujur Vonda akui, ia memang sengaja tidak menyapa resepsionis itu. Khawatir sapaan singkatnya akan berujung pada godaan yang tidak mengenakkan dirinya.
"Waktu aku jemput kamu malam Minggu kemaren, dia ada tegur aku sih."
Vonda melirik pada Max. "Beneran?"
Max mengangguk.
"Dia ngomong apa aja?"
Max berusaha untuk mengingat. "Sebenarnya ya cuma basa-basi doang gitu sih. Sekadar buat ramah tamah doang kayaknya."
"Basa-basi Rika mah kebanyakan basinya doang," celetuk Vonda. "Lebih baik kamu nggak usah meladeni dia. Biar hidup kamu lebih damai."
Tak berapa lama, lift berhenti bergerak. Pintu yang terbuka cukup menjadi tanda bahwa mereka sudah tiba di lantai yang dituju. Keduanya keluar dan menuju ke unit apartemen Vonda. Selagi masuk, cewek itu pun berkata.
"Kamu tunggu bentar. Duduk aja, aku mau ganti pakaian dulu."
Max duduk di kursi ruang tamu selagi Vonda masuk ke kamarnya. Ditinggal sendirian, Max memilih untuk mengecek ponsel saja.
Max sempat berpikir, orang yang merakit ponsel tentu sangat berjasa. Setidaknya ponsel bisa digunakan sebagai pengalih kesunyian seperti yang ia rasakan sekarang.
Mengecek beberapa pesan yang masuk, Max tanpa sadar hanyut dalam aktivitasnya. Sampai beberapa menit kemudian wajah Max yang menunduk, melihat pada layar ponsel, menangkap bayangan lain di lantai. Mendorong ia untuk berpindah fokus.
Ada sepasang kaki di depan sana. Semakin naik ke atas, mata Max mendapati ada betis jenjang tak tertutupi oleh selembar benang pun.
Ya ... kalau di kantor Vonda memang lebih sering pakai celana panjang ketimbang rok selutut sih. Pilihan yang tepat. Mengingat pasti bakal banyak yang milih untuk melihat kaki dia ketimbang wajahnya.
Eh?
Max mengerjap. Sontak mengangkat wajah dan mendapati Vonda sudah menghampiri dengan penampilan yang sangat berbeda.
Cuma ... kayaknya wajahnya juga enak dilihat sih.
Vonda tersenyum dalam penampilan rumahannya. Celana pendek dan kaus longgar yang ia kenakan membuatnya terlihat santai sore itu. Dandanannya telah lepas, digantikan oleh kenyamanan tanpa riasan dan jepit rambut yang asal menyanggul di kepala. Sesuatu yang untuk pertama kalinya dilihat Max. Bila perlu ditambahkan, ini adalah pertama kali yang kedua untuk Max.
Pertama kali yang pertama, masih ingat dong ya?
Ya masih dong, jawab Max di dalam hati.
Bermain dengan pikirannya sendiri, Max nyaris terkejut mendapati Vonda kemudian bersuara. Berkata dengan nada ajakan.
"Ke dapur aja deh."
Max kembali mengerjap. Ingin mengatakan sesuatu, tapi Vonda sudah keburu beranjak dari sana. Alhasil Max pun turut bangkit. Meninggalkan tas di ruang tamu sementara ia menyusul Vonda ke dapur.
Sesampainya di sana, Max melihat Vonda tengah membuka pintu kulkas. Mengeluarkan kotak transparan dan memamerkannya pada cowok itu.
"Satu box cukup atau nggak?"
Max menyeringai. Menarik kursi yang tersedia di dekat kitchen island dan duduk di sana. Refleks ia melepas jas yang dikenakan dan meletakkannya pada kursi lain.
"Perasaan aku tadi, kamu mau kasih aku satu box. Jadi kalau kamu nggak mau ikut makan ya ... itu artinya kamu memang cukup gorengin punya aku aja."
"Eh?" Mata Vonda membesar, tapi ia mendengkus geli. "Memang tamu nggak punya sopan santun ya? Masa aku cuma gorenginnya aja."
"Hahaha!"
Vonda mengeluarkan satu kotak lagi. Segera beranjak ke depan kompor. Memanaskan minyak di wajan, lalu mengeluarkan kentang beku yang tadi terlupakan olehnya.
"Aku nggak tau kalau ternyata kamu punya minyak goreng juga," komentar Max sesaat setelah dilihatnya Vonda memasukkan lima potong paha ayam ke dalam minyak goreng yang telah panas. "Kirain kamu bakal goreng ayam pakai minyak tanah gitu kan."
Vonda berbalik, bersandar pada meja kompor dan mencibir. "Minyak tanah sekarang udah langka. Anjuran dari pemerintah coba untuk pakai gas. Ya kali ayam digoreng pakai gas?"
"Hahaha! Bisa-bisa."
"Ehm." Vonda melirik ke lemari pendingin. "Kalaua kamu haus, ambil aja di kulkas ya? Aku nggak biasa menjamu tamu gitu. Jadi kamu inisiatif aja sendiri. Kalau kamu tunggu aku yang kasih minum, bisa mati kehausan duluan deh."
"Pantas aja," kata Max kemudian. "Aku tunggu-tunggu gitu kan? Eh ... minumnya nggak sampai-sampai."
Sementara Vonda tertawa, Max melakukan apa yang cewek itu katakan. Ia bangkit seraya menggelung lengan kemeja hingga ke siku—karena sedikit membuatnya gerah—dan menuju ke kulkas. Membuka dan meneliti isinya.
"Ehm ... lumayan komplit," komentar Max seraya memperhatikan tiap bahan makanan yang ada di sana. "Dari buah, sayur, dan paha ayam."
"Aku nggak suka lapar soalnya. Apalagi kelaparan di tengah malam. Beuh! Itu menyiksa banget. Jadi aku harus memastikan stok makanan aku lengkap. Gini-gini aku rajin belanja bahan makanan loh."
Max menyeringai. Meraih satu botol air mineral dari dalam sana. Membuka tutup dan menuang isinya ke satu gelas. Lantas setelah mengambil apel merah dari kulkas dan mencucinya di wastafel, cowok itu kembali di tempat duduknya.
Selagi menunggu Vonda menggoreng dan menyiapkan semuanya, Max mengajak cewek itu berbincang ringan. Dari hal yang tidak penting seperti.
"Ini apel udah berapa lama di kulkas?"
Vonda yang tengah membalik paha goreng itu menoleh sekilas. "Kayaknya baru dua hari yang lewat sih. Kenapa?"
"Kayaknya udah nggak segar lagi."
"Ah, masa?"
"Iya."
Sayangnya, Vonda tidak yakin dengan perkataan Max. Rasanya sulit untuk percaya mengingat cowok itu justru bangkit dan membuka pintu kulkas kembali. Mengambil apel yang kedua dan menikmatinya. Setelah habis, eh ... Max mengambil apel ketiga. Itulah yang terjadi hingga apel yang kelima. Atau apel yang terakhir lebih tepatnya.
Sekitar empat puluh menit kemudian, Max bangkit dan menghampiri Vonda. Kebetulan sekali cewek itu memadamkan kompor.
"Aku kira nggak bakal masak loh saking lamanya. Aku udah lapar banget."
"Lapar? Dengan lima apel yang udah kamu habiskan?" Vonda mencibir. "Itu stok aku untuk dua hari coba."
"Nggak setimpal dengan ayam yang mama aku kasih coba."
"Wah! Keluar juga ya sifat kompeninya. Perhitungan mode on."
"Hahaha!"
"Lagian ya ... aku lama itu juga karena banyak banget loh yang aku goreng. Belum dengan kentangnya coba," ujar Vonda beranjak mengambil satu piring besar. "Sini bantuin aku. Jangan taunya makan doang."
Max tak membantah, melainkan benar-benar mengikuti Vonda walau sebenarnya ia tidak melakukan apa-apa. Ia hanya melihat Vonda menata semua gorengan itu di atas dua piring yang berbeda. Piring paha ayam dan kentang.
"Kita makan sambil nonton aja," kata Vonda setelah semuanya telah tertata dengan rapi di atas piring. Ia mengangkat wajah dan menatap mata Max dengan sedikit menyipit. "Aku ada film bagus."
"Wah!" Max terkesiap dan matanya terlihat berbinar-binar. "Kamu memang tuan rumah yang baik hati."
Berbagi tugas, Vonda membawa satu botol minuman soda dan dua gelas sementara Max mengangkat dua piring yang berbeda. Mereka menuju ruang menonton dan tak butuh waktu lama, semua hidangan pun tersaji di atas meja.
Max tak sabar untuk duduk. Meraih sehelai tisu dan membersihkan tangan sementara Vonda beranjak ke televisi. Mengambil remot dan bertanya.
"Kamu mau nonton apa? Film baru atau film lama?"
"Kayak yang aku peduli dengan film aja," jawab Max membuat Vonda menoleh.
Vonda melihat Max mengambil piring kecil yang telah tersedia di sana. Menuangkan saus sambal dan mencoleknya dengan sepotong kentang goreng. Lantas, kentang itu lenyap ke dalam mulutnya.
Terkekeh, Vonda yang sebenarnya pun tak tahu harus memilih film apa akhirnya asal putar saja. Ia tidak ada waktu untuk merenungkan semua judul film yang ada di Netflix. Pada akhirnya judul 'It' pun muncul di layar televisi.
Menaruh remot di meja, Vonda mengambil tempat di dekat Max. Cowok itu menatap layar televisi. Mengerutkan dahi saat suara film mulai menggema.
Vonda membersihkan tangan dan menikmati potongan kentang goreng pertama. Terlihat santai, tapi berbeda dengan Max yang tampak membeku menatap adegan awal film itu.
Max mengerjapkan mata. "Ini film apa, Von?"
Vonda mengulurkan tangan, meraih sepotong paha ayam. "It."
"It?" tanya Max seraya berpaling pada cewek itu. "Genre apa?"
Acuh tak acuh, Vonda menjawab dengan enteng. "Horor."
Mata Max seketika membesar dan langsung berseru. "Ganti!"
"Eh?"
Wajah Max terlihat mengeras ketika berkata. "Ya kali hidup udah mengerikan masih ditambah dengan nonton film horor?"
Sedetik Vonda melongo. Dan kemudian ia justru tertawa terbahak-bahak.
"Kamu ternyata penakut ya?"
Dan wajah Max seketika berubah lebih merah ketimbang warna saus sambal itu.
Sial deh!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro