33. Proses Perubahan
~ Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit, bukan hanya konsep dalam menimbun tabungan. Alih-alih, juga perasaan. ~
"Jadi gimana? Nggak rugi kan ikut makan gratis sama aku? Coba aja kamu bayangkan, kalau makan sebanyak itu di restoran ... kira-kira bakal habis uang berapa banyak coba?"
Max menyeringai. Melirik sekilas pada Vonda yang duduk di kursi penumpang. Terlihat berseri-seri ketika menanyakan itu padanya.
"Ya ... memang nggak rugi sih. Cuma ada yang perlu kamu ingat. Beneran jangan sampai lupa. Sebenarnya kamu yang nggak rugi udah ajak aku. Terbukti aku ini partner yang menguntungkan untuk diajak makan-makan."
Wajah Vonda terangkat ketika ia refleks tertawa mendengar perkataan Max. Membuat seringai Max kian melebar saja karenanya. Namun, tak urung juga Vonda mengucapkan terima kasihnya.
"Makasih."
Vonda mengucapkan satu kata itu tepat ketika melepaskan sabuk pengaman. Berpaling dan menatap wajah Max yang juga menoleh padanya.
"Karena udah nemenin aku dan udah jadi partner yang menguntungkan," sambung Vonda.
"No problem," kata Max enteng. "Jangan merasa sungkan kalau mau ajak aku makan gratis lain kali."
Vonda menganggukan kepala dengan geli. Meyakinkan Max jika cowok itu akan menjadi orang pertama yang akan diingatnya saat ia mendapat tawaran makan gratis lainnya.
"Kamu nggak mau mampir dulu?" tanya Vonda kemudian memindah topik pembicaraan. "Atau mau langsung balik?"
Max melihat pada jam tangan, lalu menggeleng. "Ini hampir jam sebelas malam," katanya. "Kayaknya lebih baik aku langsung balik deh. Lagian perut aku udah kenyang banget. Kayaknya bentar lagi aku mau tidur."
"Eh? Kamu ngantuk? Bahaya bawa mobil kalau ngantuk." Mata Vonda terlihat sedikit membesar karena khawatir. "Kalau nggak ... kamu tinggalin aja mobil kamu. Balik naik taksi aja."
Namun, Max menggeleng. "Nggak apa-apa. Aman aja. Masih bisa aku tahan kok."
Beberapa detik, Vonda pun terlihat seperti tengah menilai keadaan Max. Mungkin ragu apa Max benar-benar bisa menahan rasa kantuknya atau sebaliknya.
"Tenang aja," kata Max kemudian kembali meyakinkan. "Pasti aku bakal sampai ke unit dengan selamat sentosa."
Pada akhirnya, Vonda turun dari mobil Max. Cewek itu masih berdiri di pelataran gedung hingga mobil yang dikendarai Max melewati portal keamanan dan membaur di jalanan.
"Cie ... yang pulangnya malam. Kirain nggak bakal balik, Mbak."
Bibir bawah Vonda seketika maju ketika mendengar Rika langsung menyambut kedatangannya dengan celetukan penuh goda. Bagi Vonda, itu tidak mengherankan sama sekali. Justru akan membuat ia heran jika yang terjadi sebaliknya.
"Kalau nggak balik," kata Vonda geli. "Aku mau tidur di mana coba? Masa di pinggir jalan?"
Rika menopang dagunya dengan satu tangan, melontarkan pertanyaan dengan penuh irama di suaranya. "Memangnya mau tidur di mana lagi?"
"Kamu ...."
Vonda bergidik dengan bulu kuduk yang meremang kompak. Membuat ia melotot ngeri.
"Dasar! Mikirin yang mesum aja."
Rika tertawa ketika melihat Vonda yang buru-buru beranjak dari sana. Namun, bukan berarti resepsionis itu tidak sempat menuntaskan godaannya dengan satu kalimat pamungkas.
"Maksud aku balik ke rumah orang tua Mbak loh. Hihihi. Mbak aja yang pikir ke mana-mana."
Bibir Vonda bergerak ke kanan ke kiri dengan gerakan abstrak saat menggerutu, akibat perkataan Rika yang menggema di lobi gedung apartemen. Beruntung saat itu sepi, jadi cukuplah Vonda menahan rasa malu untuk dirinya sendiri.
Nginap di tempat Max?
Vonda berusaha keras mengenyahkan pikiran itu saat lift membawanya menuju ke lantai di mana unitnya berada.
Gara-gara Rika ... aku jadi pikir yang aneh-aneh. Dasar tuh cewek! Punya hobi kok malah menimbulkan ingatan masa lalu sih?
Lagi pula bukan berarti itu adalah hal yang mudah untuk dilupakan oleh Vonda. Itu adalah pengalaman pertamanya.
Pengalaman pertama yang jelas berbeda dengan pengalaman pertama kebanyakan cewek pada umumnya. Bukan hanya dilakukan dengan orang yang tidak dikenal, melainkan tempatnya pun tidak biasa. Yaitu, di pinggir jalan.
Pengalaman pertama yang terlalu aneh untuk bisa dilupakan begitu saja. Terutama ... karena setelah kejadian itu Vonda dan Max justru terhubung dalam situasi yang lebih aneh lagi.
Ketika sampai di unit, Vonda segera menuju ke kamar mandi. Melepaskan gaun, membilas tubuh seadanya saja, dan mencuci wajah sebelum kembali ke kamar. Ia mengenakan sehelai piyama terusan selutut.
Vonda menguap. Merasakan tubuhnya lebih letih dari yang ia duga sebelumnya hingga kantuk datang tak tertahankan. Namun, ada satu hal membuatnya tetap bertahan menahan godaan kasur yang melambai-lambai.
Setengah jam berlalu dan Vonda bertahan dengan sebuah majalah yang hanya ia pandangi saja gambarnya. Ia sama sekali tidak ingin memperparah rasa kantuknya dengan membaca rangkaian kata-kata di artikel tersebut. Namun, semakin lama waktu berlalu maka semakin berat pula bagi Vonda untuk bertahan. Sampai pada akhirnya ia pun menyerah. Meraih ponsel yang semula ia letakkan di atas nakas.
Vonda :
Eh, Mas Moci. Udah sampai belum?
Mata Vonda terasa semakin berat. Selagi menunggu balasan pesan dari Max, ia merebahkan kepala di atas bantal. Mencari posisi nyaman dengan berbaring menyamping, ia berusaha untuk tetap sadar.
Namun, detik demi detik yang dilalui dengan menatap layar ponsel menjadi semakin memberatkan bagi kelopak mata Vonda. Tidak mengherankan sama sekali, jika lima menit kemudian ia tak lagi bisa bertahan. Pasrah melepas kesadarannya. Tepat ketika ada satu pesan yang masuk ke aplikasi Whatsapp-nya.
Max :
Kami dilahirkan dari rahim yang beda. Kamu ngomongi aku Mas Moci, siap-siap aja kamu aku panggil Mbak Moci. Btw, aku baru udah sampai sih.
Pesan itu tidak terbaca oleh Vonda. Pun begitu pula dengan pesan selanjutnya yang kembali masuk.
Max :
Ehm Mbak Moci.
Udah tidur atau ngambek?
***
Dering ponsel di pagi hari adalah hal yang membangunkan Vonda dari tidurnya. Membuat cewek itu membuka mata dan dengan refleksnya yang sudah terlatih, ia mengangkat panggilan setelah usai bersusah payah membaca nama kontak di layar ponsel.
"Halo, Ma."
Untuk kali ini jangan berpikir jika Reny yang menelepon. Lantaran memang adalah ibu kandung Vonda yang berada di balik saluran tersebut. Seorang wanita paruh baya bernama Hesti Wijiyanti.
"Vonda? Kamu masih tidur jam segini?"
Mata Vonda yang semula menutup kembali usai mengangkat panggilan, berusaha untuk membuka lagi. Hanya demi melihat pada jam dinding yang terpasang di kamarnya.
"Ini masih pagi, Ma."
Suara lemah Vonda berbanding terbalik dengan ucapan penuh semangat Hesti di seberang sana.
"Udah siang ini, Von. Astaga! Udah jam delapan. Masa kamu masih tidur?"
"Hoam!" Vonda menguap dan kembali menutup matanya. "Malam tadi aku ada acara kondangan, Ma. Jadi balik hampir jam sebelas malam gitu. Sekalian kumpul sama teman-teman SMA. Makanya sekarang aku jadi ngantuk banget. Lagian ... aku juga udah bangun kok, Ma."
"Ckckckck. Gimana? Datang sendirian lagi pas ke kondangan?"
Vonda seketika memajukan bibir saat mendengar perkataan ibunya itu. "Mama ini ... nggak bagus banget pilih topik pembicaraan di pagi hari."
"Bukan gitu, tapi ...."
Hesti terdengar menjeda sejenak, membuat Vonda membuka matanya.
"Kamu baik-baik aja kan?"
Sorot mata Vonda terlihat datar ketika menjawab. "Tenang aja, Ma. Aku baik-baik aja."
Jawaban Vonda membuat hening percakapan untuk beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar lagi suara helaan napas Hesti. Seperti ingin melepas beban yang sedang ia rasakan.
"Keluarga Ando nggak ada hubungi kamu lagi?"
Kali ini Vonda mengembuskan napas lelah. Tidak berniat untuk membicarakan hal tersebut. Terutama di pagi hari. Vonda pikir itu semacam awal yang buruk untuk memulai hari.
"Nggak ada," jawab Vonda kemudian. "Itu karena semua nomor mereka udah aku blokir."
"Astaga, Vonda."
Suara Hesti terdengar terkesiap tidak percaya. Sama sekali tak menyangka kalau Vonda melakukan hal itu.
"Kamu blokir semua nomor mereka?"
"Iya, Ma. Aku udah nggak mau berhubungan sama mereka. Lagian juga buat apa kan?"
"Kamu beneran nggak mau cerita kenapa kamu dan Ando bisa putus? Mungkin masalah kalian bisa diperbaiki. Lagian hubungan kamu dan Ando udah lumayan lama loh, Von."
Kali ini Vonda sedikit mengubah posisinya. Memilih untuk berbaring menelentang dan menatap ke langit-langit kamar. Sejenak satu tangannya naik. Mendarat di pelipis, memberikan satu pijatan kecil di sana.
"Justru karena udah lumayan lama, makanya percuma juga mempertahankan hubungan kalau kedua belah pihak nggak punya tujuan yang sama. Daripada semakin jauh, lebih baik berhenti di saat masih bisa. Memangnya Mama mau lihat aku nikah dan cerai? Masih mending putus kan?"
Sepertinya ucapan Vonda kali ini tepat menembus sasaran. Buktinya tidak ada sanggahan lagi dari Hesti. Yang ada hanya ungkapan kekhawatiran seorang ibu yang kemudian Vonda dapati.
"Mama cuma nggak mau kamu merasa tertekan. Apalagi karena rencananya sebentar lagi adik kamu mau lamaran."
Sesuatu yang membuat Vonda tahu, mengapa Hesti semakin sering menanyakan hubungannya dengan Ando yang telah berakhir.
"Aku sama sekali nggak tertekan kok, Ma. Tenang aja. Kalaupun memang takdirnya Kania bakal nikah duluan, ya apa boleh buat? Masa kita mau menentang takdir Tuhan? Terus masa aku harus asal nikah aja gitu? Iya? Mama mau?"
"Kamu ini," tukas Hesti. "Asal nikah? Mulut itu belum dicolek sama sambal setan ya?"
Vonda tersenyum geli. Setidaknya ia tahu, ucapannya langsung mengena pada sang ibu.
"Ya suka-suka kamu deh." Suara Hesti terdengar menyiratkan bahwa ia menyerah mendesak Vonda pagi itu. "Yang penting ... kapan kamu mau pulang? Kamu itu udah berapa lama nggak pulang?"
"Tenang, Ma. Aku tetap ingat alamat rumah kok. Hehehe. Sekarang aku masih banyak kerjaan, makanya belum bisa pulang."
"Seenggaknya kamu ingat untuk pulang buat bantu-bantu lamaran Kania nanti."
"Aman."
Usai melewati topik serius itu, Vonda meladeni perbincangan ibunya yang mulai membicarakan hal lain. Dari laporan tentang jumlah ayam kampung tetangga yang bertambah, warung nasi uduk baru di depan gang, sampai tragedi pemilihan ketua RT yang baru.
Menahan rasa kantuk yang belum benar-benar meninggalkan dirinya, Vonda tetap berusaha meladeni sang ibu. Ia menyadari bahwa seperti itulah seorang ibu. Menelepon dalam waktu cukup lama adalah salah satu bentuk perhatian yang akan Vonda terima dengan senang hati.
"Ah!"
Vonda mendesah lega ketika panggilan itu berakhir dan setelahnya, barulah ia memeriksa ponsel. Senyum Vonda mengembang mendapati pesan Max yang baru ia baca pagi itu.
Senyuman yang tidak butuh waktu lama untuk berubah menjadi kekehan pelan.
"Mbak Moci?"
Sesuatu yang nakal mendadak saja terbersit di benak Vonda. Sesuatu yang refleks ia ketik menjadi pesan terkirim pada Max.
Vonda :
Mbak Moci? Aku kira cat woman.
Kamu mau aku cakar-cakar?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro