32. Petualangan Aneka Rasa
Malam itu Vonda tidak tampil seseksi ketika pertemuan pertama dadakannya dengan Max dulu. Di mana gaun putih gading selutut dengan pundak terbuka ketat membalut tubuh adalah pilihannya.
Alih-alih memperlihatkan kesan seksi, sekarang Vonda justru berpenampilan sebaliknya. Terkesan lebih tertutup walau tetap saja kesan cantik tak hilang darinya. Setidaknya itu yang terjadi pada mata Max yang memandang.
Vonda memilih satu gaun selutut bewarna hitam. Lagi-lagi. Entah mengapa justru sama dengan warna pilihan Max.
Gaun itu berlengan pendek, meramping di pinggangnya, dan mencetak lekuk tubuh Vonda bagian bawah dengan kesan yang tidak berlebihan. Sangat sederhana. Tidak banyak ornamen, tetapi justru terlihat elegan. Hanya ada satu pita yang berukuran tidak terlalu besar di belakang punggung Vonda. Menjadi simpul untuk sedikit menutupi potongan terbuka di bagian sana.
Ya, desah Max di dalam pikirannya. Kalau aku perhatikan, wajar saja dia suka milih gaun dengan punggung terbuka. Punggung dia memang cantik sih.
Max mengerjap. Tepat ketika Vonda yang memilih untuk menata rambut dalam tatanan updo sederhana itu menyapa dirinya.
"Hai, Max."
Max tersenyum. "Hai juga."
Mata Max pun membesar. Vonda menatap dirinya. Satu kerutan timbul di dahi cewek itu.
"Tuh kan. Pasti gara-gara kebanyakan makan rendang kemaren deh. Suara kamu jadi serak gitu kan?"
"Eh?" Mata Max mengerjap, lalu mendeham dengan sedikit lebih kuat dari biasanya."Ehm! Ka-kayaknya sih iya."
"Kamu mau minum dulu?" tawar Vonda kemudian.
Namun, Max dengan cepat menggeleng. "Nggak usah. Aku nggak apa-apa kok. Kita langsung jalan aja."
Max menolak tawaran dan Vonda tidak bersikeras. Ia menarik daun pintu dan keduanya bersama-sama menyusuri lorong menuju ke lift.
Ya ampun. Kok aku yang mendadak norak gini sih?
Max menarik napas dalam-dalam. Berusaha mengusir rasa panas yang menjalari wajah. Respon alamiah saat mendapati rasa malu mulai timbul ketika terjadi fakta, bagaimana bisa suaranya berubah menjadi serak memalukan lantaran melihat penampilan Vonda malam itu.
Memalukan, tapi Max membela diri. Vonda memang terlihat cantik dan menciptakan sedikit goresan keheranan di benaknya.
Penampilan dia benar-benar nggak mencerminkan sifatnya yang setengah nggak waras.
Max dan Vonda tiba tepat waktu ke lokasi pesta. Di salah satu gedung pentas seni yang telah disulap menjadi tempat resepsi pernikahan meriah. Lampu terang yang menghiasi dipadu cantik dengan bunga-bunga yang bermekaran dalam aneka warna. Seakan menjadi penyambut paling tepat semua undangan yang datang.
Demi bentuk kesopanan atau mungkin memang seperti itulah Max diajarkan oleh orang tuanya, ia dengan langkah besar meraih pintu mobil di bagian penumpang. Membukanya tepat sebelum Vonda sempat meraih tuasnya dari dalam. Vonda tersenyum mendapati Max membuka pintunya.
Ya, setidaknya dia tau etika memperlakukan wanita dari hal yang terkecil.
Max menahan pintu menggunakan satu tangan. Dengan wajah yang menunduk, mata Max melihat satu kaki Vonda turun. Menjejak di lantai parkiran. Membuat siluet nyata pada betis jenjangnya. Membuat Max meneguk ludah.
Vonda turun. Sedikit melirik pada telapak tangan Max yang terangkat tepat di atas kepalanya. Di saat itulah terdengar celetukan Max.
"Kalau kepala kamu sampai kepentok mobil, aku khawatir otak kamu semakin bermasalah."
Bukannya marah, Vonda justru terkekeh geli. Sempat terbersit di benak cewek itu untuk mendaratkan satu cubitan. Mungkin di perut atau lengan, tapi Vonda mengurungkan hal tersebut.
Nanti pakaiannya jadi kusut lagi.
Mereka masuk melewati para penyambut. Sementara menunggu Vonda menulis namanya di buku tamu, Max memutar pandangan. Melihat bahwa telah banyak undangan yang memenuhi kursi di dalam sana.
"Ayo."
Max menoleh dan mendapati Vonda sudah berdiri di sebelahnya. Mengangguk sekilas, lantas mereka pun masuk.
"Ehm. Ini yang nikah teman SMA aku. Jadi seharusnya acara ini bakal rame sama teman-teman SMA aku dulu," kata Vonda menjelaskan seraya memutar pandangan ke sekeliling ruangan. "Mungkin belum pada sampai ya? Di grup juga pada ngomong masih di jalan."
Max melirik Vonda memasukkan kembali ponsel ke dalam clutch.
"Jadi?" tanya Max kemudian. "Kita tunggu teman-teman kamu sampai dulu?"
Mata Vonda menyipit. "Kayak yang mereka penting banget."
Max menyeringai.
"Lagi pula," sambung Vonda dengan kilat jahil di mata. "Di sini ada berapa meja yang minta kita singgahi."
Max terkekeh. Matanya melihat ke sekeliling. Tentu saja ia paham ke mana perkataan Vonda merujuk. Pada meja-meja hidangan yang tersebar di beberapa tempat.
Menoleh, tatapan Max beradu pada pandangan mata Vonda. Terlihat garis leher cewek itu ketika ia menengadahkan wajah pada Max.
"Kamu udah siap?" tanya Vonda dengan nada menantang pada cowok itu dan tantangan diterima oleh Max dengan senang hati.
Terbukti dari balasan cowok itu sedetik kemudian.
"Siapa takut?"
Mereka terkekeh sekilas, memulai pertualangan. Pertama-tama keduanya memutuskan untuk melakukan pemanasan dengan meja buah. Di sana tersaji aneka buah siap santap. Sebut saja semangka, melon, nanas, pepaya, dan jeruk. Terlihat segar dengan tambahan balok-balok es berukuran kecil yang mengelilinginya.
"Oke. Pepaya ini manis banget. Beneran."
Max menoleh. Melihat pipi Vonda yang tampak membesar lantaran satu potong pepaya yang ia makan.
Menelan melon yang baru ia kunyah, mata Max melihat pada piring kecil di tangan Vonda. Terlihat bahwa cewek itu mengambil pepaya lebih banyak daripada buah lainnya.
"Iya?" tanya Max seolah masih perlu diyakinkan lagi walau wajah Vonda dengan jelas sudah menjawab pertanyaan itu.
Vonda mengangguk. "Coba deh."
Garpu kecil di tangan Vonda terangkat. Mengarahkan satu potong pepaya pada Max. Dalam hitungan detik, buah itu lenyap masuk ke dalam mulut Max. Dahi Max berkerut saat mulutnya mengunyah dan saraf perasa di lidahnya mencecap rasa manis yang menyeruak dari potongan pepaya.
"Benar kan?" Vonda tersenyum lebar. "Manis banget."
Max mengangguk. "Eh, tapi melonnya juga seger banget loh. Nih! Cobain deh."
Kali ini Max yang mengangkat garpu di tangan. Menawarkan melon bewarna hijau segar tersebut. Vonda menganggukkan kepala saat potongan melon telah berubah bentuk dalam gigitannya. Meluncur mulus ke dalam tenggorokan.
"Ini nanasnya sedikit asam loh."
Max beralih pada nanas. "Ehm bener. Untung semangka dan jeruknya manis."
"By the way," ujar Vonda setengah berbisik di telinga Max, merasa beruntung tambahan tujuh sentimeter di tumitnya membuat ia hanya perlu sedikit menjinjit demi mencapai satu telinga cowok itu. "Jangan terlalu banyak makan semangka dan jeruk."
Max yang semula berniat untuk mengambil kedua jenis buah itu, menarik kembali tangannya. "Kenapa?"
Seakan perlu menambahkan efek dramatis untuk ucapannya, Vonda menyipitkan mata, bahkan memberikan aura misterius dalam nada suaranya.
"Soalnya semangka dan jeruk itu banyak airnya. Kalau kamu banyak makan itu, nanti perut kamu gending. Jadi nggak bisa tampung makanan lainnya dong."
Max tertawa dan meletakkan piring buahnya ke atas meja. "Kamu benar banget. Makasih udah ingatin aku."
Vonda pun turut meletakkan piring buahnya. "Selanjutnya?"
"Ayo!"
Meja selanjutnya yang mereka tuju adalah meja camilan. Dari siomay, empek-empek, tapai ketan, dan lupis. Segala cemilan itu tak ada yang luput dari perhatian mereka. Semuanya dinikmati satu per satu.
"Kuah gula merah lupisnya enak banget."
"Cuka empek-empeknya juga pas."
Usai dari meja cemilan, mereka beranjak. Menuju ke meja hidangan utama seraya bercakap-cakap. Di saat itulah ada satu sapaan yang menghampiri indra pendengaran keduanya.
"Vonda?"
Baik Vonda yang disapa maupun Max yang tidak, keduanya sontak menghentikan langkah kaki. Menoleh pada beberapa orang yang mendekati Vonda. Menghitung cepat di dalam benaknya, Max mendapati ada tiga wanita bersama dua orang pria yang menghampiri mereka.
"Akhirnya kalian sampai juga," kata Vonda tersenyum manis. "Kirain kalian nggak bakal sampai."
Max sedikit menarik diri. Membiarkan Vonda menyapa teman-temannya dan tidak butuh waktu lama hingga sapaan-sapaan ringan itu berubah menjadi gelak tawa.
Entah berapa lama Vonda dan teman-temannya itu bersua hingga salah satu dari mereka terlihat menggamit tangan Vonda dengan lirikan mata yang mengarah pada Max. Tentu saja cowok itu seketika kikuk dengan pandangan lima pasang mata yang menatapnya dengan penuh arti.
"Siapa?"
Tentu saja Max tahu jika dirinya yang dimaksud. Mengambil inisiatif, Max mendekat. Mengulurkan tangan. Menawarkan perkenalan dan langsung mendapat sambutan hangat.
"Max."
Berkenalan, Max berusaha untuk mengingat nama teman-teman Vonda. Ada Windy, Tari, Anggi, Samuel, dan juga Roy.
Melewati sesi perkenalan yang singkat, bukan hal aneh bila ada pertanyaan lanjutan yang Vonda dan Max dapatkan. Pertanyaan khas teman-teman lama akibat rasa penasaran yang mendadak muncul.
"Pacar baru ya?" tanya Windy terang-terangan. "Atau yang kali ini udah lebih dari pacar?"
"Bakal ada pesta selanjutnya nih," goda Anggi.
Sementara itu, Roy justru menggelengkan kepala. "Nggak mungkin banget Mas ini pacar Vonda. Kebagusan buat dia."
"Hahaha!"
Di antara tawa yang meledak saat itu, tawa Max yang membuat Vonda memajukan bibir. Ia terlihat mencibir pada Max.
"Bukan aku loh yang ngomong," kilah Max cepat. "Temen kamu sendiri coba."
Berdecak sekilas, Vonda justru mengklarifikasi kekeliruan pandangan teman-temannya itu.
"Tenang aja, Roy. Max memang bukan pacar aku kok."
Kali ini Tari yang menggoda. "Udah jadi tunangan heh?"
"Pacar aja bukan," tukas Vonda. "Apalagi tunangan. Ehm ... ya dia cuma teman yang kebetulan kosong di malam Minggu." Mata Vonda melirik pada Max. "Tau dong ya artinya apa? Cowok cakep ini jomlo. Dengan kata lain, mau dibilang dia lebih cakep dari aku, tetep saja. Derajat kami sama."
Tawa pecah. Terutama Max yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Vonda yang begitu santai. Perbincangan mereka berlanjut hingga mereka menikmati makanan inti yang tersaji.
Duduk berenam bersama dengan teman-teman di satu meja bundar, makan malam mereka diselingi oleh perbincangan ringan, bahkan kekehan-kekehan. Sampai kemudian, saat Max telah menghabiskan makannya, ia permisi ke toilet. Di saat itulah, Samuel menggeser kursi. Mendekati Vonda yang masih melanjutkan makannya.
"Ehm ... teman kamu itu," kata Samuel yang langsung mendapat respons dari Vonda. "Kalian udah lama kenal?"
Memilih untuk minum sejenak, Vonda baru menjawab setelah meletakkan kembali gelasnya di atas meja.
"Ehm ... belum lama sih aku kenalnya. Kayaknya belum ada sebulan gitu."
Samuel mengerutkan dahi. "Belum ada sebulan dan dia udah mau nemenin kamu ke acara ginian?"
Pertanyaan Samuel langsung disambut tawa kaku Vonda. Jelas saja ia bisa menerka rasa heran Samuel. Sejujurnya Vonda pun merasakan keheranan yang sama. Seperti tidak masuk akal, baru kenal beberapa minggu dan sudah diajak ke acara semacam resepsi pernikahan. Namun, ketika Vonda sedikit berpikir maka ia pun melirih pelan di benaknya.
Memangnya hubungan aku dan Max pernah masuk dalam kategori masuk akal? Dari cara pertemuan pertama kali, cara perkenalan, sampai insiden yang terjadi selanjutnya nggak ada satu pun yang masuk kategori masuk akal. Aku ajak dia ke kondangan justru masih masuk kategori masuk akal kalau dibandingkan dengan gimana aku yang bangun-bangun langsung dipanggil calon mantu sama mamanya.
Vonda lantas mengembuskan napas panjang.
"Ya gitulah," kata Vonda kemudian. "Nggak cuma ekspedisi pengiriman yang ada kategori super kilat express. Aku dan dia bahkan lebih dari itu."
Samuel hanya terdiam mendengar celotehan Vonda.
"Ehm ... memangnya kenapa?"
Tangan Samuel terulur. Kali ini ia yang meminum airnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Vonda.
"Nggak sih. Cuma berasa kayak yang familiar aja sama wajah dia."
"Familiar?"
Kepala Samuel pun mengangguk sekali. "Makanya aku tanya, kamu udah lama kenal dia atau nggak. Kayaknya dia itu dulu pernah tunangan sama teman sepupu keponakannya kakak ipar aku deh."
Brakh!
Vonda melongo. Melihat Samuel yang kembali meminum airnya sementara cewek itu menampilkan wajah tanpa ekspresi yang tampak bengong.
Samuel menoleh. "Kenapa?"
Mata Vonda mengerjap sekali. "Aku lagi mikir sebentar. Temen sepupu keponakannya kakak ipar kamu?" ulangnya. "Kenapa kita hidup di sistem kekerabatan yang rumit sih?"
Tawa berderai dari bibir Samuel. Sementara Vonda memilih untuk meraih gelas minumnya saja daripada menghabiskan tenaga untuk memikirkan status dari cewek yang sedang dibicarakan oleh Samuel.
Eh? Bener kan? Cewek ya? Cuma ....
"Eh?"
Seperti ada sesuatu baru disadari oleh Vonda selain sistem kekerabatan penuh kerumitan tadi. Hal yang membuat ia meletakkan gelasnya kembali.
"Tunangan?"
Samuel yang semula telah memindahkan fokus tatapannya dari Vonda menuju ke panggung demi menikmati nyanyian seorang tamu, mau tak mau beralih lagi pada cewek itu. Memberi jawaban dengan satu anggukan singkat.
"Itu dulu kok. Tenang aja. Lagian aku cuma mau klarifikasi aja. Apa benar dia Max yang aku tau atau bukan? Lagi pula aku pikir dia nggak kenal aku sih. Soalnya aku ingat-ingat lupa, karena ketemunya juga cuma di pesta tunangan dia dulu."
"Serius?" tanya Vonda.
"Iya. Itu udah lama banget coba." Samuel terlihat diam sejenak, seperti sedang berpikir. "Aku pikir itu udah lima tahun yang lewat. Mereka cuma tunangan sekitar tiga atau empat bulan gitu."
Mata Vonda mengerjap-ngerjap. "Mereka nggak jadi nikah?"
"Ya ampun, Von." Bola mata Samuel berputar malas. "Kalau mereka jadi nikah, ya nggak mungkin dong dia bareng kamu ke sini. Kan itu artinya hubungan mereka gagal. Tunggu ..." Mata Samuel menyipit. "Kamu bukan yang lagi cemburu dengan masa lalu kan?"
"Eh?"
"Soalnya kalau iya," lanjut Samuel. "Itu artinya cuma angka aja yang tambah di usiamu. Dewasanya nggak."
"Yang ngomong cemburu dengan masa lalu siapa?" tanya Vonda melotot. "Aku cuma mau tau aja. Lagian dia juga nggak pernah cerita soal itu ke aku."
"Ngapain juga orang cerita masa lalu yang buruk? Apalagi karena mantan dia udah nikah sama cowok lain kan?"
Vonda manggut-manggut. "Oh."
"Walau aku dengar-dengar pernikahannya nggak bahagia gitu. Berapa kali mediasi di pengadilan juga."
"Oh," lirih Vonda lagi
Samuel mendengkus geli. "Tenang-tenang. Itu udah jadi masa lalu. Sekarang masa depan dia kamu kan?"
"Eh?" Wajah Vonda seketika berubah horor. "Dia justru nggak punya masa depan kalau sama aku."
"Hahaha! Selalu sadar diri," kata Samuel lucu. "Itu yang aku suka dari kamu."
Vonda pura-pura mengibaskan rambut. "Nggak usah menggoda aku deh ya? Nggak bakal mempan."
Mungkin celotehan mereka akan terus berlanjut, andaikan beberapa detik kemudian Max belum kembali. Melihat Max, Samuel pun lantas menarik kembali kursinya. Kembali menciptakan jarak yang tadi sempat ia kikis.
"Kamu nggak pikir mungkin lebih baik kamu datang ke sini sendirian?" tanya Max seraya duduk kembali.
Vonda melirik. "Maksudnya?"
"Aku lihat-lihat kayaknya teman kamu yang Samuel itu suka sama kamu," bisik Max di telinga Vonda.
"Yang benar saja!" Vonda terkekeh singkat dan melayangkan satu pertanyaan. "Ngomong-ngomong ... kamu tau nggak dua hal yang menggelikan di dunia ini?"
Perubahan topik yang begitu mendadak, pikir Max.
Namun, tak urung juga Max merespon pertanyaan itu. Walau bukan dengan jawaban, alih-alih justru pertanyaan balik.
"Apa?"
Menjawab pertanyaan Max, Vonda melayangkan satu tatapan dengan sorot misterius. Sama misteriusnya dengan jawaban Vonda di telinga Max.
"Cemburu dengan masalalu dan cemburu pada hal yang nggak ada."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro