Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Yang Terpikir

Vonda melambaikan tangan di bawah bayang sinar matahari sore. Bergerak beberapa kali dan dibalas oleh satu klakson oleh Max sebelum mobil cowok itu keluar dari portal keamanan gedung apartemen Vonda. Pelan-pelan menghilang dari pandangan dan usai memastikan retina matanya tak lagi menangkap bayang mobil Max, Vonda pun beranjak.

"Cie ... habis jalan nih kayaknya si Mbak Vonda."

Langkah kaki Vonda yang semula ingin menuju ke lift, berhenti. Ia memutuskan untuk sejenak menghampiri Rika, seorang resepsionis gedung yang menegurnya tadi.

"Jeng, nggak lihat ya eike tadi turun dari mobil?" tanya Vonda dengan mata sedikit menyipit. "Itu artinya eike kagak jalan, Jeng. Ya kali muter-muter jalan kaki. Cukup dada aja yang ada buahnya. Betis jangan."

Rika tertawa. "Mbak Vonda, ah. Becanda mulu."

"Becanda apaan coba. Orang aku serius," kata Vonda geli.

Tampak belum akan mengakhiri perbincangan aneh antara mereka, Rika justru terlihat mencondongkan tubuh.

"Ngomong-ngomong ... itu pacar Mbak yang baru?" tanya Rika dengan nada penuh rasa ingin tahu. "Sama yang kemaren udah nggak lagi?"

"Ehm." Vonda terlihat memainkan rambutnya dengan jari tangan, mendeham sejenak seraya memutar-mutar bola matanya. "Aku sama Ando udah putus hampir sebulan gitu sih."

"Jadi sekarang pacaran sama yang ini, Mbak?" tanya Rika manggut-manggut dan menebak. "Ih ... enaknya jadi Mbak Vonda. Nggak pakai lama dari putus, udah dapat yang baru. Nggak kayak aku. Jangankan mau dapat baru, yang lama aja nggak ada."

"Hahaha! Rasa pengen aku elus-elus kepalamu pakai parutan kelapa, Ka. Ya kali aja habis putus aku bisa secepat itu dapat pacar baru?"

"Eh? Yang itu?" Rika mengangkat satu jari telunjuk, mengarah ke sembarang arah. "Perasaan aku, dia pernah antar Mbak pulang juga kan malam-malam? Ini juga habis jalan seharian. Ya kali, masa nggak pacaran. Memangnya aku percaya kalau Mbak ngomong dia cuma sekadar teman? Teman kok gitu?"

"Ih! Lama-lama kamu buat kesel juga ya?"

Namun, tak ada nada serius di saat Vonda mengucapkan hal tersebut. Sebaliknya, ia justru terlihat santai saja.

"Nyatanya kami memang cuma teman. Ehm ... cuma ya bisa dibilang ada urusan penting menyangkut hidup mati yang buat kami jadi sering bareng gitu."

Rika mengulum senyum dengan sorot semakin menggoda. "Tau kok. Kan orang sering ngomong kalau orang yang tercinta itu adalah hidup mati kita."

Tawa Vonda seketika meledak. Kepalanya menggeleng-geleng, respons alamiah untuk perkataan Rika yang satu itu. Vonda menyadari bahwa perbincangan aneh mereka akan terus berlangsung hingga ayam kembali berkokok andai dirinya tak menyudahinya saat itu juga.

"Udah ah. Aku mau balik aja. Mau istirahat. Besok udah kerja lagi."

Rika mengangguk dengan penuh pengertian. "Selamat beristirahat, Mbak."

Di unitnya, Vonda langsung beranjak ke kamar mandi. Seharian di luar dan menikmati hari membuat ia merasa lengket di beberapa bagian. Menyalakan pancuran, berdiri di bawah kucuran air, dan mulai memijat kulit kepala dengan busa sampo yang wangi, Vonda menikmati mandi sore.

Berhubung Vonda merasa perutnya masih penuh hingga malam, maka ia meniadakan acara makan malam dari daftar rencana hidup malam itu. Alih-alih semakin menimbun karbohidrat di dalam perutnya, Vonda justru memilih untuk melalui malam itu dengan bersantai saja. Membuka-buka majalah di kamar dengan diiringi oleh alunan musik yang lembut.

"Ah."

Vonda merasa begitu santai. Perut kenyang, perasaan senang, ehm ... semuanya membuat ia merasa hidup di dunia tanpa ada beban. Hingga ponselnya berdering, Vonda mengangkat panggilan itu dengan sukacita.

"Malam, Ma."

Itu adalah sapaan yang langsung Vonda berikan untuk Reny di seberang sana dan balasan serupa ia dapatkan pula.

"Malam juga, Vonda. Mama nggak ganggu kan? Malam-malam gini telepon kamu?"

Vonda menyisihkan majalah. Memperbaiki posisi duduk agar lebih nyaman. Ia tahu akan butuh waktu lebih dari lima menit untuk meladeni telepon Reny.

"Hehehe. Nggak ganggu kok, Ma. Belum malam juga sih. Lagian aku juga lagi nyantai gitu di kamar. Baca majalah."

Terdengar samar suara Reny yang menarik napas lega. "Oh, baguslah. Kamu udah makan malam, Von? Mama masak ayam goreng tepung rempah gitu. Rasanya beda sama ayam tepung yang biasa kamu makan. Mama jamin deh. Kalau kamu mau, Mama delivery sekarang untuk kamu. Gimana?"

Ehm. Tawaran yang menggiurkan.

"Kedengarannya enak banget, Ma."

"Banget."

"Cuma—"

"Cuma apa?"

Vonda bimbang mendapati rasa kenyang di perutnya dan air liur yang terbit dari mulutnya. Ia dilema oleh dua pilihan yang membingungkan.

"Sebenarnya aku masih kenyang loh, Ma. Cuma ...."

"Kamu udah makan malam? Ehm ... cepat kamu makannya? Baru juga jam setengah tujuh."

"Sebenarnya tadi itu aku makan sore, Ma," kata Vonda kemudian. "Aku diajak Max makan bebek seekor utuh. Makanya perut aku sekarang masih penuh gini."

"Ah."

Vonda sempat terpikir untuk menyalakan stopwatch demi melihat berapa detik lamanya lirihan Reny tatkala mengetahui fakta itu. Namun, sejurus kemudian ada satu hal yang membuat ia melotot.

Refleks, Vonda menutup mulutnya yang terlepas bicara. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, seperti baru menyadari apa yang telah ia katakan.

"Jadi hari ini kalian jalan ya?"

Vonda meneguk ludah mendengar pertanyaan Reny. Ia salah tingkah. Beruntung sekali Reny menghubungi dirinya melalui sambungan telepon biasa, alih-alih panggilan video seperti yang sudah-sudah.

"Ehm ... ya nggak bisa dibilang jalan juga sebenarnya, Ma."

Pertanyaan bernada ingin tahu segera Reny lontarkan. Dan itu tidak mengejutkan Vonda.

"Eh? Maksudnya?"

Berpikir bahwa Reny pasti akan mengetahui hal yang sebenarnya cepat atau lambat, maka Vonda menjawab dengan jujur.

"Tadi itu aku dan Max pergi ke rumah sepupunya yang baru menikah itu loh, Ma."

"Ah! Ke rumah Lucas maksud kamu?"

"Iya, Ma. Di sana kami makan siang, eh balik dari sana Max malah ajak makan lagi."

Vonda menggigit bibir. Respons alamiah saat mengutarakan fakta terbalik pada Reny. Memang Max mengajak dirinya makan lagi, tetapi semua itu lantaran dirinya yang tak bisa menikmati makan siang di rumah pengantin baru tersebut.

"Oh, ternyata begitu."

Entah mengapa, Vonda yakin bisa mendengar nada bahagia di suara Reny. Ia bahkan bisa menduga bahwa Reny tengah tersenyum lebar di sana. Sedikit aneh, tapi Vonda yakin bahwa dugaannya tidak keliru kali ini.

"Ya udah kalau gitu. Nggak apa-apa. Lain kali aja Mama kirim ayam gorengnya ya? Nanti sebelum Mama masak, Mama bakal pastiin kalian nggak \habis berduaan gitu."

Mata Vonda membesar dan mulutnya menganga. Maksudnya?

"Hihihi. Ya udah deh. Kamu istirahat ya? Pasti capek. Dadadah, Calon Mantu."

Vonda mengerjap. Melepas rasa keterkejutannya dan buru-buru membalas ucapan itu sebelum panggilan keburu berakhir.

"Iya, Ma. Dadadah."

Memandangi ponsel di mana tertera riwayat panggilan, Vonda tiba-tiba mengerutkan dahi. Kepalanya sedikit meneleng ke satu sisi.

"Ehm ... padahal ngemil ayam goreng tengah malam juga enak sih."

Vonda mengembuskan napas panjang dan terkekeh pelan.

"Dasar perut."

***

"Nggak nyangka aja Evan sampai kasih aku lingerie baru. Maksud aku, ini pertengahan bulan. Nggak ada angin nggak ada hujan, eh dia suruh aku cosplay pakai kimono gitu. Ya mungkin karena seharian Lili diajak sama oma dan opanya keliling main-main gitu ya? Jadinya malam itu Lili cepet banget tidurnya. Mana nggak pakai bangun-bangun lagi. Ya jadi kebayang dong gimana—"

"Stop!"

Vonda mengangkat tangannya. Menatap lurus pada Sarah.

"Aku bener-bener nggak kebayang dan aku nggak mau bayangin."

Sarah yang sedari tadi berceloteh ke sana kemari, sontak mengulum senyum geli. Satu tangannya yang memegang sedotan es teh, tampak bergerak memutar-mutar benda itu. Matanya menyipit dalam sorot menggoda sahabatnya itu.

"Hihihi. Kenapa? Takut pengen kalau kamu bayanginnya?"

Mata Vonda melotot.

"Pengen cosplay juga maksudnya," ujar Sarah terkikik. "Hihihi."

"Dasar otak mesum," tukas Vonda seraya kembali menyuap makan siangnya. "Kamu itu isi otaknya memang nggak jauh-jauh dari hal-hal seputar kamar dan kasur."

"Why not? Aku normal. Lagian ya yang namanya aktivitas kasur itu adalah kegiatan yang harus dinikmati. Dan kenyataannya memang nikmat."

Mata Vonda melotot. Tak percaya bila Sarah benar-benar akan mengatakan hal tersebut dengan begitu gamblang.

"Bukannya apa. Namanya aja menikah ya kan? Suami istri itu harus saling menikmati."

Vonda menggelengkan kepala. Walau bukan berarti tidak setuju dengan perkataan Sarah.

"Aku kasih tau rahasianya ya. Soalnya aku tuh udah berpengalaman gitu," sambung Sarah dengan sorot jahil di matanya, mencondongkan tubuh ke arah Vonda, dan berbicara dengan suara yang rendah. "Kalau kita menikmati hubungan itu, sebenarnya justru kita yang diuntungkan."

Sebenarnya Vonda tidak mau menanggapi perkataan Sarah. Namun, gaya bicara Sarah yang terkesan misterius membuatnya mau tidak mau merasa penasaran juga. Matanya pun melirik. Mendapati senyum penuh makna sahabatnya.

"Semakin kita menikmati, semakin suami nggak mau lepas. Ujung-ujungnya, kartu ATM besok udah pindah ke dompet kita. Hahaha!"

Pret!

Vonda pikir tadi ada sesuatu yang lebih serius ketimbang kartu ATM yang berpindah tempat. Sekarang melihat Sarah tertawa, rasanya Vonda merasa mual. Ia pun menyisihkan piring gado-gadonya.

"Hahaha! Itu cuma main-main, Von. Ya ... walau benar sih." Sarah mengangkat kedua bahunya dengan jenaka. "But, trust me. Having sex with your hubby is the happiest thing in the world. Maksud aku, orang selalu ngomong itu tugas istri untuk melayani suami, tapi ... heh! Itu bukan tugas kali. Lebih ke kebutuhan kita masing-masing. Aku nggak anggap itu tugas tiap Evan kasih kode. Soalnya apa? Ya karena aku juga butuh dimanja dia. Setiap suami manjain istri, itu bukan tugas sama sekali. Ya kali ada tugas seenak itu. Yang namanya tugas, itu noh! Kayak yang dikasih guru dan dosen. Seabrek. Memang sama-sama buat begadang, tapi sensasinya dong beda."

Tangan Vonda yang entah dari kapan bergerak mengaduk-aduk kuah kacang gado-gado, berhenti bergerak. Menatap lesu ke Sarah yang tampak begitu bersemangat berceloteh siang hari itu.

"Aku bisa bayangin kamu baru melewati malam Minggu yang panjang dan menyenangkan kemarin, Sar. Cuma ... nggak perlu segitunya kali. Nggak tau ya teman ngobrol kamu ini belum nikah?"

Sarah terkekeh mendapati pelototan mata Vonda.

"Boro-boro nikah, calonnya aja belum kelihatan."

"Ehm ... ya sabar aja, Von. Jodoh pasti sampai kok. Kalau nggak di dunia, ya masih ada akhirat."

"Dasar!" tukas Vonda sebal.

Mengabaikan wajah sebal Vonda, Sarah pun beranjak lagi pada makan siangnya. Wajahnya yang terlihat berseri-seri sungguh membuat Vonda merasa ingin mengguyur kepala Sarah dengan jus alpukatnya. Hanya saja ....

Pelan-pelan Vonda pun tersenyum walau tak mau. Jika ada dua golongan wanita setelah menikah—bahagia dan tidak, maka ia yakin Sarah pasti ada di golongan ketiga. Sangat bahagia.

Untuk kebahagiaan sahabatnya itu, Vonda diam-diam bersyukur. Lagi pula jika menilik ke belakang, rasanya tak ada yang menyangka bahwa sahabatnya yang setengah miring itu bisa mendapatkan cowok idaman masa kuliah mereka dulu. Itu membuat Vonda yakin. Sebutir nasi yang sering tertinggal di bibir Sarah setelah ia makan, memang pelet.

Ketika Vonda memutuskan untuk lanjut menikmati makan siangnya, mendadak ponselnya berbunyi. Ada satu pesan yang masuk.

"Dari siapa?" tanya Sarah seraya melirik Vonda. "Calon jodoh?"

Vonda mencibir. Membuka pesan itu dan mengerutkan dahi.

TEMAN LAMA SMA 101 :
Teman-teman!
Ayo yang belum bayar iuran buat beli kado nikahan Robi segera transfer ya.

Mulut Vonda yang mengunyah sontak berhenti bergerak ketika membaca pesan itu. Kepalanya lantas terangkat.

"Dari grup alumni SMA."

"Oh."

"Ada nikahan Sabtu ini," sambung Vonda. "Aku hampir lupa kalau ada undangan. Ya ampun."

Sarah menarik gelas es tehnya, mengisap airnya yang sudah tidak terlalu manis lagi. "Terus?"

Mata Vonda tertuju pada Sarah. "Ikut ke kondangan yuk? Nggak mungkin aku ke sana sendirian kan?"

"Eh? Males ah. Itu kondangan teman SMA kamu kan? Aku ya mana ada yang kenal. Lagian mana ada ceritanya kamu sendirian? Orang itu teman SMA kamu kok. Dan sebelum kamu kasih beberapa alasan mengapa aku harus menemani kamu," kata Sarah cepat. "Aku cuma mau bilang kalau aku ada kostum pelayan yang harus dipakai Sabtu besok dari pagi sampai malam. Kenapa? Karena rencananya mertua mau bawa Lili jalan ke Puncak."

Vonda mendelik. "Sebenarnya ada berapa kostum sih yang dikasih Evan? Apa dia borong semua kostum yang ada di toko?"

Sarah menyeringai. Entah ia menganggap pertanyaan Vonda itu serius atau ia memang berniat untuk semakin menggoda sahabatnya, yang pasti Sarah menjawab.

"Ada lima kostum. Kimono, pelayan, kelinci, perawat, dan polisi."

Sungguh!

Vonda benar-benar ingin melempar alpukat satu kilogram ke kepala Sarah. Tidak percaya jika pertanyaannya akan benar-benar mendapat jawaban. Namun, selagi Sarah terkekeh geli melihat ekspresi Vonda yang merah mengelam, sesuatu justru melintas di benak Vonda. Membuat ia mengirim pesan pada seseorang.

Vonda :
Karena aku baik hati, gimana kalau Sabtu ini gantian aku yang ajak kamu makan gratis?

Vonda pun tersenyumtenang. Masalahnya sudah selesai.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro