Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Benar-Benar Gila

Vonda meringis. Sebenarnya cewek itu jelas saja merasakan ngilu di dalam sana. Terutama ketika Max yang tidak tahu bahwa ia masih perawan justru menghentakkan kejantanannya. Tak urung, selaput dara yang tipis itu terkoyak tanpa peringatan dan aba-aba. Namun, ada yang aneh. Di saat Max merasa bersalah maka di sisi lain Vonda justru merasa begitu biasa saja.

"Ehm. Jadi yang orang-orang bilang rasanya sakit pas pertama itu ... beneran ya?"

Max mengeraskan rahang. Kedua tangannya masih berada di pinggang Vonda. Menuntun cewek itu untuk bergerak walau dengan pelan. Ia menahan diri walau sulit. Sisi kemanusiaan Max tersentuh rasa bersalah dari tadi. Jadi jangan heran jika pada akhirnya Max bertanya dengan lembut.

"Apa masih sakit?"

Di depan wajah Max, Vonda pun mengangguk. "Ini rasanya kayak aneh, Mas. Bukan kayak sakit lecet gitu, tapi ...."

Vonda tidak menemukan kata-kata yang pas, tapi Max cukup paham sehingga ia tetap menahan diri. Padahal semakin lama waktu berjalan, mengendalikan diri menjadi hal yang sulit bagi cowok itu.

Tak perlu ditanya betapa tersiksanya Max. Ia sudah berada di dalam diri Vonda, tetapi ia tak benar-benar bisa mengajaknya bergerak demi menuntaskan hasrat lantaran khawatir membuat cewek itu semakin merasa sakit.

Max menarik napas dalam-dalam. Menyadari bahwa ia harus mengalihkan pikirannya sendiri agar tak bergerak untuk menuntun Vonda. Alhasil, pilihan Max jatuh pada pencumbuan payudara Vonda.

Mata Vonda pun mengerjap. Sedikit kaget ketika mendapati Max yang kemudian kembali mencumbu payudaranya. Dengan jari tangannya, dengan mulutnya.

Sedetik kemudian Vonda mulai menutup mata. Menikmati sentuhan Max yang melenakan dirinya. Hingga tak butuh waktu lama, hal itu menarik desahan Vonda untuk melantun. Mendorong cewek itu untuk semakin mencondongkan dadanya pada Max. Menawarkan lebih pada Max sementara kedua tangannya yang mengalung beranjak meremas rambut hitam cowok itu.

Astaga!

Dari niat ingin mengalihkan pikiran, Max merasa hal yang ia lakukan malah semakin merangsang dirinya. Membuat gejolaknya semakin membara dan ....

Vonda bergerak. Insting primitif itu muncul dan ia mengikutinya. Bak mengalir dengan pasrah tatkala cumbuan Max membuat tubuhnya terasa lebih santai. Pelan tapi pasti, ia merasakan sesuatu di dirinya yang membuat ia ingin bergerak. Menggesek-gesekkan tubuh bagian bawahnya yang masih menyatu dengan Max.

Sekejap, Max tertegun. Lalu satu tangannya pun naik untuk menyibak rambut Vonda yang menjuntai kusut di depan wajah. Membawanya ke balik punggungnya dan bertanya.

"Udah nggak apa-apa?"

Vonda menggigit bibir bawahnya. "Nggak tau sih, Mas. Cuma ... ini kayaknya enak."

Max menahan dirinya. Antara ingin tertawa atau mengumpat.

"Enak?" tanya Max dengan geli. "Kalau gitu saya buat lebih enak lagi deh."

Sebelum Vonda tahu apa maksud perkataan Max, tangan cowok itu telah memegang pinggangnya lagi. Menuntunnya untuk bergerak. Semakin lama menjadi cepat dan Vonda mulai terpancing untuk mengimbangi gerakan Max.

Di mobil itu. Mobil yang baru saja Max dapatkan sore tadi ketika petugas bea cukai mengantarnya ke rumah sang orang tua, ia menyadari bahwa dirinya benar-benar telah tertular virus gila cewek tersebut.

Bercinta dengan perawan tak dikenal di pinggir jalan?

Wah!

Bahkan imajinasi terliarnya sebagai seorang cowok saja tidak pernah membayangkan hal itu selama ini. Namun, bukan berarti Max tak menikmatinya. Malah sebaliknya, bisa dikatakan jika ia justru benar-benar menyukainya.

Desahan Vonda, gerakan tubuhnya yang sensual, dan wajah yang merona menyihir Max. Membuat cowok itu bertekad untuk memberikan pengalaman pertama yang tak akan dilupakan oleh Vonda.

Berdua, mereka bergerak dalam irama yang padu. Max kembali membuai Vonda. Mencium bibirnya yang merekah. Meremas payudara yang begitu pas di tangannya.

Hingga Max merasakan Vonda merengkuh dirinya dengan begitu erat. Napas Vonda terdengar semakin cepat. Ia merintih.

"Mas. Oh, astaga."

Rintihan yang terasa begitu indah. Membuat Max semakin cepat memacu tubuh Vonda di atas tubuhnya. Melecut rintihan Vonda untuk mengalun semakin keras. Menyatu dengan geraman Max yang terdengar menuntut.

Keduanya semakin bergerak. Semakin memacu.

Deru napas terdengar sahut menyahut. Mengantarkan Max pada satu momen di mana kejantanannya terasa bagai dipijat erat dengan otot-otot kewanitaan Vonda di dalam sana.

Vonda menarik Max. Merengkuhnya dengan begitu kuat saat ia merasa ledakan rasa asing yang membuat dirinya mengerang keras.

"Mas!"

Max menggertakkan rahang. Mengabaikan Vonda yang diselimuti oleh orgasmenya dan justru semakin bersemangat untuk menuntun pergerakan tubuh Vonda. Sampai pada akhirnya, ia pun meledak.

Max balas menarik tubuh Vonda. Menekankan kejantanannya sedalam mungkin. Merasakan sensasi kenikmatan itu menerpa dirinya.

Hening. Baik Vonda maupun Max sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Hanya ada suara napas kacau yang terdengar di sana. Yang diikuti oleh usapan pelan Max di punggung Vonda.

Max merasakan titik-titik keringat di sana. Mengusapnya berulang kali. Hingga tanpa sadar, ia lantas membelai dari kepala hingga punggung Vonda.

Beberapa saat berlalu. Max merasa tubuhnya sedikit tenang. Belaiannya pun berhenti ketika ia bersuara.

"Mbak? Gimana? Masih sakit?"

Max diam menunggu jawaban. Namun, tak ada jawaban apa pun yang ia dapatkan. Membuat cowok itu mengerjapkan mata berulang kali.

"Mbak?"

Perasaan Max berubah tak enak. Ia mengguncang tubuh Vonda. Mendorongnya pelan dan seketika mata Max membelalak saat melihat mata Vonda yang terpejam.

"D-dia nggak tidur kan?"

Max benar-benar ingin menjerit saking kesalnya.

"Ya Tuhan!" kesiap Max tidak percaya. "Bisa-bisanya dia langsung tidur habis ...."

Max menggantung ucapannya dengan raut kesal. Mata memejam dramatis dan ia buru-buru menarik napas sedalam mungkin. Berusaha untuk meredakan emosinya yang mengancam ingin meledak.

Berhasil menenangkan diri, Max memutuskan untuk segera bertindak. Lantaran gairah yang telah tersalurkan membuat otaknya kembali jernih. Dan ketakutan itu muncul.

G-gimana kalau ada yang Kang Hansip mendadak patroli?

Max meneguk ludah. Ia tidak ingin tertangkap basah memalukan seperti itu. Maka ia pun buru-buru mendudukkan Vonda ke kursi penumpang kembali—pastinya dengan penuh perjuangan.

Membuang napas panjang, Max mau tak mau merasa geli juga. Bagaimanapun juga, seumur hidup Max tidak pernah terpikir akan membawa penumpang wanita dalam keadaan telanjang. Dan ketimbang menuruti emosinya, Max memilih tertawa saja. Ia memukul kemudi.

"Sekalinya coba mobil baru, eh malah dapat penumpang gila kayak gini. Hahaha." Max mengusap wajahnya yang terlihat frustrasi. "Ini pasti beneran ada petugas bea cukai yang sakit hati gara-gara aku cereweti kapan hari."

Lalu pelan-pelan tawa Max berubah menjadi ringisan. Tepat ketika satu pertanyaan itu meluncur dari bibirnya.

"Terus cewek gila yang lagi telanjang ini mau aku antar ke mana?"

Tangan Max naik ke kepala dan meremas rambutnya sendiri dengan geram.

"Mau aku antar ke rumahnya pun aku nggak tau alamatnya. Lagi pula ...."

Max terdiam. Bayangan bapak-bapak berkumis tebal dengan menggunakan sarung mengacungkan parang ke arahnya membayang.

Glek!

Orang tua mana yang mau melihat anak gadisnya pulang dalam keadaan seperti ini? Diantar sama cowok yang nggak dikenal, setelah diperawani di pinggir jalan?

"Tidak!"

Max meraba lehernya sendiri. Merinding membayangkan jika parang yang tajam menancap di lehernya.

"Sialan!" umpat Max lagi. "Daripada ambil risiko, ya udah. Aku bawa dia balik ke unit aku."

Geram, Max pun melepas kondom dan segera memasang kembali celananya. Ia keluar, dengan cepat membuang kondom bekas itu di tong sampah.

Masuk kembali ke mobil, Max segera memakaikan kemejanya pada Vonda. Sungguh ia tidak ingin kesabarannya benar-benar habis saat membantu Vonda mengenakan gaun tadi. Pasti sangat repot.

Sejurus kemudian mesin mobil menderu halus. Max melihat sekali lagi pada Vonda. Memastikan bahwa cewek itu duduk dengan nyaman dan ia melajukan mobilnya.

***

Vonda mengerjapkan mata saat kesadaran perlahan kembali menyapanya. Berusaha untuk membuka mata, tetapi kelopaknya terasa berat. Ia menyerah dan hanya bisa melenguh dengan suara lirih.

"Ya Tuhan."

Vonda merasa tubuhnya benar-benar sakit sehingga ia terpaksa menahan napas untuk beberapa saat. Ia ingin beranjak, tetapi ia justru merasa tubuhnya seolah sedang terperangkap sesuatu. Membuat ia tak bisa bergerak.

"Mas udahan yuk neleponnya. Katanya kita mau kuda-kudaan di dalam mobil. Mumpung jalan lagi sepi."

Vonda membuka matanya. Tubuhnya seketika menegang.

Ya Tuhan. Mimpi buruk apa itu?

"Saya harap Mbak tahan kuda-kudaan lama malam ini."

"Ya ... saya udah nggak perawan lagi dong, Mas. Kan ini udah diperawani sama Mas."

Vonda menutup mulutnya dengan satu tangan.

K-kenapa mimpi itu terasa nyata?

Vonda menggigit bibir bawahnya hanya untuk merasa bingung di detik selanjutnya. Tatkala retina matanya menangkap pemandangan asing langit-langit ruangan itu, Vonda semakin terheran-heran.

Sedikit bergerak, Vonda menoleh. Melihat ke seberang ruangan. Mendapati ada satu lemari pakaian tiga pintu yang juga terasa asing di matanya.

Tidak. Bukan hanya langit-langit dan lemari itu. Melainkan semuanya terasa asing. Semua benda di sana membuat perasaan Vonda semakin bertanya-tanya dalam kebingungan.

Vonda masih mengedarkan pandangannya. Hingga tatapannya membentur pintu dan sekelebat bayangan muncul di benaknya.

"Oh, Mas. Jangan berenti, Mas."

"Berenti? Setelah kejantanan saya masuk lagi ke dalam tubuh Mbak? Nggak mungkin."

"Aaah!"

"Saya nggak bakal berhenti, kecuali kondomnya mendadak copot."

"Hahaha. Kalau gitu, jangan sampai copot ya, Mas?"

"Mbak bercanda? Jangankan mau copot, ini bisa masuk aja udah hebat. Saya salah beli ukuran."

"Lain kali Argh! Ya ampun. Terus, Mas."

"Kita bisa bercinta di tempat tidur dengan kasur yang empuk. Tapi, bercinta sambil berdiri kayak gini juga nggak jadi masalah."

"Oh. Ah. Ternyata gaya cicak di dinding juga enak, Mas."

What?!

Vonda melotot.

Ya Tuhan. Itu apa? Kenapa dari tadi aku mikir yang aneh-aneh?

Ketika Vonda merasa tubuhnya mendadak dingin dengan semua pemikiran itu, ia justru mendapati fakta lain. Kenyataan yang ia dapatkan tepat ketika mendengar suara lenguhan berat dari sebelahnya.

Vonda menoleh dan kali ini ia benar-benar membekap mulutnya sendiri agar tidak menjerit saat rasa kaget dan panik itu menyerbu diri. Pemandangan itu sungguh membuat ia syok.

Seorang cowok asing terlihat menggeliat samar. Menarik tubuh Vonda untuk makin erat masuk ke dalam pelukannya. Membuat Vonda menempel di kulit dadanya yang telanjang. Hal yang menyadarkan Vonda mengapa dari tadi ia terasa bagai terperangkap. Ternyata ada seorang cowok yang tengah memeluk dirinya dengan begitu erat!

Vonda merasa sesak napas. Namun, ternyata semua belum selesai. Lantaran ada bayangan lain yang turut memenuhi benaknya.

"Argh."

"Mbak suka saya cium seperti ini?"

"Ah! Mas kayaknya tau apa yang saya suka deh."

"Sebentar, Mbak. Mbaknya ke tengah-tengah tempat tidur deh biar lebih enak."

"Ya ampun. Peluk saya, Mas. Saya udah nggak tahan lagi."

"Sebentar, Mbak. Saya pakai kondom bentar."

"Ah! Saya suka gaya ular di atas kasur, Mas."

OH-MY-GOD!

Vonda! Apa yang kamu lakukan semalam?

Vonda benar-benar ingin membenturkan kepala ke dinding terdekat. Bayangan-bayangan itu membuat perutnya terasa mual.

Aku nggak mungkin kan? Aku nggak mungkin bercinta dengan cowok asing kan? Ya Tuhan. Vonda! Kamu cewek paling gila sejagad alam raya!

"Ehm."

Cowok itu melenguh lagi dan Vonda memanfaatkan situasi. Ia mendorong tubuh besar itu pelan-pelan. Pelukannya pun terlepas.

Vonda menarik diri dan membiarkan cowok itu terbaring menelentang. Membuat Vonda bisa dengan jelas melihat wajah cowok itu yang ....

Ya ampun! Ternyata dia cakep juga.

Vonda menepuk pipinya.

Sadar, Vonda. Secakep apa pun itu cowok, tapi jelas-jelas dia cowok nggak bener! Cowok yang bener pasti nggak mau tidur dengan cewek asing!

Vonda bangkit. Nyaris terjatuh saat merasakan tubuhnya nyeri. Terutama di kewanitaannya. Ia buru-buru duduk seraya menggigit bibir bawah demi menahan sakit dan malu. Lantaran ia menyadari bahwa tubuhnya saat itu polos tanpa ada sehelai benang pun yang menutupi. Hanya ada selembar selimut yang menjadi penutup tak seberapa.

Ya kali, Von! Baru lepas perawan dan kamu langsung pakai tiga gaya sekaligus?

Vonda menahan geramannya.

Gaya kuda di kursi mobil, gaya cicak di dinding, dan gaya ular di atas kasur. Wah! Untung nggak ambyar ya itu perkakas kamu!

Merutuki diri sendiri berulang kali di dalam hati, Vonda lalu memandang sekeliling. Mencari keberadaan gaunnya, tetapi ia tidak menemukannya.

Vonda bingung. Ia tidak ingin tetap berada di sana saat cowok asing itu bangun. Jadi ia pun mengambil keputusan.

Mengabaikan tubuh polosnya, Vonda berdiri. Berusaha menahan sakit, ia membuka pintu lemari. Mencari dengan cepat dan menarik tiga lembar pakaian dari sana. Celana olahraga dan kaus oblong bewarna hitam, serta sehelai jaket dengan warna senada.

Mengabaikan fakta bahwa ia tidak mengenakan pakaian dalam, Vonda segera mengenakan tiga potong pakaian itu. Ia menyempatkan diri mencari clutch. Namun, sepertinya nasib clutch itu sama dengan gaunnya. Tak terdeteksi keberadaannya. Menggeram, Vonda berpikir.

Udah deh. Aku balik aja dulu naik taksi. Ntar minjem duit Pak Udin di pos satpam aja buat bayar ongkosnya.

Memastikan tubuhnya aman dan tidak terlihat mencurigakan, Vonda mengambil keputusan. Mengendap keluar dari apartemen dan mencegat taksi menuju ke huniannya sendiri. Di dalam perjalanan, Vonda meraung.

"Argh! Bahkan aku balik pun terpaksa pakai sandal cowok tanpa nama itu."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro