29. Tanpa Sadar
"Eh? Kita mau ke mana?"
Itu adalah hal yang ditanyakan oleh Vonda kepada Max ketika ia menyadari bahwa kemudi di tangan cowok itu mengarah pada tujuan lain. Alih-alih menuju ke unitnya seperti yang ia duga a. Jadi wajar saja kalau sekarang Vonda dengan heran berpaling pada cowok itu yang justru terlihat santai.
Tak menoleh, Max hanya menatap lurus pada jalanan di depan. Sekilas juga melirik pada matahari yang mulai tergelincir di atas sana. Menyebabkan bayangan benda-benda jatuh dengan porsi yang lebih memanjang dari ukuran aslinya. Tepat ketika jam hampir menunjukkan pukul tiga sore.
"Ehm ... kita mampir makan dulu sebelum aku antar kamu balik."
"Makan?" tanya Vonda refleks, mungkin merasa tidak yakin dengan apa yang telinganya dengar. "Makan gratis lagi? Di mana? Kamu punya berapa undangan makan gratis hari ini?"
Max terkekeh mendengar pertanyaan-pertanyaan Vonda. "Yang kali ini bukan makan gratis alias harus bayar." Untuk sekarang, ia menoleh. "Kamu mau makan di mana?"
Kerutan kebingungan di dahi Vonda terbentuk. Merasa tak begitu yakin dengan maksud perkataan Max.
"Kamu mau ajak makan lagi atau gimana ini maksudnya? Aku nggak ngerti."
"Ehm ... ya bisa dibilang gitu sih." Max terlihat bingung saat berusaha menjelaskan maksudnya. "Anggap aja aku memang mau ajak kamu makan. Ya gimana ya? Soalnya aku lihat kamu kayak nggak puas makan di tempat Mas Lucas tadi. Hahaha! Jadi aku berasa kayak iba gitu. Ntar kamu balik-balik malah ileran lagi."
Tangan Vonda melayang dan mendaratkan satu pukulan yang tak berarti di lengan Max. Refleks tak percaya untuk apa yang cowok itu katakan padanya. Seperti Vonda adalah orang yang kurang makan saja.
"Jadi aku semacam merasa bersalah gitu sih," sambung Max. "Nggak mungkin dong aku antar kamu balik dengan keadaan perut yang masih lapar. Aku ini cowok yang pengertian."
Namun, terlepas dari cara Max mengatakan maksud maupun tujuannya, tak urung juga hal tersebut membuat Vonda memeluk perutnya.
"Kamu bener. Udah yang makan aku tadi dikit, eh situasi tadi malah buat aku terpaksa menggunakan tenaga cadangan aku. Hiks! Sekarang aku lemes. Jangan-jangan ntar aku nggak bisa jalan lagi. Masa aku ngesot?"
Max merasa lucu. Ekspresi wajah Vonda terlihat manyun dengan bibir yang cemberut benar-benar berefek pada rasa geli di perutnya. Walau ekspresi itu terlihat seperti dibuat-buat, tetapi Max tidak meragukan kebenarannya. Cewek yang sifatnya seperti Vonda akan merasa ngeri saat berhadapan langsung dengan Lucas. Dan Max bertanya-tanya. Mengapa Velia yang selembut itu bisa bertahan dengan wajah mengerikan Lucas?
"Jadi ..." Max menarik napas sejenak sebelum lanjut bicara. "Kamu mau makan di mana? Apa ada makanan yang pengen kamu makan sekarang?"
Sejenak, Vonda terdiam. Walau pandangan mata lurus ke depan, Max tahu kalau pikiran cewek itu sedang mengabsen beberapa nama restoran atau tempat makan lainnya. Mengecek kira-kira makanan apa yang ingin ia nikmati sore itu. Menilik dari lamanya Vonda berpikir, Max sempat berpikir untuk memesan tumpeng saja. Komplit kan?
Namun, Vonda bersuara di waktu yang tepat sebelum Max sempat mengejek dengan ide tumpengnya. Adalah satu pertanyaan yang kemudian ia berikan pada Max.
"Kamu tau bebek Haji Slamet nggak?"
Dua detik Max diam sebelum warna cerah menyeruak di wajah cowok itu. Pertanda bahwa ia tahu tempat makan yang dimaksud oleh Vonda.
"Kamu mau makan di sana?"
"Banget," jawab Vonda penuh semangat. "Makan bebek kayaknya adalah pilihan yang bagus untuk memulihkan tenaga aku yang berkurang drastis."
Senyum geli yang lebar terbit di wajah Max. Lantas cowok itu mengangguk. "Oke. Kita makan bebek!"
"Makan bebek!"
"Yeeey!"
"Uyeee!"
Seruan-seruan di dalam mobil pun mewarnai perjalanan mereka, sebelum pada akhirnya tawa meledak dari keduanya.
"Hahaha!"
"Hahaha!"
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Vonda dan Max sudah duduk dengan santai di pondok lesehan yang tersedia di sana. Dengan nuansa nyaman berkat keberadaan taman-taman dan pepohonan rindang, mereka terlihat menikmati suasana Minggu sore.
Tampak di pondok-pondok lesehan lain ada beberapa pengunjung. Ada yang sekeluarga besar, ada yang seperti kumpulan anak-anak sekolah, pun ada beberapa pasang kekasih yang cukup menyita perhatian Vonda untuk beberapa saat. Lebih dari itu, ia bahkan berulang kali menghela napas panjang ketika di seberang sana ada pasangan yang suap-suapan daun kemangi.
Ck! Harusnya paruh bebek tuh yang disuap-suapin.
Yang tidak disadari oleh Vonda adalah wajah suntuknya ketika melihat pemandangan-pemandangan itu justru dinikmati oleh Max. Membuat cowok itu menggelengkan kepala.
"Yang aku suka dari makan di sini ... coba deh kamu tebak," kata Vonda usai seorang pelayan berlalu, selesai mencatat pesanan mereka.
Max terlihat memperbaiki kedua kakinya yang duduk bersila untuk menjadi lebih nyaman lagi sebelum menerka.
"Rasa bumbunya yang nyerap sampai ke tulang-tulangnya?"
Vonda terkekeh, tapi kepalanya menggeleng.
"Bukan, tapi sambalnya," jawab Vonda dengan mata menyipit dan ekspresi yang terlihat begitu serius.
"Ah!" Max manggut-manggut mendengar jawaban itu. "Memang tipikal cewek kayak kamu sih. Harusnya aku nggak heran sama sekali. Kamu ya pasti suka pedas sambelnya."
Mata Vonda mengerjap-ngerjap. Sedikit bingung dengan maksud perkataan Max.
"Tipikal cewek kayak aku? Memangnya aku cewek yang tipikal kayak gimana?" tanya Vonda membawa satu tangannya untuk bertopang pada siku di atas meja lesehan itu.
Max menyeringai dengan sorot mata yang jahil. Membuat Vonda merasa perlu untuk waspada.
"Beneran mau tau kamu tipikal cewek yang kayak gimana?" tanya Max dengan nada menggoda. "Yakin? Nggak nyesel?"
"Eh?"
"Oke-oke. Karena aku baik hati, ya ... aku bakal kasih tau kamu," Max mengulum senyum, menarik napas sekilas sebelum lanjut berkata. "Kamu itu tipikal cewek yang lebih cepat bertindak ketimbang berpikir dulu. Yang menggebu-gebu. Apalagi kalau udah menyangkut urusan gaya— Hemph!"
Vonda secepat kilat bangkit dari duduknya dan membekap mulut Max sebelum melanjutkan perkataannya. Sementara Max sontak tertawa dalam bekapan tangan Vonda.
Tawa itu memang tidak menyembur membahana, tapi sorot mata Max lebih dari cukup untuk menunjukkan rasa gelinya. Vonda pun melotot.
"Cowok apa yang malah bahas gaya-gaya di tempat umum kayak gini?" tanya Vonda dengan suara rendah, tetapi sarat dengan penuh penekanan itu. "Kamu nggak ada otak?"
Max menurunkan tangan Vonda dari mulut dan menyeringai geli. "Astaga, Nona. Aku cuma mau ngomong gaya tidur kamu."
Vonda melotot lagi dan Max mengangkat kedua tangannya di depan dada. Menyambung perkataannya dengan cepat.
"Maksud aku beneran gaya tidur kamu. Kamu udah dua kali ketiduran di tempat aku kan? Jadi ya sedikit banyak aku paham dong gimana gaya kamu tidur."
Mata Vonda menyipit. "Maksud kamu?"
"Ehm." Max mengusap ujung dagunya. "Kamu itu kayaknya suka ngigau deh."
Dengkusan kecil lolos dari hidung Vonda, teringat kejadian minggu lalu. "Iya-iya. Kamu udah ngomong kok kalau aku ngigau depan Mama waktu itu."
"Eh eh eh. Sebenarnya pas kali pertama kamu nginap di tempat aku, waktu itu kamu ngigau juga loh."
Sorot mata Max, ekspresi wajahnya, dan seringai di bibirnya, membuat Vonda serta merta mengangkat buku menu, lalu mengacungkannya pada cowok itu. Matanya melotot dengan penuh ancaman.
"Itu bukan ngigau! Kalau kamu masih bahas soal itu, awas aja kamu ya?"
"Hahaha!"
Max spontan mengeluarkan tawanya lagi. Jenis tawa yang membuat Vonda merasa kesal karenanya.
"Kamu kenapa yang mendadak jadi usil banget sih hari ini? Mana pakai acara bahas soal malam itu lagi." Mata Vonda lagi-lagi mendelik. "Cuma cowok nggak beretika yang bisa-bisanya sibuk membahas soal gituan di tempat umum kayak gini."
"Soalnya cuma itu yang kepikiran sama aku sih."
"What?! Kamu—"
"Biar kamu nggak mikir yang aneh-aneh lagi. Soalnya aku merasa kamu kayak yang mikir berat gitu abis dari rumah Mas Lucas. Mungkin cuma perasaan aku atau gimana. Kayak kamu yang seolah sedang mikir gimana kehidupan percintaan kamu ntar."
Ucapan Max yang memotong perkataan Vonda, membuat ia hanya bisa melongo. Terlebih lagi ketika mendengar keseluruhan ucapannya.
Aku mikirin kehidupan percintaan aku? Memangnya cewek mana yang nggak iri kalau lihat tayangan kemesraan di depan mata? Ehm ... mungkin mereka nggak maksud untuk buat orang-orang iri, tapi tetap aja kan? Seakan itu belum cukup buat aku iri, eh di lesehan bebek ... orang-orang pun pada bermesraan coba.
Namun, bukan Vonda namanya kalau membiarkan Max menikmati pengakuannya mengenai kebenaran dari tebakan cowok itu. Ia hanya meletakkan kembali buku menu di atas meja. Membawa satu tangannya dan memberi kibasan kecil pada helaian rambutnya. Mengangkat dagu tinggi-tinggi.
"Sok tau!"
Bukan Max juga namanya, jika tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Vonda. Jadi cowok itu dengan penuh bijaksana hanya memamerkan cengirannya saja. Memutuskan untuk berhenti menggoda. Beruntunglah bagi mereka berdua, dua orang pelayan datang. Mengucapkan permisi dan mereka menyajikan pesanan.
"Wah! Wah! Wah!"
Mata Vonda tampak berbinar-binar melihat seekor bebek tersaji di hadapan mereka. Berikut dengan cah kangkung, aneka sayur lalapan, dan tentu saja sambal super pedas yang menjadi ciri khas bebek di sana. Sebagai pelengkap, ada dua es jeruk yang terlihat begitu menggiurkan untuk dinikmati di sore hari yang cerah itu.
"Ehm."
Rasa nikmat rempah-rempah yang meresap di daging bebek membuat dehaman Vonda mengalun. Terdengar mendayu-dayu. Seperti ia sedang memakan makanan terenak di dunia. Max mengulum senyum geli di antara kunyahan-kunyahan yang juga ia nikmati.
Tangan Max terulur. Memisahkan satu paha bebek dari bagian tubuhnya yang lain. Lantas meletakkan di piring Vonda dan mata itu sontak berbinar-binar.
"Ehm kamu beneran Dewa, Max."
Max menyeringai. Menggunakan telapak tangan kirinya yang bersih, cowok itu mengusap-usap sisi kepala Vonda.
"Makan yang banyak ya?"
Senyum Vonda mengembang.
"Soalnya cari jodoh itu perlu banyak tenaga," sambung Max geli.
"Dasar!" tukas Vonda.
Namun, Vonda tidak merasa kesal sama sekali. Alih-alih ia justru tampak santai saja. Lebih dari itu ia terlihat berniat balas mengusili Max.
Tangan Vonda terulur. Mengambil bagian sayap dan dada bebek yang berada di piring Max. Lantas menggigitnya dengan cengiran di wajah dan meletakkan sisanya di piringnya sendiri.
"Heh?"
Vonda mencolek timun dengan sambal dan mengunyahnya. "Ingat kan? Aku butuh tenaga yang banyak."
Kali ini gantian Max yang menukas dengan raut geli di wajahnya. "Dasar!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro