28. Tepat Memilih
Minggu pagi, Vonda sudah bersiap dengan penampilan santainya. Ia berdiri di depan cermina. Berputar-putar dan melihat ke berbagai sudut. Ehm ... demi mencermati penampilannya?
"Bukan berarti aku yang mau tampil wah gitu di depan dia."
Vonda mengusap sekali jin yang membalut tubuh bagian bawahnya, tepat di bokong.
"Cuma biar nggak malu-maluin aja sih."
Vonda lantas beralih pada rambut gelombang sepunggung miliknya. Sengaja ia urai tanpa penjepit rambut apa pun di sana. Terlihat menjuntai berkilau di punggungnya yang berbalut kemeja lengan pendek bermotif lembut.
Sebagai pelengkap, ada sepasang sepatu berhak blok setinggi lima sentimeter yang Vonda kenakan. Ornamen tali-tali yang menutupi punggung kaki membuat penampilannya terlihat santai, tapi juga rapi.
Vonda tak lupa menyiapkan satu tas berukuran kecil berisi dompet dan ponsel. Memegangnya pada tangan kiri, lantas ia kembali meneliti penampilan. Pengamatan terakhir untuk meyakinkan bahwa tak ada yang kurang dari penampilannya itu.
"Udah lama juga nggak makan gratis sih. Jadi ya bawaannya seneng gitu. Eh!"
Vonda pun mengerjapkan mata. Teringat sesuatu.
"Kayaknya baru Minggu kemarin deh aku ditraktir mamanya Max dan sekarang anaknya yang ajak makan gratis."
Kepala Vonda geleng-geleng dengan ekspresi lucu.
"Jangan-jangan Minggu depan papanya Max lagi yang ajak makan gratis."
Bel berbunyi dan mengusir semua bayang menggelikan itu dari benak Vonda. Ia beranjak keluar dari kamar.
Melihat sejenak melalui lubang kecil di pintu, Vonda mendapati Max sudah berdiri di sana. Ia membuka pintu.
"Max."
Max yang semula mengedarkan pandangannya ke mana-mana—ke lorong, ke pintu unit lainnya, hingga melihat lift yang telah bergerak lagi— seketika berpaling saat mendengar namanya disebut oleh Vonda.
Tersenyum, mungkin Vonda menikmati penampilan Max yang santai. Lantaran baru pertama kali Vonda melihat Max dalam balutan kemeja lengan pendek serta celana jin.
Tunggu. Vonda mengernyitkan dahi.
Kenapa bisa kami yang kayak pakai pakaian kompak gini?
Hal yang sama pun sepertinya terpikirkan oleh Max. Ia menyadari bahwa itu adalah kali pertama dirinya bertemu dengan Vonda di luar situasi gila mereka tempo hari dan suasana kerja. Penampilan santai Vonda terlihat sangat berbeda dari biasanya. Rambutnya yang biasa disanggul rapi justru terurai manis di sana.
"Ehm!" Vonda mendeham. "Mau masuk dulu atau langsung pergi?"
Mak berkedip sekali. "Langsung pergi aja yuk. Biar keburu jam makan siangnya."
"Ehm oke."
Dengan mengendarai mobil Max, mereka melintasi jalanan yang terasa padat. Sepanjang perjalanan itu, mereka pun berbincang. Sebenarnya yang mereka bicarakan adalah hal-hal ringan, seperti ....
"Aku nggak ngira kamu masih pakai celana jin."
Komentar Vonda pun berhasil membuat Max melirik lesu. Terutama wajahnya yang seketika langsung berekspresi malas pada cewek itu.
"Kamu pikir aku udah terlalu tua untuk pakai jin?"
Vonda terkekeh. "Kayaknya. Memang umur kamu berapaan coba?"
"Aku ini masih tiga puluh satu tahun kali," jawab Max mendelik. "Masih muda."
"Hahaha! Iya-iya. Cuma ... kalau kamu udah nikah, harusnya kamu udah punya anak tiga."
Perkataan Vonda langsung mendapat lirikan cemooh dari cowok itu dan seringai Max timbul seketika.
"Kayak yang ngomong udah nikah aja."
"Dasar!" tukas Vonda geli. "Eh, tapi ... coba kamu cerita deh. Kenapa kamu belum nikah sampai sekarang? Udah memenuhi kriteria buat nikah juga kan?"
Memegang kemudi dengan satu tangan sementara yang lain mengambil sikap santai di atas paha, Max justru berkata. "Kalau kamu udah dapat jawaban kamu sendiri untuk pertanyaan itu, baru aku kasih tau jawaban aku."
Lagi-lagi Vonda menukas geli. "Dasar."
Max tersenyum lebar. Merasa sangat puas bisa membungkam pertanyaan Vonda tanpa perlu bersusah payah memberikan alasan.
"Lagian kamu sih. Sesama belum nikah ya jangan saling usik kenapa?"
"Ini bukan ngusik. Ini namanya cuma mau tau," jawab Vonda geli. "Cuma kalau aku pikir-pikir yang untung juga aku kalau kamu belum nikah sih."
"Maksudnya?" tanya Max melirik dengan dahi yang sedikit berkerut.
"Soalnya kalau kamu udah nikah, sekarang yang kamu ajak buat makan gratis pasti istri kamu dong. Bukannya aku. Hehehe!"
Mau tak mau, Max spontan tertawa mendengar jawaban Vonda. "Cuma sebatas makan ya pemikiran kamu?"
"Ya namanya gratisan ... siapa yang bakal nolak? Eh, tapi kamu mau ajak aku makan gratis di mana?"
Max menghentikan laju mobilnya tatkala melihat lampu lalu lintas yang berubah menjadi warna merah. Acuh tak acuh, terkesan santai, cowok itu pun menjawab.
"Pokoknya hari ini kamu bakal senang deh. Aku jamin."
"Seneng?" Vonda seketika meraba tengkuknya dengan satu tangan, merasakan bagaimana rambut-rambut halus di sana berdiri kompak saat mendengar perkataan Max. "Entah kenapa berasa sebaliknya, mendadak aku merinding gitu."
Tawa Max tak meredakan perasaan Vonda yang meremang, justru sebaliknya. Semakin membuatnya menjadi-jadi.
"Jujur deh. Ini mau makan di mana?"
Max memalingkan wajah. Melihat Vonda dan tersenyum ketika menjawab. "Aku mau ajak kamu makan di rumah sepupu aku."
"Sepupu?"
Seperti Vonda yang butuh waktu lama untuk mencerna perkataan Max yang satu itu. Walau bulu kuduknya semakin meremang sebagai bentuk antisipasi, tapi Vonda tetap saja bertanya.
"Sepupu yang mana?"
"Eh? Ya sepupu aku yang jadi bos kamu di kantorlah. Kayak aku yang punya banyak sepupu aja," tukas Max. Lalu ia mengerjap. "Memang banyak sih sebenarnya. Hahaha!"
Selagi Max tertawa, Vonda justru merasa sebaliknya. Cewek itu terkesiap horor hingga membuat Max kaget karenanya.
"Hah?! Kamu mau ajak aku ke rumah Pak Lucas?"
Max mendapati Vonda bereaksi di luar ekspektasinya. Wajah cewek itu terlihat panik dan ketakutan. Namun, entah mengapa Max justru tertawa.
"Loh? Hahaha! Kenapa kamu yang kayak ketakutan gitu?"
Vonda pun melotot dan spontan memukul tangan Max yang bebas. "Kenapa kamu nggak ngomong kalau kita mau makan gratis di rumah Pak Lucas?"
"Kan ini udah aku omongin," tukas Max.
"Ya, tapi ... kamu ngomongnya udah mepet gini. Ya ampun."
"Eh, memangnya ada yang salah kalau aku ajak makan gratis di rumah Mas Lucas?"
Kali ini Vonda menangkup pipinya dengan kedua tangan. "Gimana bisa aku makan kalau ada Pak Lucas ntar?"
"Ah." Max menganggukkan kepala dan satu pemikiran pun berkelebat di benaknya, membuat ia meneguk ludah ketika bertanya. "Takut terpana sama dia ya? Sampai-sampai nggak konsen buat ngunyah?"
"Eh?" Vonda melongo, lalu spontan memukul Max lagi. "Nggak konsen ngunyah karena terpana dengkulku." Mata cewek itu membesar. "Nggak konsen ngunyahnya mungkin bener, tapi itu bukan karena terpana. Melainkan karena aku ngeri! Gimana bisa aku makan kalau teman semeja makan aku itu punya wajah menakutkan kayak Pak Lucas?"
Sedikit denyutan tak nyaman yang sempat berdetak di dada Max seketika berubah menjadi getaran tawa terbahak-bahak.
"Aku tau Pak Lucas itu ganteng. Semua orang juga tau dia ganteng dan jujur aja aku memang mengidolakan wajah cakep dia. Cuma ... bukan berarti aku yang bakal terpana sama dia. Bukan berarti orang-orang bakal betah satu meja makan dengan dia. Tatapan mata dia aja lebih tajam dari pisau daging Chef Juna. Gimana ceritanya aku bisa makan kalau aku duluan yang kena iris?"
Max memukul-mukul kemudi lantaran tak mampu menahan rasa geli yang menggelitik di perutnya. Tak menghiraukan wajah panik Vonda, cowok itu justru semakin tertawa terbahak-bahak.
"Segitunya?"
"Segitunya?" Vonda mendelik. "Kamu nggak lihat cara dia menatap orang? Kayak ada laser yang bisa memutilasi tubuh manusia hidup-hidup! Ih!" Ia bergidik ngeri. "Kamu tega banget ajak aku makan di rumah dia."
"Eh-eh!" Jari telunjuk Max menunjuk cewek itu. "Kamu bisa mampus kalau aku bilangin semua omongan kamu tadi ke dia, Von. Udah banyak duit tabungan kamu buat dipecat dalam waktu dekat ini?"
"Kamu."
Tawa Max yang tadi mulai mereda, pecah lagi. Seperti ia yang begitu senang bisa melihat wajah panik vonda.
"Lagi pula ... Mas Lucas itu nggak menakutkan banget kok."
Mata Vonda lagi-lagi membesar hingga Max buru-buru berkata.
"Memang sebenarnya agak menakutkan sih."
"Bukan cuma menakutkan. Aku bahkan merasa nggak pernah lihat dia senyum. Jangankan tertawa, senyum pun nggak."
"Ehm."
Max hanya sempat mendeham pelan karena ternyata Vonda langsung bicara lagi. Tepat ketika warna lampu lalu lintas berubah dan Max melajukan kembali mobilnya.
"Semoga aja aku nggak mati makan siang bareng Pak Lucas."
Setelahnya Max hanya mengulum geli. Merasa lucu untuk wajah ketakutan Vonda dan fakta yang ia katakan, mau tak mau Max teringat sesuatu yang pernah ia abaikan.
Sempat mengira rasa takut Vonda hanyalah sikap berlebihan cewek itu saja, Max justru mengerutkan dahi. Menyadari kekeliruannya.
Ketika mereka berdua tiba di rumah Lucas yang tergolong sedikit menepi dari hiruk pikuk ibu kota, Vonda mengambil tempat di balik tubuhnya. Sedikit bersembunyi.
"Aku nggak mau mendadak langsung kena terkam di depan pintu, Max."
Itu yang Vonda bisikkan pada Max ketika ia menekan tombol bel di pintu. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh satpam rumah, sepasang suami istri itu sedang berada di dalam.
"Ngomong-ngomong, kamu kenapa mendadak ke rumah Pak Lucas segala sih, Max? Mana pakai acara ajak aku lagi."
Usai menekan tombol itu sekali lagi, Max melihat melewati bahunya. Pada Vonda yang menengadah demi melihat wajahnya.
"Intinya itu karena aku lupa mau kasih selamat buat pernikahan dia kemaren. Terus ya ... daripada aku datang sendirian, mending aku ajak kamu," jawab Max dengan sedikit gugup.
Dalam hati Max membaca mantra-mantra agar Vonda tidak curiga bahwa alasannya mengajak cewek itu jelas adalah karena hubungan pura-pura mereka. Ia khawatir hal tersebut akan membuat Vonda menjadi lebih tidak nyaman lagi.
Mata Vonda melotot. "What? Itu udah dua minggu kali, Max. Basi banget."
"I see."
"Terus? Kamu datang mau kasih selamat, tapi nggak bawa kado?"
Max menggaruk kepala. "Kayak yang kamu bilang. Ini udah basi. Mau aku kasih pakait honeymoon pun nggak etis kayaknya. Situasi mereka lagi nggak mendukung kan?"
"Harusnya kamu beli lingerie aja."
"Aku yakin aku lebih suka lihat cewek pakai lingerie ketimbang beli lingerie itu sendiri."
Vonda tertawa, tapi sedetik kemudian hal itu lenyap ketika terdengar suara pintu yang dibuka. Wajah seorang wanita muncul dari balik sana dan tersenyum menyambut kedatangan mereka. Saat mata mereka beradu, sontak ia menyapanya.
"Bu Vonda."
Vonda pun balas tersenyum. "Velia." Ia lantas mengerjap dan menggeleng sekilas. "Maksud saya Nyonya Dirut."
Max pun terbahak di sana.
***
Tidak terbayangkan kakunya tubuh Vonda. Abaikan kekeliruannya dalam menyapa istri atasan—yang mana Velia dulunya adalah bawahannya. Sekarang ia benar-benar merasa pening.
Vonda berada dalam situasi yang benar-benar membuatnya kikuk. Nahasnya, mungkin hanya ia yang merasa demikian.
Max di sebelah Vonda jelas tidak merasa demikian. Lihat cowok itu. Terlihat begitu santai menikmati suapan demi suapan seraya menimpali perbicaraan yang terjadi di meja makan.
"Sebenarnya aku nggak nyangka kalau cewek yang kamu pacari sekarang adalah karyawan aku sendiri, Max."
Vonda nyaris terbatuk tatkala mendengar suara berat Lucas menyinggung dirinya. Bukan sok percaya diri, tapi memang kan? Terutama saat tiga pasang mata itu menatapnya. Rasanya Vonda jadi sulit mengunyah.
Max melirik pada Vonda dan terlihat susah untuk bicara. "Yah ... begitulah."
"Kalau boleh aku tambahkan, kayaknya kali ini serius. Tante sering cerita soalnya."
Dalam hati, Max merutuk.
Ini apa aja coba yang Mama ceritain?
Wajah Vonda sudah amat memerah. Ia sungguh tidak bisa bicara apa pun.
"Luc."
Suara lembut itu terdengar seperti tetesan air di padang pasir bagi Vonda. Seperti secercah harapan, penyelamat dirinya dari topik yang membuat ia semakin salah tingkah.
"Cukup menggodanya. Kamu nggak lihat wajah mereka yang udah merah gitu?"
Walau mungkin seharusnya Velia tidak perlu berkata segamblang itu.
"Ah." Lucas meneliti wajah keduanya. Lalu ia tertawa. "Kamu benar, Ve. Wajah mereka terlihat seperti balado udang yang kamu masak."
Eh?
Vonda melongo tak berkedip walau topik telah berpindah. Entah mengapa matanya seperti terhipnotis pada adegan di depan.
Velia memberikan balado udang yang disinggung Lucas tadi ke piringnya. Lucas mengucapkan terima kasih dengan tersenyum. Sekilas itu memang adalah interaksi biasa. Namun, entah mengapa Vonda merasakan ada kesan yang berbeda. Bahkan sekadar berbicara pun sepasang suami istri itu tampak penuh cinta.
Nyatanya makan siang itu tak hanya membuat Vonda merasa kenyang di perutnya. Dan Max menyadari hal tersebut. Ia bertanya pada Vonda ketika mobil telah membawa mereka melaju kembali di jalanan.
"Kenapa?"
Vonda tak berpaling. Matanya lurus menatap ke jalanan ketika menjawab pertanyaan itu.
"Benar kata orang ya? Menemukan orang yang tepat akan membuat kita bahagia."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro