27. Di Balik Kata
"Eh?"
Mengabaikan wajah Vonda yang melongo dengan ekspresi bengong sempurna, Max justru kian menggebu. Sebagai bukti, Max kali ini tak hanya sekadar berpaling pada Vonda. Ia bahkan memutar arah duduknya. Nyaris seperti mendadak duduk bersila di balik kemudi.
"Sumpah! Aku beneran nggak abis pikir deh kenapa kamu bisa pacaran sama cowok modelan begitu. Mau dilihat dari Sabang sampai Merauke pun dia itu nggak ada bagus-bagusnya sama sekali. Tampang? Nggak. Duit? Nggak. Sikap? Nggak. Jadi coba deh bilang ke aku. Selain karena otak kamu yang udah kadaluarsa, apa alasan kamu sampai bisa pacaran sama dia? Soalnya yang aku pikir satu-satunya alasan kamu bisa pacaran sama dia ... ya karena otak kamu bermasalah."
Perkataan panjang lebar Max hanya mampu direspons dua kerjapan mata oleh Vonda. Hal wajar mengingat ketika Vonda membuka mulut untuk bicara, Max justru kembali mencercanya dengan omelan-omelan lainnya.
"Aku kayaknya bisa maklum kalau kamu itu kadang agak bermasalah sama otak sih."
Vonda benar-benar dibuat tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya matanya saja yang membesar sebagai respons untuk tiap kata yang dilontarkan oleh Max.
"Cuma ya ... seenggaknya coba beli otak-otak bentar deh buat dipakai. Kan katanya orang Jepang pada pintar karena sering makan ikan. Ya siapa tau aja itu daging ikan di otak-otak bisa buat kamu pintar sedikit."
"B-bentar deh." Vonda mengulurkan tangan, mencoba menginterupsi perkataan Max. "Kamu kenapa mendadak jadi ngomel-ngomel nggak jelas gini sih?"
Mata Max mendelik dengan begitu lebar. Ia mencondongkan wajahnya ke arah Vonda hingga membuatnya ciut. Seperti merasa bersalah, walau tak tau untuk apa.
"Aku ngomel nggak jelas?"
Jari telunjuk Max bergerak dan mendorong dahi Vonda. Sampai-sampai membuat Vonda mendesis tak percaya.
"Dasar aja otak kamu yang nggak jelas. Cowok kayak gitu coba. Bisa-bisanya dijadiin pacar? Kayak yang Indonesia udah kekurangan stok cowok berkualitas aja. Kalaupun memang udah kurang, ya kumpulin gaji kamu. Liburan bentar sekalian cari calon laki di luar negeri sono."
Vonda mencibir seraya mengusap dahinya yang baru saja didorong Max, ia berkata.
"Jangankan kamu, Max. Aku juga sering mikir gitu," ujar Vonda seraya manggut-manggut tidak jelas. "Kok bisa aku pacaran sama dia?"
"Tuh kan? Terlepas dari posisi kamu di kantor yang lebih tinggi dari dia, tetap aja. Dari mental dan sikap, dia nggak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda bakal jadi kepala rumah tangga yang bisa diandalkan. Kamu tau kan? Yang pertama itu gimana sikapnya sebagai cowok. Kalau udah mental kerupuk kayak gitu, ya nggak bakal bisa berubah jadi mental baja."
"Ah."
"Banyak kok ya cewek kerja kantoran sementara suaminya nggak kerja kantoran. Kadang gajinya bahkan lebih rendah dari ceweknya, tapi ... rumah tangganya tetap berjalan baik. Soalnya apa? Ya itu karena cowoknya memang punya mental yang bagus. Kamu tau? Sebanyak apa pun gaji cewek, nggak bakal bisa menandingi kharisma tanggung jawab cowok. Jadi kalau cowok udah nggak ada mental ini, beneran nggak ada harganya sama sekali. Namanya aja calon kepala rumah tangga. Ya kali kepala kamu aja isinya udah nggak benar, malah mau cari calon kepala rumah tangga yang lebih nggak bener lagi."
"Iya, Max. Iya."
"Makanya aku heran banget. Kamu walau otaknya agak rada korslet sedikit, seenggaknya kamu bisa dapat cowok yang lebih bagusan dari Ando. Dia itu nggak ada bagus-bagusnya sama sekali."
Vonda memajukan bibir dan segera menjawab. "Sebenarnya aku itu memang nggak benar-benar gimana gitu ya sama Ando sih. Ehm ... memang aku patah hati putus sama dia. Lagian ya siapa yang nggak bakal syok kalau putusnya pakai acara live gitu, cuma ...."
Dahi Max berkerut. "Cuma?"
"Gimana ya? Soalnya keluarga dia pada baik gitu. Jadi kadang aku mikir bakal rugi lepasin dia."
"Pret!"
Entah mengapa, tapi Vonda sontak tertawa karena respons spontan Max yang mencemooh dirinya itu.
"Hahaha! Adik dia baik, kakak dia baik, dan orang tuanya juga baik. Aku pikir, kapan lagi coba bisa dapat lingkungan keluarga bagus kayak gitu?"
Max mendengkus. "Ya memang cari pasangan itu harus lihat keluarganya juga. Cuma kalau cowoknya udah bermasalah double tingkat dewa kayak gini? Ya masa masih mau dipertahankan. Jangan khawatir. Banyak kok cowok baik-baik yang keluarganya juga baik. Tinggal kamu banyakin sedekah aja, biar Tuhan iba sama kamu. Tuhan nggak mungkin tega kasih cowok nggak ada otak buat cewek yang memang udah nggak ada otak. Tuhan juga nggak bakal mau lihat keturunan umat manusia masuk ke dalam ambang kehancuran."
"Kamu ini."
Vonda menukar tawanya dengan cemberutan geli. Entah mengapa, terlepas dari bertubi-tubinya omelan Max padanya karena Ando, ia justru merasa lucu.
"Kayak yang kesel aja. Orang aku aja udah santai gini."
Jika Vonda perhatikan, wajah Max saat itu benar-benar terlihat kesal. Entah Max sadari atau tidak, ia menggerutu seperti sedang menumpahkan semua kekesalannya sendiri. Seolah dirinyalah yang berada di posisi Vonda.
"Aku bukannya apa, tapi sumpah! Aku paling benci sama cewek yang pintar di pelajaran, tapi bodoh soal cowok. Ck! Jengkel bertubi-tubi banget. Logisnya aja gini." Max menarik napas sekali, lalu mengembuskannya dengan cepat. "Memangnya mau gitu anak cucu tujuh turunan dididik sama bapak model kolor yang karetnya udah melar gitu?"
"Hahaha!"
Vonda mau tak mau kembali tertawa terpingkal-pingkal lantaran gerutuan Max. Namun, ia menyadari bahwa yang dikatakan Max benar adanya.
"Iya, Max. Iya. Aku tau aku udah bodoh banget sampai bisa pacaran sama itu cowok. Tenang aja. Aku nggak bakal kepikiran buat balik sama dia kok."
"No! No! No! Bukan nggak bakal kepikiran buat balikan sama dia, tapi justru kamu harus amnesia lokal."
"Hahaha!" Vonda memeluk perutnya yang terasa semakin geli. "Oke-oke. Aku bakal amnesia lokal buat Ando. Ups!" Vonda menutup mulut dan raut wajahnya seketika berubah seperti orang yang sedang kebingungan. "Ando siapa ya? Eh! Kita lagi ngomongi siapa?"
Max seketika menyeringai. Tangannya terulur. Mendarat pada kepala Vonda. Mengusapnya berulang kali seraya berkata.
"Pintar. Jangan diulangi lagi nyari cowok penghuni tong sampah kayak gitu ya?"
Vonda mengangguk dan secepatnya menjawab. "Siap laksanakan!"
Jawaban Vonda membuat Max tersenyum, mengembuskan napas panjangnya, dan merasa lega. Untuk beberapa saat, ia hanya menatap Vonda yang matanya terlihat menghilang tatkala cewek itu tersenyum dengan begitu lebar.
Sejurus kemudian, Max berkata. "Kayaknya cowok itu udah pergi deh."
Vonda melihat ke mana arah pandangan Max tertuju. Ke titik di mana Ando menghilang. Kini tak terlihat ada kemungkinan cowok itu akan muncul lagi. Bayangannya pun tidak, apalagi orangnya.
"Kenapa?" tanya Vonda melihat Max yang beranjak dari duduknya, tidak terlihat tanda-tanda kalau cowok itu akan mengemudi. "Kamu mau ke mana?" tanyanya tatkala melihat Max yang mengulurkan tangan ke arah pintu. Seperti akan menarik tuas kunci di sana.
"Ya aku mau balik dong."
Vonda bingung. "Loh? Katanya mau aku antar?"
"Ck! Memangnya kamu pikir mobil aku beneran mogok?" tanya Max geli. "Kalaupun memang mogok, aku bisa pesan taksi online aja kan?"
Mata Vonda mengerjap-ngerjap.
Itu persis kayak pikiran aku tadi.
"Dah! Aku balik. Hati-hati di jalan."
Vonda belum sempat mengatakan apa-apa ketika pada akhirnya Max benar-benar keluar. Cowok itu berjalan santai menuju ke mobilnya sendiri.
Sempat berpikir untuk menunggu, Vonda mendapati Max memberikan isyarat padanya. Agar ia pergi duluan dan itulah yang Vonda lakukan.
Vonda pindah tempat duduk dan dengan segera menyalakan mesin mobil. Melajukannya setelah memberikan satu klakson tanda pamit pada Max.
***
Sabtu malam yang tenang. Vonda menikmati masa-masa istirahat yang damai sentosa di unitnya. Berbekal satu mangkok berondong jagung rasa susu vanila dan film kesukaannya yang sudah berulang kali ditonton, Vonda bersiap untuk menyantaikan pikirannya.
Adalah satu film romantis komedi tahun 2011 yang menjadi pilihan Vonda malam itu. Dibintangi oleh Anna Faris dan Chris Evans, film itu diberi judul What's Your Number.
"Dududududu. Pokoknya mau aku ulang-ulang deh sampai aku puas. Soalnya bukan apa. Kapan lagi coba bisa lihat Captain America koloran doang?"
Vonda terkikik geli ketika pikiran itu berkelebat di benaknya. Memperbaiki duduknya di depan televisi, ia pun mulai menikmati film tersebut.
Dimulai dari adegan di mana tokoh Ally bangun pagi dan menyelinap turun dari tempat tidur, sementara teman tidurnya masih tertidur. Buru-buru memperbaiki penampilannya, cenderung sedikit berdandan demi anggapan: Wah! Bangun tidur aja kamu kelihatan banget cantiknya.
Padahal nyatanya kotoran di mata dan iler sudah dibersihkan. Tergantikan oleh sapuan maskara, pun aroma pasta gigi.
"Hahaha!"
Vonda tertawa. Teringat sesuatu yang bertolak belakang dengan adegan film tersebut. Sesuatu yang melibatkan pengalaman pribadi sepertinya.
"Ada loh ya kapan hari gitu. Boro-boro mau dandan buat nyambut cowok yang bakal bangun, eh malah yang ada dia kabur sebelum cowok itu bangun. Hahaha!"
Selagi tertawa-tawa, Vonda kemudian beralih pada ponselnya yang berbunyi. Mengelap sejenak tangan menggunakan sehelai tisu, lantas meraih benda tersebut.
"Max?" Vonda menyeringai. "Baru juga diingat, eh mendadak pesan dia masuk."
Mulut Vonda masih mengunyah saat ia membuka pesan tersebut. Membacanya langsung.
Max :
Besok ada acara?
"Ck." Vonda berdecak sekali membaca pesan itu. "Nggak ada basa-basinya gitu? Langsung to the point banget."
Vonda :
Di televisi ada acara, tapi aku
kayaknya nggak ada. Kenapa?
Vonda menyisihkan sejenak ponselnya. Kembali melihat pada film. Tepat ketika tokoh Collin keluar dengan sebuah apel merah di tangannya. Hal itu membuat Vonda memutar-mutar kepala. Mencoba mencari celah yang mustahil bisa ia dapatkan.
"Aduh! Itu tiang kenapa bisa pas banget nutupi senjata pamungkasnya Chris Evans? Kan jadi nggak bisa dilihat."
Tepat seperti itu, pesan dari Max masuk lagi.
Max :
Ikut aku besok. Jam sepuluh aku jemput. Jangan sampai telat bangun mentang-mentang hari Minggu.
Sedetik, Vonda hanya melongo. Tak menghiraukan film yang terus berputar, ia fokus pada pesan Max.
"Eh? Ikut aku besok? Jangan sampai telat bangun?"
Mata Vonda mengerjap-ngerjap. Khawatir jika indra penglihatannya mendadak bermasalah. Jadi membuat ia salah membaca mungkin, tapi ....
"Ini cowok apa maksudnya? Sekalinya hubungi aku, eh malah nggak jelas kayak gini?"
Vonda :
Maksudnya? Ikut kamu ke mana?
Tak butuh waktu lama, balasan Max masuk lagi.
Max :
Aku mau ajak kamu makan siang gratis.
Jawaban singkat Max membuat Vonda menyipitkan mata. Lantaran tidak membuat ia senang, justru sebaliknya.
"Aku rada curiga. Kenapa dia mendadak mau ajak aku makan siang gratis? Ehm ... patut dipertanyakan."
Vonda :
Makan siang gratis? Maksudnya? Di mana?
Sekarang Vonda sama sekali tidak fokus lagi dengan filmnya. Pun dengan berondong jagung yang lezat itu. Ia lebih tertarik dengan maksud dan tujuan Max.
Max :
Aduh. Tenang aja. Kamu nggak bakal kenapa-napa makan gratis bareng aku. Pokoknya kamu siap-siap aja besok. Aku jemput.
Bibir bawah Vonda mencibir membaca balasan pesan itu. Namun, ia memilih untuk tidak mendebat lagi. Vonda memilih untuk lanjut menonton film dan menikmati berondong jagung ketimbang memikirkan maksud Max. Jadi ia membalas pesan Max dengan singkat.
Vonda :
Oke.
Beberapa menit kemudian, satu pemikiran menyenangkan timbul di benak Vonda. Senyum mengembang di wajahnya.
"Ya itung-itung penghematan pengeluaran kan? Namanya makan gratis kenapa harus ditolak?" Ia menyeringai. "Belum nikah aja udah pintar berhemat ya, Bun. Hihihi."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro