Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. Tak Habis Pikir

~ Tahu hal yang paling berkesan dalam satu perjalanan? Yaitu, setiap perasaan yang mengikat dalam kebersamaan. ~

Beberapa menit setelah Max keluar dari ruangan, sebenarnya Vonda juga ingin langsung keluar untuk pulang. Namun, satu surat elektronik yang masuk membuat ia mengurungkan niatannya. Kembali menyalakan komputer dan mengecek surel tersebut. Dan di saat itu pulalah satu pesan kembali masuk ke ponselnya. Dari cowok yang benar-benar ingin Vonda hindari.

Ando :
Balas pesan aku, Von.
Jangan lari kayak gini.

Vonda pun memutar kedua bola mata dengan malas. Menyisihkan ponsel ke dalam tas kerja. Ia menggerutu seraya memadamkan komputer.

"Kenapa juga aku balas pesan dia? Kayak yang dia penting banget. Lagian siapa juga yang lari? Ih! Dasar nggak ada otak."

Vonda mengembuskan napas panjang dua kali. Bangkit dan meraih tasnya—setelah yakin bahwa tak ada yang tertinggal, terutama kunci mobilnya. Bukannya apa, pernah suatu ketika Vonda sudah sampai di parkiran dan ternyata kunci mobil tertinggal di ruangan. Alhasil, ia pun naik lagi ke ruangan demi benda kecil itu.

Sedetik kemudian Vonda menyandang tas pada pundak kiri dan beranjak dari meja. Memutuskan untuk segera pulang, alih-alih menuruti keinginannya semula yang ingin sekadar cuci mata di pusat perbelanjaan terdekat.

Sepanjang perjalanan menuju ke parkiran, Vonda menyadari bahwa keadaan kantor yang sudah mulai sepi. Bukan hal yang aneh mengingat saat itu hari Jumat. Bukankah orang-orang akan cepat pulang saat menjelang akhir pekan?

Tiba di parkiran kantor, Vonda mendapati kendaraan di sana mulai sedikit. Pun dirinya tak menemukan karyawan lainnya di sana.

Satpam?

Vonda melirik pada pos di parkiran. Tampak kosong. Mungkin satpam tengah pergi ke toilet atau ke suatu tempat lainnya. Yang pasti suasananya memang sudah sepi.

Selagi kakinya masih terus melangkah menuju ke Honda Brio bewarna hitam yang terparkir di seberang sana, Vonda mengulurkan tangan ke dalam tas kerja. Bergerak liar dalam upaya mencoba menemukan kunci mobil di dalam sana. Namun, di saat itulah satu suara membuatnya terkejut.

"Vonda!"

Tanpa melihat, Vonda bisa menebak siapa orangnya yang memanggil seperti itu. Lantaran bulu kuduknya yang kompak meremang. Persis seperti rasa takut yang otomatis muncul ketika ada kikik Kuntilanak.

Itu adalah sinyal alamiah yang spontan muncul. Membuat tubuh Vonda gemetaran dan kunci mobil yang sudah berhasil ia dapatkan, terjatuh di lantai parkiran.

Vonda semula berniat untuk mengambil kunci mobilnya dan segera berlalu dari sana. Bukan karena ia takut, tapi karena ingin menghindari masalah selagi bisa. Walau pada dasarnya ternyata ada orang yang memang berniat membuatnya terlibat masalah.

Cowok itu bertubuh tinggi dan dengan cekatan mengambil posisi tepat di hadapan Vonda. Sigap membuat Vonda terpaksa menghentikan langkah kaki.

Vonda mendengkus. Melihat pada cowok berdasi longgar itu yang sebenarnya berwajah tampan.

Yah. Persis seperti bayangan cowok badboy yang digandrungi sama ciwik-ciwik yang belum dapat KTP.

"Ando."

Vonda bisa merasakan lidahnya sedikit bergetar ketika menyebut nama cowok itu. Rasanya seperti ... salah. Sejujurnya ia sama sekali tidak ingin menyebut nama cowok itu bila tidak terpaksa. Seperti lidahnya yang mendadak gatal karenanya.

Ando berdiri di hadapan Vonda dengan penampilan yang sedikit berantakan. Rambutnya terlihat acak-acakan, begitu pun dengan kemeja yang ia kenakan. Lebih dari itu, sebulir keringat terlihat melintasi sisi wajahnya.

"Kita harus bicara, Von," kata Ando kemudian. "Kamu jangan hindari aku terus kayak gini."

Untuk beberapa saat, Vonda hanya melongo melihat Ando dengan perkataannya. Otak Vonda seperti butuh waktu lebih lama dari biasanya untuk mencerna maksud dan tujuan kata-kata barusan.

"Ah. Pardon?" Vonda meringis ketika akhirnya memutuskan untuk bicara. "Aku menghindari kamu?"

"Memang benar kan? Buktinya kamu nggak ada balas pesan aku," sindir Ando seraya mendengkus. "Sekalinya kamu balas, eh malah kayak yang mau manas-manasin aku gitu."

Tunggu.

Dahi Vonda berkerut.

Kapan aku yang mau manas-manasin dia?

Sedetik kemudian ingatan Vonda langsung membayang pada pesan-pesan yang Max kirimkan pada Ando. Membuat cewek itu mengembuskan napas panjang. Setengah kesal. Yah walau Vonda tidak terlalu yakin ia kesal pada siapa.

"Segitunya ya kamu sakit hati gara-gara putus dari aku?"

What?!

Wajah Ando yang penuh rasa percaya diri membuat Vonda mual-mual. Menjijikkan untuk dilihat oleh orang yang mendadak lapar di sore hari itu. Dan ia butuh beberapa detik untuk menguasai dirinya sendiri, alih-alih muntah air di sana.

"Sorry sorry to say. Aku sakit hati?" Vonda mendengkus dan meringis. "Kayaknya nggak deh. Soalnya mau dilihat dari sisi mana aja, sebenarnya aku itu beruntung karena tau aslinya kamu itu kayak gimana." Mata Vonda mengerjap berulang kali dengan gaya mencemooh seraya mengusap pelipisnya dengan ujung jari. "No hard feelings ya? Cuma ... ternyata punya kamu itu kecil. Nggak sesuai dengan bayangan aku selama ini."

Oh, demi apa pun. Tak akan pernah ada cowok yang bisa tenang bila sudah mendapat kalimat cacian yang menyinggung kejantanan mereka. Terlepas dari fakta itu benar atau tidak, ada ego yang tersentil di sana. Si paling sabar pun bisa mendadak menjadi paling pemarah jika sudah disinggung seperti itu. Apalagi bila ia memang bukan tipe penyabar. Jadi seharusnya Vonda tidak terkejut ketika mendapati respons Ando untuk perkataannya.

Ando maju. Tak memberikan kesempatan Vonda menarik diri, cowok itu justru dengan cepat meraih satu pergelangan tangannya. Menggenggam dengan begitu kuat hingga menciptakan ringisan.

"Ah, menurut kamu kecil?" tanya Ando menyeringai. "Iya?"

Wajah Vonda seketika memucat. Merasa tak nyaman dengan ekspresi Ando ketika menanyakan hal tersebut pada dirinya. Entah mengapa ia mendadak merasa takut saat itu.

"K-kamu mau ngapain?"

Vonda bergidik ngeri tatkala seringai di wajah Ando melebar. Ia berusaha mempertahankan tangan Vonda di satu tangan sementara tangan lainnya merogoh saku celana. Mengeluarkan kunci mobil yang tak lain dan tak bukan adalah kunci mobil Vonda.

"Aku mau ngapain?" tanya Ando membeo pertanyaan Vonda. "Aku mau nunjukin ke kamu. Sebenarnya punya aku memang kecil atau justru mata kamu yang salah lihat."

Tatapan lurus Ando membuat Vonda tercekat. Seketika saja cewek itu merasa takut. Secara logika, kekuatan Vonda tentu saja tak mampu menandingi Ando.

Vonda meneguk ludah. "Do, lepasin tangan aku."

"Nggak bakal. Aku mau nunjukin ke kamu, kalau kamu itu salah lihat." Ando memajukan wajahnya. "Kamu mau di mana? Di tempat aku atau tempat kamu? Di hotel juga boleh."

Wajah Vonda seketika memerah padam. Membuat ia tanpa sadar justru terlupa oleh rasa takut dan justru membentak.

"Ya ampun! Kamu gila?!"

Ando terhenyak. Tak menyangka bahwa ketika ketakutan sudah memojokkan Vonda, maka hal itu serta merta berubah menjadi amarah yang justru menantang dirinya. Vonda membentak seolah tak mengenal rasa takut pada apa pun di dunia.

"Kamu yang gila! Oke, kita putus. Cuma nggak kayak gini juga. Anak kecil banget sih."

Vonda mendengkus dengan irama mencemooh. Kali ini lantaran rasa geli yang mendadak merayapi saraf di sekitaran perutnya.

"Cuse me? Anak kecil?" Vonda terkekeh sekilas. "Yang anak kecil siapa?" balasnya bertanya seraya melirik pada kunci mobil di tangan Ando. "Oke, anggaplah aku anak kecil. Jadi situ anak besar masih ngomongi soal kreditan mobil sama anak kecil? Lebih dari itu, kamu malah nggak ngotak mau pakai mobil aku?"

"Sialan!" umpat Ando tak terima mendengar ejekan Vonda.

Pun demikian pula dengan Vonda. Tak terima diumpati Ando tepat di depan muka. Ia melotot besar.

"Eh! Kamu jaga sikap ya? Aku ini atasan kamu, dasar penis kecil!"

Umpatan Vonda sukses membuat Ando kian meradang. Dadanya panas.

Ando mengangkat tangan. Merentangkan kelima jari. Membiarkan kunci mobil di genggamannya terjatuh sementara ia mengayunkan telapak tangannya yang besar itu. Mengarahkannya pada satu pipi Vonda.

Vonda melotot. Menjerit. Lalu refleks menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Kamu—"

"Ah!"

Di balik kedua tangannya, Vonda menggigit bibir bawah. Bersiap dan penuh antisipasi dengan bayangan telapak tangan yang akan segera mendarat di wajahnya. Namun, ketika ia sudah bersiap dengan semua kemungkinan rasa sakit itu, mendadak saja ada satu suara berat yang terdengar menggelegar dan menggema di parkiran itu.

"Bu Vonda. Saya cari ke mana-mana dan ternyata Ibu ada di sini."

Seruan yang membuat Vonda kaget. Spontan saja ia menurunkan kedua tangannya dari depan wajah.

Sama halnya dengan Vonda, Ando pun refleks melepaskan genggamannya pada tangan cewek itu. Berikut dengan tangannya yang hampir mendarat di wajah Vonda.

Keduanya melihat pada sumber suara. Seorang cowok yang terlihat memerah wajahnya dengan tatapan tajam melangkah menuju pada mereka.

Ando menahan napas. Dahinya sedikit berkerut ketika mendapati Max telah berada di hadapannya dalam waktu singkat.

Max melayangkan tatapan tanpa kedip pada Ando. Dan walau departemen mereka tidak mengadakan pesta perayaan penyambutan Max sebagai ketua yang baru—hal yang dimaklumi mengingat Max hanyalah ketua sementara selagi bagian HRD menyeleksi ketua tetap—bukan berarti Ando tidak mengenal siapa cowok itu.

Alhasil, bukan hal yang aneh bila di detik selanjutnya Ando justru mendesiskan nama Max. Begitu juga dengan Vonda.

"Pak Max."

Max lantas beralih pada Vonda dan membuatnya tercekat. Mungkin karena wajah Max yang terlihat mengeras atau akibat dari seruan keras tadi.

Dia cari aku ke mana-mana? Memangnya ada apa?

Agaknya tidak sulit bagi Max membaca pikiran Vonda. Ia berkata.

"Mobil saya mogok. Jadi antar saya pulang sekarang."

Vonda mengerjap bingung. "Ya?"

Kalau mobil dia mogok, tetap bisa pesan taksi online kan? Kenapa pakai acara minta diantar? Mentang-mentang aku tau alamatnya gitu?

Max mendengkus. Tak menunggu Vonda, ia justru membuat kaget semua orang. Menunduk dan mengambil kedua kunci mobil yang terjatuh.

Ando mengulurkan tangan. Ingin bicara dan mengambil satu kunci mobil tersebut, tapi Max kembali bersuara.

"Ini kunci mobil Bu Vonda kan?"

Vonda lagi-lagi mengerjap. Sekilas melihat pada Ando yang melotot. Namun, Vonda cukup pintar untuk menjawab.

"Iya, Pak. Nggak tau kenapa kedua kunci mobil saya bisa terbawa semua."

Max mengangguk. Memberikan kunci utama pada Vonda sementara yang lainnya tetap ia pegang.

"Biar saya yang nyetir," kata Max mengacungkan kunci itu di hadapan Vonda.

Vonda melirik Ando yang mengatupkan mulut rapat-rapat dengan ekspresi kesal setengah mati. Sungguh sulit sekali bagi cewek itu untuk menahan tawa dan rasa gelinya. Terutama saat melihat Max sedikit memutar tubuh, menghadap pada Ando.

"Kalian nggak ada urusan apa-apa lagi kan?" tanya Max. "Karena kalau nggak, saya perlu Bu Vonda untuk mengantarkan saya ke lokasi proyek dulu sebelum ke apartemen saya. Ya ... semacam pemandu gitu. Soalnya saya belum terlalu hapal jalanan di Jakarta."

Bahkan bila Ando memang masih memiliki beberapa hal yang harus ia katakan pada Vonda, sepertinya ia harus mengalah. Terlebih lagi karena Vonda pun berkata.

"Nggak ada kok, Pak. Saya bahkan nggak punya urusan apa-apa dengan dia."

Max berpaling pada Vonda. "Oh, begitu."

"Iya, Pak," ujar Vonda tersenyum. "Kalau gitu ... mari, Pak. Sebelum malam."

Max mengangguk. Tanpa merasa perlu berpamitan pada Ando, ia melangkah. Begitu pula dengan Vonda yang buru-buru mengekor, meski kedua telinganya masih sempat mendengar umpatan dari arah belakang.

Vonda membuka pintu dan duduk di kursi penumpang sementara Max di balik kemudi. Namun, ia tidak langsung mengemudikan mobil itu. Seperti menunggu Ando pergi terlebih dahulu dari parkiran. Dan ketika Vonda ingin menanyakan perihal Max yang belum juga melajukan mobilnya, mendadak cowok itu berpaling. Membuat Vonda terhenyak dengan perkataannya.

"Seriously?" tanya Max dengan dengkusan tidak percaya. "Cowok nggak berduit, nggak tau malu, dan nggak tau sopan santun kayak gitu ya yang jadi selera kamu?"

Syok, Vonda hanya bisa melongo karena pertanyaan Max yang tiba-tiba itu.

"Eh?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro