Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Sumber Kekalutan

Vonda baru saja berdiri dari kursinya ketika mendapati Max keluar dari ruangannya seraya menenteng tas kerja. Terlihat sekali kalau cowok itu sudah bersiap akan pulang. Bukan hal yang aneh lantaran saat itu memang sudah memasuki jam pulang kantor. Walau sepanjang ingatannya, Vonda merasa Max tidak pernah pulang terlalu cepat. Biasanya cowok itu justru cenderung menunggu suasana kantor sedikit sepi baru pulang. Namun, Jumat sore itu sepertinya pengecualian.

Max melihat pada Vonda yang ternyata sedang membereskan barang-barangnya. Tampak akan bersiap pulang juga. Lantas seraya menarik pintu agar menutup, Max berkata.

"Aku balik duluan. Selamat berakhir pekan."

Vonda tersenyum. "Oke. Selamat berakhir pekan juga."

Mungkin karena Vonda dan Max bertemu pertama kali dalam situasi yang aneh dan kemudian hubungan di antara mereka berdua berkembang dalam situasi yang lebih aneh lagi, maka hasilnya adalah seperti yang terjadi sekarang. Terkesan tidak ada hubungan profesionalisme antara atasan dan bawahan di sana.

Max segera keluar dari ruangan sementara Vonda kembali berkutat pada beberapa perlengkapannya. Sedikit terburu-buru mengingat satu panggilan yang ia dapat beberapa menit yang lalu. Panggilan yang membuatnya segera menuntaskan pekerjaannya.

Namun, alih-alih langsung pulang, Max justru menaiki satu lift yang membawanya ke lantai atas. Max berjalan dengan sedikit terburu. Menuju pada seorang cewek cantik yang terlihat duduk di meja sekretaris. Ia tampak berdiri dan menyapa.

"Selamat sore, Pak Maxwell."

Max tersenyum membalas sapaan itu.

"Mas—" Max mengerjap seraya menggeleng sekali. "Bukan. Maksud saya, Pak Lucas ada di dalam?"

Sekretaris cantik itu tersenyum. "Beliau ada."

"Terima kasih. Saya bisa ke sana sendiri, nggak perlu diantar," kata Max cepat ketika sang sekretaris ingin beranjak dari tempatnya.

"Baiklah, Pak."

Max pun beranjak dari sana. Dalam hati ia merutuk.

Ya kali, Max. Udah dua minggu kerja dan ternyata kamu belum ada nemui itu pengantin baru. Astaga.

Tok! Tok! Tok!

Max pun mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali sebelum mendengar satu suara dari dalam sana.

"Masuk."

Max meneguk ludah. Menyiapkan diri dan membuka pintu tersebut. Ketika masuk, ia langsung mendapati seorang pria yang segera bangkit dari meja kerjanya.

"Lihat! Siapa yang datang ke sini!"

Max meringis. Meletakkan tas kerjanya sepintas lalu di atas sofa tanpa menghentikan langkah kaki dan terus saja berjalan. Menghampiri sepupunya yang merupakan direktur utama di perusahaan tersebut.

"Mas Lucas," lirih Max menyambut pelukan hangat itu. "Jangan buat aku merasa semakin nggak enak."

Pelukan dua orang pria dewasa itu terurai.

"Merasa nggak enak?" tanya Lucas seraya menaikkan satu alis matanya. "Untuk menelepon kamu di jam pulang kantor?"

Astaga.

Max meringis.

Belum apa-apa aku udah kena sindir.

Max menggaruk kepala. Satu tangan menunjuk pada sofa. "Silakan duduk dulu, Mas."

"Apa?" Mata Lucas membesar.

"Aduh!" Max menepuk dahi. "Ini bukan kantor aku ya?" Ia tertawa kaku. "Maaf, Mas. Maaf."

Lucas menyeringai. Mengabaikan permintaan maaf Max, nyatanya ia benar-benar duduk. Melalui ekor mata, ia mendapati Max turut duduk di hadapannya.

"Jadi," kata Lucas kemudian. "Aku sudah menunggu selama beberapa hari. Kayaknya nyaris dua minggu sih. Aku pikir aku bakal membiarkan kamu berinisiatif untuk menghubungi aku atau yah ... siapa tau kamu justru akan mendadak datang langsung ke rumah, tapi—"

"Aku nggak datang." Max memilih untuk menuntaskan kalimat itu dengan mulutnya sendiri. "Aku tau aku kelewatan kali ini, Mas. Nggak bakal termaafkan seumur hidup. Apalagi mengingat pernikahan Mas nggak akan terjadi dua kali."

Mata Lucas membesar. "Jangan asal bicara, Max. Aku susah payah untuk bisa nikah."

"Ya karena itu, Mas. Apa Mas nggak kepikiran untuk mengulang pernikahan Mas? Biar lebih berkesan gitu? Nikah dua kali dengan cewek yang sama."

Lucas pun terdiam untuk beberapa saat, lalu pelan-pelan bibirnya menyeringai. "Biar kamu ada kesempatan untuk menebus rasa bersalah?" Seringai Lucas pelan-pelan berubah menjadi senyuman. "Sudahlah. Nggak perlu dibahas lagi. Yang penting sekarang adalah kapan rencananya kamu mau ke rumah?"

"Ah." Max melirih.

"Ada rencana untuk ke rumah kan?" tanya Lucas menyelidik. "Atau?"

"Tentu saja, Mas," kata Max cepat. "Aku pasti akan ke rumah secepatnya. Aku tau ini terdengar seperti alasan kosong, tapi ... akhir-akhir ini aku sedang bingung mengurusi satu hal yang mendesak."

Lucas melayangkan tatapan menyelidik pada Max. Namun, ia menahan lidahnya sejenak saat mendapati pintu ruangan terketuk sekali dan sekretarisnya masuk. Menghidangkan dua cangkir teh pada mereka.

Usai memastikan bahwa pintu ruangan itu tertutup kembali, Lucas lanjut bertanya sementara Max mengangkat cangkir tehnya. Menyesap minuman bewarna merah kecokelatan tersebut.

"Bingung dengan cewek yang ajak kamu main kuda-kudaan di dalam mobil?"

Pruuut!

Teh pun tersembur dari mulut Max dengan keadaan yang memalukan. Spontan membuat Lucas tertawa terbahak-bahak sementara Max tak berdaya meladeni batuknya yang bertubi-tubi. Nyaris putus asa baginya untuk mampu menghentikan batuk seraya menyeka mulut yang basah dengan dua helai tisu.

"Mas!" Max melotot. "Ya kali pakai acara bahas itu."

"Aku tebak cewek itu yang akhirnya membuat perjodohan kamu dan Olivia batal," tebak Lucas dengan mata yang sedikit menyipit. Ia menyeringai geli. "Benar?"

Max mengembuskan napas lesu. Merasa tidak berguna bila harus berbohong untuk hal yang satu ini, maka ia pun mengangguk.

"Sialan!" Lucas kembali tertawa. "Aku nggak pernah mengira kamu bakal benar-benar berpacaran, Max. Aku pikir dunia kamu cuma tentang mobil saja."

"Sejujurnya kalau Mas nanya apa pun soal mobil ke aku saat ini, aku sepertinya nggak bakal bisa jawab."

Kerutan di dahi Lucas mendorong Max untuk lanjut bicara.

"Dunia aku sekarang bukan dunia mobil lagi, melainkan dunia jungkir balik. Aku bahkan nggak kepikiran buat bawa mobil aku perawatan minggu lalu. Argh!" Max menggeram. "Aku lagi pusing."

"Pusing? Maksud kamu?"

Max pun mengembuskan napas panjang. Menatap pada sepupunya itu dan berkata lirih. "Aku nggak mungkin cerita ke Mas tentang apa yang buat aku pusing."

Mata Lucas mengamati raut lelah di wajah Max. "Ehm ... sepertinya kamu butuh istirahat, Max."

"Aku berharap sekali istirahat bisa membuat jiwa aku lebih damai. Cuma ... gimana bisa aku istirahat kalau tiap saat ponsel aku berdering? Mana yang ditanyain sama lagi. Kapan aku nikah?"

"Aku bisa membayangkan wajah Tante tiap menanyakan hal itu ke kamu. Jangan terlalu merasa tertekan. Menikah itu kalau kamu sudah siap."

"Oh! Andaikan Mama aku yang udah kebelet mau gendong bayi manusia itu bisa memikirkan ini."

Lucas kembali tertawa.

"Mama ngomong, Mama sudah bosan gendong bayi kucing. Mau gendong bayi manusia. Bayi aku. Hebat kan?"

Lucas berusaha keras untuk menghentikan tawanya. "Sudahlah, Max. Kamu lebih baik pulang dan istirahat."

"Sepertinya itu memang pilihan yang bagus."

"Ingat! Aku tunggu dalam waktu dekat kamu datang ke rumah," kata Lucas mengingatkan. "Satu lagi! Jangan datang sendirian."

Wajah Max berubah.

"Bawa juga cewek yang ajak kamu main kuda-kudaan itu."

Max meraung. "Makasih banyak karena sudah buat aku semakin pusing, Mas."

Beberapa saat kemudian, Max keluar dari ruangan Lucas. Menyusuri lantai demi lantai dengan menggunakan lift seraya memikirkan kehidupannya yang akan datang.

Memang, Max. Harusnya kamu ingat lagu dangdut Rhoma Irama. Tutup lobang gali lobang itu bukan ide yang bagus. Gimana bisa kamu membatalkan perjodohan dengan membuat hubungan palsu? Yang ada jadi semakin ribet urusannya kan?

Kalau tidak memikirkan di mana ia berada saat ini, Max rasa-rasanya ingin mengacak-acak rambutnya. Teringat bagaimana Reny yang begitu akrab dengan Vonda padahal mereka baru kenal beberapa hari dan sinyal peringatan di dalam kepalanya berdering meraung-raung. Seperti memberikan tanda bahwa itu bukanlah hal yang bagus.

Sebenarnya Vonda itu cantik walau agak gila. Kepribadiannya juga hangat. Wajar kalau Mama jadi suka dengan dia. Aku nggak kebayang aja gimana kalau nanti aku harus mengakhiri hubungan pura-pura ini. Mama pasti bakal ngamuk.

Bayangan Reny yang mengangkat panci dan mengarahkan padanya, membuat Max merinding. Ia bergidik ngeri. Terutama karena saat itu ia sudah berada di tempat parkiran. Suasana yang sedikit remang membuat nuansa horor yang melingkupi Max semakin menjadi-jadi.

Ehm, tapi ... ngomong-ngomong soal mengakhiri hubungan, itu Vonda enteng banget ya ngomongnya? Pakai acara membandingkan aku sama Ando lagi. Dipikir dia aku itu

"Ya ampun! Kamu gila?!"

Satu bentakan memutus pemikiran Max. Langkah Max berhenti mendadak di tengah perjalanannya menuju ke mobil. Dan suara bentakan yang jelas merupakan suara seorang cewek itu membuat sinyal siaganya bangkit.

"Kamu yang gila! Oke, kita putus. Cuma nggak kayak gini juga. Anak kecil banget sih."

"Cuse me? Anak kecil? Yang anak kecil siapa? Oke, anggaplah aku anak kecil. Jadi situ anak besar masih ngomongi soal kreditan mobil sama anak kecil? Lebih dari itu, kamu malah nggak ngotak mau pakai mobil aku?"

"Sialan!"

"Eh! Kamu jaga sikap ya? Aku ini atasan kamu, dasar penis kecil!"

"Kamu—"

"Ah!"

Max melihatnya dengan jelas. Vonda menutup wajah dengan kedua tangan. Mengabaikan satu tangan Ando yang menggenggam pergelangan tangannya dengan begitu kuat hingga membuat Vonda terpaksa menjerit.

Ando mengambil ancang-ancang. Mengangkat satu tangannya yang lain.

"Bu Vonda. Saya cari ke mana-mana dan ternyata Ibu ada di sini."

Baik Vonda maupun Ando sama-sama kaget dengan suara itu. Suara yang membuat Ando dengan segera menurunkan dan melepas tangan Vonda. Mereka berdua sama-sama menoleh ke sumber suara.

Satu wajah yang terlihat menakutkan mendekati mereka. Tatapan mata Max beradu pada Ando untuk beberapa detik sebelum berpindah pada Vonda. Tanpa sadar hal tersebut membuat Vonda dan Ando sama-sama mendesiskan nama cowok itu.

"Pak Max."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro