22. Bayangan Pernikahan
◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌
Vonda benar-benar menikmati rasa nyaman kala itu. Ketika sepasang tangan memijat kepalanya dengan begitu handal. Ia merasa seperti seluruh masalah yang dihadapi akan luruh sekejap mata dan berbicara soal mata ... ugh! Vonda merasa perut kenyang dan pijatan itu membuat matanya terasa berat. Dirinya benar-benar nyaris akan jatuh tertidur, andaikan tidak ada suara Reny yang menyapa gendang telinganya.
"Von."
Vonda membuka mata. Ia menatap cermin besar di hadapan mereka lantaran dirinya yang tak bisa menoleh. Melalui pantulan di sana, ia bisa melihat bagaimana posisi Reny nyaris sama dengan dirinya.
Reny tersenyum dengan rambut yang telah dibungkus oleh kertas aluminium foil. Dan Vonda tersenyum malas sementara kepalanya masih dipijat-pijat.
"Aku hampir ketiduran, Ma."
Reny terkekeh samar. Mengucapkan terima kasih pada petugas salon yang melayaninya sebelum ia pergi. Meninggalkan Reny yang harus bersabar setidaknya untuk sejam lamanya demi warna baru pada rambutnya itu.
"Itulah Mama panggil tadi. Mama nggak mau pusing bangunin kamu." Reny kembali terkekeh sebelum ia mengembuskan napas panjang. "Kamu pasti nggak tau ya? Mama udah lama banget mau kayak gini."
"Mau apa, Ma?"
"Mau ke salon bareng anak cewek," kata Reny.
"Eh?"
"Selama ini Mama tuh iri banget kalau lihat teman-teman Mama pada share story mereka. Jalan sama anaknya. Ke salon bareng anaknya. Bahkan ke gym juga. Ya bagaimanapun juga, Mama nggak mungkin ke salon bareng Max kan?"
"Hahaha."
Vonda spontan tertawa. Perkataan Reny langsung berubah menjadi imajinasi di benaknya. Membentang bayangan Max yang mengangkat kelima jari tangannya sementara seseorang memulas kuteks pada kuku cowok itu.
Tangan Reny melambai. Membuyarkan imajinasi dan tawa Vonda.
"Nggak usah ketawa sekencang itu, Von," ujar Reny geli. "Mama tau nggak bakal mungkin ke salon bareng Max. Cuma karena ada kamu ... Mama akhirnya bisa deh mewujudkan khayalan Mama selama ini."
Mata Vonda melirik. "Aku suka ke salon, Ma. Tenang aja. Kalau Mama udah bosan dengan warna deep auburn, Mama hubungi aja aku. Kita ganti dengan warna mahogany."
Kali ini Reny yang tertawa. "Pasti Papa bakal tambah cinta sama Mama deh kalau Mama cantik gini."
"Pasti, Ma," timpal Vonda tak kalah semangatnya dengan Reny. "Apalagi kalau ntar pakai gaun senada gitu kan, Ma? Beuh!"
"Hahaha. Abis ini deh kita cari gaun yuk. Kamu pasti pinter milih baju."
Vonda melirik sekilas pada pantulan cermin. Tepat ketika guyuran air hangat itu membasahi rambutnya. Dan ia membanggakan dirinya.
"Itu bakat aku dari lahir, Ma. Hihihi."
"Ehm, ngomong-ngomong soal gaun," kata Reny kemudian. "Kira-kira kapan nih kita cari gaun buat lamaran kamu?"
"Aduh!"
Sepertinya ada busa yang masuk ke mata Vonda. Membuat cewek itu mengaduh perih.
"Eh! Maaf, Mbak."
Vonda mengerjapkan matanya berulang kali. "Nggak apa-apa, Mbak." Ia menyambut tisu yang diberikan dan membersihkan matanya sesegera mungkin.
Melirik dan memastikan bahwa keadaan Vonda baik-baik saja, Reny kemudian lanjut berbicara.
"Apa kamu mau pakai kebaya aja, Von? Ehm ... kamu pasti cantik pakai kebaya."
Vonda meneguk ludah. Mungkin aduhannya tadi itu lebih karena kaget dengan pertanyaan Reny ketimbang karena busa.
Ke ... baya lamaran?
"Ehm."
Vonda mendadak saja merasa lidahnya kelu. Bingung harus seperti apa ia menanggapi perkataan Reny yang itu.
Reny kembali melirik. "Jujur aja. Sejak malam tadi Mama jadi nggak sabar. Rasanya pengen buru-buru ke rumah kamu deh."
"Ke rumah aku?" tanya Vonda bodoh. "Kan tadi udah pas jemput aku, Ma."
"Hehehe. Bukan rumah kamu maksudnya, tapi rumah keluarga kamu."
What?!
"Kan mau melamar kamu," lanjut Reny penuh rasa antusias. "Mau ketemu sama orang tua kamu dan ...." Reny melirik lagi. "Kamu ada saudara?"
Bengong, tapi Vonda tetap mengangguk. "Aku punya lima orang adik, Ma."
"Wah!" Reny terkesiap. "Keluarga besar."
Vonda meringis. "Ya gitu deh, Ma. Jadi kalau Mama nggak pernah jalan sama anak perempuan, sebenarnya aku juga nggak pernah jalan sama Mama di rumah sih."
"Oh, I see I see." Reny mengangguk-angguk paham. "Anak perempuan pertama sebenarnya adalah anak bungsu yang nggak sempat dimanja."
"Ya ... begitulah, Ma. Malah lebih repot urus adek-adek."
Reny mengulurkan tangannya, membelai tangan Vonda dari tempatnya duduk. "Kalau gitu kita berdua jodoh ya kan? Mama bisa dapatkan yang Mama inginkan dan kamu juga."
"Ah," lirih Vonda menyadari kebenaran itu. "Eh, iya-ya, Ma."
"Rahasia Tuhan mah memang kayak gini. Hihihi. Makanya, Von, Mama pikir lebih cepat melamar kamu pasti lebih baik."
Wajah Vonda seketika berubah lagi. Dari yang takjub mendapati persamaan antara ia dan Reny, menjadi syok karena topik lamaran yang kembali datang.
"Kalau Mama pikir, kayaknya keluarga kalian pada subur ya?"
Subur?
Mata Vonda mengerjap-ngerjap.
"Mama dulu dapat Max itu ya ampun. Susah banget, Von."
Mengabaikan raut bingung di wajah Vonda, Reny justru memilih bercerita tentang masa lalunya. Pada masa di mana ia benar-benar nyaris patah semangat kala itu.
"Udah berobat ke sana kemari, tapi kayak buntu semua. Nggak tau deh gimana lagi perjuangan Mama dan Papa buat dapatkan Max, Von."
"Oh."
Senyum Reny melebar. "Karena itu kenapa Mama kasih dia nama Max. Benar-benar perjuangan yang maksimal. Hehehe."
Melihat kekehan itu, suasana sendu yang sempat dirasakan oleh Vonda langsung hilang. Tergantikan oleh rasa geli.
"Kamu nggak bakal kebayang deh ya? Ke dokter cek rahim dan sebagainya, tapi kami semua sehat. Makanya harapan itu tetap ada. Terus orang pada ngomong ke kami. Coba pakai gaya A, pakai gaya B—"
"Hahaha!"
Kali ini Vonda benar-benar tertawa. Beruntung rambutnya sudah selesai dibilas. Jika tidak, mungkin air sudah beriak ke mana-mana.
"Dibilangin malah ketawa," kata Reny lucu. "Kamu ini."
"Ya Mama sih. Gaya aja pakai acara dibilangin."
Reny tersenyum malu. "Ya gimana lagi coba? Saat itu Mama cuma kepikiran buat cepat-cepat punya anak. Eh, ganti-ganti gaya bukannya lebih cepat dapat Max, malah Papa Max yang nggak mau berenti-berenti."
"Hahaha! Mama!" jerit Vonda.
Di belakang mereka, para petugas salon yang melayani keduanya mau tak mau tersenyum geli dengan percakapan mereka berdua.
"Cuma," lirih Reny kemudian. "Kalau denger cerita kamu, sepertinya kalau kamu sama Max nikah, kalian nggak bakal lama deh bisa dapat anak."
Sisa-sisa tawa masih ada di bibir Vonda. "Hahaha!"
"Kayaknya rahim kamu subur deh."
"Hahaha! Mama ini ada-ada aja."
"Eh!" Tangan Reny menepuk singkat pada tangan Vonda. "Mama serius kali, Von. Sini deh ya Mama kasih tau sesuatu."
Menyeka air mata yang timbul di ujung matanya, Vonda melirik ke arah Reny. "Kasih tau apa, Ma?"
"Ehm." Reny mendeham. "Sebenarnya Mama nggak mau ngomong ini sih. Bukannya apa, tapi kata orang-orang calon mantu biasanya ngeri kalau dibilangin hal kayak gini sama calon mertuanya. Cuma Mama pikir, jujur lebih baik kan?"
"Eh? Memangnya apa, Ma?"
Kali ini Reny benar-benar berusaha untuk melihat Vonda walau sedikit susah. Ia harus tetap menjaga posisi kertas aluminium foil di rambutnya itu.
"Mama tuh berharap banget kamu dan Max bisa cepat nikah."
Vonda melongo. "Ya?"
"Kalau kalian nikah dan bisa cepat punya anak, itu pasti buat Mama bahagia banget. Memang anak udah diatur Tuhan. Cuma nggak ada salahnya Mama berharap kan? Siapa tau Tuhan jadi iba dengan Mama. Ya kali, Von. Udah susah dapat anak, eh masa susah juga dapat cucu? Tuhan nggak mungkin kejam banget sama Mama kan?"
Vonda benar-benar dibuat tidak mampu berkata apa-apa karena perkataan Reny. Bingung dan seakan tubuhnya mati rasa, tapi ada lucunya juga sih.
"Anak kalian ntar pasti pada imut. Orang kamu aja cantik gini. Hihihi. Imutnya pasti ngalahin anak Moci."
Eh?
"Kan Mama udah capek urusin anak kucing, Von. Kali ini Mama beneran mau urus anak manusia." Reny memberikan tatapan berkaca-kaca pada Vonda. "Bayi kalian."
Membayangkan dirinya menikah dengan Max, perutnya yang membuncit karena bayi mereka, lantas ia melahirkan ... membuat Vonda benar-benar membisu.
"Max, dia haus nih. Mau mimik dulu."
"Ehm nggak mau. Kan aku juga mau mimik, Von."
Vonda memejamkan mata. Sepertinya pijatan tadi bukan membuat rileks, malah justru sebaliknya. Kepalanya terasa pusing bergoyang-goyang.
Aku dan Max nikah? Bisa rusak generasi penerus bangsa.
***
Awalnya Max menduga bahwa pertemuan Vonda dan Reny sudah menyelesaikan masalahnya. Ya, sebenarnya memang sih. Masalahnya telah selesai.
Olivia sudah mengabari Max. Memberi tahu bahwa keluarga mereka tengah mencari waktu yang tepat untuk secara resmi membatalkan perjodohan tersebut. Tidak terbayang bagaimana senangnya Olivia melalui sambungan telepon kala itu. Hanya saja ....
Max memijat pangkal hidungnya.
Kenapa justru muncul masalah baru sih?
"Max."
Max mengerjap. Ia tersentak dari lamunannya ketika suara Reny mendarat di indra pendengarannya. Melalui sambungan telepon itu, Max pun tersadar untuk masalah baru yang telah muncul.
"Niat baik itu nggak boleh ditunda lama-lama, Max. Pamalik."
Niat baik apa, Ma?
Rasa-rasanya Max ingin menjerit histeris saat itu juga. Jika saja sebongkah otaknya tidak memperingatkan bahwa ia harus ke kantor sebentar lagi, sudah barang tentu ia akan mengacak-acak rambutnya. Menarik lepas dasi dari lehernya dan mencak-mencak hingga pakaiannya berantakan.
"Lagi pula Mama udah merasa cocok banget sama Vonda."
"Astaga."
Lirihan itu lolos dari bibir Max. Bernada horor. Persis seperti ekspresi ngeri yang tercetak di wajahnya.
"Menakjubkan," kata Max tak percaya. "Mama baru dua kali ketemu dengan dia dan udah merasa cocok?"
"Makanya itu kan, Max?" tanya Reny di seberang sana dengan nada tidak percaya. "Kamu memang pintar banget pilih calon istri. Nggak salah banget deh kamu sampai keras kepala mau membatalkan perjodohan kemarin. Ya walau Olivia itu juga gadis yang baik, tapi dengan Vonda ini Mama merasa klop banget."
Ada gempa lokal di unit aku, batin Max.
Max memilih duduk di tepi tempat tidur. Mencari aman daripada mendadak ia jatuh pingsan di lantai kan? Lebih baik pingsan di atas kasur.
"Kemarin juga. Bukti kalau dia dan Mama itu klop. Kan waktu itu Mama bingung mau ngecat rambut pakai warna apa. Eh, Vonda bi—"
"Mama ngecat rambut?!" Max histeris. "Benar-benar ngecat rambut?"
"Iya dong, Max. Mama sekarang terlihat sepuluh tahun lebih muda. Selera Vonda memang mantap. Hihihi. Papa sampai pangling gitu lihat Mama."
"Aku yakin itu karena Papa hampir nggak bisa mengenali wajah istrinya sendiri."
"Ehm Papa bilang Mama tambah cantik. Hihihi."
Duar!
Ya ampun! Ini benar-benar nggak bagus untuk kesehatan.
"Mama juga udah cerita sama Papa tentang Vonda."
Max terkesiap horor. "Ya ampun, Ma. Pak RT udah dikasih tau juga belum?"
"Wah! Untung kamu ingetin Mama, Max. Ntar deh Mama bilangin pas acara posyandu di kelurahan."
"Ma!" jerit Max meringis. "Ya kepalang suruh aja muazin kasih tau pakai toa masjid, Ma."
Reny tergelak. "Ini bukan berita kematian kali, Max."
"Ini berita kematian, Ma. Berita kematian aku."
Ya Tuhan. Max rasa-rasanya ingin mencakar-cakar dinding.
Gimana ceritanya Mama jadi yang begini sama Vonda? Orang aku dan Vonda cuma pura-pura doang. Ya ampun. Aku nggak mungkin beneran nikah sama dia kan?
Glek!
Bayangan Max menikahi Vonda, menjalani hari-hari bersama dengan cewek itu, hingga mungkin memiliki satu anak, bahkan lebih ... membuat Max mendadak sesak napas.
"Von, dia nangis nih. Mau ngajak main kuda-kudaan dulu."
"Ehm nggak mau. Kan aku juga mau kuda-kudaan sama kamu, Max."
Max memejamkan mata. Di detik itu ia merasa seperti tekanan darahnya turun drastis. Dunia menjadi berputar-putar di kepalanya.
Aku dan dia nikah? Bisa bertambah generasi nggak waras di Indonesia.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro