20. Pelan-Pelan
"Makan malamnya enak banget, Ma."
"Benar kan? Masakan Mama memang enak. Makanya kamu harus sering mampir, biar bisa makan masakan Mama yang lainnya."
Vonda melongo. Harus ia akui bahwa makan malam yang dimasak oleh Reny memang enak walau sederhana. Masakan biasa itu justru terasa begitu luar biasa di lidahnya yang lebih sering membeli makanan di luaran ketimbang masak sendiri. Namun, pujiannya tadi bukan karena ia ingin mendengar kalimat ajakan Reny yang satu itu. Terutama saat menyadari bagaimana tangan ibu Max meraihnya. Memberikan rangkulan pada punggungnya tatkala mereka bertiga duduk bersantai di ruang menonton kala itu. Sekadar bersantai setelah menikmati makan malam.
"Kapan kamu mau datang ke rumah?" tanya Reny lagi. "Besok?"
Max yang telah memasang antisipasi segera menyela. "Ma. Sekarang kan Mama udah ketemu sama Vonda. Gimana kalau besok-besok aja kita atur waktu buat Vonda main ke rumah?"
Reny ingin mengatakan keberatannya, tetapi ucapan Max selanjutnya membuat ia menelan kembali semua kata-katanya.
"Mama lihat sendiri kan Vonda ketiduran tadi? Vonda itu capek, Ma. Berapa hari ini dia lembur."
Reny melihat Vonda. "Iya?"
Vonda mengerjap. "Ehm ... memang selama berapa hari ini aku nggak cukup tidur sih, Ma."
Namun, itu bukan karena pekerjaan, melainkan karena tekanan batin akibat Max.
"Oh." Reny pun mengembuskan napas panjang, sedikit kecewa. "Ya sudah kalau begitu. Akhir pekan besok kamu istirahat aja. Tidur yang cukup ya? Biar kamu nggak sakit."
Vonda angguk-angguk kepala, karena walau bagaimanapun juga, setidaknya alasan itu membuat ia bisa menghindari undangan Reny.
Baru ketemu, dilamar, dan disuruh datang ke rumahnya? Mampus sajalah kamu, Von.
"Lagian ya," kata Reny kemudian. "Tega banget yang nyuruh kamu lembur berhari-hari sih?" Wajah Reny terlihat mengeras dengan mata sedikit menyipit. "Atasan kamu itu kayaknya tipe orang yang nggak berperikemanusiaan."
"Uhuk!"
Max terbatuk seketika, sementara Vonda mau tak mau justru refleks terkekeh.
"Memang, Ma. Atasan aku itu nggak berperikemanusiaan."
"Ckckckck! Kamu harus sabar ya, Von? Anggap aja atasan seperti itu sebagai ujian dari Tuhan."
Untuk kali ini, Vonda tersenyum dengan angguk-angguk kepala. Entah mengapa, sedikit rasa senang kini merebak di benaknya.
Sejurus kemudian, setelah merasa perutnya cukup tenang karena makan malam, Vonda memutuskan untuk berpamitan pada Reny. Malam sudah menyentuh angka sembilan dan Vonda harus pulang ke unitnya.
"Ma. Ini kan udah malam. Kayaknya aku pulang dulu ya?"
Reny sedikit menggeser duduknya demi bisa melihat wajah Vonda. "Kamu pulang gimana? Naik taksi atau gimana?"
"Paling ntar aku naik taksi, Ma. Lagi pula mobil aku belum diambil."
Tatapan mata Reny menggoda Vonda. "Diantar Max." Ia menoleh pada Max. "Iya kan, Nak?"
Max meneguk ludah. Kaku, ia mengangguk sekali dan bangkit berdiri.
"Ayo aku antar."
Semula Vonda berniat menolak ajakan itu.
Ya kali kan? Aku masih sangat waras untuk nggak menerima tawarannya.
Namun, sesuatu melintas di benak Vonda.
Kayaknya ini kesempatan buat melakukan pembalasan ke dia.
Bulu kuduk Max seketika meremang. Itu adalah tepat ketika ia mendapati ekspresi menakutkan di wajah Vonda.
Nggak bakalan nggak ini mah. Dia pasti mau mutilasi aku di tengah jalan.
***
Mata Max beberapa kali melirik ke arah Vonda. Berusaha menilai kekejaman yang akan Vonda lakukan padanya melalui raut wajah. Namun, sulit sekali. Terlebih karena Vonda memilih untuk sedikit memalingkan kepalanya ke sisi lain. Melihat pada jalanan. Hanya berkat pantulan samar kaca di pintu mobil maka ia bisa melihat Vonda diam tanpa ekspresi.
Meraba situasi, Max memilih untuk mengikuti alur yang Vonda ciptakan. Diam tanpa kata. Sampai beberapa saat kemudian, mobil Max pun berhenti di sisi gedung apartemen Vonda.
"Udah sampai," lirih Max pelan.
Ceklek!
Vonda melepas sabuk pengaman dari tubuhnya.
Sret!
Max bergidik ketika Vonda sedikit berpaling dan menatap horor pada dirinya. Terutama ketika ia berkata seperti ini.
"Mampir dulu yuk ke unit aku?"
Glek!
Max mengerjapkan mata. "K-kamu mau ngomong sesuatu dengan aku?"
Vonda mengangguk.
"Ehm." Max mendeham, mencoba untuk menenangkan diri. "G-gimana kalau ngobrol di sini aja?"
"Di sini?" Mata Vonda menyipit. "Nanti kalau orang-orang lihat mobil ini goyang-goyang ... gimana?"
Mata Max melotot. "G-goyang-goyang? M-maksudnya?"
Tu-tunggu. Ini korelasi ajakan ke unit dia dengan mobil yang goyang-goyang apa ya? Nggak mungkin kan? Nggak! Nggak mungkin.
Wajah Vonda sedikit meneleng ke satu sisi. "Ikut aku sebentar, Max."
Seakan yakin bahwa Max akan menuruti perkataannya, Vonda pun turun dari mobil tersebut. Sesuai dengan perkiraannya, Max memang turun. Setengah berlari menyusul langkah kaki Vonda yang sudah meninggalkan dirinya.
Max tampak canggung ketika masuk ke dalam unit apartemen Vonda. Celingak-celinguk sebelum akhirnya benar-benar melangkah ke dalam.
Di ruang tamu, Vonda berhenti sejenak. Sekadar untuk menunggu Max yang menyusul dirinya. Sampai kemudian ia bertanya seraya mendekati cowok itu.
"Kamu mau dibunuh pakai apa, Max?"
Max membeku.
Tuh kan. Ternyata maksud goyang-goyang tadi itu ya ini. Dia memang mau merencanakan pembunuhan aku.
"Pisau atau racun nyamuk?" tanya Vonda datar. "Aku punya semua."
Max pun segera bereaksi. Meraih kedua lengan atas Vonda, menahan cewek itu, dan mengiba.
"Please please please, Von. Aku minta maaf banget. Ini semua di luar rencanaku."
Mata Vonda melotot. Akhirnya benar-benar mengeluarkan ekspresi wajah malaikat pencabut nyawa miliknya.
"Di luar rencana kata kamu?!" tanya Vonda mencemooh seraya mengangkat satu telunjuknya dan menekan dada cowok itu di tiap pertanyaannya. "Buat aku kayak orang bego di hadapan Mama kamu, itu di luar rencana? Disapa dengan panggilan 'calon mantu' pas baru bangun, itu di luar rencana?"
Mampus.
Mampus.
Mampus.
Tubuh Max pelan-pelan terdorong ke belakang setiap Vonda menekan jari telunjuk di dadanya. Pertanyaan-pertanyaan itu kian mencerca dirinya.
"Kamu nggak tau gimana syoknya aku kan? Terus tadi kamu bilang mau melamar aku? Yang benar aja, Max! Bahkan cewek paling gila pun nggak ada ceritanya yang dilamar di meja makan dengan situasi kayak gitu!"
Max menarik napas, berusaha menenangkan dirinya. "P-perasaan banyak kok cewek yang dilamar di meja makan."
Vonda meraung. "Memang! Cuma itu lamarannya pakai acara makan steak daging sapi. Bukan pakai acara makan tumisan bayam!"
Max mengatupkan mulutnya. Tangan Vonda melayang. Memukul cowok itu dengan geram.
"Kamu ngomongnya kita cuma main-main aja, tapi kenapa malah ada acara melamar segala?"
Max menangkap kedua tangan Vonda. Dengan sigap menahan kedua pergelangan tangan cewek itu dan dengan satu langkah praktis, ia memutar tubuh. Mengganti posisi dirinya dan Vonda dalam sekejap mata. Balik menahan cewek itu di dinding.
Mata Vonda melotot. "Kamu."
"Kamu sebaiknya tenang dulu, Von," kata Max kemudian. "Dengarin dulu penjelasan aku. Kalau kamu membabi buta kayak gini, semuanya bakal tambah runyam."
Menyadari kebenaran di perkataan Max membuat Vonda mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Malu, tapi ia memang harus mengakui. Tindakannya memang bisa memperkeruh semuanya.
Merasa Vonda sudah sedikit tenang, Max pelan-pelan melepaskan tangan cewek itu. Menundukkan wajah demi melihat wajahnya.
"Aku beneran nggak tau kalau Mama bakal datang hari ini ke unit aku. Kalau aku tau, otomatis banget aku nggak bakal ajak kamu ke unit aku."
Vonda diam.
"Lagi pula ..." Max menghirup napas panjang. "Kamu tau nggak kalau kamu turut berpartisipasi dalam memperkeruh keadaan kita?"
Kedua tangan Vonda naik, bersedekap, dan menatap cowok itu. "Maksud kamu?"
"Kamu pasti nggak bakal percaya, tapi kalau kamu ragu ... kamu bisa tanya ke Mama aku."
"Apaan sih?"
Tak berdaya, Max pun berkata. "Pas tidur tadi kamu itu ngigau loh."
Vonda seperti melihat Kuntilanak mengenakan kebaya di pasar malam. Bengong sebengong-bengongnya. Tak percaya ketika Max menceritakan setiap kata yang ia igaukan saat tidur tadi.
Menceritakan itu, mendadak saja membuat Max kembali merasakan sensasi emosi yang mengganggu perasaannya tadi. Kacau.
"Kamu nggak kebayang gimana menakutkannya Mama pas dengar omongan kamu kan?" tanya Max. "Lihat ini lihat!" Ia menunjuk daun telinganya. "Kamu penasaran kenapa daun telinga aku jadi kayak gini kan?"
"Eh? Jangan bilang."
Max mendelik. "Aku dijewer sama Mama. Untung banget aku nggak dikubur hidup-hidup malam ini. Argh!" Ia menggeram. "Kenapa malam ini aku harus terjebak dua orang wanita yang sama nggak warasnya sih?"
"Kamu ini. Itu Mama kamu sendiri, Max."
"Ini gara-gara kamu tau?" tanya Max dengan melotot. "Ya ampun. Seharusnya aku belajar dari pengalaman. Kayaknya kamu ini memang punya bakat alam untuk mengacaukan kehidupan aku?"
Vonda manyun. "Ya-yang kemaren itu kan kita suka sama suka. Ya nggak bisa dibilang mengacaukan kehidupan kamu juga."
"Kamu—"
"Lagi pula," sambung Vonda kemudian. "Karena kejadian malam itu kamu jadi punya alasan membatalkan perjodohan kamu dengan Olivia kan?"
Max membuka mulutnya, tetapi ia tidak bicara. "Kamu ini pintar membolak-balikkan fakta ya?"
"Bukan gitu. Lagi pula kamu juga memutarbalikkan keadaan kan?" balas Vonda. "Tadi kan aku rencananya mau marahin kamu karena lamaran dadakan itu. Eh, kamu malah bahas soal igauan aku."
"Karena kalau bukan igauan kamu, Mama nggak mungkin mendesak aku buat nikahi kamu secepatnya."
Vonda kaget seketika. "Apa?!"
"Karena itu Mama suruh aku melamar kamu secepatnya. Jadi menurut kamu ini semua kesalahan siapa coba?"
Vonda membeku.
"Kalau kamu nggak ngigau yang aneh-aneh, Mama nggak mungkin panik dengan mikir kita bakal lebih kebablasan sewaktu-waktu."
Saat ini Vonda merasakan kepalanya mendadak pusing. "Astaga. Jadi ini gara-gara aku?" Ia meremas rambutnya. "Kenapa aku selalu saja gila di waktu-waktu yang nggak tepat sih?"
Max mengusap tengkuk. Juga merasa pusing dengan situasi saat itu.
"Terus bagaimana?" tanya Vonda kemudian. "Apa kita benar-benar akan menikah?"
"Menurut kamu?" balik bertanya Max.
"Nggak kan?" Vonda ragu. "Bagaimanapun juga kita nggak ada perasaan apa-apa. Gimana kita bisa nikah?"
Max mengembuskan napas panjangnya dan mengangguk sekali. "Tentu saja."
"Jadi?"
"Menurut aku sekarang ... " Otak Max berpikir dengan cepat. "... kita lebih baik jalani aja dulu semuanya kayak gini. Kalau sudah agak lama, nanti kita bisa buat alasan untuk mengakhiri hubungan pura-pura kita."
Vonda ragu. "Caranya?"
Max diam sejenak, setengah merenung. "Aku bisa berpura-pura selingkuh," jawabnya kemudian. "Nggak akan ada wanita pintar yang memaafkan perselingkuhan kan?"
Ucapan Max membuat Vonda terdiam seketika. Setengah seperti kehilangan kesadarannya. Seakan ia tak memijak pada lantai lagi.
Max pasti nggak sengaja kan ngomong kayak gitu. Dia nggak punya maksud lain kan?
Sementara Max segera tersadar setelah mengucapkan hal tersebut. Itu adalah ketika ia mendapati raut wajah Vonda yang berubah. Refleks membuat ia teringat dengan sesuatu.
Sial! Aku ... aku ....
Max menelan gumpalan rasa tidak enak yang mendadak menyelimuti dirinya.
"Von, aku ...."
Vonda mengangkat wajah dan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Aku tau kamu nggak maksud kok."
Sial!
Menurut Max, menghadapi kemarahan Vonda jauh lebih mudah ketimbang mendadak mendapat ekspresi seperti ini. Raut wajah di mana terlihat Vonda menjadi lesu seketika. Seperti ada bagian diri cewek itu yang kembali ke masa lalu. Pada bayangan pengkhianatan yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Max menahan tangan Vonda.
"Aku minta maaf. Sumpah. Aku benar-benar nggak ada maksud buat kamu ingat tentang hal tersebut."
Vonda mengangguk. "Tenang aja. Aku sama sekali nggak terganggu dengan omongan kamu kok," katanya mencoba membesarkan hatinya sendiri. "Lebih dari itu aku justru merasa omongan kamu memang benar."
"Ya?"
"Yang tadi ...."
Sekarang senyum Vonda terasa lebih santai. Bukan senyum pura-pura seperti tadi.
"Cewek pintar nggak akan memaafkan perselingkuhan kan?"
Max tertegun untuk sekian detik. Untuk beberapa alasan yang ia tak mengerti asal mulanya dari mana, ia merasa perlu menenangkan perasaan Vonda. Alhasil, spontan saja lidah Max berkata.
"Kamu pasti bakal dapat cowok yang terbaik. Level kamu tinggi. Jadi jangan jatuhkan untuk cowok yang levelnya di bawah kamu. Yang harusnya terjadi adalah cowok yang menaikkan levelnya untuk pantas bersama kamu."
Vonda mengerjapkan mata. Tak percaya dengan apa yang Max katakan dan itu membuat perasaannya mekar seketika.
Mendapati tatapan Vonda yang terlihat berbinar-binar pada dirinya, membuat Max kikuk. Seraya mengusap tengkuknya, cowok itu berkata.
"Yah walau itu artinya kamu harus berusaha dengan keras. Soalnya bukan apa ya." Max melirik sedikit. "Cowok baik-baik itu mulai langka. Apalagi yang levelnya di atas kamu."
Ucapan Max seketika membuat ekspresi terpana Vonda berubah menjadi santai kembali.
"Aku khawatir di lingkungan kamu sekarang, cuma akulah cowok baik-baik dengan level tinggi yang kamu temui."
Dan kalimat pamungkas itu membuat tawa Vonda berderai. Langsung terlupa dengan bayangan gelap yang sempat hadir di benaknya.
"Kamu?" tanya Vonda geli. "Ge-er sekali anda, Tuan."
Wajah Max berubah. "Eh! Menurut kamu, aku ini bukan cowok baik-baik dengan level tinggi?"
"Oh ya?"
"Wah! Kamu meragukan aku?" tanya Max benar-benar tidak terima dengan respons keraguan Vonda. "Iya?"
Namun, Vonda tak menjawab lagi pertanyaan itu. Melainkan membiarkan tawanya kembali berderai. Sambung menyambung di sela-sela gerutuan Max yang tidak terima bahwa dirinya diragukan oleh Vonda.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro